Permasalahan dan Tantangan Penurunan Tuberkulosis
(TBC) di Indonesia
Vol. VIII, Edisi 21, November 2023
p.3
Upaya Mewujudkan
Kemandirian Industri Alat Kesehatan
p.11
Transformasi Hilirisasi Kelapa Sawit: Membangun Keterkaitan dengan Industri Kosmetik
p.7
Upaya Mewujudkan Kemandirian Industri Alat Kesehatan
Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.pa3kn.dpr.go.id
Kemandirian industri alat kesehatan memegang peranan penting dalam mewujudkan terselenggaranya pelayanan kesehatan yang memadai. Terdapat beberapa tantangan dalam mewujudkan kemandirian industri alat kesehatan. Pertama, rendahnya tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang digunakan dalam produksi alat kesehatan dalam negeri. Kedua, belum maksimalnya apresiasi dari pengguna produk alat kesehatan yang belum yakin terhadap kualitas produk dalam negeri. Ketiga, dukungan pembinaan kepada pelaku usaha industri alat kesehatan masih belum optimal. Untuk itu, Komisi VII DPR RI perlu mendorong Kementerian Perindustrian untuk melakukan penyusunan pohon industri khusus industri alat kesehatan, memaksimalkan partisipasi aktif dan bermakna dari masyarakat (meaningful participation) dalam menyusun kebijakan terkait industri.
Pemerintah terus berusaha untuk menghidupkan kembali industri melalui hilirisasi. Rencana tersebut tertuang dalam NK RAPBN Tahun Anggaran (TA) 2024 dan RIPIN 2015-2035. Kelapa Sawit termasuk dalam salah satu agenda prioritas hilirisasi. Meskipun demikian, Hilirisasi menghadapi banyak kendala dalam pelaksanaannya. Untuk itu, terdapat beberapa tantangan yang perlu menjadi atensi antara lain terkait regulasi dan Isu-isu sosial. Diharapkan Komisi VII DPR RI mendorong regulasi ketat lingkungan dan sertifikasi RSPO untuk perusahaan kelapa sawit, serta mendorong pemantauan dan penegakan kepatuhan terhadap standar etika dan hak asasi manusia.
Selain itu, produsen kosmetik dan pemangku kepentingan kelapa sawit perlu adopsi strategi inklusif dan berkelanjutan, serta mengoptimalkan rantai pasokan kelapa sawit untuk keberlanjutan.
Kritik/Saran
http://pa3kn.dpr.go.id/kontak
Dewan Redaksi
Pemimpin Redaksi Robby Alexander Sirait
Redaktur
Adhi Prasetyo Satriyo Wibowo Dahiri
Martha Carolina
Rastri Paramita
Rosalina Tineke Kusumawardhani Tio Riyono
Editor Riza Aditya Syafri
Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang paru dan organ lainnya, bakteri ini menyebar ketika seseorang menghirup percikan ludah (droplet) saat penderita TBC sedang batuk, berbicara, dan bersin. TBC juga merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian utama di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara sebagai penyumbang beban TBC terbesar secara global. Kematian karena TBC di Indonesia diperkirakan mencapai 144.000 atau 52 per 100.000 penduduk.
Penanggulangan TBC di Indonesia masih mengalami beberapa tantangan dan permasalahan seperti tidak tercapainya target penurunan TBC pada RPJMN, kasus TBC pada anak masih tinggi, deteksi dini dan skrining yang belum berjalan optimal dan permasalahan anggaran. Kondisi tersebut perlu menjadi perhatian Komisi IX DPR RI untuk mendorong Kementerian Kesehatan mencari solusi untuk mengatasi permasalahan penyakit TBC tersebut.
Pengarah
Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum.
Penanggung Jawab Dr. Ari Mulianta Ginting, S.E.,
M.S.E.
Permasalahan dan Tantangan Penurunan
Tuberkulosis (TBC) di Indonesia p.3
Transformasi Hilirisasi Kelapa Sawit: Membangun Keterkaitan dengan Industri Kosmetik
p.11
p.7
Abstrak
Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang paru dan organ lainnya, bakteri ini menyebar ketika penderita TBC sedang batuk, berbicara, dan bersin. TBC juga merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian utama di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara sebagai penyumbang beban TBC terbesar secara global. Kematian karena TBC di Indonesia diperkirakan mencapai 144.000 atau 52 per 100.000 penduduk. Penanggulangan TBC di Indonesia masih mengalami beberapa tantangan seperti tidak tercapainya target penurunan TBC pada RPJMN, kasus TBC pada anak masih tinggi, deteksi dini dan skrining yang belum berjalan optimal dan permasalahan anggaran. Kondisi tersebut perlu menjadi perhatian Komisi IX DPR RI untuk mendorong Kementerian Kesehatan mencari solusi untuk mengatasi permasalahan penyakit TBC tersebut.
T
uberkulosis (TBC) adalah salah satu dari sepuluh penyebab kematian terbesar di seluruh dunia, secara global diperkirakan 10,6 juta orang terkena penyakit TBC dengan 1,4 juta mengalami kematian akibat TBC. Beban TBC berdasarkan Global TB Report tahun 2022 berjumlah 10.556.328 (estimasi), Asia Tenggara menyumbang 4.814.900 yang menjadikan Asia Tenggara sebagai penyumbang terbesar kasus TBC.Indonesia menjadi peringkat kedua terbesar sebagai penyumbang beban TBC di dunia dibawah India dengan jumlah 969.000 kasus atau 354 per 100.000 penduduk. Kematian karena TBC di Indonesia diperkirakan mencapai 144.000 atau 52 kasus per 100.000 penduduk. TBC merupakan penyakit yang dapat menyebar melalui udara saat penderita TBC sedang batuk, berbicara, dan bersin, hal ini yang mengakibatkan penyebaran penyakit TBC sangat mudah. Tulisan ini menganalisa kondisi penyebaran dan tantangan serta permasalahan penanggulangan penyakit TBC di Indonesia.
Evaluasi Target Penurunan Kasus TBC TBC menjadi salah satu penyakit menular yang mendapatkan perhatian besar dari
Pemerintah yang terlihat dari masuknya target penurunan insidensi TBC pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 (RPJMN).
Gambar 1 dibawah terlihat bahwa target yang ditetapkan pada RPJMN 2020- 2024 setiap tahunnya tidak pernah mencapai target. Tahun 2020 Pemerintah menargetkan 272 kasus per 100.000 penduduk namun realisasinya mencapai 312 kasus per 100.000 penduduk, diikuti tahun 2021 yang juga belum mencapai target yang ditetapkan pemerintah dalam RPJMN, bahkan pada tahun terakhir realisasinya cukup tinggi mencapai 354 kasus per 100.000 penduduk. Kenaikan kasus TBC yang terus terjadi tidak sejalan dengan keinginan Pemerintah yang terlihat optimis dalam menentukan target dalam RPJMN 2020-2024. Target yang tidak tercapai selama tahun 2020 sampai dengan terakhir tahun 2023 ini menimbulkan tanda tanya melihat Pemerintah menargetkan 190 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2024.
Komisi IX DPR RI perlu untuk mendorong Pemerintah terutama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mengevaluasi program kerja penanggulangan dan percepatan penurunan kasus TBC di Indonesia.
Permasalahan dan Tantangan Penurunan Tuberkulosis (TBC) di Indonesia
Teuku Hafizh Fakhreza*)
Muhammad Anggara Tenriatta Siregar**)
*) Analis APBN Non-ASN, Pusat Analisis Anggaran dan Akuntabilitas Keuangan Negara, Badan Keahlian, Setjen DPR RI.
Selain itu, komisi IX DPR RI juga perlu mendorong agar Pemerintah melanjutkan dan memasukan kembali penurunan insidensi TBC dalam RPJMN 2025-2029 untuk mendorong agar upaya jangka panjang dari penurunan kasus TBC di Indonesia tetap berjalan dengan optimal.
Kasus TBC Pada Anak Cenderung Meningkat
Jumlah kasus TBC pada anak pada tahun 2022 meningkat sangat pesat sebesar 162,8 persen dibandingkan tahun 2021, atau sebesar 110.881 kasus (15 persen dari total kasus TBC tahun 2022). Jika dilihat pada tahun 2021, kasus TBC pada anak memang meningkat dibandingkan tahun 2020, namun tidak terlalu tinggi, yaitu hanya 26 persen dibandingkan tahun 2020.
Jumlah kasus meningkat tajam terjadi pada tahun 2022. Data sementara pada tahun 2023 kasus TBC pada anak masih cenderung tinggi jika dibandingkan dengan total jumlah kasus TBC keseluruhan.
Kenaikan kasus TBC pada anak harus menjadi catatan khusus bagi pemerintah dalam menanggulangi kasus TBC.
Komisi IX DPR RI perlu menyampaikan pada pemerintah khususnya Kemenkes untuk memberikan perhatian lebih pada kasus TBC yang mengalami peningkatan signifikan pada anak.
Deteksi Dini dan Skrining Masih Relatif Rendah
Skrining merupakan upaya preventif yang paling optimal dalam menanggulangi penyakit yang sifatnya droplet dan
penyebaran masif pada masyarakat.
Dilihat dari perbandingan antara jumlah kasus dan estimasi kasus yang terjadi, terlihat masih ada gap yang cukup tinggi dibandingkan dengan jumlah kasus TBC yang ternotifikasi, yang menggambarkan bahwa deteksi dan skrining yang dilakukan oleh Kemenkes masih belum optimal dalam menjangkau kasus TBC di Indonesia. Tahun 2022 estimasi kasus TBC berjumlah 969.000 sedangkan yang ternotifikasi hanya 724.309 kasus, yang artinya masih ada sekitar 25 persen yang masih belum terjangkau, ternotifikasi atau terlaporkan.
Target dan capaian penemuan dan pengobatan TBC setiap tahunnya juga masih belum mencapai target tahunannya yang terlihat pada gambar 1 diatas. Target dan capaian penemuan dan pengobatan TBC juga belum mencapai target pada beberapa Provinsi yang berada diluar pulau jawa, ini terlihat dari lima Provinsi terendah capaiannya adalah Provinsi Bangka Belitung berjumlah hanya 38,36 persen, Bengkulu berjumlah 37,21 persen, Jambi berjumlah 36,37 persen, Nusa Tenggara Timur berjumlah 35,79 persen, dan Provinsi Bali berjumlah 30,47 persen. Capaian dibawah 50 persen juga terjadi pada 9 Provinsi lain yang semuanya terletak di luar pulau jawa, seperti Provinsi Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Papua Barat, dan Provinsi lainnya.
Komisi IX DPR RI perlu mendorong Pemerintah melalui Kemenkes untuk meningkatkan deteksi dini dan skrining
Gambar 1. Target dan Capaian TBC Dalam RPJMN 2020-2024, dan Target dan Capaian Penemuan dan Pengobatan TBC Tahun 2020-2024
Sumber: World Health Organization (2022), Bappenas (2019), Kementerian Kesehatan (2023), diolah.
TBC. Deteksi dini dan skrining terhadap TBC ini diperlukan untuk menjangkau masyarakat yang terkena TBC namun tidak menyadari bahwa dirinya terkena TBC dan deteksi dini dan skrining tes juga perlu diperluas mencapai Provinsi yang secara data masih jauh dari target yang ditetapkan oleh Kemenkes.
Komisi IX DPR RI juga perlu mendorong Kemenkes untuk memperkuat komando penanggulangan TBC di daerah daerah, dimana deteksi dini dan skrining perlu dilakukan hingga mencapai tingkat desa.
Tracking dan tracing juga perlu dilakukan secara masif yang melibatkan seluruh perangkat di daerah hingga menyentuh perangkat desa.
Meningkatkan Kesadaran Masyarakat dan Akses Kesehatan
Temuan pada global tuberculosis report tahun 2022 menyebutkan bahwa peningkatan penderita penyakit TBC di Indonesia pada tahun 2022 terjadi disebabkan oleh 5 faktor utama, pertama adalah kekurangan nutrisi, kedua kebiasaan merokok, ketiga Human Immunodeficiency Virus (HIV), keempat diabetes dan yang terakhir adalah penyalahgunaan alkohol. Kebiasaan hidup sehat dan bersih, makan makanan bergizi serta olahraga rutin masih menjadi masalah klasik bagi sektor kesehatan di Indonesia.
Kesadaran masyarakat terhadap penyakit TBC juga perlu menjadi perhatian bagi Kemenkes, dalam laporan kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) dijelaskan bahwa masyarakat yang kontak erat dengan penyandang penyakit TBC enggan untuk mendatangi fasilitas kesehatan terdekat dan enggan untuk datang kembali untuk mengambil obat.
Masyarakat masih menganggap bahwa TBC tidak berbahaya jika gejala yang dirasakan masih tidak terlalu berat, fenomena ini yang mengakibatkan penyebaran penyakit TBC cenderung meningkat.
Komisi IX DPR RI perlu mendorong Kemenkes untuk meningkatkan sosialisasi
tentang pentingnya masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi dan pentingnya meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat, melihat bahwa 5 faktor utama peningkatan kasus TBC berhubungan dengan perilaku hidup sehat.
Komisi IX DPR RI juga perlu mendorong Kemenkes untuk melibatkan seluruh elemen pemerintah daerah dan elemen masyarakat hingga ke desa untuk turut serta menanggulangi dan menurunkan kasus TBC di Indonesia. Sosialisasi terkait pentingnya pengobatan dan cepatnya penularan penyakit TBC perlu dilakukan lebih masif lagi agar berjalan optimal dan meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait penyebaran penyakit TBC.
Jumlah kasus TBC terbanyak terjadi pada kelompok usia produktif terutama terjadi pada usia 25 sampai 34 tahun. Jumlah kasus TBC di Indonesia terbanyak terjadi pada kelompok usia produktif terutama pada usia 45 tahun sampai 54 tahun, dimana usia tersebut merupakan usia bagi mayoritas pekerja. Mayoritas pekerja informal tidak mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan. Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2022 menyatakan bahwa total penduduk Indonesia yang bekerja berjumlah 135,61 juta orang, dari jumlah tersebut 81,33 juta orang atau 59,97 persennya adalah pekerja di sektor informal. Data yang sama juga menyebutkan bahwa 80 persen pekerja informal tidak mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan. Komisi IX DPR RI perlu mengingatkan Kemenkes bahwa hal ini menjadi catatan penting dalam upaya preventif untuk menurunkan kasus TBC, dimana keengganan masyarakat untuk datang ke layanan kesehatan terjadi akibat tidak mendapatkan akses kesehatan tersebut.
Anggaran Penanggulangan TBC Menurun
Target penurunan insidensi TBC di Indonesia yang ditetapkan Pemerintah dalam RPJMN tidak mencapai target setiap tahunnya dan target penemuan dan pengobatan TBC yang ditetapkan oleh Kemenkes juga tidak mencapai target
tahunan dimana data sementara masih berjumlah 36,6 dengan target 90 pada tahun 2023, kasus TBC pada anak yang cenderung meningkat 162,8 persen pada tahun 2022, deteksi dini dan skrining yang masih rendah dan tidak berjalan secara optimal, dan perlunya upaya Pemerintah untuk meningkatkan kesadaran dan akses kesehatan pada masyarakat hingga kedesa. Permasalahan tersebut masih perlu menjadi catatan penting bagi Pemerintah dalam menanggulangi penyakit TBC di Indonesia, namun beberapa permasalahan diatas tidak diiringi dengan kenaikan anggaran untuk penanggulangan TBC di Indonesia. Tabel 1 terlihat bahwa, anggaran terkait TBC turun sangat signifikan pada tahun 2023 dari Rp965,4 miliar menjadi Rp39,21 miliar, sedangkan jika dilihat kasus TBC pada tahun 2022 meningkat sebesar 63,4 persen.
Anggaran yang terus turun setiap tahunnya juga diikuti dengan rendahnya capaian realisasi anggaran TBC dari tahun 2020 hingga 2023, bahkan pada tahun 2023 anggaran semester I capaiannya baru mencapai 34 persen.
Komisi IX DPR RI perlu mendorong agar Kemenkes mengelola anggaran secara efisien dan optimal. Laporan kinerja Ditjen P2P menyebutkan bahwa nilai efisiensi anggaran penanggulangan TBC terus menurun setiap tahunnya bahkan pada tahun 2022 nilai efisiensinya hanya 1 persen.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2019). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Jakarta:
Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Kementerian Kesehatan. (2023). Laporan Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Tahun 2022. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan. (2023a).
Laporan Kinerja Kementerian Kesehatan Tahun 2022. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan. (2023b).
Laporan Tahunan Program TBC Tahun 2022. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan. (2023c). Temu Media Hari Tuberkulosis Sedunia 2023:
Wujudkan Pekerja Bebas TBC untuk Indonesia Produktif. Diakses melalui https://tbindonesia.or.id/temu-media- htbs-2023/ pada tanggal 21 Oktober 2023.
Kementerian Kesehatan. (2023d).
Dashboard Data Kondisi TBC di Indonesia.
Diakses melalui https://tbindonesia.or.id/
pustaka-tbc/dashboard/ pada tanggal 20 Oktober 2023.
World Health Organization. (2022). Global Tuberculosis Report 2022. Switzerland:
World Health Organization.
Tabel 1. Anggaran dan Realisasi Terkait TBC Tahun 2020-2023
Sumber: Kementerian Kesehatan (2023), diolah.
K
elapa sawit telah membuktikan peran sentralnya dalam sektor pertanian, memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi nasional.Ini termanifestasi melalui penciptaan lapangan kerja, penyediaan pendapatan, dan kontribusi sebagai sumber devisa bagi negara. Dengan nilai ekonomi per hektar yang unggul dibandingkan tanaman penghasil minyak atau lemak lainnya, industri kelapa sawit memberikan kontribusi sekitar 3,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada tahun 2019 dan 2022.
Industri kelapa sawit telah menyerap tenaga kerja sebanyak 5,2 juta orang dan memberi mata pencaharian kepada lebih dari 21 juta jiwa. Secara kuantitatif, ekspor produk industri kelapa sawit selama periode tahun 2015-2022 mencapai total volume 282 juta metrik ton dengan nilai mencapai USD 176,84 miliar. Pendapatan pungutan ekspor sekitar Rp182 triliun diterima oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dari hasil ekspor ini (Kementerian Perindustrian, 2023).
Di era industri modern, fokus pada peningkatan nilai tambah atau hilirisasi dari komoditas perkebunan seperti
Abstrak
Pemerintah terus berusaha untuk menghidupkan kembali industri melalui hilirisasi. Rencana tersebut tertuang dalam NK RAPBN Tahun Anggaran (TA) 2024 dan RIPIN 2015-2035. Kelapa Sawit termasuk dalam salah satu agenda prioritas hilirisasi. Meskipun demikian, Hilirisasi menghadapi banyak kendala dalam pelaksanaannya. Untuk itu, terdapat beberapa tantangan yang perlu menjadi atensi antara lain terkait regulasi dan Isu-isu sosial. Diharapkan Komisi VII DPR RI mendorong regulasi ketat lingkungan dan sertifikasi RSPO untuk perusahaan kelapa sawit, serta mendorong pemantauan dan penegakan kepatuhan terhadap standar etika dan hak asasi manusia. Selain itu, produsen kosmetik dan pemangku kepentingan kelapa sawit perlu adopsi strategi inklusif dan berkelanjutan, serta mengoptimalkan rantai pasokan kelapa sawit untuk keberlanjutan.
kelapa sawit telah menjadi fokus utama dalam beberapa tahun terakhir dan masuk prioritas dalam Nota Keuangan APBN Tahun Anggaran (TA) 2024 melalui revitalisasi industri melalui penguatan hilirisasi bernilai tambah tinggi dan berorientasi ekspor (Kementerian Keuangan, 2023). Salah satu sektor yang menjanjikan adalah industri kosmetik di mana bahan baku alami semakin diminati seperti yang berasal dari turunan kelapa sawit. Minyak kelapa sawit merupakan turunan dari kelapa sawit bisa dimanfaatkan dalam industri kosmetik.
Vitamin E yang terkandung di dalam minyak kelapa sawit bermanfaat agar kulit lembut, menghilangkan jerawat, dan rambut. Pada bagian rambut yang sering kering dan berketombe, penggunaan minyak kelapa sawit merupakan hal yang tepat karena dapat membantu mengurangi masalah tersebut. Bahan alami yang digunakan untuk kosmetik ini lebih aman dan natural untuk digunakan dibandingkan dengan produk skincare sintetis lainnya. Industri Kosmetik adalah industri andalan yang merupakan salah satu dari tiga industri Prioritas Nasional sebagaimana tercantum dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035.
Transformasi Hilirisasi Kelapa Sawit: Membangun Keterkaitan dengan Industri Kosmetik
Deandra Chasmir*) Orlando Raka Bestianta**)
*) Analis APBN ASN, Pusat Analisis Anggaran dan Akuntabilitas Keuangan Negara, Badan Keahlian, Setjen DPR RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat bahwa jumlah pelaku industri kosmetik mengalami peningkatan signifikan dari 819 unit usaha pada tahun 2021 menjadi 913 unit usaha pada tahun 2022 atau meningkat sebesar 20,6 persen. Berdasarkan data Sistem Informasi Industri Nasional (2022) bahwa industri kosmetik tercatat mampu menyerap tenaga kerja sebesar 59.886 orang (Nababan, 2023). Hasil analisis oleh Statista (2023) menyatakan bahwa segmen pasar terbesar Industri Kosmetik Nasional adalah segmen perawatan, termasuk perawatan kulit (skincare) dan personal care, dengan volume pasar 3.16 miliar USD pada tahun 2022. Selain itu diperkirakan bahwa pasar industri kosmetik di Indonesia akan mengalami pertumbuhan sebesar 4,59 persen per tahun dari tahun 2023 hingga 2028.
Proyeksi ini mencakup produk-produk perawatan kulit (skincare) dan personal care (Statista, 2023). Meskipun terjadi peningkatan dalam industri kosmetik, namun ketergantungan pada impor bahan baku menjadi salah satu tantangan dalam industri kosmetik pada saat ini.
Tantangan dan upaya industri kelapa sawit untuk menyediakan bahan baku industri kosmetik
Industri kelapa sawit memiliki potensi besar untuk menyediakan bahan baku bagi industri kosmetik, terutama minyak kelapa sawit yang digunakan dalam berbagai produk kosmetik. Namun, ada beberapa tantangan yang perlu menjadi atensi, diantaranya:
Pertama, salah satu tantangan terbesar adalah dampak negatif dari industri kelapa sawit terhadap lingkungan, termasuk deforestasi, kebakaran hutan, dan kerusakan habitat (Gimni,2022).
Laporan terbaru dari organisasi nirlaba Earthqualizer mengungkapkan industri sawit masih melakukan deforestasi dan perusakan gambut seluas 440 ribu hektare (setara tujuh kali lipat dari luas wilayah Jakarta) selama 2016-2021 di Indonesia (Budiman, 2023). Untuk memenuhi permintaan industri kosmetik
yang semakin besar untuk bahan baku, industri kelapa sawit perlu berkomitmen untuk mengadopsi praktik yang lebih berkelanjutan, seperti produksi kelapa sawit berkelanjutan (RSPO).
Komisi VII DPR RI perlu: 1) mendorong pemerintah dapat menerapkan regulasi yang ketat terkait dengan praktik-praktik lingkungan yang berkelanjutan, termasuk pengendalian deforestasi, penghindaran kebakaran hutan, dan perlindungan habitat alam; dan 2) mendorong dan mewajibkan perusahaan kelapa sawit untuk mendapatkan sertifikasi berkelanjutan seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Sertifikasi ini menetapkan standar produksi berkelanjutan dan mempromosikan praktik-praktik yang lebih ramah lingkungan.
Kedua, isu-isu sosial dan hak asasi manusia yang terkait dengan produksi kelapa sawit yang tidak berkelanjutan merupakan tantangan serius yang memerlukan pendekatan komprehensif . Seperti, pelanggaran hak asasi manusia di industri kelapa sawit mencakup permasalahan terkait kondisi kerja, kerja paksa, serta kesehatan dan keselamatan kerja (Prakarsa, 2021). Industri kelapa sawit perlu mengambil serangkaian upaya berkelanjutan untuk mengatasi permasalahan ini dan mempromosikan tanggung jawab sosial.
Komisi VII DPR RI perlu mendorong pihak yang terlibat memfokuskan pada pemantauan dan penegakan kepatuhan terhadap standar etika dan hak asasi manusia dalam industri kelapa sawit. Ini termasuk mengadopsi prinsip-prinsip yang sesuai dengan pedoman HAM internasional, memastikan bahwa buruh memiliki akses ke lingkungan kerja yang aman dan layak, serta mencegah dan mengatasi kasus buruh anak dan buruh migran yang bekerja dalam kondisi buruk.
Selanjutnya, transparansi dalam rantai pasokan adalah kunci. Industri kelapa sawit perlu mengungkapkan informasi tentang asal-usul bahan baku mereka dan praktik-produksi, sehingga konsumen dan pihak-pihak yang berkepentingan
dapat memverifikasi bahwa produksi telah mematuhi standar sosial dan etika yang relevan. Kerja sama dengan lembaga-lembaga non-pemerintah dan organisasi hak asasi manusia juga bisa membantu. Industri kelapa sawit dapat bermitra dengan organisasi-organisasi ini untuk melakukan audit independen dan pemantauan kondisi kerja serta mengidentifikasi area-area di mana perbaikan diperlukan.
Ketiga, variabilitas harga dalam industri kelapa sawit merupakan salah satu permasalahan yang signifikan dan kompleks. Komoditas ini sangat rentan terhadap fluktuasi harga (Gambar 1) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dalam skala global maupun lokal.
Faktor-faktor global seperti produksi kelapa sawit di berbagai negara, cuaca yang tidak terduga seperti hujan berkepanjangan atau kekeringan, serta perubahan dalam permintaan pasar global, semuanya berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang tidak stabil bagi industri kelapa sawit. Dampak dari variabilitas harga yang tidak terduga ini dapat dirasakan dalam berbagai aspek industri, terutama dalam perencanaan produksi dan pasokan bahan baku untuk industri kosmetik. Produsen kosmetik yang menggunakan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku harus menghadapi tantangan kompleks. Ketika harga kelapa sawit naik secara tiba-tiba, biaya
produksi kosmetik pun meningkat, dan ini dapat mengganggu rencana produksi serta mengurangi profitabilitas bisnis.
Sebaliknya, ketika harga kelapa sawit turun, produsen mungkin menghadapi tekanan untuk mengurangi harga jual produk mereka, yang dapat berdampak negatif pada pendapatan mereka.
Mengatasi tantangan ini, produsen kosmetik dan pemangku kepentingan dalam industri kelapa sawit perlu mengadopsi strategi yang inklusif dan berkelanjutan. Ini mungkin mencakup diversifikasi sumber bahan baku, investasi dalam teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi produksi, serta memantau dengan cermat faktor-faktor global seperti perubahan iklim dan kebijakan perdagangan yang dapat mempengaruhi harga kelapa sawit. Selain itu, kemitraan yang kuat antara produsen kosmetik dan produsen kelapa sawit dapat membantu dalam mengurangi ketidakpastian pasokan dan harga, menciptakan stabilitas jangka panjang dalam rantai pasokan industri kosmetik. Melalui kerja sama dan adaptasi terhadap fluktuasi harga yang kompleks ini, industri kelapa sawit dan industri kosmetik dapat berusaha untuk menjaga stabilitas operasional mereka sambil tetap memperhatikan dampak lingkungan dan sosial yang mungkin timbul dari produksi kelapa sawit yang berkelanjutan.
Gambar 1 : Rata-rata Bulanan Harga CPO di Bursa Komoditas Rotterdam (Januari 2020 - Juni 2023)
Keempat, tantangan dalam bentuk persaingan dengan industri lain dalam penggunaan bahan baku serupa, seperti makanan dan energi, menciptakan dinamika yang kompleks di dalam industri kelapa sawit. Persaingan ini dapat berdampak pada ketersediaan dan harga bahan baku kelapa sawit untuk industri kosmetik, sehingga dibutuhkan berbagai upaya strategis untuk mengatasi situasi ini.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan efisiensi dalam rantai pasokan dan pengolahan kelapa sawit untuk mengoptimalkan penggunaan bahan baku. Selain itu, kerja sama dan kemitraan strategis antara industri kelapa sawit, industri makanan, dan industri energi dapat membantu menciptakan solusi berkelanjutan yang memungkinkan penggunaan bersama sumber daya kelapa sawit tanpa mengganggu ketersediaan bahan baku untuk industri kosmetik.
Pengembangan teknologi dan inovasi juga menjadi kunci untuk mengurangi potensi persaingan yang merugikan dan memastikan ketersediaan bahan baku yang memadai untuk industri kosmetik, sambil memperhatikan keberlanjutan dan keseimbangan dalam penggunaan kelapa sawit. Dengan demikian, langkah-langkah ini diharapkan dapat menciptakan harmoni antara berbagai industri yang bersaing untuk menggunakan kelapa sawit sebagai bahan baku.
Daftar Pustaka
Budiman, Ibnu. (2023). Industri Sawit Ingkari Komitmen Anti Deforestasi, Bagaimana Menuntut
Pertanggungjawaban Mereka?. Diakses melalui https://theconversation.com/
industri- sawit-ingkari-komitmen- antideforestasi-bagaimana-menuntut- pertanggungjawaban-
mereka-199000. pada 1 November 2023.
GIMNI. (2022). Indonesia dan Tantangan Industri Kelapa Sawit. Diakses dari https://
gimni.org/indonesia-dan-tantangan- industri-kelapa-sawit/, pada 25 Oktober 2023.
Kementerian Keuangan. (2023). Nota keuangan RAPBN Tahun Anggaran 2024.
Jakarta: Kementerian Keuangan.
Kementerian Perindustrian. (2023).
Kemenperin Beberkan Cuan di Balik Hilirisasi Industri Kelapa Sawit. Jakarta:
Kementerian Perindustrian.
Nababan, Willu Medi Christian. (2023).
Pertumbuhan Industri Kecantikan Ditopang Bahan Baku Impor Bahan Baku.
Diakses melalui https://www.kompas.id/
baca/ekonomi/2023/07/23/pertumbuhan- industri-kecantikan-ditopang-impor- bahan-baku, diakses pada 17 oktober 2023.
Prakarsa, The. (2021). Pelanggaran Hak Buruh Perkebunan Sawit: Studi Kasus di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah.
Jakarta: The Prakarsa.
Statista. (2023). "Indonesia: personal care revenue growth 2019-2028".
Diakses melalui https://www.statista.com/
forecasts/1219499/indonesia-revenue- growth-personal-care-market, diakses pada 17 Oktober 2023.
P
emerintah menjamin ketersediaan alat kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia untuk keberlangsungan pemenuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 36 dan Pasal 37 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 36 ayat 1 menyebutkan bahwa pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, antara lain peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Pasal 37 ayat 1 menyebutkan bahwa pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat akan perbekalan kesehatan terpenuhi. Lebih lanjut, pada ayat 2 disebutkan bahwa pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga dan faktor yang berkaitan dengan pemerataan.Pengadaan alat kesehatan dapat berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri (impor). Dalam mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing industri
Abstrak
Kemandirian industri alat kesehatan memegang peranan penting dalam mewujudkan terselenggaranya pelayanan kesehatan yang memadai bagi seluruh lapisan masyarakat. Terdapat beberapa tantangan dalam mewujudkan kemandirian industri alat kesehatan. Pertama, rendahnya tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang digunakan dalam produksi alat kesehatan dalam negeri. Kedua, belum maksimalnya apresiasi dari pengguna produk alat kesehatan yang belum yakin terhadap kualitas produk dalam negeri. Ketiga, dukungan pembinaan kepada pelaku usaha industri alat kesehatan masih belum optimal. Untuk itu, Komisi VII DPR RI perlu mendorong Kementerian Perindustrian untuk melakukan penyusunan pohon industri khusus industri alat kesehatan, memaksimalkan partisipasi aktif dan bermakna dari masyarakat (meaningful participation) dalam menyusun kebijakan terkait industri dan mendorong pemerintah untuk meningkatkan kerja sama internasional terkait riset dan pengembangan. Perlunya peran Komisi VI DPR RI dalam mengusahakan BUMN terkait, seperti PT Bio Farma (Persero) selaku holding BUMN Farmasi, untuk melakukan sinergi dan mendukung pengembangan industri alat kesehatan serta peran Komisi VII DPR RI untuk menguatkan pelaksanaan riset di bidang alat kesehatan oleh Kementerian yang membawahi bidang riset dan teknologi maupun Pendidikan Tinggi.
Upaya Mewujudkan Kemandirian Industri Alat Kesehatan
Leo Iskandar*)
alat kesehatan dalam negeri, dirumuskan Rencana Aksi Pengembangan Industri Alat Kesehatan Indonesia 2016-2020 yang merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Pada periode sebelum dirumuskan rencana aksi tersebut, komposisi alat kesehatan produksi dalam negeri jumlahnya tidak sampai 10 persen dari keseluruhan alat kesehatan yang beredar di Indonesia (Gambar 1).
Gambar 1. Perbandingan Jumlah Izin Edar Alat Kesehatan Dalam Negeri dengan Jumlah Izin Edar Alat Kesehatan
Impor Tahun 2014-2016
Sumber: Kementerian Kesehatan, 2014-2016, diolah.
Berdasarkan data Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI bulan Oktober 2023, jumlah izin edar produk alat kesehatan dalam negeri adalah 14.238 atau 20,72 persen dari total izin edar produk alat kesehatan di Indonesia (Tabel 1).
Jika dirinci lebih lanjut, produk alat kesehatan dalam negeri terbanyak ada pada jenis non-elektromedik, yaitu sebesar 30,96 persen, di mana sebagian besarnya merupakan produk alat kesehatan non-elektromedik non- steril. Sebaliknya, persentase produk alat kesehatan dalam negeri terendah berada pada produk invitro diagnostik, yaitu hanya sebesar 5,10 persen dari keseluruhan produk invitro diagnostik yang beredar di Indonesia. Secara total, nampak bahwa persentase jumlah produk alat kesehatan dalam negeri telah mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2016, meskipun produk alat kesehatan dalam negeri masih belum mendominasi seluruh produk alat kesehatan yang beredar di Indonesia.
Kemandirian dalam industri alat kesehatan bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat dengan harga yang terjangkau sekaligus mengurangi ketergantungan kepada negara lain. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk dapat mewujudkan kemandirian industri alat kesehatan dalam negeri, salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan yang
negeri. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri secara umum menyebutkan bahwa produk dalam negeri dengan nilai tingkat komponen dalam negeri (TKDN) minimal sebesar 25 persen mendapat prioritas pengadaan barang/jasa oleh pengguna produk dalam negeri.
Adapun penghitungan nilai TKDN untuk produk alat kesehatan dalam negeri secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 31 Tahun 2022 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Alat Kesehatan dan Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro.
Melalui kebijakan ini, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) selaku penyusun kebijakan dan regulasi terkait pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, termasuk di dalamnya kewenangan untuk merumuskan perencanaan dan pengembangan strategi, akan melakukan pembekuan terhadap alat kesehatan impor dalam Katalog Elektronik LKPP kategori alat kesehatan jika tersedia alat kesehatan produksi dalam negeri dengan spesifikasi yang sama.
Industri Alat Kesehatan Masuk dalam Sektor Industri Prioritas Making Indonesia 4.0
Making Indonesia 4.0 merupakan tagline Kementerian Perindustrian yang diluncurkan secara resmi pada tahun 2018 yang menandakan dimulainya revolusi industri 4.0 di Indonesia, di mana di dalamnya mencakup 5 sektor industri
Tabel 1. Perbandingan Jumlah Izin Edar Alat Kesehatan Dalam Negeri dengan Jumlah Izin Edar Alat Kesehatan Impor Berdasarkan Jenis Tahun 2023
Sumber: Kementerian Kesehatan (2023), diolah.
prioritas untuk dikembangkan melalui penerapan beragam pengembangan teknologi canggih (Kementerian Perindustrian, 2018). Dalam dokumen resminya, Kementerian Perindustrian menjabarkan bahwa terdapat 5 teknologi utama yang digunakan dalam revolusi industri ke-4, yaitu Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), 3D printing, wearables yang mendukung augmented reality dan/
atau virtual reality, dan robotika canggih.
Adapun kelima sektor industri prioritas untuk dikembangkan adalah elektronik, kimia, otomotif, tekstil dan pakaian, serta makanan dan minuman.
Melihat perkembangan yang terjadi seputar dunia kesehatan di Indonesia, pada tahun 2020 Kementerian Perindustrian memasukkan industri alat kesehatan ke dalam pengembangan Making Indonesia 4.0. Salah satu alasannya adalah untuk mempercepat terwujudnya kemandirian Indonesia di sektor kesehatan. Kemandirian ini menjadi semakin penting kala Indonesia menghadapi kondisi darurat kesehatan, khususnya pada tahun awal pandemi Covid-19. Di saat sektor lain merasakan dampak pelemahan akibat pandemi, sektor industri alat kesehatan dan farmasi justru mengalami peningkatan permintaan. Ketidaksiapan industri alat kesehatan dan farmasi dalam negeri pada saat itu terhadap lonjakan permintaan menyebabkan Indonesia menjadi sangat bergantung kepada pengadaan produk alat kesehatan dari luar negeri.
Alasan lainnya yaitu potensi pasar yang besar di industri alat kesehatan. Indonesia dengan jumlah penduduk diproyeksikan mencapai 278,7 juta jiwa pada tahun 2023 (BPS, 2023) merupakan pasar yang besar di bidang kesehatan. Statista (2023) memproyeksikan pasar alat kesehatan di Indonesia pada tahun 2023 mencapai US$1,95 miliar atau setara dengan Rp31 triliun menggunakan kurs Rp15.900 per 1 Dolar Amerika Serikat. Dengan nilai yang sedemikian besar, Statista memproyeksikan pertumbuhan tahunan sebesar 6,8 persen untuk periode tahun
2023-2028, sehingga pada tahun 2028 diproyeksikan pasar alat kesehatan di Indonesia mencapai US$2,71 miliar atau setara Rp43 triliun.
Tantangan dalam Mewujudkan Kemandirian Industri Alat Kesehatan
Pertama, rendahnya tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang digunakan dalam produksi alat kesehatan dalam negeri. Produk alat kesehatan yang mendapat label buatan dalam negeri sesungguhnya tidak menjamin seluruh komponen yang digunakan dalam proses produksi berasal dari dalam negeri.
Pada kenyataannya, sebagian besar di antaranya menggunakan bahan baku impor atau non-TKDN.
Berdasarkan data katalog elektronik LKPP tahun 2021, terdapat transaksi impor dengan nilai triliunan. Nilai transaksi impor terbesar ada pada pengadaan produk alat kesehatan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dengan nilai Rp13,65 triliun atau 70,18 persen dari total nilai transaksi. Sementara, nilai transaksi untuk produk dalam negeri sebesar Rp5,80 triliun, di mana produk dalam negeri dengan komponen TKDN sebesar Rp2,83 triliun atau 14,55 persen dari total nilai transaksi dan produk dalam negeri non-TKDN sebesar Rp2,97 triliun atau 15,27 persen dari total nilai transaksi.
Dari data di atas dapat dilihat bahwa pengadaan produk alat kesehatan dalam negeri dengan komponen TKDN yang dilakukan Kementerian Kesehatan secara persentase menempati urutan terendah.
Minimnya pemanfaatan bahan baku atau komponen dalam negeri dapat disebabkan oleh beberapa hal. Namun, perlu dipahami terlebih dulu bahwa bahan baku alat kesehatan memiliki sifat yang kompleks karena memerlukan spesifikasi khusus untuk dapat diserap oleh industri alat kesehatan, antara lain harus berstandar medis. Sifat kekhususan ini yang membuat pengadaan bahan baku tersebut menjadi tidak sederhana untuk dilakukan, karena memerlukan beberapa pertimbangan, antara lain kemampuan dalam memproduksi dan kepastian
adanya permintaan yang memadai akan barang hasil produksi. Kemampuan dalam memproduksi terkait dengan besarnya investasi yang perlu dikeluarkan untuk memproduksi komponen alat kesehatan yang berstandar medis. Sementara, kepastian bahwa hasil produksi akan diserap oleh pasar dalam negeri terkait dengan adanya jaminan bahwa proses produksi yang dilakukan akan berjalan secara berkelanjutan pada kapasitas yang dapat memberikan keuntungan.
Berdasarkan bagan pohon industri yang disusun Kementerian Perindustrian (2019), nikel merupakan salah satu sumber daya alam yang digunakan dalam industri alat kesehatan. Sebelum sampai kepada industri alat kesehatan, nikel tersebut harus melalui beberapa kali proses pengolahan yang dilakukan oleh beraneka ragam industri. Terdapat 6 industri yang merupakan industri hulu dari industri alat kesehatan, antara lain stainless steel (slab), stainless steel (HR), stainless steel (CR), nickel-based alloy, plating dan batteries. Dari 6 industri tersebut, hanya 3 di antaranya yang sudah ada di Indonesia. Selain itu, salah satu produk olahan dari bahan baku stainless steel yang berkelas medis adalah stainless steel tipe 316, di mana stainless steel tersebut mayoritas tersedia di pasar stainless steel luar negeri (Ferdiansyah et al., 2019). Dari data di atas dapat dilihat adanya bagian yang hilang dalam rantai pasokan bahan baku atau komponen untuk industri alat kesehatan dalam negeri, sehingga untuk pengadaannya dilakukan melalui jalur impor.
Komisi VII DPR RI perlu untuk mendorong Kementerian Perindustrian untuk melakukan penyusunan pohon industri khusus industri alat kesehatan dengan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, antara lain Kementerian Kesehatan selaku pihak yang memiliki pemahaman teknis mengenai kebutuhan peralatan kesehatan beserta komponen bahan bakunya yang sesuai dengan standar medis. Sehingga, pemerintah dapat secara khusus memetakan kebutuhan industri hulu dan industri pendukung untuk
pengembangan industri alat kesehatan dalam negeri. Selanjutnya, Komisi VI DPR RI perlu untuk mendorong BUMN terkait, seperti PT Bio Farma (Persero) selaku holding BUMN Farmasi, untuk melakukan sinergi dan mendukung pengembangan industri alat kesehatan.
Kedua, belum maksimalnya apresiasi dari pengguna produk alat kesehatan yang belum yakin terhadap kualitas produk dalam negeri, khususnya terhadap produk dengan kriteria risiko sedang hingga tinggi. Masih adanya anggapan bahwa kualitas produk impor lebih baik dari kualitas produk lokal (Utomo, 2022).
Hal tersebut dapat terjadi karena dari sisi pengguna yang terbiasa menggunakan produk alat kesehatan merek impor, atau dari sisi pengusaha yang belum tertarik untuk berinvestasi dalam industri produksi alat kesehatan dalam negeri sehingga semakin menyuburkan aktivitas impor produk luar.
Perlu adanya keselarasan pandangan mengenai upaya bangsa dalam memajukan industri dalam negeri. Komisi VII DPR RI dalam menyusun kebijakan terkait industri perlu memaksimalkan partisipasi aktif dan bermakna dari masyarakat (meaningful participation) sehingga kebijakan yang disusun memiliki unsur peran serta masyarakat dari berbagai lapisan, mulai dari konsumen akhir, sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya, sampai pelaku dunia usaha selaku investor. Sehingga, kebijakan yang dikeluarkan dapat diterima dan dijalankan oleh berbagai pihak sebagai satu kesatuan bangsa.
Ketiga, dukungan pembinaan kepada pelaku usaha industri alat kesehatan masih belum optimal. Sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan yang kemudian dikembangkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, dasar pengembangan industri alat kesehatan dalam negeri
adalah riset dan inovasi. Pembinaan yang intensif kepada pelaku usaha industri alat kesehatan melalui dukungan riset dan pengembangan yang andal dapat menjadi stimulus positif untuk perkembangan industri alat kesehatan Tanah Air (Utomo, Nurputra dan Ardhani, 2023). Untuk itu, Komisi VII DPR RI perlu untuk menguatkan pelaksanaan riset di bidang alat kesehatan oleh Kementerian yang membawahi bidang riset dan teknologi maupun dengan menjalin kerja sama dengan Pendidikan Tinggi. Selain itu, Komisi VII DPR RI agar mendorong pemerintah untuk meningkatkan kerja sama internasional terkait riset dan pengembangan, antara lain menghubungkan industri medis dari luar negeri agar dapat bekerja sama dengan industri dalam negeri untuk membuat dan mengembangkan peralatan medis di Indonesia.
Daftar Pustaka
BPS. (2023). Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun (Ribu Jiwa), 2021- 2023. Diakses dari https://www.bps.go.id/
indicator/12/1975/1/jumlah-penduduk- pertengahan-tahun.html, pada 18 Oktober 2023.
Ferdiansyah, Waskita, H. C., Utomo, D. N., Suroto, H., dan Martanto, T. W.
(2019). Uji Biokompatibilitas pada Implan Orthopedi antara Implan Impor, Implan Lokal dari Material Impor, dan Prototipe Stainless Steel 316L dari Material Lokal.
Jurnal Qanun Medika, 3(1).
Kementerian Kesehatan. (2023). Aplikasi Info Alat Kesehatan & PKRT Tahun 2014 - 2016, dan tahun 2023. Diakses dari https://infoalkes.kemkes.go.id/info.
php#home/produk/lstAlkes/01 pada 10 Oktober 2023.
Kementerian Perindustrian. (2018).
Revolusi Industri 4.0 Indonesia. Jakarta:
Kementerian Perindustrian.
Kementerian Perindustrian. (2019). Pohon Industri dan Bill of Materials. Diakses dari https://www.kemenperin.go.id/pohon- industri, pada 25 Oktober 2023.
Statista. (2023). Medical Devices – Indonesia. Diakses dari https://www.
statista.com/outlook/hmo/medical- technology/medical-devices/indonesia, pada 25 Oktober 2023.
Utomo, S. (2022). Valuasi Teknologi Terhadap Produk Alat Kesehatan Industri Manufaktur Sebagai Upaya Peningkatan Inovasi dan Daya Saing Menggunakan Metode TMCRL (Technology
Manufacturing Commercialization Readiness Level). Jurnal Informatika Universitas Pamulang, 7(1), 89-99.
Utomo, H., Nurputra, D. H. dan Ardhani, R. (2023). Konvergensi Kebijakan Riset dan Inovasi untuk Resiliensi Industri Alat Kesehatan di Indonesia. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI, 12(1), 47-59.