• Tidak ada hasil yang ditemukan

biowal v4 no 3 hal 71-80- Daya tarik

N/A
N/A
ita farista

Academic year: 2025

Membagikan "biowal v4 no 3 hal 71-80- Daya tarik"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

71 Vol. 4 No. 3, p. 71-80

ISSN: 2442-2622

KAJIAN OBYEK DAN DAYA TARIK TAMAN WISATA ALAM KERANDANGAN UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI

LOMBOK BARAT

Baiq Farista* dan Arben Virgota

Program Studi Biologi Universitas Mataram, Jl. Majapahit 62 Mataram, Nusa Tenggara Barat

*[email protected] ABSTRAK

Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata yang dapat dilaksanakan di Taman Wisata Alam Kerandangan (TWAK). Ekowisata diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya alam. Pengembangan ekowisata di TWAK harus sesuai dengan fungsi kawasan. Oleh sebab itu perlu diketahui nilai potensi daya tarik TWAK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di TWAK. Analisis potensi obyek dan daya tarik wisata alam menggunakan pedoman Analisis Daerah Operasi– Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA) Ditjen PHKA 2003. Hasil penelitian menunjukkan TWAK memiliki potensi obyek dan daya tarik wisata alam yang layak untuk dikembangkan dengan nilai indeks kelayakan sebesar 120,19. Obyek dan daya tarik wisata alam yang perlu dikembangkan meliputi keindahan bukit dan lembah, sungai dan air terjun serta keanekaragaman flora dan fauna.

Kata Kunci: Taman Wisata Alam, daya tarik wisata, Pulau Lombok.

PENDAHULUAN

Taman Wisata Alam

Kerandangan (TWAK) merupakan salah satu kawasan konservasi yang terdapat di Pulau Lombok. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata alam dan rekreasi. TWAK terletak pada kawasan pusat wisata yang ada di kabupaten Lombok Barat yaitu Desa Senggigi. Pemerintah Kabupaten Lombok Barat telah menetapkan kawasan Senggigi dan sekitarnya sebagai kawasan strategis untuk pengembangan pariwisata (Pemkab. Lombok Barat, 2011).

Kawasan Senggigi menawarkan pariwisata bahari dengan keindahan pantai berpasir putih.

Posisi TWAK yang strategis ini membuka peluang yang besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata

alternatif di kawasan Senggigi. TWAK merupakan kawasan hutan musim yang menjadi habitat beragam jenis flora dan fauna khas P. Lombok ataupun Nusa Tenggara. Kekayaan hayati tersebut merupakan atraksi wisata yang unik yang tidak ditemukan di tempat lainnya. Selain itu TWAK juga memiliki keindahan lanskap yaitu perbukitan, sungai dan air terjun musiman. Potensi flora dan fauna serta keindahan lanskap dapat menjadi daya tarik wisata (Ceballos-Lascurain &

Tepepan, 2001). Pemandangan dan penampilan lanskap merupakan faktor penting untuk kepuasan wisatawan (Aniah, dkk 2009). Ciri khas suatu daerah merupakan modal dasar sebagai daya tarik untuk mengembangkan pariwisata dan merupakan elemen inti produk pariwisata. Tanpa adanya daya tarik wisata yang khas, kepuasan dalam berwisata tidak akan tercapai, meskipun sarana dan prasarana pariwisata tersedia

(2)

72

(Haryani, 2014). Dilihat dari jumlah kunjungan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun maka TWAK sangat potensial dikembangkan sebagai destinasi wisata alternative di kawasan Senggigi (BKSDA NTB, 2015).

Penerapan konsep ekowisata diharapkan dapat menjembatani antara kepentingan pelestarian alam dan kepentingan ekonomi. McCool dan Moisey (2008) menjelaskan bahwa ekowisata merupakan alat konservasi sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati dan budaya, dan juga alat bagi pembangunan berkelanjutan. Sebagai konsep pariwisata yang berkelanjutan, ekowisata dikembangkan dalam skala kecil, dirancang untuk melindungi sumberdaya alam, budaya serta menguntungkan masyarakat lokal. Ekowisata menjadi bagian dari strategi pengelolaan kawasan konservasi. Ekowisata dirancang untuk 1) Memberikan dampak negatif minimum terhadap ekosistem; 2) Memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal;

3) Melibatkan seluruh stakeholders dalam pengembangannya; 4) Dapat dilakukan pemantauan untuk mengetahui adanya dampak negatif ataupun dampak positif (Drumm & Moore, 2005). The International Ecotourism Society (1990) dalam Drumm & Moore (2005) mendefinisikan ekowisata adalah

“perjalanan bertanggung jawab ke kawasan alami untuk mengkonservasi lingkungan dan memperbaiki kesejahteraan lokal”.

Ekowisata di yakini bukan hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun juga kelestarian sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati sebagai obyek dan daya tarik wisata. Konsep ekowisata ini dipandang penting untuk diterapkan di TWAK. Oleh karena itu, sebagai langkah awal pengembangan ekowisata di TWAK maka perlu dilakukan kajian mengenai potensi daya tarik wisata di TWAK.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-April 2015 di TWAK Kabupaten Lombok Barat. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Peta Rupa Bumi Indonesia untuk kawasan TWAK, Peta tata batas kawasan TWAK, Peta administrasi pemerintahan, Peta RT/RW Kabupaten Lombok Barat, kuesioner/angket.

Alat-alat yang digunakan untuk survei lapangan adalah alat tulis, peralatan analisis vegetasi, teropong, handcounter, Global Positioning System (GPS), kamera digital, tape recorder.

Data potensi daya tarik wisata alam di TWAK dikumpulkan dengan metode observasi di lapangan dan studi literatur.

Observasi lapangan dilakukan dengan tujuan untuk menginventarisasi dan memverifikasi hasil studi pustaka dan informasi yang diperoleh dari pihak pengelola mengenai potensi obyek dan daya tarik wisata. Data potensi daya tarik wisata alam yang dikumpulkan meliputi:

1. Kondisi fisik kawasan; unsur yang diamati adalah karakter lanskap yaitu lembah, bukit, sungai air terjun, dan hutan

2. Kondisi biologi; unsur yang diamati adalah keanekaragaman flora dan fauna yang dapat diamati di dalam kawasan.

Pengambilan data flora dilakukan dengan metode transek. Transek ditempatkan pada tegak lurus garis sungai, dari bagian hilir hingga hulu sungai. Pada tiap transek ditempatkan plot pengamatan, jarak antar plot 20 m. Total jumlah transek yang digunakan sebanyak 11 transek dengan jumlah plot pengamatan sebanyak 45 plot. Metode ini dimaksudkan untuk menginventarisasi kekayaan flora TWAK yang potensial sebagai obyek dan daya tarik wisata. Data fauna dikumpulkan menggunakan metode jelajah yaitu dengan melakukan penjelajahan di sepanjang jalur trail wisata. Data yang dikumpulkan meliputi keanekaragaman jenis burung dan sebaran spasialnya; jumlah dan ukuran populasi monyet hitam (Trachypithecus

(3)

73 auratus) dan monyet abu-abu (Macaca

fascicularis). Selain itu dilakukan juga studi literatur untuk mengetahui potensi keanekaragam kupu-kupu.

3. Daya tarik; unsur yang diamati meliputi keunikan, kepekaan, variasi kegiatan, sumberdaya alam yang menonjol, kebersihan lokasi, keamanan, kenyamanan

4. Aksesibilitas; unsur yang diamati adalah kondisi dan jarak jalan dari pusat kota, tipe jalan

5. Akomodasi; dilakukan dengan melihat dan mencari informasi mengenai penginapan dalam radius 15 km dari obyek

6. Sarana-prasarana penunjang; meliputi kantor pos, jaringan telepon, Puskesmas, jaringan listrik, jaringan air minum, rumah makan, pusat perbelanjaan/pasar, bank, toko souvenir.

7. Ketersediaan air bersih; unsur yang diamati meliputi volume, jarak sumber air terhadap lokasi obyek. Dapat tidaknya/kemudahan air dialirkan ke obyek, kelayakan dikonsumsi dan kontinuitas.

Data potensi keanekaragaman flora dan fauna ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Potensi ekowisata di TWAK dinilai dengan menggunakan Pedoman Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA) yang telah dimodifikasi dari Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA 2003). Lima komponen utama yang menjadi dasar penilaian adalah daya tarik, aksesibilitas, kondisi lingkungan sosial ekonomi, akomodasi, serta prasarana dan sarana penunjang. Setiap komponen ditentukan nilai bobotnya dengan mengggunakan Analitical Hierarchy Process (AHP) dengan bantuan perangkat lunak Expert Choice 11. Responden AHP yang digunakan berjumlah 5 orang yaitu 1 orang pengelola ekosistem hutan BKSDA, 1 orang polisi hutan, 2 orang guide dan peneliti. AHP merupakan teori pengukuran relatif melalui perbandingan berpasangan untuk memperoleh skala prioritas. Selanjutnya, perhitungan

jumlah nilai ODTWA dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

S = N x B Keterangan:

S = skor/nilai suatu kriteria

N = jumlah nilai unsur pada kriteria B = bobot nilai

Hasil penilaian ODTWA ini kemudian diklasifikasikan tingkat kelayakan untuk pengembangan potensi ODTWA menjadi 3 kelas yaitu 1).

Rendah; 2) Sedang; dan 3) Tinggi;

dengan menggunakan perhitungn:

Interval = Nilai maksimal −Nilai Minimal Banyaknya klasifikasi

Hasil pengolahan data mengenai Potensi daya tarik wisata di TWAK kemudian dijabarkan secara deskriptif.

Hasil penilaian seluruh kriteria obyek dan daya tarik wisata digunakan untuk menentukan prioritas dalam perencanaan pengembangan ekowisata di TWAK.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Potensi Daya tarik wisata alam TWAK

Proses penilaian obyek dan daya tarik wisata alam (ODTW) TWAK dimulai dengan menentukan bobot masing-masing kriteria penilaian yaitu daya tarik, aksesibilitas, kondisi lingkungan sosial ekonomi, akomodasi, serta prasarana dan sarana penunjang.

Nilai bobot yang diperoleh sebagai berikut:

Tabel 1. Bobotsetiap komponen utama penilaian ODTWA

Inconsistency 0.03 < 0.10, artinya jawaban responden telah konsisten

Selanjutnya, penilaian Potensi ODTW TWAK dilakukan dengan memberikan nilai (score) pada masing-

No. Kriteria daya tarik wisata TWAK

Bobot

1. Daya tarik 0.462

2. Aksesibilitas 0.261

3. Kondisi Sosial ekonomi 0.047

4. Akomodasi 0.112

5. Prasarana dan saranapenunjang 0.119

Inconsistency 0.03

(4)

74

masing elemen penilaian pada tiap komponen utama penilaian. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kriteria daya tarik memiliki nilai Tinggi, yaitu 71.61 (Tabel 1). Nilai ini memberikan makna bahwa kawasan hutan TWAK sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Kondisi fisik dan biologi kawasan menyediakan beberapa atraksi yang menjadi daya tarik kawasan TWAK.

Tabel 3. Penilaian kriteria daya tarik TWAK

No Unsur/Sub Unsur Nilai

(score)

Bobot x score 1 Keunikan sumberdaya alam 30 13.86 2

Potensi sumberdaya alam

yang menonjol 20 9.24

3

Kegiatan wisata yang dapat

dilakukan : 30 13.86

4

Kebersihan, obyek wisata

dipengaruhi 25 11.55

5 Kenyamanan 25 11.55

6 Keamanan 25 11.55

Jumlah Bobot x score 71.61

Sumber: data primer Keterangan:

Rendah = 27.72 – 46.20 Sedang = >46.20 – 64.68 Tinggi = >64.68

Karakter lanskap TWAK berbeda dengan kawasan sekitarnya. Kawasan sekitar TWAK merupakan kawasan pantai yang menjadi pusat kegiatan wisata bahari di Kabupaten Lombok Barat, sedangkan Kawasan TWAK merupakan kawasan hutan. Kesatuan bentuk lahan, tutupan vegetasi dan kekayaan fauna yang ada di dalamnya dapat menjadi daya tarik wisata di TWAK. Daya tarik wisata terdiri atas semua elemen ‘non home’ yang menyebabkan seseorang melakukan perjalanan jauh dari rumahnya. Daya tarik meliputi lanskap untuk diamati, aktivitas wisata yang dapat dilakukan dan pengalaman yang dapat diingat (Lew, 1987).

Selain itu, keunikan TWAK juga ditunjukkan oleh keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Keanekaragaman flora dan fauna sangat menentukan daya tarik dan kualitas suatu daerah tujuan wisata (tourism destination), bahkan juga menentukan daya saing destinasi wisata tersebut, misalnya vegetasi alami memiliki berkontribusi yang besar terhadap daya tarik wisata (UNWTO, 2010).

Pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai daya tarik wisata merupakan pemanfaatan non konsumtif yang sangat mendukung upaya pelestarian lingkungan (Ceballos-Lascurain & Tepepan, 2001).

Beberapa atraksi alam yang potensial dikembangkan sebagai dayatarik wisata di TWAK meliputi:

a) Bukit dan Lembah

TWAK memiliki bentang alam berupa Lembah Kerandangan yang dibatasi oleh dua buah bukit yaitu Bukit Senggigi dan Bukit Mangsit. Bukit Senggigi memiliki ketinggian 650 m dpl dan Bukit Mangsit 630 m dpl. Bukit Senggigi pada posisi ketinggian 612,5 m dpl dapat dilihat pemandangan Kota Mataram dan Pantai Senggigi. Area ini dapat dicapai dengan waktu tempuh + 3 jam perjalanan dari Area Gerbang

b) Sungai dam Air terjun

Di dalam Kawasan TWAK terdapat Sungai Kerandangan dengan panjang sekitar 3.200 m. Pada aliran Sungai Kerandangan dapat dijumpai dua air terjun yaitu Air Terjun Putri Kembar dan Air Terjun Goa Walet yang bersifat musiman. Debit air sungai dan air terjun sangat dipengaruhi oleh jumlah curah hujan yaitu hanya berair pada saat musim hujan dan kering pada musim kemarau.

c) Flora dan fauna

Vegetasi hutan TWAK didominasi oleh jenis Dalbergia latifolia Roxb (sonokeling). Beberapa jenis vegetasi alami yang dijumpai di TWAK merupakan jenis endemik yaitu Mangifera timorensis Bl. (paok gawah), Lansium breviracemosum Kosterm (Ceruring gawah) dan Heritiera gigantea Kosterm (Prek mayung). M. timorensis merupakan tumbuhan asli Nusa Tenggara, sedangkan L. breviracemosum dan H. gigantea merupakan jenis

(5)

75 tumbuhan yang daerah persebarannya

hanya di Pulau Lombok, Sumbawa dan Flores (Monk dkk, 2000). Ketiga jenis tumbuhan endemik ini merupakan jenis tumbuhan asli yang masih tersisa di Hutan Kerandangan.

Pada kawasan Taman Wisata Alam Kerandangan juga bisa ditemukan beragam jenis burung. Enam jenis burung yang ditemukan merupakan jenis endemik Pulau Lombok dan Nusa Tenggara (Monk dkk, 2000). Burung endemik Pulau Lombok yang ditemukan adalah yaitu Lichmera lombokia (Kecial

kombok) dan Philemon

bucoroidesneglectus (Koak kiau), dan Otus jolande (Celepuk rinjani).

Jenis burung endemik Nusa Tenggara yang ditemukan di TWAK adalah Dicrurus densus (Srigunting wallacea), Nectarinia solaris (madu matari), Lalage suerii (Kapasan sayap putih).

Selain itu, ditemukan juga jenis- jenis burung yang dilindungi berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 (Presiden Republik Indonesia, 1999) yaitu Accipiter gularis (Elang alap jepang), Megapodius reinwardt (Gosong), Nectarinia jugularis (Madu sriganti), Nectarinia Solaris (Madu matari), Pitta elegans (Paokla'us). Jenis burung nocturnal yang ditemukan adalah O. jolande yang hanya bisa diamati pada malam hari (Gambar 3).

Penyebaran burung pada ekosistem hutan sangat erat hubungannya dengan strategi untuk memperoleh makanan. Habitat dengan kanopi yang relatif terbuka lebih disukai banyak jenis burung untuk melakukan aktifitasnya (Wisnubudi, 2009). Vegetasi dimanfaatkan oleh burung sebagai habitat untuk bersarang, beristirahat, mencari makan, berkembang biak dan lainnya.

Keanekaragaman habitat berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung (Crozier and Niemi 2003;Welty 1962).

Foto: koleksi pribadi Lichmera lombokia

(Kecial kombok)

Foto: koleksi pribadi Philemon bucoroides

(Koak kiau)

Foto: Saleh Amin Otus jolande (Celepuk rinjani) Gambar 1. Jenis burung endemikPulau Lombok yang ditemukan di TWAK

Sumber:Dokumen pribadi Dicrurus densus (Srigunting wallacea)

Sumber: Dokumen pribadi Nectarinia solaris

(Madu matari)

Sumber: BKSDA NTB Lalage suerii (Kapasan sayap putih) Gambar 2. Jenis burung endemik Nusa Tenggara yang ditemukan di TWAK

(6)

Sarkono: Bakteri Produsen Selulosa Cairan Limbah Fermentasi Nata

76

Foto: Saleh Amin Accipiter gularis

(Elang alap jepang)

Foto: Wahyudi Megapodius reinwardt

(Gosong)

Foto: koleksi pribadi Nectarini ajugularis

(Madu sriganti)

Foto: Wahyudi Pitta elegans

(Paokla'us)

Gambar 3. Jenis burung dilindung yang ditemukan

Di TWAK juga dapat ditemukan 30 jenis kupu-kupu dari tiga famili yaitu Papilionidae, Nymphalidae dan Pieridae.

Terdapat satu jenis kupu-kupu yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Tahun 1999 yaitu Troides helena (kupu-kupu raja) dari family Papilinidae (Gambar 4). Di Indonesia, kupu-kupu raja dapat ditemukan di Sumatra, Nias, Enggano, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi dan Kalimantan (Wahyuni & Fatahullah, 2008; Collins & Morris, 1985).

Kebanyakan kupu-kupu di TWAK dapat ditemukan pada area yang terbuka dan terang seperti di sepanjang jalan trail, sekitar pondok kerja dan juga di sekitar area rehabilitasi.

Satwa liar lainnya yang dapat ditemukan di TWAK adalah monyet hitam/lutung (Trachypithecus auratus) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). T. auratus merupakan jenis endemik Indonesia, ditemukan di Jawa dan Pulau-pulau kecil Bali, Lombok, Palau Sempu dan Nusa Barung. IUCN mengelompokkan sebagai jenis

endangered (EN) yaitu jenis yang memiliki resiko kepunahan tinggi di alam liar (Nijman & Supriatna, 2008). Primata ini cenderung hidup berkelompok. Di TWAK ditemukan sebanyak 8 kelompok yang tersebar di Bukit Senggigi, Bukit Mangsit, Lembah Kerandangan dan sekitar Air Terjun Putri Kembar.

Beberapa jenis tumbuhan yang menjadi sumber makanan bagi Lutung adalah Ficu sbenjamina (bunut), Dalbergia latifolia Roxb. (sonokeling), Dysoxylum sp. (garu), Kleinhovia hospital L.(berore), Erythrina sp. (dadap). Lutung lebih menyukai daun dan bunga, namun juga mengkonsumsi biji buah-buahan dan buah-buahan yang belum matang (Nijman & Supriatna, 2008).

Foto: BKSDA NTB

Gambar 4. Kupu-kupu Troides helena (jantan)

Gambar 5. Trachypithecus auratus (lutung) di TWAK

Macaca fascicularis (monyet ekor panjang) merupakan primata yang paling banyak tersebar di seluruh dunia. Monyet ekor panjang di Indonesia menyebar di banyak wilayah di Indonesia yaitu meliputi Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumba dan Flores (Supriatna & Wahyono, 2000). Monyet ekor panjang ini biasa terlihat pada pohon-pohon tinggi, di sekitar Sungai

(7)

77 Kerandangan, ditemukan di sepanjang

jalur trail menuju Air Terjun Putri Kembar. Monyet ekor panjang beristirahat pada area tepi sungai (Yeager, 1996).

B. Akesibilitas

Aksesibilitas umumnya menunjukkan tingkat kesulitan dan kenyamanan bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya (Lee et al., 2010).

Kemudahan aksesibilitas menyebabkan suatu lokasi wisata mudah dikunjungi.

Menurut Lee et al. (2010) aksesibilitas dan transportasi sebagai bagian dari kriteria yang digunakan pengunjung dalam memilih tujuan wisata berbasis alam.

Penilaian terhadap kondisi akesibilitas TWAK termasuk dalam kategori tinggi yaitu 30.02 (Tabel 4).

Nilai ini ditentukan oleh beberapa unsur yaitu kondisi jalan yang sangat baik (beraspal), dengan lebar jalan lebih besar dari 3 m, berjarak 18 km dari pusat kota dan waktu tempuh kurang dari satu jam perjalanan. Perjalanan menuju TWAK melintasi Desa Senggigi dengan pamandangan pantai berpasir putih.

Tabel 4. Penilaian kriteria Aksesibilitas

No Unsur/Sub Unsur Nilai (score)

Bobot x score

1 Kondisi jalan 30 7.83

2 Jarak dari pusat kota 25 6.53

3 Tipe jalan 30 7.83

4 Waktu tempuh dari

pusat kota 30

7.83

Jumlah Bobot x score 30.02

Sumber: data primer Keterangan:

Rendah = 15.66 – 20.88 Sedang = >20.88 – 26.10 Tinggi = >26.10

Kawasan TWAK sangat mudah diakses, baik dengan menggunakan kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum. Kendaraan umum yang dapat digunakan dari dari pusat kota adalah ojek, angkutan kota ataupun taksi, dengan tarif berkisar Rp. 30.000 – Rp. 100.000.

TWAK juga dapat diakses dari Desa Senggigi dengan menggunakan kendaraan tradisional Cidomo, dengan tarif Rp. 20.000. Kemudahan aksesibilitas ini sangat menunjang pengembangan TWAK sebagai daerah tujuan ekowisata. Ekowisata menuntut kemudahan mekanisme trasportasi, aksesibilitas dan pelayanan yang baik (Fennell, 2015).

C. Kondisi sosial ekonomi

Penilaian terhadap kondisi lingkungan sosial ekonomi termasuk kategori sedang yaitu 4.7. Nilai ini diperoleh berdasarkan unsur kesesuaian lokasi dengan tata ruang, status kepemilikan lahan merupakan lahan milik negara, mata pencarian dan pendidikan masyarakat sekitar.

Tabel 5. Penilaian kriteria kondisi lingkungan sosial ekonomi

No. Unsur/ sub unsur Nilai (score)

Bobot x score 1 Tata ruang wilayah

obyek 30 1.41

2 Status Lahan 30 1.41

3 Mata pencaharian

penduduk 20 0.94

4 Pendidikan 20 0.94

Jumlah Bobot x score 4.7

Sumber: data primer Keterangan:

Rendah = 2.82 – 3.76 Sedang = >3.76 – 4.70 Tinggi = >4.70

Hasil wawancara menunjukkan bahwa 85% responden memiliki ketertarikan untuk terlibat dalam kegiatan pengembangan ekowisata di TWAK.

Masyarakat memiliki harapan pengembangan ekowisata di TWAK dapat memberikan manfaat ekonomi bagi mereka, karena saat penelitian dilakukan, masyarakat belum merasakan manfaat ekonomi tersebut. Pendapatan masyarakat diperoleh dari bekerja wiraswasta sebagi pedagang kecil (32.6%) dan buruh tani (25.3%). Dari hasil wawancara, tidak ditemukan masyarakat kerandangan yang bekerja di sektor pariwisata. Hal ini

(8)

Sarkono: Bakteri Produsen Selulosa Cairan Limbah Fermentasi Nata

78

menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam kegiatan wisata di TWAK masih sangat rendah.Wildan et al.

(2016) menyatakan bahwa pengembangan pariwisata di Lombok Barat belum memberikan keadilan ekonomi bagi masyarakat sekitar.

Keuntungan ekonomi hanya dinikmati oleh pemilik modal, sementara masyarakat lokal di sekitar kawasan wisata tetap dalam kemiskinan.

Penerapan konsep ekowisata diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat melalui upaya peningkatan keteribatan masyarakat dalam kegiatan wisata di TWAK.

Ekowisata adalah strategi untuk mendukung konservasi dan menyediakan pendapatan bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan lindung. Ini dapat berkontribusi pada pengembangan ekonomi dan konservasi kawasan lindung dengan: a) menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk mengelola kawasan lindung secara berkelanjutan, b) menyediakan lapangankerja lokal, dan c) menanamkan rasa kepemilikan masyarakat (Jalani, 2012).

D. Akomodasi

Akomodasi merupakan fasilitas wisata yang diperlukan oleh pengunjung yang berasal dari tempat yang jauh.

Akomodasi menciptakan rumah tinggal bagi wisatawan selama berada pada suatu destinasi wisata. Penilaian terhadap kriteria akomodasi pada penelitian ini menunjukkan nilai tinggi yaitu 6.72.

Jumlah fasilitas akomodasi di sekitar kawasan TWAK berjumlah 106 hotel (BPS NTB 2016). Hal ini sangat dimungkinkan karena TWAK berada di Desa Senggigi yang merupakan pusat kegiatan wisata di Kabupaten Lombok Barat.

Dalam konsep ekowisata, homestay merupakan sistem akomodasi yang sering digunakan. Sistem homestay memungkinkan seorang wisatawan untuk berinteraksi secara langsung dengan pemilik rumah. Melaui sistem homestay

ini wisatawan dapat belajar mengenai alam, budaya masyarakat dan kehidupan sehari-hari masyarakat di lokasi tersebut (Depbudpar RI and WWF-Indonesia 2009).

Tabel 6. Penilaian kriteria akomodasi

No. Unsur/ sub unsur Nilai (score)

Bobot x score

1 Jumlah kamar 30 3.36

2 Jumlah akomodasi 30 3.36

Jumlah Bobot x score 6.72

Sumber: data primer Keterangan:

Rendah = 2.24 – 3.73 Sedang = >3.73 – 5.23 Tinggi = >5.23

E. Prasarana dan saranapenunjang Sarana dan prasarana pariwisata merupakan fasilitas yang memungkinkan proses kegiatan pariwisata berjalan dengan lancar sehingga dapat memudahkan setiap orang yang terlibat dalam kegiatan berwisata. Keterbatasan prasarana dan sarana wisata ini bukan menjadi masalah yang penting bagi pelaku ekowisata. Hal yang terpenting bagi pelaku ekowisata adalah mencari pengalaman berwisata. Biasanya ekowisatawan memiliki minat khusus yang tidak membutuhkan fasilitas lengkap (Haris et al., 2017).

Penilaian terhadap kriteria prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekowisata di TWAK menunjukkan nilai dengan kategori tinggi yaitu 7.14. baik prasarana maupun sarana penunjang wisata di TWAK memperoleh score tertinggi yaitu 30. Hal ini disebabkan kelengkapan prasarana dan sarana penunjang yang ada.

Prasarana yang tersedia di sekitar kawasan TWAK meliputi Kantor pos, jaringan telepon, jaringan internet, jaringan listrik, puskesmas dan jaringan air minum. Sedangkan sarana penunjang yang tersedia meliputi rumah makan, pusat perbelanjaan, Bank/money changer, toko cinderamata, tempat peribadatan dan transportasi.

(9)

79 Table 7. Penilaian kriteria prasarana dan

sarana penunjang

No. Unsur/ sub unsur Nilai (score)

Bobot x score

1 Prasarana 30 3.57

2 Saranapenunjang 30 3.57

Jumlah Bobot x score 7.14 Sumber: data primer

Keterangan:

Rendah = 2.38 – 3.97 Sedang = >3.97 – 5.55 Tinggi = >5.55

SIMPULAN DAN SARAN

TWAK memiliki potensi obyek dan daya tarik wisata alam yang tinggi dan layak untuk dikembangkan sebagai daerah tujuan ekowisata. Nilai kelayakan ini ditunjukkan dengan nilai indek kelayakan sebesar 120.19. Potensi ekowisata di TWAK yang ditawarkan meliputi keindahan bukit dan Lembah, sungai dan air terjun serta keanekaragaman flora dan fauna. Namun, dalam upaya pengembangan ekowisata perlu memperhatikan keterlibatan masyarakat sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

Aniah EJ, Eja E, Otu JE, Ushie MA.

2009. Patronage of Ecotourism Potentials as a Strategy for Sustainable Tourism Development in Cross River State , Nigeria.

Journal of Geography and Geology, 1(2), 20–27. Retrieved from http://ccsenet.org/jgg

Badan Pusat Statistik Provinsi NTB.

2016. Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam Angka 2016.

Balai Konservasi Sumberdaya Alam Nusa Tenggara Barat. 2015.

Rekapitulasi Jumlah Pengunjung di TWA Kerandangan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Balai Konservasi Sumberdaya Alam.

Ceballos-Lascurain H, Tepepan CX.

2001. Integrating Biodiversity into the Tourism Sector: Best Practice Guidelines Report. Unep / Undp / Gef / Bpsp, (June 2001), 1–93.

Collins NM, Morris MG. 1985.

Threatened Swallowtail Butterflies of the World. The IUCN Red Data Book. Gland and Cambridge:

International Union Concervation Natural Resources.

Crozier GE, Niemi GJ. 2003. Using patch and landscape variables to model bird abundance in a naturally heterogeneous landscape, 452, 441–

452. https://doi.org/10.1139/Z03- 022

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, & WWF-Indonesia. 2009.

Prinsip dan Kriteria ekowisata berbasis Masyarakat.

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003.

Pedoman Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA). Bogor: Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan.

Drumm A, Moore A. 2005. Ecotourism Development - A Manual for Conservation Planners and Managers . An Introduction to Ecotourism Planning (Second edi, Vol. I). Arlington, Viginia, USA:

The Nature Conservancy.

Fennell DA. 2015. Ecotourism (Fourth Edi). London and New York:

Routledge - Taylor & Francis Group.

Haris M, Soekmadi R, Hadi D, Arifin S.

2017. Potensi Daya Tarik Ekowisata Suaka Margasatwa Bukit Batu Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.

Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 14(1), 39–56.

https://doi.org/10.20886/jpsek.2017.

14.1.39-56

Haryani. 2014. Potensi Pengembangan Atraksi Wisata Kampung Nelayan Pasie Nan Tigo Padang di Tengah Ancaman Bencana Abrasi. Mimbar, 30(2), 189–198.

(10)

Sarkono: Bakteri Produsen Selulosa Cairan Limbah Fermentasi Nata

80

Jalani JO. 2012. Local people ’ s perception on the impacts and importance of ecotourism in Sabang, Palawan , Philippines, 57, 247–254.

https://doi.org/10.1016/j.sbspro.201 2.09.1182

Lee CF, Huang HI, Yeh HR. 2010.

Developing an evaluation model for destination attractiveness:

sustainable forest recreation tourism in Taiwan. Journal of Sustainable Tourism, 18 (6), 811–828.

https://doi.org/10.1080/0966958100 3690478

Lew AA. 1987. A framework of tourist attraction research. Annals of Tourism Research, 14(4), 553–575.

https://doi.org/10.1016/0160- 7383(87)90071-5

McCool SF, Moisey RN. 2008. Tourism, Recreation and Sustainability:

Linking Culture and the Environment (2nd Editio). CAB International.

Monk KA, de Fretes Y, Lilley GR. 2000.

Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Seri Ekologi Indonesia.

Buku V. Jakarta: Prenhallindo.

Nijman V, Supriatna J. 2008.

Trachypithecus auratus, Javan Lutung. The IUCN Red List of Threatened Spesies.

Pemerintah Kabupaten Lombok Barat.

2011. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Barat tahun 2011-2031.

Presiden Republik Indonesia. Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 (1999).

Indonesia: Sekretariat Kabinet RI, Biro Peraturan Perundang-undangan I.

Supriatna J, Wahyono E. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia.

Jakarta.: Yayasan Obor Indonesia.

UNWTO. 2010. Tourism and Biodiversity: Achieving Common Goals Towads Sustainability.

Madrid, Spain: UNWTO.

Wahyuni T, Fatahullah. 2008. Panduan Lapangan Kupu-kupu di TWA Kerandangan. BKSDA NTB.

BKSDA NTB.

Welty JC. 1962. the Life of Bird.

Philadelphia: Sanders College Publishing.

Wildan, Sukardi, Syuaib MZ. 2016. The Feasibility of Development of Social Capital-Based Ecotourism in West Lombok. Mimbar, 32(1), 214–222.

Retrieved from

http://ejournal.unisba.ac.id/index.ph p/mimbar/article/view/1757

Wisnubudi G. 2009. Penggunaan Strata Vegetasi Oleh Burung di Kawasan Wisata Taman Nasional Gunung Halimun - Salak. Vis Vitalis, 02(2), 41–49.

Yeager CP. 1996. Feeding ecology of the long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in Kalimantan Tengah, Indonesia. International Journal of Primatology, 17(1), 51–62.

Referensi

Dokumen terkait

Penulis menyatakan bahwa penelitian dengan judul, “Pengelolaan Museum dalam Rangka Mengembangkan Obyek/Daya Tarik Wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta”, yang mempunyai

Judul Kertas Karya : PEMBANGUNAN PULAU MURSALA SEBAGAI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA BAHARI DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH.. Nama : YASER ARAFAT NIM

BAB IV :PEMBANGUNAN PULAU MURSALA SEBAGAI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA BAHARI DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH. Bab IV ini menguraikan Sejarah Pulau Mursala, Letak dan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan yaitu potensi daya tarik wisata syariah di pulau Lombok telah tersedia antara lain Makam Bintaro, Masjid Islamic Center,

Dari hasil eksplorasi para responden, didapatkan faktor- faktor yang berpengaruh dalam pengembangan pariwisata terpadu pada obyek dan daya tarik wisata, selanjutnya hasil

Merupakan sarana dan prasarana yang mendukung kenyamanan wisatawan pada saat menikmati obyek dan daya tarik wisata yang disajikan seperti: sarana ibadah, kamar

Penyusunan laporan yang berjudul “Pengaruh Daya Tarik Wisata Terhadap Motivasi Wisatawan Domestik Untuk Berkunjung Ke Taman Wisata Tirta Alam Cibinong-Sagalaherang,

Potensi dan Kelayakan Obyek Daya Tarik Wisata Alam Berdasarkan hasil penilaian kriteria pada Tabel 6 diketahui bahwa secara keseluruhan kawasan karst wisata Rammang-Rammang memiliki