1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, demikianlah isi Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) setelah Amandemen ke-2. Uraian diatas dapat dipahami bahwa akses masyarakat terhadap pemberitaan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang diakui dan dilindungi oleh negara, sehingga pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, serta pengelolaannya serta pemanfaatannya dijamin oleh Undang-Undang.
Pemerintah selaku penanggung jawab negara, dan dalam rangka menjamin terlaksananya UUD NRI Tahun 1945, menerbitkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dimana dalam dasar pertimbangannya termuat bahwa untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disingkat UU ITE) agar terwujud keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum. Bahwa
2
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Aturan-aturan ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yakni pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang.
Sanksi bagi pelaku hoaks dalam UU ITE pada Pasal 28 ayat (1) dan (2) menyebutkan :
(1) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mnyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”.
(2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
Ketentuan pidana pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Pasal 45A ayat (1) dan (2) menyebutkan :
(1) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dan mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
(2) “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pengaturan sanksi pidana merupakan amanat dari UU ITE disebutkan dalam konsideran huruf f ditegaskan dalam bab menimbang dari UU ITE, yang
3
merupakan dasar filosofis atau latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang ITE, huruf f bahwa: Pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan teknologi informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.
Di sinilah perlunya dirumuskan latar belakang atau alasan penggunaan pidana tersebut, atau yang biasa disebut dengan perumusan tujuan pemidanaan.
Terdapat empat sebab, mengapa perlu dirumuskan tujuan pemidanaan, yaitu:
1. Adanya tujuan pemidanaan dapat berfungsi menciptakan sinkronisasi yang dapat bersifat fisik maupun kultural. Sinkronisasi fisik berupa sinkronisasi struktural, dan dapat pula bersifat substansial. Bentuk dari sinkronisasi struktural adalah keselarasan dalam mekanisme administrasi peradilan pidana, sedangkan sinkronisasi substansial berkaitan dengan hukum positif yang berlaku, dan sinkronisasi kultural dalam kaitan menghayati pandangan, sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.1
2. Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai “fungsi pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.2
3. Dengan dirumuskannya tujuan pemidanaan, maka akan diketahui fungsi pendukung dari fungsi hukum pidana secara umum yang ingin dicapai sebagai
1 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal. 1-2.
2 Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, 1996, Bandung, hal. 152.
4
tujuan akhir berupa terwujudnya kesejahteraan dan perlindungan masyarakat (social defence dan social welafare).
4. Berkaitan dengan tiga alasan masih diperlukannya hukum pidana sebagaimana dikemukakan oleh Roeslan Saleh, yaitu: “Pengaruh pidana atau hukuman bukan semata mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat”.3
Kecanggihan teknologi komputer disadari telah memberikan kemudahan, terutama dalam membantu pekerjaan manusia. Selain itu, perkembangan teknologi komputer menyebabkan munculnya kejahatan-kejahatan baru yaitu dengan memanfaatkan komputer sebagai modus operasinya. Penyalahgunaan komputer dalam perkembangannya menimbulkan persoalan yang sangat rumit, terutama kaitannya dengan proses pembuktian pidana. Penggunaan komputer sebagai media untuk melakukan kejahatan memiliki tingkat kesulitan tersendiri dalam pembuktiannya. Hal ini dikarenakan komputer sebagai media memiliki karakteristik tersendiri atau berbeda dengan kejahatan konvensional yang dilakukan tanpa komputer.4
Kehadiran internet ditengah masyarakat New Media ini hampir mendominasi seluruh kegiatan manusia, bahkan internet bukan hanya tempat mencari informasi saja tetepai kini menjadi sumber pendapatan baik individu
3 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hal. 27.
4 Maskum, Kejahatan Cyber Crime, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2017, hal.
2.
5
maupun lembaga.5 Perkembangan internet di dunia amatlah pesat termasuk di Indonesia, apalagi setelah kemunculan telepon pintar (Smartphone).
Penggunanyapun beragam, mulai dari orang dewasa hingga anak sekolah dasar.
Juga dari beragam latar belakang ekonomi.6 Penggunaan internet secara meluas ini pada satu sisi membawa perubahan yang positif pada bidang kehidupan, bidang politik, sosial, ekonomi dan sebagainya. Namun pada sisi lain menimbulkan perubahan paradigma dalam studi mengenai kejahatan.7
Kasus hoaks ataupun kasus terindikasi hoaks melalui media sosial pada 3 (tiga) tahun terakhir terus meningkat tajam, terutama menjelang Pemilihian Umum (Pemilu). Isu sosial politik serta SARA mengalami peningkatan dalam pola penyebaran hoaks melalui media sosial. Jumlah ini tentu saja akan terus mengalami peningkatan mengingat jumlah pengguna aktif ponsel di Indonesia saat ini telah mencapai 281,9 juta masyarakat berserta SIM cardnya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dengan judul Penjatuhan Sanksi Terhadap Pelaku Hoaks Melalui Media Sosial Dalam Perspektif Tujuan Pemidanaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah apakah penjatuhan sanksi terhadap pelaku hoaks melalui media sosial dapat menimbulkan efek jera?
5 Apriadi Tamburaka, Literasi Media Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, Rajagrafindo Persada, Depok, 2013, hal. 75.
6 Asril Sitompul, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 71.
7 Agus Raharjo, Pemahaman Dan Upaya Upaya Pencegahan Berteknologi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 201.
6
C. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan Penelitian ini adalah :
1. Mengkaji dan menganalisa penjatuhan sanksi terhadap pelaku hoaks melalui media sosial dalam perspektif tujuan pemidanaan.
2. Sebagai salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun Kegunaaan Penelitian ini adalah :
1. Mengetahui penjatuhan sanksi terhadap pelaku hoaks melalui media sosial dalam perspektif tujuan pemidanaan.
2. Diharapkan memberikan sumbang pikiran bagi ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan penjatuhan sanksi terhadap pelaku hoaks melalui media sosial.
E. Kerangka Teoritis
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata
“pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan”
diartikan sebagai penghukuman.8 Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban, dan juga masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori
8 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal.
3.
7
konsekuensialisme. Pidan dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.
Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidan atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagi berikut :
1. Pemberian pidana oleh pembuat Undang-Undang.
2. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang.
3. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.
Dalam masalah pemidanaan dikenal dua sistem atau cara yang biasa diterapkan mulai dari jaman W.V.S (Wetboek van Strarecht) belanda sampai dengan sekarang yakni dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) :
1. Bahwa orang yang dipidana harus menjalani pidananya di dalam tembok penjara. Ia harus diasingkan dari masyarakat ramai terpisah dari kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana juga harus dilakukan dibalik tembok penjara.
2. Bahwa selain narapidana dipidana, mereka juga harus dibina untuk kembali bermasyarakat atau rehabilitasi/resosialisasi.
Dalam KUHP penjatuhan pidana pokok hanya boleh satu macam saja dari tindak pidana yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok yang diancamkan
8
secara alternatif pada pasal tindak pidana yang bersangkutan.tidak dibenarkan penjatuhan pidana pokok yang diancamkan pada pasal tindak pidana yang bersangkutan. Untuk pidana pokok masih dapat satu atau lebih pidana tambahan seperti termasuk dalam pasal 10b, dikatakan dapat berarti penambahan pidana tersebut adalah fakultatif. Jadi pada dasarnya dalam sistem KUHP ini tidak diperbolehkan dijatuhi pidana tambahan mandiri tanpa penjatuhan pidana pokok, kecuali dalam Pasal 39 (Pendidikan paksa) dan Pasal 40 (pengembalian anak yang belum dewasa tersebut pada orang tuanya).
Mengenai maksimum pidana penjara dalam KUHP adalah maksimum 15 (lima belas tahun) dan hanya boleh dilewati menjadi 20 (dua puluh tahun), sedangkan minimum pidana penjara teratas adalah satu hari sebagaimana diatur dalam Pasal 12 KUHP. Sedangkan mengenai maksimum pidana kurungan dalah satu tahun dan hanya boleh dilewati menjadi satu tahun empat bulan, dalam hal ada pemberatan pidana karena pengulangan, perbarengan, atau karena ketentua Pasal 52-52a. adapun minimu pidana kurungan adalah satu hari sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 KUHP.
Ada beberapa teori-teori yang dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan sebenarnya untuk apa pemidaan itu dijatuhkan. Menurut Adami Chazawi teori pemidanaan dapat dikelompokkan dalam 3 (tuga) golongan besar, yaitu :9
9 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 Stelstel Pidana, Teori-teori Pemidanan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Raja Gravindo, Jakarta, 2002, hal. 153.
9
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
Dasar pijakan teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenaran dari penjatuhan pederitaan berupa pidana itu kepada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan pemerkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat, negara) yang telah dilindungi. Maka oleh karena itu ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya.
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai 2 (dua) arah, yaitu :
a. Ditujukan kepada penjahatnya (sudut subyektif dari pembalasan)
b. Ditujiukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).
2. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien).
Teori relatif atau teori tujuan berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.
Untuk mencapai ketertiban masyarakat tadi, maka pidana mempunyai 3 macam sifat, yaitu :
a. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking)
b. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering) c. Bersifat membinasakan (onschadelijk maken) 3. Teori Gabungan (vernegins theorien).
10
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan ini adalah menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golangan besar, yaitu :
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tetib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Menurut Jhonny Ibrahim, metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk mengemukakan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif.10
2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis dengan alasan bahwa hasil yang digunakan dari studi kepustakaan selanjutnya dianalisis dan dibahas menggunakan alur pembahasan secara sistematis di dalam beberapa bab
10 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, 2008, hal. 56.
11
dengan demikian hasil analisis dan pembahasan tersebut selanjutnya dideskripsikan untuk memudahkan penarikan beberapa kesimpulan dan pengajuan saran.
3. Sumber Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer antara lain:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana b. Bahan hukum sekunder adalah publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yakni berupa hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, buku-buku dan literatur yang terkait dengan penelitian, serta artikel di yang berhubungan dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum resmi yang memberi kejelasan dan pentujuk secara resmi kepada bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu: Internet, Majalah hukum
12
4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum
a. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi kepustakaan (Library research) yaitu mengumpulkan bahan-bahan hukum yang terkait untuk memperoleh informasi yang objektif dan akurat, baik dari buku-buku, undang-undang, hasil penelitian maupun internet. Pengumpulan bahan- bahan hukum dilakukan dengan menyusun berdasarkan subjek yang diinginkan, selanjutnya dipelajari kemudian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang dibahas.
b. Analisa bahan hukum atau metode analisis yang dipakai untuk menganalisis bahan hukum yang telah terhimpun adalah metode analisis kualitatif, yaitu bahan hukum yang diperoleh kemudian disusun secara sistematik untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif berdasarkan disiplin ilmu hukum pidana untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan ini terdiri dari 4 (empat) bab. Bab I merupakan pendahuluan, meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritis, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II merupakan tinjauan pustaka membahas tentang perkembangan hoaks melalui media sosial, tujuan pemidanaan, pengertian hoaks dan media sosial. Bab III merupakan hasil dan pembahasan membahas tentang jenis-jenis sanksi dalam KUHP dan UU ITE, penjatuhan sanksi terhadap pelaku hoaks melalui media sosial, dan upaya penanggulangan hoaks melalui media sosial. Bab IV merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.