• Tidak ada hasil yang ditemukan

Chronic Myeloid Leukemia Resistant to Imatinib

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Chronic Myeloid Leukemia Resistant to Imatinib "

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Jurnal Penyakit Dalam Indonesia

Volume 9 Number 4 Article 26

12-31-2022

Second-Line Therapy Tyrosine Kinase Inhibitor for Chronic Phase Second-Line Therapy Tyrosine Kinase Inhibitor for Chronic Phase Chronic Myeloid Leukemia Resistant to Imatinib

Chronic Myeloid Leukemia Resistant to Imatinib

Chici Pratiwi

Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, chici.pratiwi@yahoo.com

Wulyo Rajabto

Divisi Hematologi Onkologi Medik, Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, wulyo02@gmail.com

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jpdi Part of the Internal Medicine Commons

Recommended Citation Recommended Citation

Pratiwi, Chici and Rajabto, Wulyo (2022) "Second-Line Therapy Tyrosine Kinase Inhibitor for Chronic Phase Chronic Myeloid Leukemia Resistant to Imatinib," Jurnal Penyakit Dalam Indonesia: Vol. 9: No. 4, Article 26.

DOI: 10.7454/jpdi.v9i4.1026

Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jpdi/vol9/iss4/26

This Literature Review is brought to you for free and open access by UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Jurnal Penyakit Dalam Indonesia by an authorized editor of UI Scholars Hub.

(2)

TINJAUAN PUSTAKA

Terapi Lini Kedua Tyrosine-Kinase Inhibitor pada Pasien Leukemia Granulositik Kronik Fase Kronik yang Resistan

terhadap Imatinib

Second-Line Therapy Tyrosine Kinase Inhibitor for Chronic Phase Chronic Myeloid Leukemia Resistant to Imatinib

Chici Pratiwi1, Wulyo Rajabto2

1Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

2Divisi Hematologi Onkologi Medik, Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Korespondensi:

Wulyo Rajabto. Divisi Hematologi Onkologi Medik, Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jln. Diponegoro No. 71, Jakarta 10430. Email: wulyo02@gmail.com

ABSTRAK

Sejak era terapi tyrosine kinase inhibitor (TKI), telah terjadi peningkatan median kesintasan hidup pasien leukemia granulositik kronik fase kronik. Seiring berjalannya waktu, para ahli mendapatkan kejadian resistansi pemberian TKI lini pertama, sehingga mulai muncul berbagai TKI lini kedua. Penilaian respons terapi dilakukan dengan menggunakan penilaian respons hematologi, sitogenetika, dan molekular berdasarkan kriteria European Leukemia Net (ELN). Pemilihan TKI lini kedua seyogyanya berdasarkan pertimbangan profil keamanan TKI lini kedua dan hasil analisis mutasi. Pada tulisan ini, dibahas mengenai rekomendasi terapi lini kedua disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.

Kata Kunci: Imatinib, leukemia granulositik kronik, tyrosine kinase inhibitor

ABSTRACT

Since the era of tyrosine kinase inhibitor (TKI) therapy, there has been an increase in the median survival of chronic myeloid leukemia. Nevertheless, nowadays there were several cases of chronic myeloid leukemia that are resistant to the first-line TKIs, so that several second-line TKIs were introduced. Assessment of the therapeutic response was performed using a complete peripheral blood examination, bone marrow aspiration cytogenetic examination, and quantitative BCR-ABL examination. The treatment failure criteria were applied based on the ELN criteria. In selecting the second line TKI should be based on the results of mutation analysis and consider the safety profile of the second line therapy. This paper will discuss the recommendations for second-line therapy TKI, adjusted to the resources in Indonesia.

Keywords: chronic myeloid leukemia, imatinib, tyrosine kinase inhibitor

PENDAHULUAN

Sebelum era terapi tyrosine kinase inhibitor (TKI), median kesintasan hidup pada pasien leukemia granulositik kronik (LGK) fase kronik adalah 3-7 tahun dan tingkat kesintasan 10 tahun hanya mencapai <30%. Pada tahun 2000, terapi TKI mulai diperkenalkan dan mengubah secara drastis tata laksana, perjalanan penyakit, dan prognosis pasien LGK. Saat ini tingkat kesintasan 10 tahun pasien LGK yang mendapat terapi imatinib sebagai terapi lini pertama TKI mencapai 85%. Angka mortalitas menurun dari 10-20% menjadi sekitar 2% setelah era terapi TKI.1 Namun seiring berjalannya waktu, ditemukan 20-30%

kasus mengalami resistansi pemberian TKI lini pertama.

Sehingga, dikembangkan berbagai jenis TKI baru seperti nilotinib, dasatinib, bosutinib, dan ponatinib.2

Pada tulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai rekomendasi penggantian terapi TKI lini kedua. Tulisan akan membahas mengenai profil efektivitas dan keamanan TKI lini kedua, mekanisme dasar terjadinya resistansi TKI, serta berbagai skor prognosis pasien LGK yang berperan dalam menentukan respons klinis terapi TKI pada pasien LGK.

(3)

Chici Pratiwi, Wulyo Rajabto

GAMBARAN UMUM

Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan suatu gangguan stem cell hematopoietic yang ditandai dengan adanya translokasi resiprokal t(9;22) (q34;q11.2) yang menyebabkan pemendekan kromosom 22 yang disebut kromosom Philadelphia (Ph) yang mengkode BCR ABL-1 fusion oncoprotein. Protein ini memiliki aktivitas tirosin kinase konstitutif yang menstimulasi transformasi hematopoiesis dan mieloproliferasi. Isoform BCR-ABL predominan adalah 210 k-Da protein yang terdapat pada

>90% pasien dengan LGK.2 EPIDEMIOLOGI

Kejadian LGK mencapai 15-20% dari semua kasus leukemia pada dewasa. Insiden LGK mencapai 1-2 kasus per 100.000 orang per tahun.1 Pada umumnya, LGK terjadi pada pasien dengan rentang usia 40-50 tahun.1,3

MANIFESTASI KLINIS

Sekitar 40% pasien yang mengalami LGK tidak bergejala dan ditemukan saat pasien menjalani pemeriksaan medical check up. Tanda dan gejala yang dapat muncul pada pasien LGK juga tidak spesifik, yaitu berkaitan dengan splenomegali yang mana gejala yang muncul adalah perut begah dan teraba adanya benjolan di perut, sedangkan berkaitan dengan anemia dapat muncul rasa cepat lelah. Selain itu, terdapat pula gejala akibat terjadinya hipermetabolisme pada leukositosis, yaitu demam, keringat malam, dan penurunan berat

badan. Pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan adanya anemia ringan, jumlah trombosit yang normal atau meningkat, dan leukositosis dengan adanya blast dan seluruh seri granulosit dapat dijumpai, yaitu promielosit, mielosit, metamielosit, neutrophil batang, dan segmen. Pemeriksaan sitomorfologi sediaan biopsi sumsum tulang memberikan gambaran hiperselular, dengan eritropoiesis yang tertekan, peningkatan proses granulopoiesis, dan trombopoiesis dapat ditemukan normal atau meningkat. Untuk menegakkan diagnosis LGK, dibutuhkan pemeriksaan sitogenetika untuk melihat t(9;22) (kromosom Philadelphia) dan pemeriksaan molekular untuk mendeteksi BCR-ABL1.3 Menurut WHO4, LGK fase kronik memiliki kriteria blast pada darah tepi dan sumsum tulang <10%, basofil <20%, trombosit normal atau sedikit meningkat, splenomegali, anemia ringan, leukosit biasanya dijumpai >100.000 dengan adanya promielosit, mielosit, dan metamielosit pada gambaran darah tepi.

MANAJEMEN DASAR LGK Strategi Penatalaksanaan LGK

Sebelum era TKI, tata laksana pilihan pada pasien dengan LGK adalah dengan penggunaan sitoreduksi, interferon alfa (IFN-α), dan transplantasi stem sel allogenik.2 Pada tahun 2003, studi IRIS (International Randomized Study of Interferon and STI571) melaporkan bahwa imatinib mesilat lebih superior dibandingkan dengan terapi IFN-α kombinasi dengan sitarabin dosis rendah dalam menata laksana pasien LGK. Dalam 18

*meninggal, fase akselerasi, fase krisis blas, tidak ada respons terapi, peningkatan leukosit

Gambar 1. Kurva Kaplan-Meier progression free survival pada kelompok imatinib vs. kelompok kombinasi5

(4)

bulan, major cytogenetic response (MCyR) dan complete cytogenetic response (CCyR) rate mencapai 87,1% vs. 34%

dan 76,2% vs. 14,5%. Selain itu, pada kelompok pasien dengan terapi imatinib PFS (progression free survival) mencapai 96,6%, vs. 79,9%, sedangkan OS mencapai 97,2% pada kelompok imatinib vs. 95,1% pada kelompok kombinasi (Gambar 1).5

Berdasarkan hasil studi IRIS, maka imatinib 400 mg/hari telah menjadi pilihan lini pertama terapi LGK fase kronik. Selama pemberian terapi imatinib, perlu menilai respons pengobatan berupa respons hematologi, sitogenetika, dan molekular.4 Definisi dari masing-masing tipe respons dapat dilihat pada Tabel 1.

Di Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional (RSUPN) Dr.

Cipto Mangunkusumo, pemeriksaan yang rutin dikerjakan adalah pemeriksaan untuk melihat respons hematologi (darah perifer lengkap) dan pemeriksaan respons molekular BCR-ABL kuantitatif. Pemeriksaan darah perifer lengkap dilakukan setiap bulan dan pemeriksaan respons molekular BCR-ABL kuantitatif dilakukan pada bulan ke- 3, ke -6, dan bulan ke-12, selanjutnya dilakukan setiap 6 bulan.

Klasifikasi Respons Terapi LGK

Berdasarkan pemantauan respons yang dilakukan, respons terapi LGK diklasifikasikan menjadi optimal, warning, dan gagal terapi. Klasifikasi ini dibedakan antara pasien yang mendapat terapi lini pertama dan lini kedua TKI (Tabel 2).

Respons optimal menandakan tidak perlu adanya perubahan terapi, peningkatan kesintasan diperkirakan 100% terjadi setelah 6-7 tahun. Pada kelompok dengan respons optimal memiliki angka harapan hidup sama

seperti populasi umum. Respons warning menandakan pasien masih dapat diberikan imatinib, namun dengan kemungkinan luaran yang tidak sebaik pasien dengan respons optimal. Perubahan terapi dapat dipertimbangkan pada kelompok ini dan pemantauan harus dilakukan lebih ketat. Apabila gagal, berarti perubahan terapi diindikasikan dan membutuhkan monitoring yang lebih ketat.4,6

Penggunaan imatinib menyebabkan kesintasan pasien LGK fase kronik meningkat secara dramatis. Namun, seiring berjalannya waktu ditemukan 20-30% pasien mengalami resistansi TKI yang disebabkan adanya mutasi domain BCR-ABL1 kinase. Beberapa pasien mengalami gagal terapi meskipun telah dilakukan inhibisi terhadap BCR-ABL1 yang menandakan adanya aktivasi mekanisme alternatif resistansi. Sehingga, dikembangkan TKI baru seperti nilotinib, dasatinib, bosutinib, dan ponatinib. Agen ini menginhibisi spektrum tirosin kinase terlepas dari BCR- ABL1 dan memiliki kemampuan serta efek samping yang berbeda.2

Nilotinib dan dasatinib disetujui untuk diberikan pada pasien LGK fase kronik yang resistan terhadap terapi imatinib. Bosutinib disetujui oleh FDA untuk diberikan pada pasien dewasa dengan LGK fase apapun yang resistan atau intoleran dengan terapi sebelumnya, dan ponatinib disetujui untuk digunakan pada pasien LGK fase apapun dengan mutasi T315I.4

PENGGUNAAN LINI KEDUA TKI Strategi Pemilihan Terapi Lini Kedua TKI

Indikasi perubahan terapi adalah kasus gagal terapi, atau pada pasien dengan efek samping atau efek toksik yang menghambat pemberian dosis optimal. Pemilihan lini kedua TKI dilakukan berdasarkan karakteristik pasien, Tabel 1. Definisi respons hematologi, sitogenetik, dan molekular4,6,7

Tipe respons Definisi

Respons hematologi

Complete hematologic respons (CHR) jumlah leukosit <10.000/mm3, trombosit <450.000, tanpa adanya gambaran granulosit imatur (mielosit, promielost, atau blast di darah perifer), basofil <5%, dan tidak adanya splenomegali

Respons sitogenetika

Parsial kromosom Philadelphia positif 1%-35%

Complete cytogenetic response (CCyR) kromosom Philadelphia mencapai 0%

Respons sitogenetik mayor (MCyR) Ph+ 0-35%

Respons sitogenetik minor Ph+ 36-65%

Respons sitogenetik minimal Ph+ 66-95%

Tidak ada respons Ph+ >95%

Respons molekular

Complete molecular response BCR-ABL tidak dapat dikuantifikasi atau tidak terdeteksi Early molecular response (EMR) BCR-ABL1 ≤10% pada 3 dan 6 bulan terapi

Major molecular response (MMR) BCR-ABL1 ≤0,1% setelah 12 bulan dan seterusnya

Relaps hilangnya respons hematologi atau sitogenetik dan hilangnya MMR

(5)

Chici Pratiwi, Wulyo Rajabto

terutama usia, komorbiditas, profil efek samping TKI, dan mutasi domain kinase BCR-ABL1 (Tabel 3), serta ketersediaan dan harga obat.8

Nilotinib merupakan inhibitor BCR-ABL1 yang 30- 50 kali lebih poten dibandingkan imatinib secara in vitro.9 Penelitian fase II yang dilakukan oleh Kantarijan, dkk.10 pada tahun 2007 melaporkan pasien LGK yang resitan imatinib (321 subjek), setelah mendapat nilotinib didapatkan respons CHR mencapai 77% dan CCyR mencapai 41%.

Penelitian mengenai efikasi nilotinib sebagai terapi lini kedua LGK fase kronik yang dilakukan oleh Ishikawa, dkk.11 (NILSw trial), juga melaporkan bahwa 38 pasien LGK fase kronik tidak mencapai deep molecular response (DMR) setelah mendapat terapi imatinib selama 18 bulan.

Kemudian setelah mendapat terapi nilotinib selama 12 bulan, sebanyak 53,7% pasien mencapai DMR. Namun, studi tersebut juga mendapati bahwa pada pemberian nilotinib dijumpai efek samping yang lebih berat, seperti atrial fibrilasi, dyspnea, infark miokard, dan gagal jantung.

Dasatinib juga merupakan lini kedua BCR-ABL1 inhibitor yang memiliki potensi 325 kali lebih besar dibandingkan imatinib secara in vitro.12 Dasatinib dapat berikatan pada konformasi aktif dan inaktif pada domain Abl kinase dan juga menghambat Src family kinase, PDGFR, c-Kit, dan reseptor kinase ephrin A. Dasatinib tidak efektif digunakan pada pasien dengan mutasi T315I dan F317L.10 Pada suatu percobaan yang dilakukan oleh Shah, dkk.12, ditemukan bahwa pasien LGK fase kronik yang resistan terhadap imatinib setelah mendapat dasatinib 100 mg, 6-year PFS nya mencapai 49%, OS mencapai 71%, dan MMR rate mencapai 43%. Pada penggunaan dasatinib, dilaporkan efek samping yang cukup serius berupa hipertensi pulmonal.

Bosutinib merupakan Src/Abl tyrosine kinase inhibitor. Suatu penelitan fase III yang menilai efikasi dan keamanan bosutinib vs. imatinib pada pasien LGK fase kronik menemukan bahwa MMR setelah 12 bulan ditemukan lebih tinggi pada kelompok pasien yang mendapat bosutinib (41% vs. 27%; p<0,001). Transformasi ke fase akselerasi atau krisis blast ditemukan pada 2% pasien yang mendapat bosutinib dan 4% pasien yang mendapat imatinib.2 Dosis yang digunakan dalam

penggunaan bosutinib adalah 500 mg per hari. Pada suatu penelitian fase II terhadap 288 pasien (2/3 di antaranya resistan terhadap imatinib), MCyR pada 6 bulan follow up ditemukan pada 31% pasien, dan 41% pasien mencapai CCyR.9 Efek samping gastrointestinal dan gangguan fungsi hati lebih banyak ditemukan pada penggunaan bosutinib, sedangkan neutropenia, gangguan muskuloskeletal dan edema ditemukan lebih banyak pada pengguna imatinib.2

Ponatinib merupakan TKI lini ketiga yang efektif mengatasi berbagai mutasi domain kinase BCR-ABL, termasuk di antaranya mutasi T315I. Ponatinib memiliki potensi 500 kali lebih besar dibandingkan imatinib dalam menginhibisi BCR-ABL1.9 Pada suatu penelitian fase II ponatinib 45 mg, dari 267 pasien LGK fase kronik yang resistan terhadap dasatinib atau nilotinib, setelah mendapat ponatinib maka 56% mencapai major cytogenetic response, 46% mencapai complete cytogenetic response, dan 34% mencapai MMR. Efek samping yang dilaporkan muncul adalah trombositopenia (37%), skin rash (34%), dan nyeri perut (22%). Efek samping yang berat seperti trombosis arteri ditemukan pada 9% pasien.2,9 Imatinib Dose Optimization vs. Nilotinib

LASOR studi merupakan studi randomized clinical trial (RCT) multisenter yang membandingkan antara peningkatan dosis imatinib (600 mg) vs. perubahan terapi ke lini kedua nilotinib (400 mg dua kali sehari). Studi dilakukan pada pasien LGK yang mengalami respons suboptimal setelah mendapat imatinib. Pasien diikuti selama 24 bulan. Luaran primer pada penelitian ini adalah tercapainya CCyR dalam 6 bulan, sedangkan luaran sekundernya adalah MMR (BCR-ABL1 <0,1%) dalam 12 bulan. Dalam studi ini, ditemukan 50% pasien kelompok nilotinib mencapai CCyR dalam 6 bulan, sedangkan pada grup imatinib 42% mencapai CCyR dalam 6 bulan (p=0,31). Pada bulan ke-12, 36% pasien dalam kelompok nilotinib mencapai MMR, sedangkan pada kelompok imatinib 25% mencapai MMR (p=0,12). Kurva Kaplan- Meier pada follow up selama 2 tahun juga menunjukkan hasil yang serupa dalam hal event free survival (EFS) pada kelompok nilotinib dan imatinib [67% (IK 95% 53,7- 77) pada kelompok nilotinib vs. 51,7% (IK 95%19,7-76,4) Tabel 2. Respons LGK fase kronik yang mendapat terapi imatinib berdasarkan ELN4

Optimal Warning Gagal

Baseline N/A Risiko tinggi atau CCA/Ph+ major route N/A

3 bulan BCR-ABL1 ≤10% dan/ atau Ph+ ≤ 35% BCR-ABL1 >10% dan/atau Ph+ 36-95% Tidak mencapai CHR dan/atau Ph+ >95%

6 bulan BCR-ABL1 <1% dan/atau Ph+ 0 BCR-ABL1 1-10% dan/atau Ph+ 1-35% BCR-ABL1 >10% dan/atau Ph+ >35%

12 bulan BCR-ABL1 ≤0,1% BCR-ABL1 0,1-1% BCR-ABL1 >1% dan/atau Ph+>0

Pada saat apapun BCR-ABL1 ≤0,1% CCA/Ph – (-7 atau 7q-) Hilangnya CHR, CCyR, MMR, mutasi, CCA/Ph+

(6)

pada kelompok imatinib; p=0,57]. Sementara itu, kurva Kaplan Meier progression free survival pada follow up 2 tahun juga mendapatkan hasil 92,4% (IK 95% 84,7-96,3) pada kelompok nilotinib vs. 91,2% (IK 95% 82-95,8) pada kelompok imatinib (p=0,95).13

Resistansi TKI

National Comprehensive Cancer Network (NCCN)8 merekomendasikan pemeriksaan analisis mutasi pada pasien LGK fase kronik yang mengalami respons inisial inadekuat terhadap terapi TKI. Respons inisial indakuat yaitu tidak tercapainya parsial CCyR atau EMR pada 3-6 bulan terapi, kurangnya CCyR pada 12 bulan terapi atau BCR-ABL1 >1% pada 12 bulan terapi, adanya tanda hilangnya respons hematologi dan sitogenetik, atau peningkatan 1-log BCR ABL1, dan tidak tercapainya MMR.

Pemeriksaan analisis mutasi dapat membantu pemilihan TKI yang paling sesuai dengan pasien.8

Profil Keamanan Terapi TKI

Kejadian efek samping gastrointestinal dan retensi cairan lebih sering terjadi pada pasien yag mendapat imatinib, sedangkan efek samping dermatologis dan nyeri kepala didapatkan lebih sering pada pasien yang mendapat terapi nilotinib. Penggunaan nilotinib seringkali dikaitkan dengan peningkatan kejadian peripheral arterial occlusive disease (PAOD), penyakit arteri koroner, gangguan serebrovaskular, hiperglikemia, hiperkolesterolemia, peningkatan enzim transaminase, dan prolonged QT.2,6,14 Beberapa efek samping yang dijumpai pada terapi nilotinib dan dasatinib dapat dilihat pada Tabel 4.

Algoritma Terapi LGK Fase Kronis

Berdasarkan berbagai rekomendasi dan penelitian yang pernah dilakukan, maka dapat disimpulkan rekomendasi penatalaksanaan pada pasien LGK fase kronik adalah sebagai berikut (Gambar 2).

SIMPULAN

Saat ini terapi lini pertama pada LGK fase kronik adalah imatinib 400 mg. Pemantauan respons terapi imatinib memegang peranan penting dalam keberhasilan pengobatan. Penilaian respons terapi berdasarkan pada respons hematologi, sitogenetika, dan respons molekular.

Apabila setelah terapi imatinib tidak mencapai respons sesuai kriteria ELN, maka dimulai terapi lini kedua berupa imatinib 600 mg, nilotinib 400 mg tiap 12 jam, atau dasatinib 100 mg. Pemilihan lini kedua TKI berdasarkan pada karakteristik pasien, terutama usia, komorbiditas, toksisitas TKI, dan mutasi domain kinase BCR-ABL1, serta ketersediaan dan harga obat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kantarjian H, Cortes J. Chronic myeloid leukemia. Dalam: Harrison TR, Resnick WR, Wintrobe MM, Thorn GW, Adams RD, Beeson PB et al, editor. Harrison’s Principal of Internal Medicine. USA: McGraw- Hill Comp; 2015. p.687–95.

2. Pophali PA, Patnaik MM. The role of new tyrosine kinase inhibitors in chronic myeloid leukemia. Cancer J. 2016;22(1):40–50

3. Fadjari HSL. Leukemia granulositik kronik. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke V. Jakarta: Interna Publishing;

2015. hal.2680–4.

4. Baccarani M, Deininger MW, Rosti G, Hochhaus A, Soverini S, Tabel 3. Pilihan terapi berdasarkan profil mutasi BCR-ABL11

Mutasi Rekomendasi terapi

Y253H, E255K/V, atau F359V/C/I Dasatinib F317L/V/I/C, T315A, atau V299L Nilotinib E255K/V, F317L/V/I/C, F359V/C/I, T315A, atau Y253H

Bosutinib

T315I Ponatinib,

omactaxine, dan HCT allogenic

Tabel 4. Efek samping yang dijumpai pada terapi nilotinib dan dasatinib12,14,15

Nilotinib Dasatinib

Ruam kulit (29%) Nyeri muskuloskeletal (49%)

Nyeri kepala (23%) Nyeri kepala (47%)

Sesak napas (17%) Infeksi (47%)

Anemia grade 3/4 dan neutropenia (9%)

Diare (41%) Trombositopenia (6%) Efusi pleura (5%) Hiperbilirubinemia (9%) Hipertensi pulmonal (<1%) Hiperglikemia (6%)

Gambar 2. Usulan algoritma penatalaksanaan LGK fase kronik

(7)

Chici Pratiwi, Wulyo Rajabto

Apperley JF, et al. European LeukemiaNet recommendations for the management of chronic myeloid leukemia: 2013. Blood.

2013;122(6):872–84.

5. O’Brien SG, Guilhot F, Larson RA, Gathmann I, Baccarani M, Cervantes F, et al. Imatinib compared with interferon and low-dose cytarabine for newly diagnosed chronic-phase chronic myeloid leukemia. N Engl J Med. 2003;348(11):994–1004.

6. Smith CC, Shah NP. Tyrosine kinase inhibitor therapy for chronic myeloid leukemia: approach to patients with treatment-naive or refractory chronic-phase disease. Hematology. 2011;121–7 7. National Comprehensive Cancer Network (NCNN). Chronic myeloid

leukemia. Plymouth, PA: NCCN; 2018.

8. Sweet K, Pinilla-Ibarz J. Early switch in tyrosine kinase inhibitor therapy for patients with chronic myeloid leukemia: An emerging clinical question. Crit Rev Oncol Hematol. 2016;103:99–108.

9. Jabbour E, Kantarjian H. Chronic myeloid leukemia: 2018 update on diagnosis, therapy and monitoring. Am J Hematol. 2018;93(3):442–

59.

10. Buckstein R. Chronic myeloid leukemia. Odette Cancer Cent Treat Protoc. 2008;6:1–11.

11. Ishikawa J, Matsumura I, Kawaguchi T, Kuroda J, Nakamae H, Miyamoto T, et al. Efficacy and safety of switching to nilotinib in patients with CML-CP in major molecular response to imatinib:

results of a multicenter phase II trial (NILSw trial). Int J Hematol.

2018;107(5):535–40.

12. Shah N, Guihot F, Cortes J. Long-term outcome with dasatinib after imatinib failure in chronic-phase chronic myeloid leukaemia: follow up of a phase 3 study. Blood. 2014;123(15):2317–24.

13. Cortes JE, De Souza CA, Ayala M, Lopez JL, Bullorsky E, Shah S, et al. Switching to nilotinib versus imatinib dose escalation in patients with chronic myeloid leukaemia in chronic phase with suboptimal response to imatinib (LASOR): a randomised, open-label trial.

Lancet Haematol. 2016;3(12):e581–91.

14. Hochhaus A, Saglio G, Hughes TP, Larson RA, Kim DW, Issaragrisil S, et al. Long-term benefits and risks of frontline nilotinib vs imatinib for chronic myeloid leukemia in chronic phase: 5-year update of the randomized ENESTnd trial. Leukemia. 2016;30(5):1044–54.

15. Hughes TP, Hochhaus A, Kantarjian HM, Cervantes F, Guilhot F, Niederwieser D, et al. Safety and efficacy of switching to nilotinib 400 mg twice daily for patients with chronic myeloid leukemia in chronic phase with suboptimal response or failure on front- line imatinib or nilotinib 300 mg twice daily. Haematologica.

2014;99(7):1204–11.

Referensi

Dokumen terkait

pembelajaran untuk mengetahui efektifitas dan kepraktisan media yang dikembangkan. Uji coba terbatas ini dilakukan di SDN Gayam 3 Kota Kediri dengan subjek penelitian siswa kelas

Manila: World Health Organization Western Pacific Regional Office http://www.wpro.who.int/entity/emerging_ diseases/DengueSituationUpdates/en/index.html, accessed 19 March 2011..