• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bunuh Diri pada Kelompok Usia Remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Bunuh Diri pada Kelompok Usia Remaja"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

PENTINGNYA PEMBAHASAN BUNUH DIRI

Latar Belakang

Menurut Suicide Prevention Resources Center (SPRC), faktor risiko bunuh diri remaja meliputi upaya bunuh diri sebelumnya, penyalahgunaan zat, gangguan mood, dan akses terhadap senjata tajam (SPRC, 2011). Layanan kesehatan mental yang dapat mengurangi risiko bunuh diri antara lain terapi perilaku kognitif dan terapi perilaku dialektis. Penindasan merupakan faktor risiko kuat terjadinya bunuh diri antara usia dua belas dan lima belas tahun.

Data menunjukkan bahwa faktor risiko tinggi bunuh diri pada masa remaja awal berhubungan dengan bullying, tuntutan akademis, dan depresi. Laporan kasus bunuh diri pada anak di bawah usia lima belas tahun sering kali dikaitkan dengan perilaku yang merugikan diri sendiri. Sulit membedakan antara upaya bunuh diri dan kecelakaan yang disebabkan oleh tindakan menyakiti diri sendiri (Cleary, dkk, 2019).

Data menyebutkan angka bunuh diri pada kelompok umur lima hingga empat belas tahun pada tahun 2017 sebesar 0,19 orang per 100.000 penduduk (Institute for Health Metrics (IHME), 2017).

Tujuan

Manfaat

KONSEP DAN TEORI BUNUH DIRI PADA REMAJA

Konsep Remaja

Remaja seringkali menggunakan kelompok teman sebaya sebagai cara untuk memisahkan diri dari orang tuanya dan membentuk identitasnya sendiri. Otonomi dan tanggung jawab yang diberikan orang tua akan membantu remaja meningkatkan kemampuannya dalam mengambil keputusan. Adaptasi remaja yang tepat oleh orang tua dan masyarakat di lingkungannya akan membantu remaja dalam mengambil tanggung jawab moral dan budaya.

Remaja yang tidak mendapat bimbingan agama dari orang tua pada masa kanak-kanaknya akan mengalami kesulitan tumbuh kembang dan kesulitan dalam mengembangkan perasaan keagamaan. Hal ini terjadi ketika orang tua melakukan pendidikan agama dengan cara yang menyenangkan agar pengalaman masa kecil ini terus berlanjut. Bahkan dalam situasi lain, remaja seringkali mengeluh karena orang tuanya tidak memperhatikannya (Stuart, 2013; Keliat, Pasaribu, 2016).

Untuk dapat mencapai kemandirian yang sehat, interaksi dan hubungan antara remaja dengan orang tuanya sangatlah penting, termasuk gaya pengasuhan yang digunakan. Dampak dari jenis pengasuhan orang tua terhadap kemandirian remaja akan menghasilkan sikap yang berbeda-beda (Stuart, 2013; Keliat, Pasaribu, 2016). Kemandirian seringkali membuat remaja merasa ingin terbebas dari hal-hal yang mengatur hidupnya, termasuk orang tuanya.

Remaja dan Keluarga

Remaja kreatif mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, berani mengemukakan pendapat, suka mencari pengalaman baru, menyukai tantangan atau hal sulit, proaktif, rajin, energik dan gigih, mampu melakukan banyak tugas, percaya diri, mempunyai selera humor, suka cantik, mempunyai wawasan masa depan dan mempunyai imajinasi. Orang tua harus menjalin komunikasi yang terbuka, menghindari kecurigaan dan permusuhan, sehingga hubungan orang tua dan remaja selalu harmonis. Hubungan seorang remaja dengan orang tuanya sangat penting dalam membangun kepercayaan pada dirinya sendiri dan orang lain, serta mempengaruhi perkembangan sosial, emosional, dan kognitif.

Hubungan yang hangat, terbuka dan komunikatif antara orang tua dan remaja, dengan tidak meninggalkan batas-batas wajar antar usia, dengan menyampaikan alasan-alasan normatif terhadap hal-hal yang tidak boleh dilakukan remaja, akan meningkatkan rasa percaya diri dan penampilan remaja baik di sekolah maupun di sekolah. Hal ini juga menghindarkan remaja dari terjerumus masalah atau hal-hal negatif seperti depresi dan penyalahgunaan zat. Kemampuan keluarga dalam menjalani proses perkembangan ini akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengasuh remaja sejak dini hingga mencapai jati dirinya sebagai tugas utama perkembangan remaja.

Tugas pembinaan keluarga pada anak usia dini antara lain (a) memberikan kebebasan yang diimbangi dengan tanggung jawab, (b) memelihara hubungan intim dalam keluarga, (c) menjaga komunikasi terbuka antara anak dan orang tua, menghindari pertengkaran, permusuhan, dan kecurigaan, (d) perubahan sistem peran dan aturan pertumbuhan dan perkembangan. Keberhasilan sebuah keluarga melewati tahap ini adalah ketika keluarga mampu melepaskan remajanya dan memberikan mereka tanggung jawab untuk tahap selanjutnya. Agar keluarga dapat berperan baik dalam memfasilitasi tumbuh kembang awal generasi muda, maka keluarga harus mampu menjalankan fungsinya.

Fungsi keluarga (Friedman, 2003) meliputi 1) fungsi afektif yaitu keluarga mempunyai fungsi memberikan kenyamanan emosional bagi anggotanya, saling mengasuh, memberikan kasih sayang, saling menerima dan mendukung serta merupakan sumber energi kebahagiaan bagi keseluruhan. keluarga. anggota. Fungsi keluarga dalam pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan tumbuh kembang remaja awal adalah memenuhi tanggung jawab kesehatan keluarga agar tumbuh kembangnya optimal. Tugas keluarga dalam menjaga kesehatan keluarga (Friedman, 2003) dalam mencegah terjadinya masalah perilaku bunuh diri adalah: 1) Mengidentifikasi masalah kesehatan keluarga yaitu permasalahan risiko bunuh diri pada remaja awal.

Penelitian telah menunjukkan bahwa masukan keluarga dalam pengambilan keputusan tentang tindakan untuk klien meningkatkan hasil klien, selain manfaat maksimal juga terjadi ketika keluarga didukung dan dididik dalam peran kemitraan (Heru, 2006; Zauszniewski et al, 2009; Stuart, 2009; Stuart, 2013; Keliat, Pasaribu, 2016). Dalam upaya pencegahan bunuh diri di kalangan remaja usia dini, penting untuk melibatkan keluarga, baik dalam hal peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk mencegah masalah risiko bunuh diri serta peningkatan akses terhadap layanan kesehatan bagi remaja usia dini dan keluarga.

Konsep Bunuh Diri

Bunuh diri merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang untuk mengakhiri hidupnya (Keliat dkk, 2011). Berkembangnya ide bunuh diri bersifat sangat individual dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang melatarbelakangi pelakunya. Pasien sudah aktif berpikir untuk merencanakan bunuh diri, namun belum pernah mencoba bunuh diri.

Fenomena baru bagaimana generasi milenial saat ini melakukan bunuh diri adalah dengan menggunakan gas batubara (Cleary, 2019). Pada fase percobaan bunuh diri, seseorang secara aktif mencoba berbagai cara yang mungkin untuk mengakhiri hidupnya. Kematian akibat bunuh diri meningkat pada usia muda dan menggunakan metode bunuh diri yang lebih mematikan.

Secara umum setiap individu mempunyai faktor risiko dan faktor protektif yang mempengaruhi keputusan untuk melakukan bunuh diri. Ada tingginya insiden depresi dan perilaku bunuh diri di antara orang tua dan saudara kandung (Shaffer, 1974). Bunuh diri paling sering dipicu oleh krisis disiplin dan terjadi setelah sekolah atau di rumah.

Stresor lingkungan yang kuat dan negatif akan mempengaruhi kemampuan remaja untuk menghindari mekanisme koping bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri sering mengeluh sakit kepala dan sakit perut, tingginya ekspresi reseptor 5-hydroxytryptamine (5HT) di korteks prefrontal dan hipokampus, disfungsi serotonergik (Stuart, 2013; Keliat, Pasaribu, 2016). Frekuensi percobaan dan keberhasilan bunuh diri sangat tinggi di kalangan kelompok remaja gay, lesbian, dan biseksual.

Faktor pelindung bunuh diri merupakan faktor yang dapat menurunkan risiko seseorang untuk melakukan bunuh diri. Akses terhadap layanan kesehatan yang terjangkau merupakan faktor yang dapat meningkatkan kemampuan mencegah risiko bunuh diri.

UPAYA PENCEGAHAN RISIKO BUNUH DIRI

Upaya-upaya pencegahan risiko bunuh diri

Remaja yang telah menyelesaikan tugas perkembangannya mempunyai kemampuan untuk menggunakan sumber daya dalam dirinya dan lingkungan untuk mencegah risiko bunuh diri. Penelitian tentang terapi kognitif pada lansia menunjukkan bahwa terapi kognitif mengurangi depresi (Prasetya, Hamid, Susanti, 2010). Penelitian terapi kognitif juga memberikan dampak yang signifikan terhadap pasien gangguan jiwa dalam mengatasi rendahnya harga diri (Suerni, Keliat, Helena, 2013).

Penelitian terapi kognitif pada penelitian lain terhadap orang dewasa lanjut usia menunjukkan adanya penurunan depresi dan rendahnya harga diri (Suzzana, Mustikasari, Wardani, 2016). Terapi kognitif dianggap penting dan sebaiknya digunakan pada remaja yang berisiko rendah diri dan depresi. Program Kampanye Pencegahan Bunuh Diri Remaja AFSP bertemakan “Bunuh Diri Tidak Harus Menjadi Rahasia” untuk program kampanye yang diiklankan melalui layanan publik untuk pencegahan bunuh diri remaja.

Tujuan dari program ini adalah untuk memberikan konseling melalui telepon atau layanan lainnya kepada orang-orang yang ingin bunuh diri atau mencurigai mereka berisiko untuk bunuh diri (Suicidology, 2019). Upaya pencegahan risiko bunuh diri melalui layanan hotline merupakan upaya yang juga telah dilakukan pemerintah. Ada juga upaya pencegahan bunuh diri yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengobati depresi pada masa remaja awal dan mengobati Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) pada anak-anak, namun yang terpenting, strategi pengobatan harus dipertimbangkan yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah sosial dan membangun hubungan. program pencegahan bunuh diri.

Teori Penentu Inti Upaya Kesehatan (CAF, 2019) menjelaskan dua belas komponen yang harus diperhatikan dalam upaya pencegahan bunuh diri. Secara umum, banyak upaya preventif yang dilakukan untuk mencegah risiko bunuh diri atau upaya bunuh diri, baik dalam bentuk konseling, konseling, atau layanan hotline. Beberapa negara telah mengembangkan upaya khusus di tingkat nasional untuk mencegah meningkatnya angka bunuh diri atau mengurangi angka bunuh diri yang ada.

Negara-negara seperti Jepang dan Singapura memiliki institusi dan program khusus untuk mencegah bunuh diri. Lembaga ini meneliti tren dan permasalahan bunuh diri terkini, mendokumentasikan tingkat kejadian, mendirikan klinik intervensi krisis, memberikan pelatihan bagi para profesional dan masyarakat untuk terlibat dalam upaya pencegahan bunuh diri, dan menyediakan layanan terintegrasi dengan baik di pusat kesehatan atau online.

Permasalahan terkait Upaya Pencegahan

Permasalahan bunuh diri pada remaja awal ibarat fenomena gunung es yang terkesan kecil namun nyatanya banyak terjadi. Kegagalan keluarga dan sekolah dalam mengenali atau mengidentifikasi dan mengatasi masalah bunuh diri meningkatkan faktor risiko bunuh diri pada remaja awal. Tanda dan gejala bunuh diri tidak seperti penyakit menular atau penyakit fisik kronis lainnya.

Mengenali tanda dan gejala risiko bunuh diri membantu melakukan pencegahan sekaligus meningkatkan faktor protektif. Diantaranya adalah peraturan untuk melindungi anak dari tindakan kekerasan sebagai salah satu penyebab bunuh diri di kalangan remaja. Pemerintah juga menyediakan layanan kesehatan jiwa di puskesmas sebagai layanan kesehatan masyarakat primer, termasuk untuk masalah risiko bunuh diri.

Aplikasi kesehatan mental tidak khusus untuk pencegahan bunuh diri, namun untuk masalah kesehatan mental secara umum. Strategi khusus yang dapat membantu mencegah bunuh diri (Stuart, Keliat, Pasaribu, 2016) meliputi 1) pengendalian senjata dan mengurangi ketersediaan senjata mematikan. Program lain dalam upaya pencegahan bunuh diri adalah program kesadaran bunuh diri komunitas, yang dapat membangun ketahanan mental dan dukungan sosial (Tsai et al, 2010; Stuart, 2013; Keliat, Pasaribu, 2016).

Langkah-langkah lain yang dapat membantu mencegah bunuh diri adalah penilaian pendidikan dan program bunuh diri berbasis sekolah. Strategi pencegahan bunuh diri lain yang efektif adalah layanan telepon yang memberikan bantuan di rumah, penilaian kebutuhan dan dukungan emosional (Stuart, 2013; Keliat, Pasaribu, 2016). Isolasi sosial menjadi faktor risiko bunuh diri ketika hilangnya hubungan sosial menjadi faktor protektif.

Pikiran untuk bunuh diri tidak cukup untuk mengarah pada percobaan bunuh diri atau bunuh diri yang sebenarnya. Ketakutan akan kematian, termasuk bunuh diri, merupakan naluri normal dan kekuatan manusia yang luar biasa. Peristiwa bunuh diri akan lebih mungkin terjadi jika pengalaman mengajarkan kita bahwa tidak perlu takut akan kematian.

Pengaruh program stress coping training terhadap risiko bunuh diri pada remaja di SMA Kasih Kota Depok, 2010.

Gambar 2.1 Teori Interpersonal Bunuh Diri (Joiner, 2019)
Gambar 2.1 Teori Interpersonal Bunuh Diri (Joiner, 2019)

Referensi

Dokumen terkait