• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKU AGAMA, KULTUR (IN)TOLERANSI, DAN DILEMA MINORITAS DI INDONESIA

N/A
N/A
Adildzu Khuluqi Muhammad

Academic year: 2023

Membagikan "BUKU AGAMA, KULTUR (IN)TOLERANSI, DAN DILEMA MINORITAS DI INDONESIA"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

Sebagaimana dijelaskan oleh Charles Coppel dan diulangi oleh Didi Kwartanada dalam buku Dilema Minoritas di Indonesia (2020) yang baru kami terbitkan sebagai berikut. Dilema minoritas lain yang ingin saya kemukakan adalah yang dihadapi oleh sebagian kelompok agama minoritas, yaitu Ahmadiyah2,3,4,5. Contoh yang sering diungkapkan adalah tentang umat Islam di Indonesia yang secara jumlah mayoritas, namun secara ekonomi bisa disebut minoritas.

Minoritas: Kerangka Pikir untuk Sikap Keberpihakan

Kelompok minoritas, meminjam definisi Louis Wirth, adalah “mereka yang secara obyektif menempati posisi yang tidak menguntungkan dalam masyarakat”2,15,16. Dalam bahasa agama, yang disebut kelompok minoritas adalah mereka yang disebut mustadh’afin17.

Globalisasi dan Diskriminasi Minoritas

Kita memiliki banyak identitas yang sering bersinggungan dengan identitas yang kita benci; Identitas kita bermacam-macam, yaitu pada momen tertentu ada identitas yang ditekankan atau diaktifkan dan ada identitas lain yang sengaja dimatikan atau dinonaktifkan. Fantasi rasis, fantasi sektarian, atau fantasi eksklusif dalam beberapa kasus menyebabkan tindakan intoleransi atau bahkan kekerasan terhadap mereka yang berbeda. Fenomena serupa juga dialami Eropa dan Amerika, kelompok imigran dan pihak yang berbeda dianggap mengganggu perekonomian dan menghancurkan jati diri negara.

Di negara kita, apa yang terjadi pada komunitas Syiah di Sampang, Madura dan Ahmadiyah Transito, Nusa Tenggara Barat merupakan contoh diskriminasi dan pengusiran terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Bagi mereka yang belum siap bersaing di dunia global, atau mereka yang merasa aksesnya terputus atau dibatasi, globalisasi menimbulkan perasaan marginalisasi atau eksklusi. Dalam kaitannya dengan agama, globalisasi ini telah menyebabkan banyak orang kembali ke agama dan menjadikan agama sebagai semacam tempat perlindungan, termasuk mereka yang merasa “dikucilkan dari simpul-simpul dominan dalam ruang arus serta terlalu banyak di antara mereka yang ‘dimasukkan’ untuk dirampas.” Hak pilih yang 'gelandangan' sama besarnya dengan hak pilih konsumen dan 'turis' yang berpartisipasi (namun pemalu)”25.

Menganggap orang asing dan berbeda sebagai ancaman terhadap nilai, jati diri, dan perdamaian masyarakat. Hal ini diperparah dengan dampak negatif perkembangan dunia cyber dan media sosial yang seringkali membuat masyarakat lebih memilih berkelompok dengan mereka yang mempunyai pemikiran yang sama (algorithmic enclave) dan memutus atau memutus hubungan dengan mereka yang berbeda pandangan.

Tendensi Ingin Jadi Juru Selamat (Messianic Tendency)

Serupa dengan logika tersebut, salah satu tujuan Fatwa MUI tahun 2005 tentang Ahmadiyah adalah “segera kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya (al-ruju’ ila al-haqq)”7. Oleh karena itu, ketika terjadi upaya untuk menjadikan umat Ahmadiyah masuk Islam di Jawa Barat pada tahun 2011, istilah yang digunakan adalah “Operasi Sajadah” karena ingin membuat umat Ahmadiyah menjadi beriman. Penganut sebagian agama minoritas dianggap “tidak beragama” atau “belum beragama” atau menganut ajaran sesat dan tidak sehat sehingga perlu dirawat dan dikembalikan atau didorong pada pemahaman agama yang sehat29.

Kebajikan yang Salah (False Virtue)

Bagi Mujahid, biasalah difitnah, dipenjarakan adalah alasan, dibuang negeri adalah persiaran, dan dibunuh adalah syahid.”6 Penggunaan paksaan dan kekerasan untuk mengajak jalan yang benar atau agama yang sihat. mengingatkan apa yang dilakukan oleh gereja pada Zaman Pertengahan. Pada masa itu, Gereja mengejar mereka yang dianggap sesat atau orang yang tertipu, atau melakukan pemburuan ahli sihir terhadap mereka yang menyimpang dari ajaran agama.

Logika yang digunakan untuk melakukan keterpaksaan ini dapat dirangkum sebagai “kami memaksa mereka ke ‘jalan yang benar’ demi menyelamatkan atau menyelamatkan mereka dari azab Allah di Neraka” (kami memaksa mereka ke jalan yang benar untuk menyelamatkan mereka dari siksa). Tuhan di neraka)30,31. Dengan menyiksa mereka, kita menyelamatkan mereka dari neraka” (dengan menyiksa mereka, sebenarnya kita menyelamatkan mereka dari siksa neraka)30,31. Jadi mereka merasa sedang menjalankan misi, misi penyelamatan, ketika mereka menyerang dan melaksanakan penyiksaan terhadap kelompok yang mereka anggap sesat atau agama minoritas lainnya.

Narasi Eufemistik tentang Intoleransi (Euphemistic

Saat peristiwa Tanjung Balai terjadi pada tahun 2016, peribahasa tersebut kerap dilontarkan oleh berbagai tokoh masyarakat saat menjelaskan penyebab peristiwa tersebut terjadi. Sebagai 'tamu' dan minoritas, mereka tidak diperbolehkan membangun tempat ibadah, vihara, yang sangat tinggi dan menempatkan patung lima meter di atas Vihara Tri Ratna. Apa yang mereka lakukan telah menggantikan posisi tanjung, lambang kota, dan membuat masjid di kota itu terlihat sangat kecil.

Singkat kata, pepatah lama tersebut kini berubah makna menjadi pembenaran atas penindasan terhadap kelompok minoritas.

Konstruksi Mental Konservatif

Sikap mental ini dapat diartikan sebagai “suatu bentuk pemikiran yang mendukung, menyetujui atau menoleransi sikap-sikap fanatik dan diskriminatif yang terjadi di masyarakat dan kadang-kadang menganggap bahwa berbagai kelompok yang diserang patut mendapat perlakuan demikian karena apa yang telah mereka lakukan.. .mengganggu kenyamanan teologis kelompok arus utama” 6. Konstruksi mental ini sebenarnya lebih pada tataran pikiran, namun jika tidak kita kendalikan maka dapat menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya aksi kekerasan atau bahkan terorisme. Meski tentu saja kita tidak bisa menyebut mereka sebagai pelaku kekerasan, namun orang-orang yang berpola pikir konservatif tersebar di birokrasi pemerintah, kepolisian, kejaksaan, guru sekolah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). , Kementerian Agama, serta jurnalis atau

Misalnya, ia menuduh kelompok agama minoritas tertentu menyinggung sentimen teologis kelompok agama dominan. Begitu pula dalam video di Pengadilan Cikeusik, hakim tak henti-hentinya berdakwah kepada anggota Ahmadiyah yang dianggap tidak beragama. Kelanjutan dari konstruksi mental konservatif tersebut adalah lahirnya keberanian untuk mengorbankan atau mengkompromikan hak beragama kelompok minoritas. di Bogor pada tahun 2015 dengan mengedarkan surat pemerintah yang melarang masyarakat Syiah menyelenggarakan peringatan Asyura6.

Konstruksi mental tersebut dapat diringkas dalam kalimat: 'Dengan menghentikan atau membatasi aktivitas kelompok agama minoritas, kita dapat mencegah adanya korban jiwa. Hanya dengan menghentikan atau membatasi aktivitas kelompok agama minoritas kita dapat mencegah jatuhnya korban jiwa.

Pluralisme Terbatas (Delimited Pluralism)

Ketiga kategori agama tersebut adalah: 1) Kelompok enam agama yang dianut oleh penduduk di Indonesia. Indonesia”;. Selain keenam agama tersebut, agama leluhur atau agama yang berasal dari Indonesia, seperti Kaharingan, Parmalim, dan Sunda Wiwitan, tidak disebutkan sama sekali. Sementara itu, kelompok agama minoritas bahkan terpaksa mengubah keyakinan teologisnya agar dianggap setara.

Dengan pluralisme yang terbatas, pengertian agama juga mengikuti kriteria utama agama, seperti pengakuan terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, serta keberadaan para nabi dan kitab suci. Agama Hindu menunjuk “Sang Hyang Widi” yang sebelumnya tidak terlalu sentral dalam agama ini, sebagai penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan agama Buddha menganggap sosok Adi Buddha, nama yang diambil dari teks Jawa kuno, sebagai Tuhan Yang Maha Esa.

Di sini saya jelaskan tiga pemahaman penting, yaitu bahwa minoritas itu relatif; terhadap berbagai kelompok minoritas, mereka yang dituduh sesat lebih dibenci masyarakat dibandingkan mereka yang dituduh perselingkuhan; dan di antara penyebab struktural dan sistematis munculnya intoleransi terhadap kelompok minoritas adalah adanya demarkasi pluralisme yang dianut bangsa ini. Namun, sebelum membahas persoalan ini, saya ingin menegaskan kembali posisi awal saya bahwa minoritas adalah sebuah konsep keberpihakan, sebuah kajian kemanusiaan yang berpihak pada mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat, terutama karena sistem dan struktur negara dan masyarakat yang mendukungnya. minoritas ini.

Minoritas Bersifat Relatif

Masih terkait dengan relativisme tersebut, minoritas merupakan realitas sosiologis yang menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya memiliki satu identitas. Seorang anggota suku Hui yang beragama Islam di Tiongkok tentunya merupakan bagian dari etnis Tionghoa yang berbeda dengan suku Uyghur. Namun jika dilihat hanya dari afiliasi keagamaannya, maka secara kuantitatif mereka termasuk kelompok minoritas.

Singkatnya, setiap orang memiliki banyak identitas, menjadikannya bagian dari mayoritas dan minoritas pada saat yang bersamaan. Saya tidak merasa asing mempelajari kelompok ini karena lebih dari 80 persen ajaran dan doktrin Ahmadiyah merupakan bagian dari tradisi agama saya. Istilah yang benar bukanlah orang dalam atau orang luar, bukan orang dalam atau orang luar sepenuhnya36.

Kesesatan Lebih Dibenci Daripada Kekufuran

Istilah yang benar bukanlah orang dalam atau orang luar, bukan orang dalam atau orang luar sepenuhnya36. jarak)37,38. Mereka disebut dekat karena mempunyai akar yang sama, praktik keagamaan yang sama, dan nilai-nilai yang sama. Amin Djamaluddin menggunakan istilah 'pencurian', 'pembajakan' dan 'pelanggaran hak cipta' untuk menggambarkan keyakinan dan praktik keagamaan Ahmadiyah31,38.

Di Indonesia, umat Islam garis keras biasanya menggunakan istilah 'rebus' untuk menggambarkan Ahmadiyah31,38. Mereka yang berbeza sama sekali dalam agama, seperti Ahli Kitab, akan dihormati oleh orang Islam. Bahaya yang ditimbulkan oleh 'musuh di bawah permaidani' sering dianggap lebih besar dan jauh lebih mengancam daripada bahaya yang datang dari musuh di luar.

Sementara itu, bidah terus terlihat di komunitas Muslim, dan hal ini memungkinkan dia mendapatkan akses berbahaya ke kelompok Islam di mana dia bisa menyebarkan keyakinannya. Situasi ini membuat beberapa tokoh Islam Indonesia, seperti Yusril Ihza Mahendra dan Hasyim Muzadi, sangat senang jika Ahmadiyah benar-benar lepas dari Islam dan mendirikan agamanya sendiri yang benar-benar terpisah [dari Islam], alih-alih menjadi ancaman bagi Islam. pinggiran kota, komunitas Muslim arus utama31,38.

Ortodoksi dan Heterodoksi Tidak Permanen

Seperti yang tertera di sampul belakang buku kami, Dilema Minoritas di Indonesia (2020): “Minoritas bukan hanya sebuah konsep realitas, namun juga sebuah pola pikir untuk sikap keberpihakan. Batasan kebebasan beragama di Indonesia: mengacu pada pilar pertama Ketuhanan Yang Maha Esa Pancasila. Ketika Umat Islam Bukan Umat Islam: Jemaat Ahmadiyah dan Wacana Sesat di Indonesia.

Defining Indonesian Islam: an examination of the Islamic national identity construction of traditionalist and modernist Muslims. Liberal and conservative discourses in Muhammadiyah: the struggle for the face of reformist Islam in Indonesia. Defining Indonesian Islam: an examination of the Islamic national identity construction of traditionalist and modernist Muslims.

Reformasi '98 dan Musim Semi Arab: studi perbandingan pemberontakan rakyat di Indonesia dan Tunisia. Judul Presentasi: Agama, Budaya (dalam)toleransi dan Dilema Minoritas di Indonesia Bidang Keahlian: Tren dan Konsep Keagamaan. Agama dan tradisi keagamaan) No.

Referensi

Dokumen terkait

Tetapi, ada juga Sebagian orang yang sudah mempunyai ilmu pengetahuan mengenai rokok dan bahaya merokok, tetapi mereka tetap saja merokok, faktor lain yang menyebabkan

The negative prognostic impact of cardiac dysfunction in people living with HIV is reflected by a median survival to AIDS-related death of 101 days in patients with cardiomyopathy