• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENTUK PERTUNJUKAN WAYANG BOCAH SRIKANDHI KRIDHA KARYA JONET SRI KUNCORO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BENTUK PERTUNJUKAN WAYANG BOCAH SRIKANDHI KRIDHA KARYA JONET SRI KUNCORO "

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BENTUK PERTUNJUKAN WAYANG BOCAH SRIKANDHI KRIDHA KARYA JONET SRI KUNCORO

Chrisnar Bagas Pamungkas

Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Jalan Ki Hajar Dewantara No. 19 Kentingan, Jebres, Surakarta 57126

Daryono

Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Abstract

The Wayang Bocah Srikandhi Kridha show was a dramatical production directed by Jonet Sri Kuncoro that displayed in 36th anniversary celebration of Soerya Soemirat dance studio. The problem with study is how the processing and appearance of the Srikandhi Kridha by Jonet Sri Kuncoro.

Based on objects studied, this study uses a qualitative method with a process and shape approach. To find out about the garging process use the thinking of Rahayu Supanggah that include of materi garap, penggarap, sarana garap, perabot garap, penentu garap, pertimbangan garap.

Discuss problem forms using concept forms by Rustopo in Sri Rochana Widyastutieningrum about elements that include of structure of a presentation, variety of motion, dance music, makeup and clothing, division of a single dancer and group, dance floor, property, and stage pattern. Studies have shown that a Srikandhi Kridha feature in a dramatic dialogue with the genre of Wayang Orang (bocah), one that concerns materi garap, penggarap, sarana garap, perabot garap, penentu garap, pertimbangan garap. The Wayang Bocah Srikandhi Kridha show set out from director’s concern for the child's world understanding of the puppet story. From reflection of his thought, Jonet took the play of the story with Srikandhi Kridha. Played by students of Soerya Soemirat dance studio.

The shape of a Wayang Bocah Srikandhi Kridha show can be seen from all the performance being made into a solid outfit.

Keywords: Wayang Bocah, garap, and form.

PENDAHULUAN

Wayang orang adalah suatu dramatari berdialog prosa yang ceritanya mengambil dari espos Ramayana dan Mahabharata. Konsepsi dasar Wayang Wong mengacu pada wayang kulit purwa, oleh karena itu Wayang Wong merupakan

personifikasi wayang kulit purwa (Hersapandi, 1999:32). Wayang orang sebagai format seni pangung yang telah ada sejak masa awal pemisahan Mataran menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, untuk kemudian

(2)

Kasunanan Surakarta menyisakan sebagian kecil wilayahnya menjadi Mangkunegaran.

Lebih lanjut, merujuk pada pendapat Amien Wangsitalaja (1999), yang mengatakan pada masa kekuasaan Mangkunegara VI (1896-1916) terjadi krisis ekonomi yang menimpa kadipaten Mangkunegaran. Krisis ini berdampak pada berdampak pada berbagai hal termasuk di dalamnya terjadi krisis dalam bidang pengembangan kesenian. Wayang Wong yang rutin dipanggungkan dalam tembok Mangkunegaran untuk sementara waktu dihentikan atau dikurangi porsi kegiatannya. Namun, kejadian penghapusan kegiatan panggung wayang orang sebagai agenda rutin Kadipaten Mangkunegaran tidak membuat keberadaan wayang orang sebagai suatu kejadian luar biasa, lantas menghilang.

Justru para aktor panggung wayang orang

Kadipaten Mangkunegaran

mengembangkan kemampuan mereka di wilayah publik yang artinya di luar tembok Kadipaten. Sejak itu, wayang orang berkembang sebagai seni panggung rakyat, tentu saja dengan beberapa sentuhan perubahan dari format awalnya sebagai seni elit.

Secara historis, keberadaan wayang orang memang tidak dapat dipisahkan dengan peranan etnis Cina. Mereka mengambil posisi sebagai juragan yang membiayai pertunjukan untuk kepentingan komersial. Keterlibatan etnis Cina di bisnis pemanggungan wayang orang berlangsung sekitar 70 tahun (1895-1965). Catatan Brandon (1967) dalam buku Hersapandi yang berjudul Wayang Wong Sriwedari Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersial

mengatakan bahwa, terdapat sekitar 20 group besar yang tersebar di kota-kota besar pulau Jawa (1999). Persebaran kuantitas sosialisasi wayang orang juga terfasilitasi oleh ke’naif’an politis pihak Kasunanan Surakarta yang sengaja terlibat mengeluarkan wayang orang dari dalam istana ke luar istana dengan maksud merendahkan Kadipaten Mangkunegaran (bahwa identitas seni Kadipaten Mangkunegaran adalah bukan seni yang elit, melainkan sejajar dengan “tiyang mbarang”). Difasilitasi oleh Cina dan Kasunanan Surakarta, wayang orang berhasil menjelma menjadi seni komersial yang disambut secara antusias oleh masyarakat.

Pada tahun 1998 kota Surakarta mulai mengadakan sebuah festival wayang orang dengan pemeran anak-anak, yang kemudian pertunjukannya dikenal sebagai pertunjukan Wayang Bocah. Wayang Bocah adalah pertunjukan wayang orang yang dimainkan oleh anak-anak. Lakon yang dibawakan berasal dari kitab Ramayana maupun Mahabarata termasuk cerita carangan di dalamnya. Garap Wayang Bocah meliputi tafsir garap, penokohan, karakter, antawecana, tata rias, tata busana, dan visual garapan yang ditampilkan sesuai dengan kejiwaan anak. Wayang Bocah secara tidak langsung juga merupakan upaya kaderisasi pemain Wayang Wong di masa yang akan datang. Apabila dibandingkan dengan garapan Wayang Wong yang dimainkan oleh orang dewasa, perbedaannya terletak pada konsep garapan dan bentuk penyajiannya. Pada penggarapan berbagai elemen yang ada dalam Wayang Bocah, disesuaikan dengan

(3)

kemampuan dan kejiwaan anak-anak. Hal itu dilakukan agar anak-anak lebih mudah dalam memerankan tokoh dan memahami cerita yang dilakonkan. Selain itu, untuk menarik perhatian penonton kalangan anak- anak sampai remaja, salah satu upaya yang dilakukan adalah penggarapan karawitan digarap lebih dinamis. (Wahyu Santosa Prabowo, wawancara 16 September 2019).

Beberapa penelitian seni pertunjukan Wayang Bocah yang telah ada sebelumnya menitikberatkan pada objek formal bentuk dan garap. Di antaranya adalah skripsi oleh Sumtining Pujowati dengan judul “Bentuk dan Struktur Wayang Bocah Lakon Nggeguru Garapan Sanggar Tari Soeryo Soemirat Mangkunegaran Surakarta” (2007), skripsi tersebut di dalamnya menjelaskan tentang bentuk dan struktur Wayang Bocah lakon Nggeguru karya Jonet Sri Kuncoro. Skripsi oleh Eva Kurnia dengan judul “Garap Wayang Bocah Lakon Mustakaweni Sanggar Tari Soeryo Soemirat Surakarta” (2016), skripsi ini selain membahas proses garap Wayang Bocah lakon Mustakaweni sanggar tari Soerya Soemirat, di dalamnya juga menjelaskan tentang keberadaan sanggar tari Soerya Soemirat. Skripsi oleh Etika Sari dengan judul “Bentuk Pertunjukan Opera Timun Emas Karya Jonet Sri Kuncoro”, (2019), skripsi tersebut di dalamnya menjelaskan tentang proses kreatif Jonet Sri Kuncoro dalam menciptakan karya Opera Timun Emas pada tahun 2016.

Merujuk dari apa yang dijelaskan di atas, penulis memiliki ketertarikan untuk lebih mencermati mengenai karya wayang orang yang berorientasi pada kejiwaan anak-anak dimulai dari karya Jonet Sri Kuncoro yang berjudul Srikandhi Kridha.

Untuk artikel ini, penulis akan menelusuri pembahasan perihal garap Wayang Bocah Srikandhi Kridha karya Jonet Sri Kuncoro bentuk pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha karya Jonet Sri Kuncoro.

Lantas untuk menganalisis permasalahan yang diungkapkan di atas dibutuhkan suatu kerangka berpikir dalam mencermati sehingga jawaban yang nanti diperoleh dapat terstruktur dengan baik.

Penulis menggunakan landasan pemikiran dari Rahayu Supanggah dalam bukunya yang berjudul Bhotekan Karawitan II:

Garap.

Garap merupakan suatu “sistem”

atau rangkaian kegiatan dari seseorang dan/atau berbagai pihak, terdiri dari beberapa tahapan atau kegiatan yang berbeda, masing- masing bagian atau tahapan memiliki dunia dan cara kerjanya sendiri yang mandiri, dengan peran masing- masing mereka bekerja sama dan bekerja sama dalam kesatuan, untuk menghasilkan sesuatu sesuai dengan maksud, tujuan atau hasil yang ingin dicapai. Garap terdiri atas unsur- unsur materi garap, penggarap, sarana garap, prabot atau piranti garap, penentu garap, dan pertimbangan garap (2007:3-4).

Permasalahan bentuk akan terjawab dengan landasan pemikiran Rustopo dalam Widyastutieningrum yang terdapat di buku Sejarah Tari Gambyong Seni Rakyat Menuju Istana, sebagai berikut.

(4)

Hasil ciptaan seniman yang merupakan wujud dari ungkapan isi ke dalam bentuk fisik yang dapat ditangkap indera. Maka di dalam pandangan dan tanggapan bentuk seni terdapat hubungan antara garapan medium dan garapan pengalaman jiwa yang diungkapkan, atau terdapat hubungan antara bentuk (wadhah) dan isi. Bentuk (wadhah) yang dimaksud adalah bentuk fisik, yaitu bentuk yang dapat diamati, sebagai sarana untuk menuangkan nilai yang diungkapkan oleh seniman, sedangkan isi adalah bentuk ungkap yaitu mengenai nilai- nilai atau pengalaman jiwa yang wigati (significant); yang digarap dan diungkapkan seniman melalui bentuk ungkapannya yang dapat ditangkap atau dirasakan penikmat dari bentuk fisik. Bentuk ungkapan suatu karya seni pada hakikatnya bersifat fisik, seperti garis, warna, suara manusia, bunyi-bunyian alat, gerak tubuh, dan kata. Bentuk seni itu tidak hanya menggarap medium, tetapi juga mengungkapkan pengalaman jiwa yang dapat memantapkan dan memperkaya pengalaman jiwa. Kesatuan bentuk dan isi adalah wujud karya seni (2011:43).

Apa yang ditawarkan oleh kedua konsep diatas nantinya digunakan oleh penulis untuk mencermati karya Wayang Bocah Srikandhi Kridha sebagai objek yang dapat dilihat dari proses garap dan bentuk pertunjukannya. Proses pengamatan objek

ini tentunya terkait dengan bagaimana pemahaman, pengalaman penggarap, dengan konteks kejiwaan anak-anak yang melatarbelakangi terjadinya proses garap hingga tercipta bentuk pertunjukan Wayang Bocah.

Mula-mula penulis menentukan metode penelitian yang digunakan merupakan jenis penelitian kualitatif yang selaras dengan pendapat Lexi J Moleong dalam bukunya Metodelogi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (2012:6).

Penelitian ini dimaksudkan untuk dapat memahami bentuk pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha, dengan cara deskripsi analitis dan menggunakan berbagai metode. Hal tersebut dirasa penulis akan lebih tepat dalam proses memperoleh data sebanyak-banyaknya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif terdiri dari 3 tahapan yaitu tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data, dan analisis data.

(5)

GARAP PERTUNJUKAN WAYANG BOCAH SRIKANDHI KRIDHA

Bentuk pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha merupakan hasil dari proses garap yang dilakukan oleh pelatih ataupun penggarapnya. Proses yang dilakukan dengan cara mengolah gerak- gerak yang sudah ada dan disesuaikan dengan pelaku serta kemampuan pelaku.

Proses dalam karya tari maupun kesenian biasa disebut dengan garap, istilah garap merupakan istilah yang akrab dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa (Supanggah, 2007:3).

Analisis dalam penelitian ini akan mengadopsi konsep dari bidang karawitan.

Pemikiran garap yang dipaparkan oleh Rahayu Supanggah dalam bukunya yang berjudul Bothekan karawitan II: Garap.

Garap diperlukan sebagai pengungkapan kreativitas oleh seorang sutradara. Adanya garap juga mempengaruhi ketertarikan penonton terhadap bentuk pertunjukan, sehingga peranan garap dalam pertunjukan sangatlah penting.

Garap merupakan salah satu unsur penting yang digunakan sebagai alat analisis penggarapan karya Wayang Bocah Srikandhi Kridha. Konsep garap dari Rahayu Supanggah telah digunakan dari beberapa jurusan, seperti Jurusan Karawitan, Jurusan Tari, Jurusan Etnomusikologi, maupun Jurusan Pedalangan. Rahayu Supanggah juga menyatakan bahwa dalam sebuah garap terdapat unsur atau pihak yang masing- masing saling terkait dan membantu, unsur- unsur tersebut meliputi materi garap, penggarap, sarana garap, prabot atau

piranti garap, penentu garap dan pertimbangan garap (2007:4).

Materi Garap

Materi garap, dapat disebut sebagai bahan garap, ajang garap maupun lahan garap (Supanggah, 2007:7). Materi garap dalam pertunjukan pertunjukan Srikandhi Kridha terdiri dari gerak tari, formasi, tembang, iringan tari, rias, busana, setting panggung, tata cahaya, dan panggung pertunjukan.

Penggarap

Penggarap adalah seniman, para pengrawit, baik pengrawit penabuh gamelan maupun vokalis (Supanggah, 2007:149). Paparan tersebut merupakan pengertian penggarap (komposer) dalam dunia Karawitan. Pernyataan tersebut jika disejajarkan dalam karya ini, yang dimaksud penggarap ialah sutradara, koreografer dan komposer, penulis naskah.

Sutradara dalam karya ini bertugas menyusun jalan cerita yang ingin disampaikan, koreografer dalam pertunjukan Wayang Bocah bertugas menyusun tari demi mewujudkan imajinasi dari sutradara melalui media gerak sekaligus sebagai pelatih tari, sedangkan komposer pada karya ini bertugas mewujudkan imajinasi dari ide garap yang disampaikan oleh sutradara maupun koreografer melalui ciptaan karyanya yang berwujud musik komposisi, penulis naskah dalam karya ini adalah membuat naskah yang mengandung nilai sastra dan menurut pada alur cerita yang sudah disusun oleh sutradara.

(6)

Sarana Garap

Sarana merupakan segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat atau media dalam mencapai maksud atau tujuan.

Pernyataan tersebut apabila dipahami dari sudut pandang tari, sarana garap merupakan tubuh penari karena tubuh penari menjadi alat atau media sebagai sumber ekspresi. Sarana garap yang merupakan media komunikasi gerak yaitu penari. Penari merupakan sarana garap, alat yang digunakan untuk mengungkapkan ide serta mengekspresikan pesan yang akan disampaikan oleh sutradara. Penelitian ini fokus pengamatan/analisis dilakukan pada 3 tokoh utama yaitu Bumiraja, Srikandhi, dan Drupada sebagai penari yang merupakan media komunikasi antar penampil dengan penonton.

Prabot atau Piranti Garap

Prabot atau piranti garap disebut dengan tool adalah perangkat lunak atau sesuatu yang sifatnya imajiner yang ada dalam benak seniman pengrawit, baik itu berwujud gagasan atau sebenarnya sudah ada vokabuler garap yang berbentuk tradisi atau kebiasaan para pengrawit yang sudah ada sejak kurun waktu ratusan tahun atau dalam kurun waktu yang kita (paling tidak saya sendiri) tidak bisa mengatakan secara pasti (Supanggah, 2007:241).

Sutradara memilih episode Srikandhi Meguru Manah sebagai piranti garap Wayang Bocah dengan judul Srikandhi Kridha. Dengan demikian di benak sutradara telah ada sesuatu yang bersifat imajiner dengan wujud gagasan dan vokabuler pertunjukan tradisi yaitu dramatari berdialog (wayang orang). Wujud

gagasan dalam episode Srikandhi Meguru Manah lazimnya hanya mengungkap tentang cerita dimana Srikandhi belajar memanah kepada Raden Arjuna yang berakhir dengan kisah percintaan mereka berdua. Tetapi dalam garap Wayang Bocah Srikandhi Kridha sutradara memiliki imajinasi bahwa ada hal yang lebih penting dari sekedar proses belajar panahan Srikandhi dengan Raden Arjuna, yaitu Srikandhi adalah seorang putri mahkota kerajaan Pancala Radya yang sedang mengalami musibah dengan diculiknya Prabu Drupada oleh Prabu Bumiraja.

Mengetahui hal itu Srikandhi bergegas diri untuk segera membuktikan bakti pada ayah maupun tanah airnya dengan melakukan misi penyelamatan membawa pulang Prabu Drupada dari kerajaan Malayapura. Segala sesuatu hal yang dilandasi kecerdikan dengan sikap curang maka akan menemui kegagalan dan dalam mewujudkan sebuah impian memerlukan usaha yang keras. Atas kejahatannya Bumiraja kalah dan mati di tangan Srikandhi yang telah berusaha keras melawan pasukan Malayapura demi membela kebenaran (Jonet Sri Kuncoro, wawancara 9 Desember 2019).

Sutradara dalam Wayang Bocah lakon Srikandhi Kridha, menyadari Wayang Bocah merupakan perkembangan dari wayang orang. Wayang orang klasik yang mencapai struktur pergelarannya sekarang ini dalam abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh di kota-kota besar Indonesia.

Sutradara memilih cerita Srikandhi Meguru Manah dalam kisah Mahabharata, sesuai dengan cerita pakem yang ada di kisah wayang purwa pada umumnya. Bagi sutradara cerita tersebut sangat banyak

(7)

mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat diungkapkan dalam pendidikan anak. Pemilihan latar belakang cerita tersebut juga merupakan hasil dari pertimbangan sutradara yang melihat murid putri sanggar yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah murid putra sanggar tari Soerya Soemirat (Jonet Sri Kuncoro, wawancara 9 Desember 2019).

Dalam karya Srikandhi Kridha nilai yang ingin disampaikan kepada penonton tentang nilai baik dan buruk, dimana keburukan akhirnya akan terkalahkan.

Tetapi sutradara menafsir ada beberapa nilai yang akan disampaikan dari episode Srikandhi Meguru Manah, tidak hanya sekedar nilai baik dan buruk kepada pemeran yang merupakan anak-anak, seperti telah dijelaskan dalam prabot atau piranti garap. Nilai-nilai tersebut juga didapat oleh para pemeran yang merupakan partisipasi mereka dalam pertunjukan Wayang Bocah.

Penentu Garap

Wayang Bocah Srikandhi Kridha dalam prosesnya ditentukan oleh penggarap dan disesuaikan dengan kegunaannya. Senada dengan pendapat Supanggah bahwa fungsi yang sangat besar peranannya dalam menentukan garap karawitan adalah otoritas, fungsi sosial dan pelayanan terhadap seni lain (Supanggah, 2007:249). Wayang Bocah Srikandhi Kridha dalam penentu garap terdiri dari otoritas dan fungsi sosial saja. Otoritas dalam konsep garap Rahayu Supanggah, yang dimaksudkan ialah bahwa sebuah garap ditentukan oleh siapa yang menggarap (2007:249). Wayang Bocah Srikandhi Kridha

merupakan hasil karya Jonet Sri Kuncoro yang bekerja sama dengan sanggar tari Soerya Soemirat pada tahun 2018. Sanggar tari Soerya Soemirat memiliki orang-orang profesional dari bidang manajemen, maupun tim kreatif termasuk Jonet Sri Kuncoro yang tergabung di dalamnya.

Selain itu, dalam bidang artistik yaitu pengajar atau pelatih yang memiliki pengalaman kesenimanan yang mampu menghasilkan metode pembelajaran tari untuk murid sanggar. Metode atau cara yang dimaksud tentu berkaitan dengan keadaan realitas yang dihadapi dalam kegiatan pengajaran, misalnya mengajar apa, materi apa, tingkatan siswa apa, dan sebagainya yang kemudian dirumuskan untuk dijadikan pijakan dalam melaksanakan pengajaran.

Pertunjukan Srikandhi Kridha memiliki fungsi sosial sebagai upaya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap dramatari yang berbentuk Wayang Bocah dan mengenalkan cerita wayang kepada anak-anak. Rahayu Supanggah dalam bukunya mencontohkan tentang fungsi sosial sebagai penyajian suatu gendhing ketika karawitan digunakan untuk melayani berbagai kepentingan kemasyarakatan, mulai dari sifatnya ritual religious, upacara kenegaraan, kemasyarakatan, keluarga maupun perorangan (2007:251). Sedangkan pertunjukan Srikandhi Kridha dalam pementasannya digunakan untuk memperingati hari jadi sanggar tari Soerya Soemirat yang ke-36. Wayang Bocah Srikandhi Kridha dipersembahkan khusus untuk sanggar tari Soerya Soemirat dan masyarakat pada umumnya.

(8)

Pertimbangan Garap

Pada Wayang Bocah Srikandhi Kridha pertimbangan garap dimana di dalamnya terdiri dari faktor internal, eksternal dan tujuan selaras pendapat Rahayu Supanggah.

Tujuan internal dalam pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha yaitu kondisi fisik dan kejiwaan penari maupun pengrawit, vokalis dalam hal ini disebut sindhen dan waranggono. Sutradara memahami betul bahwa di usia mereka yang mayoritas sedang berada pada masa perkembangan, maka sutradara lebih teliti dalam menentukan unsur-unsur yang ada dalam garap pertunjukan. Sutradara pun juga menyadari bahwa anak-anak sedang pada masa pematangan kejiwaan dan fisik yang dalam prosesnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan proses belajar, maka dari itu sutradara bertindak dan berusaha menyesuaikan dengan sikap-sikap anak.

Unsur-unsur yang dipertimbangkan yaitu pemilihan cerita beserta sanggit garap, pemilihan ragam gerak, antawecana, tembang, karawitan dan rias busana.

Misalnya, sanggit pada Wayang Bocah Srikandhi Kridha berbeda dengan sanggit garap wayang orang episode Srikandhi Meguru Manah pada umumnya yang terdapat adegan pasihan antara Raden Arjuna dengan Srikandhi. Sedangkan pada Wayang Bocah Srikandhi Kridha cuplikan adegan yang mengandung unsur percintaan sengaja tidak ditampilkan oleh sutradara melihat konsumsi pertunjukan memang diperuntukkan bagi anak-anak. Maka dari itu, sutradara juga memperhatikan betul psikologi anak agar anak dapat menyampaikan dan mengungkapkan cerita itu sehingga menjadi hidup di dalam diri

penonton. Karena cerita dapat hidup pada diri penonton selain ditentukan pemilihan sanggit yang tepat, juga ditentukan oleh penari yang membawaan karakter peranannya (Jonet Sri Kuncoro, wawancara 9 Desember 2019).

Pementasan Wayang Bocah lakon Srikandhi Kridha yang bertempat di Teater Besar ISI Surakarta tidak terlalu menimbulkan tantangan dari faktor eksternal. Bentuk ruang pentas proscenium membuat garap alur masuk dan silam para pemeran tidak berbeda jauh dengan garap ruang pentas wayang orang pada umumnya yang bentuknya merupakan panggung proscenium. Sutradara dalam mengatur masuk dan silamnya pemain menyesuaikan dengan tempat pentas. Bentuk ruang pentas proscenium membuat pemain dibatasi masuk dan silam dari kanan kiri panggung, tetapi dalam pertunjukannya terkadang pemain masuk dan silam dari serta ke arah belakang (Jonet Sri Kuncoro, 9 Desember 2019). Pada pementasan Wayang Bocah Srikandhi Kridha para tokoh yang menggunakan dialog menggunakan alat bantu pengeras suara berupa clip on, yang menurut Harymawan disebut microfon lapel. Hal tersebut atas pertimbangan agar suara pemain ketika berdialog dapat terdengar kepada penonton dengan jelas.

Penggunaan mikrofon lapel sudah dipersiapkan sejak gladi bersih, dimana kualitas mikrofon lapel disesuaikan dengan kebutuhan (Jonet Sri Kuncoro, 9 Desember 2019).

Tujuan dari pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha dipentaskan untuk memperingati hari ulang tahun Sanggar Tari Soerya Soemirat ke-36 yang

(9)

dilaksanakan pada tanggal 23 Desember 2018 di Gedung Teater Besar ISI Surakarta.

Selain itu juga tujuan lainya Sanggar Tari Soerya Soemirat juga ingin menampilkan semua siswa sanggar agar bisa merasakan tampil di atas panggung dan menimbukan rasa percaya diri.

Berbagai pertimbangan yang selalu disesuaikan dengan kejiwaan anak dalam pemeran Wayang Bocah, membuat pertunjukan menjadi terlihat tepat atau sesuai layaknya wayang orang secara konvensional, hanya saja pemerannya merupakan anak-anak. Tahapan penggarapan yang terencana dengan baik merupakan upaya sanggar dalam mewujudkan kesempurnaan atau kematangan garap. Dalam penggarapannya Wayang Bocah Srikandhi Kridha terdapat sistem kerja kreatif antara sutradara, koreografer, komponis, pelatih, penata rias dan busana. Garap Wayang Bocah Srikandhi Kridha juga merupakan suatu sistem rangkaian dari seseorang atau beberapa pihak yang saling bekerja sama dan terdiri dari tahapan dalam satu kesatuan.

Kerjasama tersebut terangkai dari satu kesatuan unsur-unsur yang terdiri proses garap meliputi: materi garap, penggarap, sarana garap, prabot atau piranti garap, penentu garap, dan pertimbangan garap.

BENTUK PERTUNJUKAN WAYANG BOCAH SRIKANDHI KRIDHA

Bentuk pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha merupakan sebuah hasil kesatuan dari elemen-elemen seni tari, karawitan, rupa dan drama yang saling berkaitan dan dirakit menjadi suatu struktur pertunjukan secara utuh. Analisis bentuk

Wayang Bocah Srikandhi Kridha didukung dengan landasan pemikiran Rustopo dalam Widyastutieningrum yang terdapat di buku Sejarah Tari Gambyong Seni Rakyat Menuju Istana, bahwa bentuk seni adalah hasil ciptaan seniman yang merupakan wujud dari ungkapan isi ke dalam bentuk fisik dan bentuk ungkap. Wayang Bocah yang merupakan dramatari berdialog yang tentu di dalamnya terdapat struktur-struktur internal dalam tari seperti gerak, ruang dan waktu yang diproses memunculkan dinamika. Selain itu, unsur eksternal tari juga mencakup vokal (dialog, monolog, tembang) dan desain tata rias busana yang digunakan untuk memperkuat pemeranan tokoh.

Pada pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha memiliki unsur bentuk ungkap sekunder untuk menyampaikan garapan nilai-nilai kehidupan dengan menampilkan alur cerita melalui susunan adegan atau struktur pertunjukan yang ditata sedemikian rupa. Dengan harapan penonton akan dapat lebih mudah memahami susunan dramatik yang diungkapkan atau makna dari lakon Srikandhi Kridha. Penulis menguraikan bentuk terbagi menjadi 8 unsur yaitu struktur sajian, ragam gerak dan musik tari, rias dan busana, pembagian penari kelompok dan penari tunggal, pola lantai, properti, dan tempat pentas.

Struktur Sajian

Pengertian struktur tari menurut Martin dan Pesovar mengacu pada tata hubungan atau sistem korelasi diantara bagian-bagian dari sebuah keseluruhan dalam kontruksi organik bentuk tari

(10)

(Sumandiyo Hadi, 2007:82). Pendapat ini dijelaskan dengan memahami struktur tari yang berhubungan dengan tata urutan perbagian tari yang di kelompokan pada beberapa bagian membentuk sebuah pertunjukan tari. Pada pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha secara keseluruhan dibagi menjadi 8 adegan.

Ragam Gerak

Ragam gerak tari pada pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha didasarkan pada vokabuler gerak tari gaya Surakarta putri dan gagah. Penjelasan ragam gerak tari seperti yang dijelaskan oleh Didik Bambang Wahyudi dalam buku Bahan Ajar Tari Gaya Surakarta II, menjelaskan bahwa: Ragam gerak tari adalah kesatuan motif-motif gerak yang terangkai menjadi satu kesatuan yang biasa disebut dengan vokabuler gerak.

Dalam dunia tari tradisi, vokabuler gerak dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu gerak inti yang biasa disebut dengan sekaran/kembangan, gerak penghubung, dan gerak khusus. Gerak inti adalah vokabuler gerak yang disajikan pada bagian beksan, misalnya beksan kinantang, beksan sidangan, dan lain sebagainya. Gerak penghubung adalah gerak antara yang berfungsi mengubungkan antara satu vokabuler dengan vokabuler lain, misalnya gerak sabetan, besut, dan ombak banyu.

Sedangkan gerak khusus adalah gerak yang mncirikan tema atau karakter tari, misalnya jurus, perang, gandrungan, dan lain sebagainya (2011: 39).

Musik Tari

Musik tari merupakan salah satu elemen terpenting dalam tari. Menurut

Soedarsono dalam bukunya yang berjudul Pengantar Pengetahuan Tari dan Komposisi Tari, bahwa musik dalam tari bukan sekedar iringan, akan tetapi merupakan partner yang tidak dapat ditinggalkan dalam tari bahkan pada jaman pra sejarah sampai sekarang dapat dikatakan jika dimana ada tari disana ada musik (1978:26). Bentuk gendhing yang digunakan untuk mengiringi Wayang Bocah Srikandhi Kridha dipilih dan diselaraskan dengan suasana adegan yang ditampilkan. Musik garap iringan wayang menggunakan seperangkat gamelan Jawa dengan laras pélog atau laras sléndro. Iringan gamelan pada garap Wayang Bocah Srikandhi Kridha mengikuti aturan iringan pertunjukan wayang kulit khususnya mengenai pengaturan pathet.

Rias dan Busana

Pada pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha, rias yang digunakan merupakan tata rias yang dikategorikan dalam tata rias karakter. Sama seperti yang diungkapkan Nurani bahwa rias karakter dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu tata rias realistis dan tata rias non realistis.

Tata rias realistis pada umumnya dipakai oleh karakter tokoh wayang yang berwujud manusia, sedangkan tata rias non realistis hanya berlaku untuk karakter tokoh-tokoh tertentu.

Kostum atau busana yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha merupakan kostum yang biasa digunakan dalam pertunjukan wayang konvensional, hanya diberi sentuhan- sentuhan modifikasi kostum pada peran tertentu seperti kostum yang digunakan oleh para tokoh. Dimulai dari Sembet;

(11)

perlengkapan busana tari yang terbuat dari bahan-bahan benang atau kain yaitu antara lain sinjang/nyamping/jarik, celana panji- panji, celana bludru atau cinde, sabuk, mekak, ilat-ilatan, serta slepe, sampur, kace, epek, boro samir, dan srempang serta deker.

Dilanjutkan dengan penjelasan busana tari yang terbuat dari bahan kulit diantara lain:

irah-irahan tropong/mekhutha, sumping mangkara merupakan pelengkap dari irah- irahan dan hiasan yang dipakai pada telinga, klat bahu merupakan hiasan yang terletak pada lengan kanan dan kiri, uncal (badhong) merupakan perlengkapan busana tari yang terdiri dari dua macam bahan yaitu badhong dan uncal terletak di depan kemaluan penari, praba merupakan atribut khusus tokoh wayang yang memiliki perbawa atau charisma tertentu terletak di bagian punggung penari. Di dalam pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha, semua pemeran menggunakan rias dan busana sesuai dengan peran yang dibawakan (Nuraini, 2011:64).

Pembagian Penari Kelompok dan Penari Tunggal

Sumandiyo Hadi dalam bukunya yang berjudul Koreografi Bentuk-Teknik-Isi mengungkapkan bahwa penari adalah media ekspresi atau penyampai dalam mewujudkan sajian tari. Dalam koreografi kelompok, harus dapat menjelaskan secara konseptual alasan pertimbangan dan penjelasan mengenai pemilihan jumlah penari, jenis kelamin atau bahkan postur tubuh penari yang dipakai (2002:91).

Pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha merupakan pertunjukan wayang orang yang disajikan oleh anak-anak

sejumlah 213 penari. Terbagi menjadi penari tunggal dan penari kelompok. Penari tunggal pada pertunjukan ini dapat dikatakan sebagai tokoh dalam pertunjukan. Penokohan seperti yang dijelaskan di atas disebut penokohan secara dramatik, yaitu pengarang tidak langsung menceritakan watak-watak tokoh ceritanya.

Adapun penokohan dalam pertunjukan Wayang Bocah lakon Srikandhi Kridha terdiri dari tokoh utama, tokoh pendukung. Peran tokoh utama terdiri dari Bumiraja, Srikandhi, dan Drupada. Sedangkan penari tokoh pendukung terdiri dari Patih Danapati, Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Gandawati, dan Drupadi.

Adapun penari kelompok meliputi penari kelompok cakil sejumlah 3 orang anak laki-laki, penari kelompok yagsa sejumlah 4 orang anak laki-laki, penari kelompok prajurit putra Malayapura sejumlah 30 orang anak laki-laki, penari kelompok prajurit kuda Malayapura sejumlah 38 orang anak wanita, penari kelompok prajurit Bhayangkari sejumlah 30 orang anak wanita, penari kelompok hewan kupu-kupu sejumlah 16 orang anak wanita, penari kelompok hewan angsa sejumlah 9 orang anak wanita, penari kelompok hewan merak sejumlah 13 orang anak wanita, penari kelompok hewan kelinci sejumlah 15 orang anak wanita, penari kelompok hewan kidang sejumlah 17 orang anak wanita, penari kelompok bedayan Mandaraka sejumlah 15 orang anak wanita. Pemilihan jumlah penari yang bermacam-macam dengan tujuan menambah nilai estetika visual dalam penyusunan pola lantai dan ruang panggung yang luas tidak terkesan sempit. Pemilihan penari kelompok

(12)

maupun penari tokoh awalnya dilihat dari kondisi sosiologis, psikologi, fisiologis calon penari. Prosedur pemilihan penari seperti diatas, diharapkan penari dapat mengikuti pola-pola dan kualitas gerak yang dinamis.

Properti

Pada pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha menggunakan berbagai properti seperti: Gendewa, Candrasa, Cundrik, Keris, Eblek jaran. Gendewa merupakan properti berbentuk busur panah yang digunakan oleh Srikandhi, dalam pemakaiannya hampir pada seluruh adegan Gendewa tak lepas dari tangan Srikandhi.

Candrasa merupakan properti jenis senjata yang digunakan oleh Bumiraja untuk melawan Srikandhi pada adegan perang akhir. Cundrik merupakan properti jenis senjata yang digunakan oleh Srikandhi untuk melawan Prabu Bumiraja pada adegan perang akhir. Keris adalah senjata yang digunakan oleh tokoh tertentu sebagai alat perlindungan diri. Eblek jaran merupakan properti tari dengan meniru bentuk hewan kuda digunakan prajurit putri Malayapura.

Penggunaan properti diatas sangat berpengaruh pada pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha berkaitan dengan maksud penciptaan karya dan sebagai penunjang capaian pesan moral yang akan disampaikan. Selain properti diatas, adapun properti yang berada pada bagian kostum yang digunakan oleh penari yaitu sampur, sayap-sayapan. Properti sampur digunakan hampir pada setiap adegan selama pertunjukan, sedangkan sayap-sayapan digunakan pada adegan hutan yang terletak pada bagian tengah pertunjukan. Namun

demikian properti kain ini lebih tepat disebut dengan bagian dari tata busana.

Karena properti pada umumnya merupakan alat atau sesuatu yang terlepas dari badan.

Pola Lantai

Dalam pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha menerapkan berbagai macam pola lantai yang sering digunakan dalam pertunjukan wayang orang konvensional. Penerapan pola lantai pada pertunjukan ini tentunya melalui berbagai pertimbangan mengingat jumlah penari yang tidak sedikit. Pola lantai dibuat sedemikian rupa supaya penari yang masih berusia dini dapat paham terhadap posisi yang harus mereka tempati.

Tempat Pentas

Pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha dilaksanakan di Gedung Teater Besar “Gendhon Humardani” Institut Seni Indonesia Surakarta, dengan panggung yang berbentuk proscenium. Panggung proscenium merupakan bentuk panggung yang memiliki batas dinding proscenium antara panggung dengan oditoriumnya.

Pada dinding proscenium tersebut terdapat pelengkung proscenium dan lubang proscenium (1988:105).

Bentuk pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha terlihat layaknya pertunjukan wayang orang konvensional, hanya saja pemeran merupakan anak-anak.

Para pemeran dalam pertunjukan mampu membawakan peran masing-masing, melalui gerak tari, antawecana, tembang serta rias dan busana. Kesatuan dari berbagai elemen seni menjadikan alur garap

(13)

dan dramatik dapat tersampaikan kepada penonton.

PENUTUP

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa garap Wayang Bocah Srikandhi Kridha mempertimbangkan unsur-unsur garap dalam tahap penggarapannya.

Pertimbangan tersebut berupa penyesuaian- penyesuaian segala elemen dalam pertunjukan wayang orang, yang selalu berorientasi pada perkembangan kejiwaan anak. Penggarapan yang diperhatikan secara mendetail dan digarap oleh para penggarap yang berkompeten, ternyata mampu menghasilkan sebuah bentuk pertunjukan Wayang Bocah seperti layaknya pertunjukan professional. Selain itu nilai- nilai yang terdapat dalam Wayang Bocah Srikandhi Kridha, dapat dipahami dan tertuang dengan tepat sehingga para pemeran dapat menampilkan peran atau tokoh masing-masing.

Bentuk pertunjukan professional yang dimaksud merupakan pertunjukan yang tetap mempertimbangkan nilai-nilai estetis dan kualitas penyajian. Para pemeran yang terdiri dari anak-anak usia anak hingga remaja mampu menampilkan peran masing-masing melalui gerak tari, pengkarakteran tokoh, antawecana, tembang serta rias dan busana. Pertunjukan Wayang Bocah lakon Srikandhi Kridha karya Jonet Sri Kuncoro menjadi tempat edukasi tentang seni pertunjukan wayang orang dengan pemeran anak-anak, bagi para pemeran serta penonton yang mayoritas anak-anak sampai remaja. Wayang Bocah tersebut juga menjadi tempat atau wadah bagi para pemeran dalam menuangkan

kreatifitasnya. Garap dan bentuk pertunjukan Wayang Bocah Srikandhi Kridha, secara tidak langsung merupakan upaya peningkatan apresiasi dan kaderisasi terhadap pertunjukan wayang orang. Selain itu karya Jonet Sri Kuncoro ini juga merupakan upaya sanggar tari Soerya Soemirat dalam menjaga eksistensi sanggar.

DAFTAR PUSTAKA

Hersapandi, 1999. “Wayang Wong Sriwedari:

Suatu Perjalanan dari Seni Istana Menjadi komersial”, Tesis S2.

Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Moleong, Lexi J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nuraini, Indah. 2011. Tata Rias&Busana Wayang Orang Gaya Surakarta.

Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.

Padmodarmaya, Pramana. 1988. Tata dan Teknik Pentas. Jakarta: Balai Pustaka.

Supanggah, Rahayu. 2007. Bhotekan Karawitan II: Garap. Surakarta: ISI Press.

Soedarsono, R.M. 1978. Pengantar Pengetahuan Tari dan Komposisi Tari.

Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia.

Wahyudi, Didik Bambang. 2016.

Keprajuritan Tari Gaya Surakarta II.

Surakarta: ISI Press.

(14)

Widyastutieningrum, Sri Rochana. 2011.

Sejarah Tari Gambyong Seni Rakyat Menuju Istana. Surakarta: ISI Press Surakarta.

Y. Sumandiyo Hadi. 2002. Aspek-aspek Koreografi Kelompok. Yogyakarta:

Perpustakaan Nasional.

. 2007. Kajian Teks dan Konteks. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Narasumber

Aloysia Neneng Yunianti, (37 tahun), seniman tari, koreografer karya Wayang Bocah Srikandhi Kridha, pelatih tari Sanggar Tari Soerya Soemirat GPH Herwasto Kusumo.

Angger Widhi Asmara, (31 tahun), seniman karawitan, komposer karya Wayang Bocah Srikandhi Kridha.

Jonet Sri Kuncoro, (56 tahun), seniman tari, sutradara karya Wayang Bocah Srikandhi Kridha, pelatih tari Sanggar Tari Soerya Soemirat GPH Herwasto Kusumo, dosen tari di Institut Seni Indonesia Surakarta.

Mauritius Tamdaru, (25 tahun), seniman tari, koreografer karya Wayang Bocah Srikandhi Kridha, pelatih tari Sanggar Tari Soerya Soemirat GPH Herwasto Kusumo, asisten dosen tari di Institut Seni Indonesia Surakarta.

Sutrisno, (46 tahun), seniman tari, penyusun naskah karya Wayang Bocah Srikandhi Kridha, pelatih tari Sanggar Tari Soerya Soemirat GPH Herwasto Kusumo, aparatur sipil negara di Dinas Kebudayaan Kota Surakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Qualification Date Degree University Collage Scientific Department Specialization General Specific 1 Bachelor of Science 1997 Very good with honor degree Benha Science Zoology

Gatchalian Adventist University of the Philippines Abstract Clinically, a lot of elderly suffer from an oral mucosa condition and most lose their teeth from a young age due to