The Comparison Of Contact with inmate, Risk Perception And Mental Health Of Officers In A Correctional Institution With Different Levels of Security
Imaduddin Hamzah1, Umar Anwar1, Vivi Sylviani Biafri1, Qisthina Aulia1
1Politeknik Ilmu Pemasyarakatan [email protected]
Sejumlah studi menemukan adanya relasi personal dan lingkungan kerja dengan kesejahteraan psikologis karyawan. Namun penelitian kesehatan mental karyawan yang bekerja pada lingkungan kerja Lembaga pemasyarakatan, dengan tingkat resiko keamanan yang berbeda masih sangat sedikit. Studi ini bertujuan menemukan perbedaan kontak petugas-narapidana, persepsi resiko dan kesehatan mental petugas pemasyarakatan pada lembaga pemasyarakatan dengan tingkat keamanan medium, maximum dan super-maximum.
Pengumpulan data menggunakan skala kontak petugas-narapidana, risk perception dan mental health pada petugas seratus enam belas petugas. Studi ini menemukan bahwa ada perbedaan kontak petugas-narapidana, persepsi resiko dan kesehatan mental petugas pada lembaga pemasyarakatan dengan tingkat keamanan berbeda. Kontak petugas-narapidana berperan sebagai predictor terhadap kesehatan mental petugas lembaga pemasyarakatan medium dan super-maksimum. Persepsi resiko berhubungan kuat dengan derajat kesehatan mental petugas yang bekerja pada lembaga pemasyarakatan super-maskimum. Implikasi penelitian ini merekomendasikan pentingnya program pemeliharaan kesehatan mental petugas dengan kebijakan rotasi pegawai ke lembaga pemasyarakatan dalam tingkat keamanan yang berbeda
Many studies have found a personal relationship and the work environment with the psychological well-being of employees. However, mental health research on employees working in the Prison's work environment, with varying levels of security risks, is still minimal. This study aims to find differences in officer-inmate contact, risk perception and mental health of correctional officers in correctional institutions with medium, maximum and super-maximum safety levels. Data collection used the contact scale of officer-inmate, risk perception and mental health on one hundred and sixteen officers. The study found that there were differences in officer-inmate contact, risk perceptions, and the mental health of officers at prisons with different levels of security. Officer-inmate contact is a predictor of the mental health of medium and super-maximum-security correctional officers. The level of mental health of officers working in super-maximum security prisons is strongly related to perception risk. Implications of this study recommend the importance of officer mental health maintenance programs with a policy of rotating employees to prisons at different levels of security.
Keywords : Contact with inmate, risk perception, mental health, level of corrections security Introduction
Stres di tempat kerja berperan dalam timbulnya kondisi tertentu kesehatan mental karyawan (Marcatto et al., 2016). Faktor yan berperan terhadap munculnya stress adalah personal dan environment. Studi terdahulu menemukan sejumlah faktor kondisi kerja yang
menentukan well-being karyawan. Penelitian Callard et al., (2007) menyimpulkan bahwa pekerja yang mengalami tekanan psikologis yang tinggi dan keluhan psikosomatik adalah akibat beban kerja lebih berat, tuntutan keterampilan tinggi, hubungan rekan kerja yang tidak harmonis, konflik peran dan status pekerjaan tidak tetap. Penelitian lain juga menemukan peran faktor psikososial dan pendukung kesejahteraan mental pada pegawai emergency departemen menunjukkan bahwa dukungan rekan, struktur organisasi yang dirancang dengan baik, dan sistem penghargaan karyawan menyeimbangkan dampak negatif dari faktor kerja yang merugikan pada dukungan kesejahteraan psikologis karyawan (Schneider & Weigl, 2018).
Beberapa jenis pekerjaan memiliki resiko kerja tinggi yang berdampak pada kondisi kesehatan mental. Sejumlah bidang pekerjaan yang memiliki tekanan kerja tinggi berdampak kesehatan mental. Schneider dan Weigl (2018) mengemukakan bahwa orang yang berpotensi mengalami trauma Ketika bekerja pada departemen kedaruratan dengan berbagai faktor risiko psikososial, misalnya, tekanan waktu yang tinggi dan beban kerja yang bervariasi (Schneider
& Weigl, 2018). Posisi pilot maskapai penerbangan, pengontrol lalu lintas udara, dan petugas polisi adalah pekerjaan yang memiliki resiko tinggi pekerjaan dan membutuhkan peran kesehatan mental menghadapinya (Butcher et al., 2018). Sejumlah bukti menunjukkan bahwa orang-orang yang bekerja dalam profesi darurat dan keamanan berada pada resiko stress terkait pekerjaan, seperti polisi, pemadam kebakaran, paramedis anggota angkatan bersenjata dan penjaga keamanan, termasuk petugas penjara (Kinman et al., 2016).
Penjara adalah lingkungan kerja yang menantang dan beresiko. Tugas utama petugas pemasyarakatan termasuk mengatur keamanan penjara, membimbing perilaku narapidana, dan menjaga tingkat "ketertiban" yang seimbang, dalam hubungan hierarkis antara petugas dan pelanggar (Ferdik & Smith, 2016). Petugas sering mengalami trauma yang berdampak negatif pada kesehatan mental mereka (Dennard, et.all, 2021). Temuan penelitian menunjukkan bahwa petugas penjara yang mengalami stres dan mengganggu mental well- being terkait pekerjaan beresiko tinggi (Kinman et al., 2016) dan kemampuan kerja yang buruk (Walker et al., 2015). Sumber stres petugas pemasyarakatan diantaranya , seperti ambiguitas peran, konflik peran, tugas kelebihan, pengembangan karir, terlalu banyak bekerja, masalah keselamatan kerja, dan kerusuhan penjara (Stern, 2019; Triplett et al., 1996). Ricciardelli et al. (2021) menemukan resiko gangguan mental pada petugas pemasyarakatan (56,9%), tata kelola kelembagaan (60,3%), dan petugas masa percobaan/pembebasan bersyarat (59,2%).
Sistem Pemasyarakatan Indonesia telah melakukan revitalisasi untuk mengantisipasi ancaman kerusuhan, menurunkan tingkat risiko dan meningkatkan kualitas fungsi pembinaan narapidana,. Revitalisasi pemasyarakatan untuk pembinaan narapidana menerapkan klasifikasi lembaga pemasyarakatan tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2018. Penempatan narapidana berdasarkan klasifikasi tingkat risiko tersebut dilakukan pada lembaga pemasyarakatan tingkat keamanan super-maximum (SMAX), maximum (MAX), medium (MED), dan minimum security (MIN). Kriteria penempatan narapidana berdasarkan tingkat risiko terpidana menggunakan asemen penilaian resiko. Penilaian risiko menentukan klasifikasi/penggolongan narapidana yang akan berpengaruh pada pola perlakuan, penempatan dan tingkat pengamanan yang digunakan, termasuk tindakan jika memiliki potensi melarikan diri dan pelanggaran tata tertib (Haryono, 2017)
Lembaga pemasyarakatan kategori super-maximum security menjalankan program Pembinaan bagi Narapidana tingkat risiko tinggi membahayakan keamanan negara dan
membahayakan keselamatan masyarakat (Pasal 10). Narapidana ditempatkan dalam satu kamar hunian. Lembaga pemasyarakatan maximum melaksanakan program Pembinaan Narapidana untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku Narapidana yang sadar akan kesalahan, patuh terhadap hukum dan tata tertib serta peningkatan disiplin.
Narapidana yang ditempatkan pada lembaga pemasyarakatan MAX awalnya adalah narapidana Lembaga pemasyarakatan SMAX (SMAX) yang telah menunjukkan perubahan sikap dan perilaku serta penurunan tingkat risiko sesuai dengan hasil asesmen. Narapidana Lembaga pemasyarakatan MAX ditempatkan secara kelompok pada blok sel. Sementara lembaga pemasyarakatan pada level keamanan MED menjalankan program pembinaan narapidana untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku, menyadari kesalahan, mematuhi terhadap aturan serta mengikuti program peningkatan kompetensi dan keahlian (pasal 17).
Lembaga pemasyarakatan MED menempatkan narapidana secara kelompok dalam suatu blok sesuai minat dan bakat dan memberikan pelatihan keterampilan kerja. Pada lembaga pemasyarakatan MIN security, program pembinaan narapidana diarahkan untuk mengubah sikap dan perilaku, meningkatkan kemandirian dan produktivitas. Narapidana ditempatkan secara kelompok pada blok dengan memperhatikan kompetensi kemampuan dan keahlian.
Mereka melaksanakan kegiatan asimilasi dan berhak memperoleh program reintegrasi (pasal 23).
Gambar 1 Narapidana yang bekerja di Pulau Nusakambangan 1900-1926
Sumber : Nationaal Museum van Wereldculturen, Leiden. TM-10016323
Klasifikasi keamanan lembaga pemasyarakatan pertama kali diterapkan di Pulau Nusakambangan. Sebuah pulau di lepas pantai selatan Jawa Tengah bagian barat, sejak 1608 digunakan sebagai tempat pengasingan oleh penguasa Mataram dan tempat tahanan politik Belanda dari Aceh (Boomgaard, 2001). Pulau Nusakambangan adalah pulau yang berada dalam otoritas khusus Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memiliki tujuh lembaga pemasyarakatan aktif. Pulau ini berada di wilayah kabupaten Cilacap, provinsi Jawa Tengah dengan luas 21.000 ha atau 210 km2. Jarak pulau Nusakambangan dengan wilayah daratan kabupaten Cilacap sekitar 1400 meter. Perjalanan menggunakan kapal penyeberangan (fery) dari pelabuhan Wijayapura Cilacap ke Pelabuhan Sodong Nusakambangan ditempuh lima belas menit. Pada lingkungan sekitar lembaga pemasyarakatan dan kawasan hutan pulau Nusakambangan, petugas pemasyarakatan dan pengunjung masih sering menemui hewan-hewan buas, seperti macan tutul, harimau kumbang, kera, buaya, landak, babi hutan, ular berbisa (piton dan cobra), dan berbagai jenis burung.
Pulau Nusakambangan terisolasi dan sering dikenal dengan pulau penjara atau
“Alcatraz Indonesia”. Pulau Nusakambangan juga memiliki fasilitas eksekusi hukuman mati untuk narapidana yang memperoleh hukuman mati. Lembaga pemasyarakata di pulau ini menampung narapidana dengan kategori resiko tinggi yang dipindahkan dari berbagai lapas di seluruh Indonesia (termasuk narapidana berstatus warga negara asing). Akses masuk untuk pegawai dan pengunjung ke pulau nusakambangan dibatasi dengan izin khusus dan prosedur tertentu. Setiap petugas dan pengunjung mengikuti pemeriksaan yang sangat ketat pada tubuh, barang bawaan dan kendaraan sebelum menyeberang ke pulau tersebut. Karakteristik Pulau Nusakambangan yang khusus tersebut menunjukkan pegawai menghadapi kondisi resiko kerja yang tinggi. Resiko tersebut meliputi ancaman lingkungan alam, kondisi kerja dan interaksi dengan narapidana beresiko tinggi.
Gambar 2 posisi Pulau Nusakambangan (atas kiri), lembaga pemasyarakatan di Nusakambangan (atas kanan), gerbang masuk pulau nusakambangan (bawah kiri) dan pelabuhan Wijayapura Cilacap (bawah kanan).
Penelitian yang menjelaskan resiko kerja dan kesehatan mental pegawai lembaga pemasyarakatan yang bekerja di suatu pulau terisolasi dan tingkat keamanan yang berbeda masih sangat terbatas. World Health Organization (WHO) (2020) menyatakan bahwa jenis pekerjaan yang paling membuat stres adalah pekerjaan yang menghargai tuntutan dan tekanan berlebihan yang tidak sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan karyawan, kesempatan terbatas untuk menjalankan pilihan atau kendali, dan kurangnya dukungan dari orang lain. Stres kerja petugas pemasyarakatan terjadi karena pekerjaan dengan sistem shift, tetap bekerja di akhir pekan dan hari libur sesuai jadual kerja, dan kesempatan mengambil cuti yang terbatas, karena harus menjaga lapas dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu. Petugas pemasyarakatan juga mengalami peningkatan stres berkaitan dengan tugas rangkap untuk melaksanakan fungsi rehabilitatif di lapas dan mengelola kewajiban pengamanan (Micieli, 2013). Penelitian yang dilakukan Alfandra (2019) terhadap pegawai pada regu pengamanan dan penjagaan menemukan semakin rendah beban kerja maka akan semakin rendah stres kerja pegawai.
Sejumlah studi mengindentifikasi beberapa faktor yang berkontribusi terhadap stres dan masalah kesehatan mental pegawai yang bekerja pada lembaga pemasyarakatan. Temuan empiris dari sel-report petugas pemasyarakatan oleh Launay dan Fielding (1989) tentang sumber stres terkait narapidana menyatakan bahwa faktor yang menjadi sumber stres petugas pemasyarakatan meliputi harus berurusan dengan tuntutan yang tidak masuk akal dari beberapa narapidana, perilaku tak terduga dari narapidana, kebutuhan keterampilan dalam hubungan interpersonal, konfrontasi dengan narapidana, kurangnya pelatihan dalam pengendalian kerusuhan dan situasi krisis. Pegawai yang kurang memiliki pengalaman dan pendidikan dengan tanggung jawab pekerjaan yang semakin tinggi, menunjukkan depersonalisasi, kelelahan emosional yang tinggi dan penurunan tingkat pencapaian pribadinya (Morgan et al., 2002). Penelitian dengan metode self-report menemukan petugas pemasyarakatan secara signifikan lebih banyak terpapar peristiwa yang berpotensi traumatis secara psikologis daripada pegawai pelayanan kesehatan, dengan tingkat gejala gangguan mental yang lebih tinggi, kecemasan sosial, gangguan panik, dan depresi (Fusco et al., 2021).
Perbedaan tingkat resiko narapidana, sistem keamanan dan pembinaan narapidana pada lembaga pemasyarakatan SMAX, MAX dan MED berkaitan dengan persepsi resiko kerja petugas dan kontak petugas dengan narapidana. Narapidana resiko tinggi yang ditempatkan pada Lembaga pemasyarakatan SMAX dan MAX adalah mereka yang diidentifikasi memiliki resiko tinggi dari hasil asesmen. Narapidana berisiko tinggi harus ditangani dengan menerapkan kisaran tindakan yang bertujuan untuk mengurangi risiko yang bersangkutan melakukan tindakan kekerasan ketika di dalam Lapas (Haryono, 2017).
Sedangkan narapidana resiko sedang dan rendah yang ditempatkan pada lembaga pemasyarakatan MED adalah narapidana yang telah menunjukkan perubahan sikap dan perilaku, menyadari kesalahan, mematuhi tata tertib lapas dan disiplin.
Petugas pemasyarakatan dipekerjakan dalam kondisi berbahaya di mana ada ancaman bahaya yang konstan (Ferdik & Smith, 2016). Secara psikologis, persepsi resiko menggambarkan bagaimana petugas merasakan tingkat risiko yang merugikan dari pekerjaan mereka, dan sebagian besar merupakan produk fitur psikologis dari adanya bahaya (F. V.
Ferdik, 2016). Menurut Burn (1994) dan Adam (1995), risiko menyangkut perkiraan probabilitas dan konsekuensi untuk terjadinya suatu peristiwa negatif (Oltedal et al., 2004).
Persepsi risiko berkaitan dengan tuntutan untuk melakukan mitigasi terhadap risiko, yang dapat mengurangi keparahan, kekerasan dan penyakit. Resiko yang sering muncul di lembaga pemasyarakatan, diantaranya adalah kekerasan, kerusuhan, kebakaran, penyelundupan, melarikan diri dan penyebaran penyakit (Alarid & Marquart, 2009; Russo et al., 2019;
Wibowo, 2020). Penelitian Ferdik (2017) terhadap petugas pemasyarakatan MAX menemukan bahwa persepsi risiko petugas tentang bahaya di tempat kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan peran di dalam lapas (konseling, kepedulian terhadap korupsi, jarak sosial, dan orientasi hukuman). Berbagai studi tentang persepsi terhadap resiko kerja dan kesehatan mental menemukan adanya hubungan yang signifikan. Penilaian subjektif pegawai yang merasa lebih berisiko terhadap pekerjaanya, menjadikan pegawai mengalami lebih banyak ketidakpuasan dan peningkatan psychological distres dalam bekerja (Migisha et al., 2021; Rundmo, 1995).
Selain perbedaan tingkat resiko narapidana dan sistem pengamanan, klasifikasi keamanan lembaga pemasyarakatan berdampak terhadap aturan hubungan petugas dengan narapidana. Lembaga pemasyarakatan SMAX dan MAX menempatkan seorang narapidana dalam satu sel. Berbeda dengan lembaga pemasyarakatan MED, dalam satu blok terdiri dari 10-15 orang narapidana. Menurut Sistem operasional prosedur SMAX dan MAX security mengatur pembinaan hanya diberikan dalam bentuk kepribadian, sedangkan MED diberikan juga pembinaan kemandirian (pelatihan kerja). Petugas lapas SMAX melakukukan interaksi
dengan narapidana tanpa menunjukkan identitas (pakaian dan helm tertutup), kontrol dan komunikasi melalui control room dengan closed circuit television (CCTV) dan narapidana dalam keadaan terborgol kaki dan tangan ketika menerima waktu rekreasi (15-20 menit) di luar blok dan melakukan komunikasi dengan keluarga dengan video call.
Tingkat keamanan lembaga pemasyarakat yang mengkondisikan kontak yang berbeda antara petugas dan narapidana. Lembaga pemasyarakatan MED security memberikan kesempatan narapidana dan petugas berinteraksi lebih lama dan intens dalam kegiatan pembinaan. Namun pada lembaga pemasyarakatan MAX dan SMAX menerapkan sebaliknya. Kontak dengan narapidana menjadi salah satu sumber stres petugas pemasyarakatan. Penelitian burnout di antara petugas pemasyarakatan menemukan keterkaitan yang erat antara burnout dengan kontak staf dengan narapidana (Gerstein, Topp,
& Correll, 1987). Interaksi petugas pemasyarakatan dan narapidana di lembaga pemasyarakatan berkembang dalam konteks konflik kepentingan, di mana petugas memiliki tanggung jawab untuk mengontrol perilaku narapidana (Martinez-iñigo, 2021). Misis et al., (2013) menemukan bahwa narapidana yang kooperatif dengan petugas menyebabkan beban emosional petugas lebih ringan, sedangkan narapidana yang argumentatif dan sombong menambah kecemasan petugas dalam menjalankan fungsi pekerjaan. Kontak petugas dengan narapidana yang negatif dapat berdampak terhadap kesehatan mental petugas dalam menjalankan tugas.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) menemukan perbedaan kontak petugas pemasyarakatan dengan narapidana, persepsi risiko dan kesehatan mental petugas lembaga pemasyarakatan tingkat keamanan MED, MAX dan SMAX, 2) menemukan perbedaan hubungan kontak petugas dengan narapidana dan persepsi resiko dengan kesehatan mental petugas pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan MED, MAX dan SMAX.
Methods
Investigasi dilakukan terhadap 116 petugas pemasyarakatan di Pulau Nusakambangan, kabupaten Cilacap, kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak asasi manusia Provinsi Jawa Tengah. Jumlah partisipan terdiri dari SMAX security (n=37), MAX security (n=50) dan MED security (n=29). Partisipan berstatus sebagai pegawai negeri sipil yang bekerja pada bidang keamanan atau pembinaan pada Lembaga pemasyarakatan.
Pengukuran kontak petugas-narapidana menggunakan skala contact with inmate yang dikembangkan oleh Gerstein, Topp dan Correll (1987). Skala ini mengukur bagaimana perasaan petugas pemasyarakatan ketika berhubungan dengan narapidana. Skor yang lebih rendah menunjukkan persepsi yang lebih positif petugas dalam interaksi dengan narapidana.
Responden memilih diantara tujuh set kata sifat bipolar yang menunjukkan sejauh mana kata sifat tersebut menggambarkan pengalaman yang sesuai. Kata-kata sifat tersebut : in control- out of control, unsuccessful-successful, active-inactive, helpless-helpful, effective- ineffective, powerless-powerful dan confident lacking-confidence.
Persepsi resiko diukur dengan skala yang disusun oleh Ferdik (2017) memiliki tujuh komponen dengan lima pilihan respons (Sangat Rendah - Sangat tinggi). Komponen persepsi resiko petugas meliputi : bersama dengan narapidana dengan penyakit menular, kehadiran geng di Lapas, narapidana yang mengganggu, bersama narapidana yang sakit jiwa, adanya penyelundupan, kerusuhan dan pembalasan masyarakat untuk narapidana yang dibebaskan kembali ke masyarakat.
Penilaian kesehatan mental partisipan petugas pemasyarakatan menggunakan Inventori Kesehatan Mental (MHI-38) yang dibuat Veit dan Ware (1983). MHI-38 telah disesuaikan dengan bahasa Indonesia, uji validitas dan reliabilitas menjadi 24 item dengan
empat pilihan jawaban: Hampir setiap saat, sangat sering, jarang, dan tidak pernah. Aspek kesehatan yang diukur meliputi ciri negatif negatif (cemas, depresi dan kehilangan kontrol) dan ciri positif (emosi, cinta, dan puas)(Aziz & Zamroni, 2020).
Results
Lembaga pmasyarakatan sebagai tempat penelitian ini, berada di pulau terisolasi Nusakambangan, Indonesia yang hanya berisi narapidana berjenis kelamin laki- laki. .Gambaran demografi partisipan menunjukkan jenis kelamin partisipan (Tabel 1) memperlihatkan kebanyakan partisipan adalah pria (94.8%). Enam orang responden petugas perempuan adalah staf administrasi pada bagian keamanan lembaga pemasyarakatan.
Sebagian besar partisipan berusia dibawah usia 40 tahun (n=94). Latar belakang pendidikan yang paling besar adalah sekolah menengah atas (n=55) dan sarjana (n=49).
Table 1
Variabel Demografi
n %
Age
20-30 74 63.8
31-40 20 17.2
41-50 9 7.8
51-60 13 11.2
Gender
Female 6 5.2
Male 110 94.8
Education
High school 55 47.4
Diploma 6 5.2
Bachelor 49 42.2
Postgraduate 6 5.2
Number of participants
Medium security 29 25.0
Maximum security 50 43.1
Super maximum security 37 31.9
Menjawab tujuan penelitian yang pertama, studi ini menemukan adanya perbedaan kontak petugas pemasyarakatan dengan narapidana, persepsi risiko dan kesehatan mental Petugas pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan MED, MAX dan keamanan SMAX.
Hasil pengujian dengan Anova menunjukkan perbedaan contact with inmates, risk perception dan kesehatan mental (lihat Tabel 2) pada tiga tipe keamanan lembaga pemasyarakatan yang berbeda (MED, MAX dan SMAX), menyimpulkan adanya perbedaan ketiga variabel tersebut antar setiap lembaga pemasyarakatan (Sig.<0.05). Gambar 1 memperlihatkan perbedaan petugas pada lembaga pemasyarakatan MED mempunyai kontak dengan narapidana yang lebih positif daripada lapas MAX dan SMAX. Demikian juga dengan aspek persepsi resiko petugas pada Lembaga pemasyarakatan MED, menunjukkan skor yang lebih rendah daripada MAX dan SMAX. Namun petugas pemasyarakatan SMAX menunjukkan tingkat kesehatan mental yang lebih rendah daripada lapas MED.
Table 2
Uji anova kontak dengan narapidana, persepsi resiko dan kesehatan mental pada lembaga pemasyarakatan level medium, maximum dan super maximum security
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Contact with inmate 585.107 2 292.554 9.424 .000
Risk Perception 2776.171 2 1388.085 4.983 .008
Mental Health 673.778 2 336.889 4.034 .020
Gambar 1
Chart perbedaan kontak dengan narapidana, persepsi resiko dan kesehatan mental pada petugas lembaga pemasyarakatan medium, maximum dan super maximum security
Uji perbedaan lebih lanjut tentang kontak petugas dengan narapidana, persepsi resiko dan kesehatan mental pada lembaga pemasyarakatan level keamanan MED, MAX dan SMAX dengan multiple comparison, menggambarkan secara lebih terinci pada ketiga variabel. Perbedaan signifikan ditemukan antara lembaga pemasyarakatan medium dengan maksimum dan super maksimum security (Tabel 3). Perbandingan variabel relation pada petugas lembaga pemasyarakatan MED dengan MAX security (CI = -6.282:-1.66) menunjukkan signifikansi yang relatif sama dengan perbedaan kontak petugas lembaga pemasyarakatan antara tingkat MED security dengan MAX security dengan petugas di super-MAX security (CI=-8.60:-3.13). Demikian halnya signifikansi perbandingan variabel risk perception petugas lembaga pemasyarakatan MED-MAX (CI=18.54:-3.10) dengan MED-SMAX security (Sig <0.05, CI=-20.04:-3.64). Namun tidak ada perbedaan yang signifikan pada antara lembaga pemasyarakatan MAX dan SMAX dalam aspek kontak dengan narapidana, persepsi resiko dan kesehatan mental.
Tabel 3
Multiple comparison kontak dengan narapidana, persepsi resiko dan kesehatan mental pada lembaga pemasyarakatan level medium, maximum dan super maximum security
Variable
(I) Security
Class
(J) Security Class
Mean Difference
(I-J)
Std.
Error Sig.
95% Confidence Interval Lower Bound
Upper Bound Contact with inmate Medium Maximum -4.239* 1.301 .001 -6.82 -1.66
Super-maximum -5.866* 1.382 .000 -8.60 -3.13
Maximum Medium 4.239* 1.301 .001 1.66 6.82 Supermaximum -1.626 1.208 .181 -4.02 .77 Risk Perception Medium Maximum -10.820* 3.896 .006 -18.54 -3.10 Supermaximum -11.838* 4.139 .005 -20.04 -3.64
Maximum Medium 10.820* 3.896 .006 3.10 18.54
Supermaximum -1.018 3.619 .779 -8.19 6.15
Mental Health Medium Maximum 4.312* 2.133 .046 .09 8.54
Supermaximum 6.362* 2.266 .006 1.87 10.85
Maximum Medium -4.312* 2.133 .046 -8.54 -.09
Supermaximum 2.049 1.982 .303 -1.88 5.98
Tujuan kedua penelitian ini adalah menguji perbedaan hubungan kontak petugas dengan narapidana dan persepsi resiko dengan kesehatan mental petugas di lembaga pemasyarakatan MED, MAX dan keamanan SMAX. Uji korelasi antara kontak petugas- narapidana dan persepsi resiko dengan kesehatan mental pada masing-masing lembaga pemasyarakatan dengan level keamanan berbeda memperlihatkan hasil yang bervariasi (lihat tabel 4). Pada faktor kontak petugas dengan narapidana, semakin kecil skor menggambarkan perasaan yang semakin positif. Pada petugas Lembaga pemasyarakatan MED, ditemukan asosiasi signifikan antara perasaan kontak yang positif dengan kesehatan mental yang tinggi (p<0.01, =.64). Sebaliknya pada petugas Lembaga pemasyarakatan SMAX, menunjukkan hubungan yang signifikan kontak yang negatif dengan kesehatan mental yang rendah (p<0.01, =.452). Sementara persepsi resiko tidak ditemukan berkaitan dengan kesehatan mental petugas pada lembaga pemasyarakatan dengan tingkat keamanan MED dan SMAX.
Namun pada Lembaga pemasyarakatan SMAX, persepsi resiko petugas yang tinggi berhubungan negatif secara signifikan dengan kesehatan mental yang rendah (p<0.05, =.346).
Tabel 4.
Perbandingan asosiasi kontak dengan narapidana, risk perception dengan mental health petugas lembaga pemasyarakatan di medium, maximum dan super-maximum Security
Medium Security ( r ) Maximum Security ( r ) Super maximum Security ( r ) Contact with
inmate
Risk Perception
Contact with inmate
Risk Perception
Contact with inmate
Risk Perception Mental Health
Medium security -0.64** -0.146
Maximum security -0.053 -0.146 -0.154 -0.219 Super maximum
security 0.354 0.173 -0.197 0.090 -0.452* -0.346*
*p<0.05, **p<0.01
Bagaimana kontribusi kontak dengan narapidana dan persepsi resiko terhadap kesehatan mental petugas di lembaga pemasyarakatan MED dan SMAX ? analisis regresi
menyimpulkan bahwa kedua aspek itu menjadi prediktor terkuat pada petugas di lembaga pemasyarakatan MED (R2 = 0.412), dan SMAX (R2 = 0.246) (lihat table 5).
Tabel 5.
Regresi kontak dengan narapidana, risk perception dengan mental health petugas lembaga pemasyarakatan di medium, maximum dan super-maximum Security
Security type R R² Adjusted R² RMSE R² Change F Change df p
Medium 0.642 0.412 0.367 8.513 0.412 9.118 2 0.0009
Maximum 0.260 0.067 0.028 7.843 0.067 1.697 2 0.1943
Super maximum 0.496 0.246 0.202 8.331 0.246 5.544 2 0.0082
Discussion
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2015 mengatur klasifikasi pengamanan pada lembaga pemasyarakatan. Pasal 4 membagi pada kelompok pengamanan sangat tinggi, tinggi, menengah dan pengamanan rendah.
Klasifikasi pengamanan tersebut meliputi pola bangunan dan pengawasan di lembaga pemasyarakatan. Pada pengamanan sangat tinggi pada lembaga pemasyarakatan supermaksimum dan maksimum dilengkapi dengan pemagaran berlapis, penempatan terpisah, pengawasan closed circuit television, pembatasan gerak, pembatasan kunjungan dan pembatasan kegiatan pembinaan, serta pengendalian komunikasi. Sedangkan Pengamanan menengah menerapkan pemagaran minimal satu lapis, penempatan terpisah atau bersama, pengawasan close circuit television, dan pemberlakuan kunjungan dan pembinaan dengan pembatasan tertentu.
Penelitian ini menemukan perbedaan petugas lembaga pemasyarakatan MED, MAX dan SMAX pada aspek kontak petugas dengan narapidana. Pada lembaga pemasyarakatan MAX dan SMAX, kontak petugas dengan narapidana lebih negatif karena sangat terbatas. Kedua lembaga pemasyarakatan tersebut menerapkan prosedur ketat membatasi ruang gerak dan kontak narapidana dengan petugas dan narapidana lain (satu orang satu cel). Narapidana juga ditempatkan dalam satu sel satu orang dan dapat melakukan aktivitas di luar kamar hanya selama 15-30 menit per-tiga hari sekali. Sedangkan pada lembaga pemasyarakatan MED, pengalaman kontak petugas dengan narapidana lebih positif, karena narapidana memperoleh perlakuan keamanan lebih longgar. Mereka ditempatkan berkelompok dalam satu sel. Mulai pagi sampai siang hari, mereka dapat melakukan aktivitas di luar kamar mengikuti berbagai kegiatan pribadi dan pembinaan seperti mencuci, olah raga, aktivitas agama, berjemur, pelatihan kerja dan menggunakan telepon untuk berkomunikasi dengan keluarga.
Kontak petugas pemasyarakatan dengan narapidana berkaitan erat dengan potensi keseriusan ancaman yang berbeda sesuai kategori keamanan lembaga pemasyarakatan. Level keamanan tersebut menggambarkan potensi resiko narapidana, ancaman dan strategi penanganan dan pencegahan gangguan di dalam lembaga pemasyarakatan. Perbedaan bentuk keamanan itu berimplikasi perbedaan pola kontak petugas dengan narapidana. Pada lembaga pemasyarakatan MED, perasaan positif berkaitan dengan keyakinan mampu mengontrol, memperbaiki dan mengubah diri narapidana secara aktif dan efektif. Job control, berhubungan dengan rendahnya tingkat depresi dan kecemasan dan tingginya kepuasan kerja (Mark & Smith, 2012). Di lembaga pemasyarakatan MED, petugas memiliki keyakinan untuk mengontrol narapidana. Narapidana MED security ditempatkan berdasarkan asesmen
dengan hasil tingkat resiko yang rendah. Mereka dapat mengikuti berbagai aktivitas kerja dan olah raga dan berinteraksi dengan narapidana lainnya sehingga interaksi dengan petugas dengan narapidana lebih intens. Pengawasan narapidana tidak terlalu ketat di luar ruang sel.
Situasi kerja tersebut menimbulkan emosi positif, kepuasan bekerja, dan berkurangnya kekhawatiran dan perasaan tidak mampu menghadapi situasi di dalam lembaga pemasyarakatan MED security.
Pada lembaga pemasyarakatan SMAX, perasaan petugas ketika berinteraksi dengan narapidana lebih negatif, sesuai hasil studi ini. Status narapidana pada lembaga pemasyarakatan tersebut termasuk dalam kategori resiko tinggi berdasarkan hasil asesmen.
Sistem keamanan yang diberlakukan terhadap mereka adalah mengikuti jadual dan waktu aktivitas makan dan kegiatan di luar sel sangat sedikit. Pengawasan narapidana selama dua puluh empat jam dengan CCTV. Jika keluar sel, narapidana harus dalam keadaan terborgol.
Komunikasi dan interaksi petugas dengan narapidana wajib berpakaian pengamanan yang lengkap dan tertutup. Dalam kondisi kerja seperti itu, petugas memiliki keyakinan yang kurang untuk mengontrol narapidana. dan memandang interaksi dengan narapidana tidak dapat memperbaiki dan mengubah diri narapidana.
Kategori hasil asesmen terhadap narapidana mempengaruhi persepsi resiko petugas pemasyarakatan pada lembaga pemasyarakatan MED, MAX dan SMAX. Menurut Ferdik, Smith, dan Applegate (2014) Petugas pemasyarakatan bekerja dalam kondisi berbahaya karena menghadapi ancaman yang muncul secara konstan. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa petugas pemasyarakatan MAX dan SMAX memiliki persepsi resiko yang lebih tinggi.
Sebaliknya pada petugas lembaga pemasyarakatan MED. Petugas pemasyarakatan pada level MAX dan SMAX security memiliki tanggung jawab untuk mengawasi narapidana dengan kategori resiko tinggi dan sangat tinggi. Narapidana bersiko tinggi ditempatkan dalam program perlakuan yang intensif, dengan memperhatikan aspek sejarah perilaku antisosial, pola perilaku antisosial, kognisi antisosial, dan asosiasi antisosial, yang berdampak besar pada recidivism (James, 2018) Selain itu, narapidana yang ditempatkan pada Lembaga pemasyarakatan MAX memiliki faktor kriminogenik yang kuat dalam faktor keluarga, pendidikan, pekerjaan, hubungan sosial yang buruk dan sikap anti sosial. Sifat lembaga pemasyarakatan dengan keamanan maksimum memiliki narapidana bersiko tinggi dengan latar belakang kasus kekerasan, bagian dari geng mampu menyelundupkan barang dan melarikan diri dari penjara (Binswanger et al., 2007; Mullings et al., 2000). Sedangkan narapidana resiko sedang dan rendah yang ditempatkan pada lembaga pemasyarakatan MED.
Berdasarkan hasil asesmen, mereka telah menunjukkan perubahan sikap dan perilaku, menyadari kesalahan, dan kepatuhan terhadap aturan dalam lapas. Pada lembaga pemasyarakatan MED, narapidana ditempatkan secara berkelompok dalam satu sel, berpartisipasi dalam kegiatan sesuai minat dan keahlian dan memperoleh pelatihan kerja, Mereka juga disiapkan untuk mengikuti program reintegrasi seperti asimilasi dan pembebasan bersyarat ke masyarakat.
Tingkat pengamanan yang tinggi menentukan persepsi resiko petugas terhadap ancaman dalam tugas yang tinggi. Menurut Mullings et al., (2000), di lembaga pemasyarakatan dengan keamanan yang lebih tinggi menciptakan lingkungan pemasyarakatan yang jauh lebih berbahaya. Penjelasan tersebut sejalan dengan sejumlah studi sebelumnya yang menemukan bahwa sikap, perasaan, dan persepsi yang dimiliki individu tentang lingkungan adalah penentu kuat dari perilaku mereka dilakukan (Schein, 1990; Konovsky & Pugh, 1994).
Resiko yang dihadapi petugas diantaranya berinteraksi dengan narapidana berpenyakit menular, penyakit mental, bandar narkoba dan teroris yang masih memiliki jaringan atau kelompok kejahatan di luar lembaga pemasyarakatan (Ferdik, 2017)
Persepsi resiko tinggi petugas pada lembaga pemasyarakatan MAX dan SMAX berhubungan dengan kapasitas dan tanggung jawab petugas yang terbatas. Petugas yang diberikan tanggung jawab resmi, merasa memiliki kemampuan untuk mengendalikan narapidana, bertindak dengan inisiatif berdasarkan kewenangannya, seperti pada petugas lembaga pemasyarakatan MED. Tugas utama petugas pemasyarakatan termasuk mengatur keamanan penjara, membimbing perilaku narapidana, dan menjaga tingkat "ketertiban" yang seimbang, dalam hubungan hierarkis antara petugas dan narapidana (Ferdik & Smith, 2016).
Mereka dapat memerintahkan narapidana keluar masuk kamar sel, beribadah, berolah raga dan mengumpulkan narapidana dalam suatu tempat untuk mengikuti kegiatan bimbingan.
Sedangkan pada lembaga pemasyarakatan MAX dan SMAX, petugas memiliki tanggung jawab pengendalian yang sangat terbatas. Interaksi petugas dengan narapidana hanya membuka menutup pintu kamar sel, memberi makanan dan mengawasi dengan alat CCTV.
Gambaran hubungan contact with inmates dengan kesehatan mental menunjukkan korelasi yang konsisten pada Lembaga pemasyarakatan MED dan SMAX security. Namun tidak ditemukan asosiasi pada lapas MAX. Temuan ini berarti bahwa kontak dengan narapidana yang negatif berkaitan erat dengan kesehatan mental yang rendah, demikian juga sebaliknya. Sejalan dengan kesimpulan penelitian Gerstein, Topp, dan Corell (1987) yang menjelaskan bahwa perasaan positif petugas ketika berinteraksi dengan narapidana berhubungan erat dan menjadi prediktor perasaan burnout petugas lapas. Petugas yang memiliki perasaan percaya diri, mampu mengontrol dan memperbaiki narapidana dapat mempengaruhi mental petugas yang lebih baik. Studi Akerboom dan Maes, (2006) menguraikan bahwa otoritas keputusan dan task control yang tinggi berhubungan secara negatif dengan tekanan psikologis, keluhan somatik dan kelelahan emosional yang rendah.
Kesehatan mental penelitian ini meliputi seberapa sering petugas tidak mengalami psychological distress (anxious, depression dan loss of control) dan well-being (emotions, love dan satisfied) (Veit & Ware, 1983). Studi ini menggambarkan bahwa petugas yang bekerja pada Lembaga pemasyarakatan MAX dan SMAX lebih sering mengalami “nervous”
ketika menghadapi situasi yang tidak diharapkan, bingung, kelelahan, tak berdaya dan dan cenderung merasa kehilangan kontrol terhadap dirinya. Kondisi kesehatan mental sebaliknya ditemukan pada petugas lembaga pemasyarakatan MED yang memiliki keadaan kesehatan mental lebih baik.
Petugas lembaga pemasyarakatan SMAX yang mempunyai persepsi resiko yang tinggi yang menjadi prediktor rendahnya kesehatan mental. Persepsi risiko cenderung sangat dipengaruhi oleh penilaian subyektif dari karakteristik bahaya (Ferdik, 2016). Penilaian kognitif risiko terkait afek, yaitu kekhawatiran dan perhatian (Rundmo, 2002). Penilaian resiko petugas berkaitan dengan karakteristik narapidana beresiko tinggi dengan ciri kejahatan yang serius, keterlibatan dengan narkoba pengulangan kejahatan dan tindakan kekerasan. Persepsi petugas tentang pekerjaan yang berbahaya berkaitan dengan tingkat stres kerja yang lebih tinggi (Misis et al., 2013). Petugas pemasyarakatan SMAX dalam penelitian ini menunjukkan persepsi resiko tinggi dan mengalami tekanan psikologis yang kuat dan kesejahteraan psikologi yang rendah. Petugas mempersepsi narapidana resiko tinggi terlibat dalam sebuah gang, memiliki gangguan jiwa yang berbahaya, berpotensi melakukan kerusuhan dan sulit dikendalikan, dan berbahaya apabila dikembalikan ke masyarakat (Ferdik, 2017). Apa yang terjadi pada petugas pemasyarakatan SMAX menunjukkan bahwa bekerja secara langsung dengan narapidana, dan bagaimana persepsi mereka tentang narapidana dapat meningkatkan stres akibat pekerjaan (Misis et al., 2013).
Conclusion
Petugas lembaga pemasyarakatan menghadapi resiko lebih besar mengalami tekanan psikologis dibandingkan profesi lainnya di Indonesia. Tingkat masalah kesehatan mental petugas narapidana dipengaruhi beragam sebab meliputi beban kerja yang berat, overcrowded, dan ancaman agresi dan kekerasan narapidana. Penelitian saat ini menjelaskan bahwa perbedaan level keamanan lembaga pemasyarakatan berkonsekuensi pada perbedaan kesehatan mental petugas dikaitkan dengan persepsi resiko dan kontak petugas-narapidana.
Temuan persepsi resiko dan kontak petugas-narapidana sebagai prediktor terhadap kesehatan mental petugas lembaga pemasyarakatan pada Lapas super-maksimum mengindikasikan kebutuhan kebijakan kepegawaian yang dapat meminimalisasi munculnya gangguan kesehatan mental petugas pada lembaga pemasyarakatan.
References
Akerboom, S., & Maes, S. (2006). Beyond demand and control: The contribution of organizational risk factors in assessing the psychological well-being of health care employees. Work and Stress, 20(1), 21–36. https://doi.org/10.1080/02678370600690915 Alarid, L. F., & Marquart, J. W. (2009). Officer Perceptions of Risk of Contracting
HIV/AIDS in Prison: A Two-State Comparison. The Prison Journal, 89(4), 440–459.
https://doi.org/10.1177/0032885509349571
Alfandra, S. (2019). Hubungan Antara Beban Kerja Dengan Stres Kerja Pada Pegawai Di Lapas Pemuda Kelas Iii Langkat Alfandara Fakultas Psikologi Universitas Medan Area Medan [Universitas Medan Area]. http://repository.uma.ac.id/handle/123456789/11290 Aziz, R., & Zamroni. (2020). Analisis Faktor Konfirmatori Terhadap Alat Ukur Kesehatan
Mental Berdasarkan Teori Dual Model. Psikoislamika : Jurnal Psikologi Dan Psikologi Islam, 16(2), 1. https://doi.org/10.18860/psi.v16i2.8199
Binswanger, I. A., Stern, M. F., Deyo, R. A., Heagerty, P. J., Cheadle, A., Elmore, J. G., &
Koepsell, T. D. (2007). Release from prison — A high risk of death for former inmates.
N Engl J Med, 356(2), 157–165. https://doi.org/10.1056/NEJMsa064115.Release Boomgaard, P. (2001). Veroordeelden tewerkgesteld op Noesa Kambangan.
https://collectie.wereldculturen.nl/?query=search=*=TM-10016323#/query/cac09d65- d7f1-4e63-8936-afaffc4ad29a
Butcher, J. N., Front, C. M., & Ones, D. S. (2018). Assessing psychopathology in high-risk occupations. In APA handbook of psychopathology: Psychopathology: Understanding, assessing, and treating adult mental disorders (Vol. 1). (pp. 245–272).
https://doi.org/10.1037/0000064-011
Callard, F., Dorling, D., Friedli, L., Parsonage, M., & Cohen, M. (2007). At work but ill:
psychosocial work environment and well-being determinants of presenteeism propensity. Journal of Public Mental Health, 6(3).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1108/17465729200600029
Dennard, Sophie & Tracy, Derek & Beeney, Aaron & Craster, Laura & Bailey, Fiona &
Baureek, Anisah & Barton, Michael & Turrell, Jeanette & Poynton, Sarah & Navkarov, Vafo & Kothari, R. (2021). Working in a prison: Challenges, rewards, and the impact on mental health and well-being. The Journal of Forensic Practice, 23(2), 132–149.
https://doi.org/10.1108/JFP-12-2020-0055
Ferdik, F. V. (2016). An investigation into the risk perceptions held by maximum security correctional officers. Psychology, Crime and Law, 22(9), 832–857.
https://doi.org/10.1080/1068316X.2016.1194985
Ferdik, F. V. (2017). Correctional Officer Risk Perceptions and Professional Orientations:
Examining Linkages Between the Two. Criminal Justice and Behavior, XX(X), 1–22.
https://doi.org/10.1177/0093854817733496
Ferdik, F. V., & Smith, H. P. (2016). Maximum Security Correctional Officers: An Exploratory Investigation into Their Social Bases of Power. American Journal of Criminal Justice, 41(3), 498–521. https://doi.org/10.1007/s12103-015-9307-5
Ferdik, F. V., Smith, H. P., & Applegate, B. (2014). The role of emotional dissonance and job desirability in predicting correctional officer turnover intentions. Criminal Justice Studies, 27(4), 323–343. https://doi.org/10.1080/1478601X.2014.938741
Fusco, N., Ricciardelli, R., Jamshidi, L., Carleton, R. N., Barnim, N., Hilton, Z., & Groll, D.
(2021). When Our Work Hits Home: Trauma and Mental Disorders in Correctional Officers and Other Correctional Workers. Frontiers in Psychiatry, 11(February), 1–10.
https://doi.org/10.3389/fpsyt.2020.493391
Gerstein, L. H., Topp, C. G., & Corell, G. (1987). The role of the environment and person when predicting burnout among correctional personnel. Criminal Justice and Behavior, 14(3), 352–369. https://doi.org/https://doi.org/10.1177/0093854887014003006
Gerstein, L. H., Topp, C. G., & Correll, G. (1987). The role of the environment and person when predicting burnout among correctional personnel. Criminal Justice and Behavior, 14(3), 352–369. https://doi.org/10.1177/0093854887014003006
Haryono. (2017). Kebijakan Perlakuan Khusus Terhadap Narapidana Risiko Tinggi Di Lembaga Pemasyarakatan (Studi Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Kls III Gn.
Sindur) (Vip Treatment Policy of High-Risk Convict at Correctional Institutions (Case Studi in Correctional Instituti. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 11(3), 231–247.
file:///C:/Users/Pengkajian/Downloads/311-1333-1-PB (5).pdf
James, N. (2018). Risk and Needs assessment in the Federal Prison System. In Congressional Research Service. https://www.everycrsreport.com/reports/R44087.html
Kinman, G., Clements, A. J., & Hart, J. (2016). Work-related wellbeing in UK prison officers: A benchmarking approach. International Journal of Workplace Health Management, 9(3), 290–307. https://doi.org/10.1108/IJWHM-09-2015-0054 Launay, G., & Fielding, P. J. (1989). Stress Among Prison Officers: Some Empirical
Evidence Based on Self Report. The Howard Journal of Criminal Justice, 28(2), 138–
148. https://doi.org/10.1111/j.1468-2311.1989.tb00643.x
Marcatto, F., Colautti, L., Larese Filon, F., Luis, O., Di Blas, L., Cavallero, C., & Ferrante, D.
(2016). Work-related stress risk factors and health outcomes in public sector employees.
Safety Science, 89, 274–278. https://doi.org/10.1016/j.ssci.2016.07.003
Mark, G., & Smith, A. P. (2012). Effects of occupational stress, job characteristics, coping, and attributional style on the mental health and job satisfaction of university employees.
Anxiety, Stress and Coping, 25(1), 63–78.
https://doi.org/10.1080/10615806.2010.548088
Martinez-iñigo, D. (2021). The role of prison officers ’ regulation of inmates affect on their exposure to violent behaviours and the development of PTSD symptoms. European Journal of Psychotraumatology, 12(1). https://doi.org/10.1080/20008198.2021.1956126 Micieli, J. (2013). Stress and the Effects of Working in a High Security Prison.
https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/224105.pdf
Migisha, R., Ario, A. R., Kwesiga, B., Bulage, L., Kadobera, D., Kabwama, S. N., Katana, E., Ndyabakira, A., Wadunde, I., Byaruhanga, A., Amanya, G., Harris, J. R., &
Fitzmaurice, A. G. (2021). Risk perception and psychological state of healthcare workers in referral hospitals during the early phase of the COVID-19 pandemic, Uganda. BMC Psychology, 9(1), 1–9. https://doi.org/10.1186/s40359-021-00706-3 Misis, M., Kim, B., Cheeseman, K., Hogan, N. L., & Lambert, E. G. (2013). The Impact of
correctional officer perceptions of inmates on job stress. SAGE Open, April 2013, 1–13.
https://doi.org/10.1177/2158244013489695
Morgan, R. D., Van Haveren, R. A., & Pearson, C. A. (2002). Correctional officer burnout:
Further analyses. Criminal Justice and Behavior, 29(2), 144–160.
https://doi.org/10.1177/0093854802029002002
Mullings, J. L., Marquart, J. W., & Brewer, V. E. (2000). Assessing the relationship between child sexual abuse and marginal living conditions on HIV/AIDS-related risk behavior among women prisoners. Child Abuse and Neglect, 24(5), 677–688.
https://doi.org/10.1016/S0145-2134(00)00127-7
Oltedal, S., Moen, B.-E., Klempe, H., & Rundmo, T. (2004). Explaining risk perception. An evaluation of cultural theory Rotunde. In Rotunde publikasjoner Rotunde (Vol. 85).
Ricciardelli, R., Mitchell, M., Taillieu, T., Angehrn, A., Afifi, T., & Carleton, R. N. (2021).
Pervasive Uncertainty under Threat: Mental Health Disorders and Experiences of Uncertainty for Correctional Workers. Criminal Justice and Behavior, XX(X), 1–19.
https://doi.org/10.1177/00938548211050112
Rundmo, T. (1995). Perceived risk, safety status, and job stress among injured and noninjured employees on offshore petroleum installations. Journal of Safety Research, 26(2), 87–
97. https://doi.org/10.1016/0022-4375(95)00008-E
Rundmo, T. (2002). Associations between affect and risk perception. Journal of Risk Research, 5(2), 119–135. https://doi.org/10.1080/136698702753499597
Russo, J., Woods, D., Shaffer, J., & Jackson, B. (2019). Countering Threats to Correctional Institution Security: Identifying Innovation Needs to Address Current and Emerging Concerns. https://www.rand.org/pubs/research_reports/RR2933.html.
Schneider, A., & Weigl, M. (2018). Associations between psychosocial work factors and provider mental well-being in emergency departments- A systematic review. PLoS ONE, 13(6), 1–22. https://doi.org/https://doi.org/10.1371/journal.pone.0197375
Stern, M. (2019). The Correctional Officer-Inmate Relationship : Evaluating Job Functionality to Enhance Rehabilitation.
https://scholarworks.arcadia.edu/undergrad_works/59
Triplett, R., Mullings, J. L., & Scarborough, K. E. (1996). Work-related stress and coping among correctional officers: Implications from organizational literature. Journal of Criminal Justice, 24(4), 291–308. https://doi.org/10.1016/0047-2352(96)00018-9 Veit, C. T., & Ware, J. E. (1983). The structure of psychological distress and well-being in
general populations. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 51(5), 730–742.
https://doi.org/10.1037/0022-006X.51.5.730
Walker, E. J., Jackson, C. A., Egan, H. H., & Tonkin, M. (2015). Workability and mental wellbeing among therapeutic prison officers. Occupational Medicine, 65(7), 549–551.
https://doi.org/10.1093/occmed/kqv084
Wibowo, P. (2020). The importance of risk mitigation of overcrowding impact in correctional institution an state detention centers in Indonesia. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 14(2), 263–284. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2020.V14.263-284 World Health Organization. (2020). Occupational health: Stress at the workplace.
https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/ccupational-health-stress- at-the-workplace