• Tidak ada hasil yang ditemukan

babbiib

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "babbiib"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BABBIIB

TINJAUANBPUSTATAB B

A.TonsepBDiversiBdanBRestorstive JusticeB

Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “Diversion” pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (President’s Crime Commission) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (nhildren’s nourts) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (poline nautioning).1

Konsep diversi lahir didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak menimbulkan bahaya dari pada kebaikan. Dalam hal ini mekanisme peradilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya sebagai anak jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkan anak dari sistem peradilan pidana konvensional ke mekanisme penyelesaian di luar sistem peradilan pidana. Dengan kata lain, diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian yang memberikan perlindungan terhadap anak dengan mengedepankan prinsip the best interest of the nhild.

1Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2009, Hal. 97

(2)

Pengertian diversi dapat dilihat pada UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA, Pasal 1 Angka 7 yang berbunyi :

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Proses pengalihan ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini sejalan dengan United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justine (The Beijing Rules) butir 11 yang menentukan bahwa diversi merupakan proses melimpahkan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana kepada sistem informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat, baik pemerintah negara maupun nonpemerintah. Tindakan ini dilakukan untuk menghindari efek negatif dengan melakukan kewenangan yang disebut diskresi.2 Adapun prinsip-prinsip diversi menurut The Beijing Rules adalah sebagai berikut:3

a. Diversi dilakukan setelah pertimbangan yang layak, yaitu penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lainnya diberi kewenangan untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal.

b. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan lembaga lainnya yang menangani kasus anak-anak ini menurut kebijakan mereka sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam The Beijing Rules.

c. Pelaksanaan diversi harus dengan persetujuan anak atau orang tua/walinya, namun demikian keputusan untuk pelaksanaan diversi setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan diversi tersebut.

d. Pelaksanaan diversi memerlukan kerjasama dan peran masyarakat, sehubungan dengan adanya program diversi seperti pengawasan, bimbingan sementara, pemulihan dan ganti rugi kepada korban.

2 Marlina, Peradilan Pidana Anak Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2012, Hal. 168

3 Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, Hal. 67.

(3)

Ketentuan diversi secara khusus diatur dalam Pasal 6-16 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA dan prosedur pelaksanaan diversi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun (selanjutnya disebut PP No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun). Diversi wajib diupayakan di semua tingkatan pemeriksaan baik dari tingkat penyidikan, penuntutan, maupun pada tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri.

Berdasarkan Pasal 7 Ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA, diversi hanya dapat dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah diversi dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

Musyawarah diversi dalam hal yang diperlukan dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakan hukum dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada anak yang berkonflik dengan hukum sebagai upaya untuk memperbaiki diri.

(4)

Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan, akan tetapi merupakan cara baru menegakan keadilan dalam masyarakat.4

Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan diversi, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 6 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA yaitu:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

c. Mengindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate treatment). Adapun tiga jenis pelaksanaan program diversi dilaksanakan yaitu :

a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (sonial nontrol orintation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat;

b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (sonial servine orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan;

c. Menuju proses restroative justine atau perundingan (balanned or restroative justine orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi

4 Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hal. 22.

(5)

kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat, pelaksanaanya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.5

Perkembangan konsep pendekatan Restorative Justine dipengaruhi sistem badan-badan perwakilan publik dari bangsa Jerman yang menyebar kesegenap penjuru Eropa setelah kejatuhan bangsa Romawi dan sistem peradilan yang dipergunakan oleh orang-orang India yang berdiam di lembah sungai Hindus pada zaman purba seperti peradaban Vendin, yaitu suatu sistem penyelesaian masalah melalui pemberian sanksi terhadap siapapun yang melakukan kesalahan untuk menebus dosanya atau mengganti kerugian atau membayar utangnya agar pelaku dapat dimaafkan.6

Terminologi restorative justine dapat diartikan dalam dua pengertian.

Pertama, diartikan konteks proses penyelesaian masalah. Kedua, bisa juga diartikan dalam konteks produk dari proses penyelesaian masalah berupa tipe atau kualitas hasil penyelesaian masalah. Dalam konteks penyelesaian masalah, restorative justine diterjemahkan menjadi peradilan restoratif seperti halnya nriminal justine system diterjemahkan menjadi sistem peradilan pidana dan juvenile justine menjadi peradilan anak. Dalam konteks produk, retributive justine

5 Herlina Apong, Perlindungan Terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum,Buku Saku Untuk Polisi, Unicef, Jakarta, 2004, Hal. 160

6 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, Hal. 104.

(6)

diterjemahkan menjadi keadilan retributif dan restorative justine diterjemahkan menjadi keadilan restoratif.7

Pengertian Restorative Justine atau Keadilan Restoratif dalam Pasal 1 Angka 6 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA menyatakan bahwa:

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Pendekatan Restorative Justine wajib diaplikasikan dalam sistem peradilan pidana anak meliputi tahap penyidikan, penuntutan pidana, dan tahap persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan anak dilingkungan peradilan umum. Selain itu, pendekatan Restorative Justine juga diterapkan pada tahap pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan/atau pendampingan terhadap anak selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

Peradilan pidana anak dengan pendekatan Restorative Justine bertujuan untuk:8

1. Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak;

2. Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan;

3. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan;

4. Menanamkan rasa tanggung jawab anak;

5. Mewujudkan rasa tanggung jawab anak;

6. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

7. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;

8. Meningkatkan keterampilan hidup anak.

7 Natangsa Surbakti, Dari Keadilan Retributif Ke Keadilan Restoratif (Rangkuman Hasil Penelitian Penyelesaian Perkara Pidana dengan Pendekatan Keadilan Restoratif), Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Surakarta, 2012, Hal. 2.

8 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, Hal. 133.

(7)

Secara umum terdapat prinsip-prinsip dalam pelaksanaan Restorative Justine yaitu:9

a. Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat dalam menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana.

Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai pemangku kepentingan yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian dari permasalahan. Dengan keterlibatan aktif para pihak dalam mengutarakan pemikiran, pandangan dan kehendaknya maka kebutuhan para pihak sendiri dapat diperhatikan dalam pengambilan keputusan agar keputusan yang diambil dipandang adil bagi semua pihak.

b. Setiap tahapan dalam pelaksanaan restorative justine merupakan respon positif bagi korban yang diarahkan pada adanya perbaikan ataupun pemberian ganti kerugian atas yang diderita oleh korban.

c. Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang lebih informal dan personal dari pada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang formal di pengadilan dan inpersonal.

Serta anak akan mendapatkan pembelajaran mengenai nilai-nilai yang ada di masyarakat selama proses berlangsung dengan begitu anak akan membangun tanggung jawabnya sendiri untuk tidak mengulangi lagi perbuatan pidana yang dilakukannya.

d. Non diskriminasi, dalam pelaksanaan tidak dibenarkan terjadi diskriminasi terhadap pihak manapun baik kepada anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku maupun terhadap korban dari perbuatan yang dilakukan anak yang berhadapan dengan hukum apa lagi pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan restorative justine.

e. Respenful listening, prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip non diskriminasi dan prinsip partisipasi seluruh pihak yang terkait, karena kedua prinsip ini hanya bisa terlaksana bila semua pihak yang terlibat mampu menjadi pendengar dari keluhan, kemarahan dan keinginan orang lain.

f. Tindakan persuasif, sebagai pencegahan terhadap anak agar anak tidak perlu melalui proses pengadilan atau pidana penjara yang menyebabkan anak mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, karena tak dapat dipungkiri status sebagai mantan masyarakat lembaga pemasyarakatan yang lebih dikenal dengan sebutan narapidana sampai saat ini masih tidak baik di mata masyarakat pada umumnya. Selain itu, akan mencegah pula penghukuman anak dengan pembalasan. Hal ini sesuai dengan pandangan yang berkembang belakangan bahwa suatu pidana harus bersifat perbaikan bukan pembalasan.

9Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, 2011.

Hal.74-75

(8)

g. Memelihara keharmonisan masyarakat, karena keterlibatan berbagai pihak dalam pelaksanaanya sangat diperlukan menyebabkan setiap pihak yang terlibat akan memahami bahwa mereka semua memiliki tanggung jawab dalam perkara pidana tersebut sehingga tidak timbul tindakan saling menyalahkan dan membenci dari para pihak.

h. Penerimaan terhadap hasil dari restorative justine. Ini adalah proses yang melibatkan banyak pihak yang tentunya dengan berbagai pemikiran dan kepentingan masing-masing yang digabungkan menjadi satu keputusan akhir, maka keinginan para pihak secara individu tentu tidak dapat dipenuhi secara keseluruhan.

Keadilan restoratif menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam ketertiban yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat seperti saat sebelum terjadinya tindak pidana, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak pidana yang dilakukan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya.10

Pelaksanaan restorative justine dapat dilakukan dengan berbagai bentuk diantaranya:

a) Mediasi antara pelaku dan korban dalam proses ini korban dan pelaku dipertemukan disertai Pembimbing Kemasyarakatan bersama pihak lain yang terlibat, yang kemudian secara bersama-sama membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan penyelesaian perkara terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Pembicaraan tersebut melingkupi tanggung jawab pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum, kebutuhan korban sebagai bentuk ganti kerugian serta pendampingan bagi pemulihan pelaku dan korban dan tindak lanjut dari pelaksanaan restorative justine.

10 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2006, Hal. 14-15.

(9)

b) Conferenning merupakan penyelesaian yang bukan hanya melibatkan pelaku dan korban langsung tetapi juga melibatkan korban tidak langsung, yang dimaksud dengan korban tidak langsung adalah keluarga, teman dekat korban dan teman dekat pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum.

Penyelesaian akhir dari proses ini difokuskan kepada pemberian pelajaran terhadap pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum atas apa yang dilakukannya pada korban. Setiap pihak yang ikut dalam proses ini diberikan kesempatan untuk mengutarakan ceritanya biasanya dimulai dari pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum yang menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi dan dampak yang timbul akibat perbuatannya, kemudian korban akan menceritakan pengalaman atas perbuatan pidana yang dialaminya serta kerugian yang dideritanya baik materi dan non materi dan apa yang dibutuhkan sebagai pemulihan kerugian, selanjutnya pihak-pihak lain menceritakan apa yang dianggap perlu dan dapat membantu dalam proses restorative justine. Tidak ada aturan kaku dalam pelaksanaan nonferenning, dapat disesuaikan dengan norma dan kebiasaan setempat yang berlaku hanya saja pada akhir nonferenning kesepakatan yang dihasilkan dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis, ditandatangani para pihak dan dikirimkan kepada instansi penegak hukum yang berwenang untuk menangani hal tersebut.

c) Diversi, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA dan PP No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.Pelaksanaan diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan

(10)

orangtua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Diversi wajib di semua tingkatan pemeriksaan baik dari tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan negeri. Pada tahap pemulihan diversi dapat dilakukan melalui pelayanan terhadap masyarakat bersama lembaga atau organisasi yang independen untuk melakukan pelayanan tersebut, pelayanan ini dapat dilakukan atau terhadap baik pelaku maupun pihak korban.

B.PembimbingBTemasyarakatanBB

Berdasarkan pada Pasal 1 Angka 13 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA, menyatakan bahwa:

Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitan kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana.

B

Pengertian tersebut juga tertuang dalam Pasal 1 Angka 11 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.

Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01PK.04.10 Tahun 1998 Tentang Tugas, Kewajiban, dan Syarat-Syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan disebutkan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas kemasyarakatan pada balai pemasyarakatan atau dapat diartikan sebagai pegawai atau petugas pemasyarakatan pada balai pemasyarakatan yang ditunjuk dan/atau

(11)

diangkat menjadi Pembimbing Kemasyarakatan serta dapat diberhentikan oleh Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Pasal 64 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA menentukan syarat untuk diangkat sebagai Pembimbing Kemasyarakatan sebagai berikut:

1. Berijazah paling rendah diploma 3 (D-3) bidang ilmu sosial atau yang setara atau telah berpengalaman bekerja sebagai pembantu Pembimbing Kemasyarakatan bagi lulusan:

a) Sekolah menengah kejuruan bidang pekerjaan sosial berpengalaman paling singkat 1 (satu) tahun; atau

b) Sekolah menengah umum dan berpengalaman di bidang pekerjaan sosial paling singkat 3 (tiga) tahun.

2. Sehat jasmani dan rohani;

3. Pangkat/golongan ruang paling rendah Pengatur Muda Tingkat I/II/b ; 4. Mempunyai minat, perhatian dan dedikasi di bidang pelayanan dan

pembimbingan pemasyarakatan serta perlindungan anak; dan

5. Telah mengikuti pelatihan teknis Pembimbing Kemasyarakatan dan memiliki sertifikat.

Tugas Pembimbing Kemasyarakatan diatur dalam Pasal 65 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA yang menyatakan bahwa:

Pembimbing Kemasyarakatan bertugas:

a. membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila diversi tidak dilaksanakan;

b. membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan LPKA;

c. menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya;

d. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan; dan

e. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.

(12)

Adapun 10 (sepuluh) prinsip dasar bagi Pembimbing Kemasyarakatan dalam melakukan pembimbingan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, diantaranya:

1) Pembimbingan yang diberikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum senantiasa bertujuan memberikan bekal hidup agar mereka dapat menjadi warga masyarakat yang berguna di kemudian hari;

2) Pembimbingan tidak lagi atas dasar pembalasan, yang artinya tidak boleh ada tekanan dan diskriminasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, satu- satunya penderitaan yang dialami adalah hilangnya sementara kebebasan untuk bergerak dalam masyarakat;

3) Memberikan bimbingan bukan penyiksaan agar mereka menyadari kesalahan, memberikan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup bermasyarakat;

4) Negara tidak boleh membuat mereka lebih buruk atau jahat dari sebelum mereka dijatuhi pidana;

5) Selama kehilangan kemerdekaan, klien pemasyarakatan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;

6) Bimbingan yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum tidak boleh hanya sekedar mengisi waktu;

7) Pembimbingan yang diberikan kepada anak berdasarkan Pancasila, hal ini berarti bahwa kepada mereka harus ditanamkan semangat kekeluargaan dan toleransi di samping meningkatkan pemberian pendidikan rohani kepada

(13)

mereka disertai dorongan untuk menunaikan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;

8) Anak yang berkonflik dengan hukum bagaikan orang sakit yang perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran yang dilakukannya adalah merusak diri, keluarga, masa depan dan lingkungannya karena itu perlu dibimbing ke jalan yang benar, selain itu mereka harus diperlakukan sebagai manusia biasa yang memiliki harga diri dan hak asasi sehingga menumbuhkan kembali kepribadiannya dan membuatnya percaya akan kemampuan dirinya sendiri;

9) Pengawasan dilakukan tidak begitu ketat hal ini bertujuan untuk memberikan kemerdekaan terhadap hak anak yang berkonflik dengan hukum dalam mengembalikan rasa percaya dirinya agar dapat kembali ke lingkungan masyarakat tanpa adanya tekanan sosial masyarakat;

10)Selama proses bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan senantiasa berada dalam suasana kekeluargaan, agar anak yang berkonflik dengan hukum dapat menerima bimbingan dengan penuh perhatian yang dapat membantu anak yang berkonflik dengan hukum untuk keluar dari masalah hukum yang dialaminya.

Sedangkan fungsi dari Pembimbing Kemasyarakatan dalam melaksanakan program bimbingan terhadap klien adalah untuk:

a. Menyadarkan klien untuk tidak melakukan kembali pelanggaran hukum/tindak pidana;

b. Menasehati klien untuk selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang positif atau baik;

(14)

c. Menghubungi dan melakukan kerja sama dengan pihak ketiga/pihak tertentu dalam menyalurkan bakat dan minat klien sebagai tenaga kerja, untuk kesejahteraan masa depan dari klien tersebut.

C.MekanismeBPemeriksaanBPerkaraBAnak . B 1. TahapBPenyidikanB

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur wewenang polisi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan yang selanjutnya diatur dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) kepolisian. Aturan tersebut menjadi pedoman bagi setiap anggota Kepolisian RI dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Menurut pasal 1 Angka 2 KUHAP penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan alat bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Dalam pemeriksaan perkara anak, Penyidik yang bertugas dalam proses pemeriksaan anak adalah Penyidik Anak, sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 1 Angka 8 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA menyatakan Penyidik yang dimaksud adalah Penyidik Anak. Dan untuk memenuhi persyaratan sebagai Penyidik diatur pada Pasal 26 Ayat (1) dan (3) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA yang menyatakan bahwa:

(15)

Pasal 26 Ayat (1) :

Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 26 Ayat (3) :

Dan untuk memenuhi persyaratan sebagai Penyidik yaitu meliputi : a) telah berpengalaman sebagai Penyidik;

b) mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak;

dan

c) telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.

Penyidik wajib memeriksa anak dalam suasana kekeluargaan. Ketentuan tersebut menghendaki bahwa pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik. Efektif dapat diartikan, bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu lama, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, dan dapat mengajak anak memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Simpatik maksudnya pada waktu pemeriksaan, Penyidik bersifat sopan dan ramah serta tidak menakut-nakuti anak pada saat proses peradilan.

Tugas dan tanggungjawab Penyidik diatur dalam Pasal 27 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA yang menyatakan bahwa:

(1) Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara Anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan.

(2) Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran tersebut dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, pekerja sosial, atau tenaga kesejahteraan sosial.

(3) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap Anak korban dan saksi, Penyidik wajib meminta laporan sosial dari pekerja sosial setelah tindak pidana dilakukan atau dilaporkan.

Dalam proses penyidikan anak mengenai identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Identitas meliputi nama anak, dan hal lain yang dapat mengungkapkan

(16)

jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi. Tindakan Penyidik berupa penangkapan, penahanan dan tindakan lain yang dilakukan mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap penyidikan, wajib dilakukan secara rahasia.11

Penyidikan dimulai dengan membuat laporan mengenai kasus anak, sebab- sebab melakukan kenakalan, latar belakangnya dengan cara wawancara secara sabar dan halus. Wawancara terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dilakukan secara berkesinambungan antara orang tua, saksi, dan orang-orang lain yang diperlukan atau berkaitan dengan kasus tersebut. Pada saat melakukan penyidikan para Penyidik harus menjauhkan tindakan kekerasan atau penyiksaan serta tindakan-tindakan yang sifatnya sugestif dengan tekanan. Diciptakannya suasana sedemikian rupa agar anak merasa aman, tidak takut sehingga anak dengan lancar memberikan jawaban-jawaban, yang kemudian dimengerti dan dihayati atas apa yang telah dilakukannya.

Dalam proses penyidikan anak, harus dihindarkan hal-hal yang dapat merugikan anak khususnya dihindarkan dari gertakan-gertakan serta kekerasan fisik. Penegak hukum lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kasus anak saat itu, tidak boleh ikut mewawancarai atau menginterogasi anak agar tidak membingungkan anak dan orang tua/wali. Bahasa yang dipergunakan oleh Penyidik dalam wawancara harus dapat mudah dimengerti oleh anak, baik oleh anak yang bersangkutan maupun pendampingnya. Jika anak dan pendampingnya kesulitan dalam menggunakan bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia maka Penyidik wajib harus menghadirkan penerjemah bahasa. Hal ini bertujuan agar

11 Maidin Gultom, op.nit. Hal. 132.

(17)

pesan yang disampaikan Penyidik dapat benar-benar dipahami oleh anak dan pendampinya.

Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang Penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap anak, yaitu:

a. Penyidik melakukan kekerasan dan tindakan tidak wajar terhadap anak. Hal ini dapat menimbulkan trauma pada anak;

b. Memberi label buruk pada anak dengan menggunakan kata-kata yang sifatnya memberikan label buruk pada anak, seperti “pencuri”, “maling”,

“pembohong”, dan lain-lain;

c. Penyidik kehilangan kesabaran sehingga menjadi emosi dalam melakukan wawancara terhadap anak;

d. Penyidik tidak boleh menggunakan kekuatan badan atau fisik atau perlakuan kasar lainnya yang dapat menimbulkan rasa permusuhan terhadap anak.

Ketentuan mengenai penangkapan dan penahanan terhadap Anak diatur dalam Pasal 30-40 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA. Berdasarkan Pasal 32 dan 33 menyatakan bahwa :

Pasal 32 :

(1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/ lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/ atau tidak akan mengulangi tindak pidana.

(2) Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut :

a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan

b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara (tujuh) tahun atau lebih.

(3) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahan.

(18)

(4) Selama Anak ditahan, kebuthan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi.

(5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS

Pasal 33 :

(1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari.

(2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum.

(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.

(4) Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS.

(5) Dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat.

2. TahapBPenuntutanB

Menurut Pasal 1 Angka 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan.

Dalam Pasal 41 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA ditentukan bahwa:

Penuntutan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Penuntut Umum yang dimaksud dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu Penuntut Umum Anak.

Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum berdasarkan pada Pasal 41 Ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA meliputi:

a. telah berpengalaman sebagai Penuntut Umum;

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah Anak dan;

c. telah mengikut pelatihan teknis tentang Peradilan Anak.

Bila penuntutan anak dilakukan oleh yang bukan Penuntut Umum Anak, dikhawatirkan sasaran-sasaran perlindungan anak akan diabaikan. Dengan kata

(19)

lain Penuntut Umum tersebut tidak memahami masalah anak, sehingga tindakan- tindakan hukum yang dilakukan dalam penuntutan tidak mencerminkan prinsip- prinsip perlindungan anak.12

Penuntut Umum Anak dalam melakukan tugasnya yakni meneliti berita acara yang diajukan oleh Penyidik, sehingga jika perlu dan dengan persetujuan Hakim Anak tidak usah diajukan ke Pengadilan. Anak cukup dikembalikan kepada orang tuanya dengan teguran atau nasehat. Atas ijin Hakim dapat diminta bantuan dari para ahli atau membentuk tim tersendiri untuk menangani anak. Hal tersebut dilakukan atas pertimbangan bahwa anak membutuhkan perhatian, cinta kasih, asuhan, perlindungan, pembinaan, pendidikan dan rasa aman secara rohani dan jasmani. Petugas-petugas sosial harus tetap dilibatkan dalam menangani dan membina anak.13

3. PemeriksaanBdiBPengadilanBNegeriBB

Pada saat Penuntut Umum telah selesai mempelajari berkas perkara hasil penyidikan dan penutut umum berpendapat bahwa tindak pidana yang disangkakan dapat dituntut, maka menurut ketentuan Pasal 140 ayat (1) KUHAP bahwa penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Surat dakwaan merupakan dasar adanya suatu perkara pidana, yang juga merupakan dasar Hakim melakukan pemeriksaan.

Setelah Penuntut Umum membuat surat dakwaan, dilimpahkan ke Pengadilan dengan membuat surat pelimpahan perkara. Dalam surat pelimpahan

12 Ibid, Hal. 139

13 Ibid, Hal. 140

(20)

perkara dilampirkan surat dakwaan, berkas perkara dan surat permohonan agar Pengadilan Negeri yang bersangkutan segera melakukan persidangan.

Berdasarkan Pasal 43 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA ditentukan bahwa:

Pemeriksaan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan negeri yang bersangkutan melalui ketua pengadilan tinggi.

Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim diatur dalam Pasal 43 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA meliputi:

a. telah berpengalaman sebagai Hakim dalam lingkungan peradilan umum;

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah Anak dan;

c. telah mengikut pelatihan teknis tentang Peradilan Anak.

Pasal 44 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA ditentukan bahwa Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama dengan Hakim tunggal. Pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan, Ketua Pengadilan wajib menetapkan Hakim atau Majelis Hakim untuk menangani perkara anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum.

Persidangan perkara anak bersifat tertutup agar tercipta suasana tenang dan penuh dengan kekeluargaan, sehingga anak dapat mengutarakan segala peristiwa dan perasaannya secara terbuka dan jujur selama sidang berlangsung.

Prinsipnya anak disidangkan dalam ruang sidang khusus anak serta ruang tunggu sidang anak yang dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa.

Adapun waktu sidang anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa. Di samping itu, Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan. Dalam sidang anak, Hakim

(21)

wajib memerintahkan orang tua/wali atau pembimbing, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi anak.

Apabila orang tua/wali atau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau Pembimbing Kemasyarakatan. Dalam hal Hakim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud, sidang anak batal demi hukum. Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, anak dipanggil masuk berserta orang tua/wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan. Pada saat memeriksa anak korban/atau anak saksi, Hakim dapat memerintahkan agar anak dibawah ke luar ruang sidang. Pada saat pemeriksaan anak korban/atau anak saksi, orang tua/wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir.

Hakim yang menangani perkara pidana anak sedapat mungkin mengambil tindakan yang tidak memisahkan anak dari orang tuanya. Pertimbangannya bahwa rumah yang jelek lebih baik dari Lembaga Pemasyarakatan Anak. Hakim sudah seharusnya mengetahui dengan teliti segala latar belakang anak sebelum sidang dilakukan, sehingga ketika mengambil keputusan Hakim tersebut sudah dengan benar-benar memperhatikan kedewasaan emosional, mental dan intelektual anak.

Putusan Hakim yang mengakibatkan penderitaan batin atau mental seumur hidup atau dendam pada anak perlu dihindari.

(22)

Dasar pertimbangan bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan yaitu Pertama, keadaan psikologis anak pada saat melakukan tindak pidana. Hakim harus mengetahui latar belakang dan faktor-faktor penyebab anak melakukan tindak pidana, keadaan psikologis anak setelah dipidana. Hakim harus memikirkan dampak yang ditimbulkan terhadap anak setelah dipidana, keadaan psikologis anak saat menjadi korban dan berada dalam persidangan, keadaan psikologis anak sebagai saksi serta keadaan psikologis Hakim dalam menjatuhkan hukuman atau putusan. Kedua, Hakim harus mempertimbangkan berat ringannya kenakalan yang dilakukan anak. Ketiga, Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan hukuman, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 60 Ayat (3) UU No.

11 Tahun 2012 Tentang SPPA. Selanjutnya dalam Pasal 60 Ayat (4) menyatakan bahwa:

Dalam hal Hakim tidak mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan dalam putusan Hakim, maka putusan batal demi hukum.

Pada proses pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh anak. Identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi tetap harus dirahasiakan dari media massa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA, tetapi hanya menggunakan inisial tanpa gambar. Pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada anak atau advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum. Pengadilan wajib memberikan salinan putusan paling lama 5 (lima) hari

(23)

sejak putusan diucapkan kepada anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum.

Referensi

Dokumen terkait

Model pembelajaran Concept Sentence yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran menelaah struktur, kebahasaan dan