• Tidak ada hasil yang ditemukan

Constructed Wetland Tipe Horisontal Subsurface Flow

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Constructed Wetland Tipe Horisontal Subsurface Flow "

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Constructed Wetland Tipe Horisontal Subsurface Flow

Menggunakan Rumput Odot untuk Pengolahan Efluen IPAL Tahu

Irene AA Suwandhi1*, Novirina Hendrasarie2, Dewi Rahyuni3

1Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Yogyakarta

2Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

3Teknik Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Teknologi Yogyakarta

*Koresponden email: [email protected]

Diterima: 27 April 2022 Disetujui: 18 Mei 2022

Abstract

The effluent of tofu’s anaerobic digester contains organic matter and require further treatment. Constructed wetland (CW) using forage grass plant is one of the alternatives. The study is aimed to observe the effect of CW’s stage variation and planting duration on TSS and COD effluent. Plant growth also observed during operation. Two CWs horizontal subsurface tank of dimension 100 cm x 50 cm x 50 cm were arranged in series as stage 1 and 2. Tank was planted with Pennisetum purpureum c.v Mott at spacing of 25 cm, tank without plants as control, and operated at hydraulic loading rate of 0.1 m3/m2.day. Temperature, pH and plant height was measured every 2 days, TSS and COD every 1-2 week. The study showed, there was relatively no temperature difference between control and planted CW. The pH effluent increased with the pH of stage II being higher than stage IThe TSS and COD removal efficiency in planted CW was 61-90 % and 27-85 %, while for control was 8-85 % and 13-79 %, respectively. Plant can grow, indicated by the addition of plant height and plant weight during harvesting. In conclusion, CW stage and planting duration had effect on TSS and COD effluent.

Keywords: constructed wetland, two stage, forage grass, tofu, IPAL

Abstrak

Efluen IPAL tahu yang menerapkan anaerobic digester masih mengandung zat organik dan memerlukan pengolahan lanjutan. Salah satu alternatif pengolahan lanjutan adalah constructed wetland (CW) menggunakan tanaman rumput pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi tahap CW dan lama tanam terhadap konsentrasi TSS dan COD efluen. Pertumbuhan tanaman juga diamati selama operasional alat. Dua bak CW tipe horizontal subsurface flow berukuran 100 cm x 50 cm x 50 cm disusun seri sebagai tahap 1 dan 2. Bak ditanami rumput gajah odot dengan jarak tanam 25 cm, dan bak tanpa tanaman sebagai kontrol. Air limbah dialirkan dengan beban hidrolis 0,1 m3/m2.hari. Pengukuran suhu, pH dan tinggi tanaman dilakukan tiap 2 hari, pengujian TSS dan COD tiap 1-2 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu efluen bak kontrol dan yang ditanami relatif tidak ada perbedaan. pH air mengalami peningkatan setelah melalui CW, dengan pH efluen tahap II lebih besar dibanding tahap I.

Efisiensi penurunan TSS dan COD pada CW yang ditanami rumput berturut-turut 61-90% dan 27-85%, sedangkan untuk kontrol berkisar 8-85% dan 13-79%. Tanaman dapat tumbuh ditunjukkan dengan adanya penambahan tinggi tanaman dan berat tanaman saat panen. Kesimpulan penelitian, variasi tahap CW dan lama tanam berpengaruh terhadap konsentrasi efluen TSS dan COD.

Kata Kunci: constructed wetland, dua tahap, rumput pakan, tahu, IPAL

1. Pendahuluan

Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan merupakan sentra indutri tahu di kabupaten Bantul DIY. Di desa tersebut terdapat beberapa IPAL tahu komunal yang menerapkan teknologi pengolahan anaerobik digester. Efluen pengolahan anerobik masih mengandung zat organik dan memerlukan pengolahan lanjutan untuk untuk memenuhi baku mutu yang ketat. Salah satu teknologi alternatif yang untuk pengolahan lanjutan adalah constructed wetlands (lahan basah buatan). Constructed wetland (CW) adalah sistem pengolahan terencana atau terkontrol yang telah didesain dan dibangun dengan menggunakan proses alami yang melibatkan vegetasi, media, dan mikroorganisme untuk mengolah air limbah. Constructed wetlands sangat potensial karena sistem pengolahan limbahnya sederhana, mudah diterapkan dalam skala rumah tangga atau individual dengan memanfaatkan sumber daya setempat.

Sejauh ini penggunaan constructed wetlands sebagai pengolah limbah tahu, berupa constructed wetlands satu tahap menggunakan tanaman melati air [1][2] genjer [3], Typha latifolia [4], cattail [5],

(2)

enceng gondok [6], dan papyrus [7]. Rumput pakan dapat dapat menjadi alternatif vegetasi constructed wetland yang memiliki nilai ekonomis. Pengolahan limbah domestik menggunakan CW tipe horizontal subsurface yang ditanami rumput Brachiaria mutica dengan beban organik 30, 60, 90 dan 120 kg/ha.hari, dapat menurunkan COD, BOD5, TSS, TN dan TP secara berturut-turut sebesar 81,58%, 93,3%, 67,2%, 58,6

% dan 85,5% [8]. Penanaman Brachiaria. mutica pada kolam stabilisasi dengan variasi kondisi operasional laju aliran, COD influen, rasio N/P, pH dan tinggi pemotongan rumput menunjukkan bahwa rumput tumbuh baik dan efisiensi pengolahan tinggi pada laju aliran 0,12 m3/jam dan 0,18 m3/jam, COD influen 200 – 350 mg/l, rasio N/P 4-6 dan pH 7. Rumput perlu dipotong setelah 20 – 22 hari dengan tinggi rumput setelah pemotongan 20 – 40 cm [9]. Penggunaan rumput gajah Pennisetum sinese Roxb dan Pennisetum purpureum Schum untuk penyisihan N dan P limbah domestik simulasi menunjukkan bahwa dua spesies tersebut memiliki efek positif untuk penyisihan TN dan TP, serta mengurangi clogging pada sistem CW.

Uptake N pada daun lebih besar daripada cabang, sementara uptake P pada cabang lebih besar dibanding pada daun [10]. Adapun penggunaan Pennisetum purpureum cv King grass dan Pennisetum purpureum cv Mott pada CW tipe vertical subsurface untuk pengolahan limbah babi menunjukkan keduanya mampu menyisihkan BOD dan TKN lebih dari 70 %. Efisiensi penyisihan COD, TKN dan TDS lebih baik pada HLR 5 cm/hari, sedangkan untuk BOD pada HLR 2 cm/hari. Pada HLR sama, Pennisetum purpureum cv King grass menunjukkan penyisihan COD, BOD, TKN, TSS dan TDS yang lebih tinggi disbanding Pennisetum purpureum cv Mott [11]. Terbatasnya penelitian constructed wetlands dua tahap dengan menggunakan rumput pakan, khususnya rumput gajah odot (Pennisetum purpureum CV. Mott), menjadi salah satu pendorong dilakukannya penelitian ini. Penggunaan rumput pangan akan menjadi nilai lebih karena membantu pasokan pakan ternak karena masyarakat Trimurti yang juga memelihara sapi atau kambing. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh variasi tahap CW dan lama tanam terhadap konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) dan Chemical Oxygen Demand (COD) efluen serta mengamati pertumbuhan tanaman selama operasional alat.

2. Metode Penelitian

Variabel penelitian ini adalah tahapan CW dan lama tanam rumput GO. Rangkaian CW terdiri dari bak tampung, bak CW tahap 1 dan bak CW tahap 2 (gambar 1). Bak ukuran 100 cm x 50 terbuat dari kayu yang diperkuat dengan bambu dan dilapisi terpal kedap air. Media kerikil dan pasir yang digunakan merupakan material lokal yang berasal dari Kali Progo. Batuan untuk pengisi zona inlet dan outlet berukuran 30-50 mm, sedangkan zona tanam berisi kerikil ukuran 15-25 mm, pasir kasar ukuran 2-8 mm dan pasir halus ukuran ±1 mm (Gambar 1 & 2.)

Gambar 1. Rangkaian alat Gambar 2. Penampang CW Sumber: Data penelitian (2021) Sumber: Data penelitian (2021)

Penelitian dilakukan secara triplikat dengan bak CW tanpa tanaman digunakan sebagai kontrol.

Rumput pakan yang digunakan adalah rumput Pennisetum purpureum cv. Mott atau gajah odot (GO) tinggi

± 80-90 cm. Tiap bak ditanami 6 rumput dengan jarak antar tanaman 25 cm. Aklimatisasi tanaman dilakukan dengan mengalirkan campuran air bersih dan air limbah secara bertahap. Campuran air bersih dan air limbah berturut-turut adalah 100%:0%; 75%:25%; 50%:50%; 25%:75% dan 0%:100%. Per tahap

(3)

dilakukan pengaliran selama 3 hari. Setelah aklimatisasi tanaman dipotong hingga ketinggian ± 50 cm.

Selanjutnya air limbah dialirkan dengan beban hidrolis 0,1 m3/m2.hari atau setara debit 50 L/hari. Limbah dialirkan secara kontinyu selama 8 jam/hari mengikuti waktu produksi industri tahu. Pengukuran pH, suhu dan tinggi tanaman dilakukan di lapangan setiap 2 hari. Alat pengukur pH menggunakan pH pocket HANNA HI98107, sedangkan untuk suhu menggunakan termometer alkohol. Pada bulan pertama analisis TSS dan COD dilakukan tiap minggu sedang bulan selanjutnya tiap 2-3 minggu. Pengujian parameter COD dan TSS di laboratorium Hardjoko Institut Teknologi Yogyakarta. Setelah satu bulan rumput dipotong hingga ketinggian ± 40 cm.

3. Hasil dan Pembahasan 1. Suhu dan pH

Hasil pengukuran lapangan untuk parameter suhu dan pH dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Suhu efluen antara bak kontrol dan bak yang ditanami rumput gajah odot relatif tidak ada perbedaan (Gambar 3). Mulai hari ke 18 suhu influen cenderung lebih tinggi disbanding suhu efluen. Ini disebabkan pada periode tersebut cuaca panas dan bak tampung air limbah terpapar sinar sepanjang hari, sehingga suhu air limbah di bak tampung meningkat. Setelah melewati CW suhu air limbah mengalami penurunan.

Kondisi mesofilik merupakan kondisi temperatur yang optimum untuk menguraikan bahan organik, sehingga perlu dipertahankan secara konstan. Temperatur akan berpengaruh terhadap aktifitas mikroorganisme maupun tanaman, sehingga akan mempengaruhi kinerja pengolahan air limbah yang masuk ke dalam reaktor constructed wetland yang akan digunakan. Kisaran suhu antara 16,5°C dan 32°C menguntungkan untuk nitrifikasi di lahan basah [12]. Suhu yang tinggi dan konstan akan meningkatkan laju degradasi zat organik dan nitrifikasi karena aktivitas mikroorganisme yang melekat pada media akan ditingkatkan [13].

Gambar 3. Grafik hasil pengukuran suhu Sumber: Data penelitian (2021) 24

25 26 27 28 29 30 31

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 32 34 36 40 42 44 46 50 54 Suhu (oC)

Hari

suhu influen Suhu efluen CW Kontrol

Tahap 1 Suhu efluen CW Kontrol

Tahap 2

Suhu efluen CW Rumput GO Tahap 1

(4)

Gambar 4. Grafik hasil pengukuran pH Sumber: Data penelitian (2021)

Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa pH air mengalami peningkatan setelah melalui CW, baik pada kontrol maupun yang ditanami rumput gajah odot (GO), dengan pH tahap II lebih besar dibanding tahap I.

Nilai pH dari influen ke tahap I mengalami peningkatan sebesar 0,2 skala pH. CW dengan variasi jenis dan ketebalan media menggunakan tanaman cattail dan kombinasi cattail-Phragites australis mengalami peningkatan pH dari 4,2 hingga 6,7 [6]. Interaksi ini dapat disebabkan oleh adanya pelepasan garam dari media ke air. Hal ini menunjukkan bahwa media ikut berperan dalam menetralisasi pH. Selain itu, tumbuhan melakukan fotosintesis dengan mengambil H+ dan melepaskan OH, menyebabkan peningkatan pH. Pada kondisi pH asam dan basa tanaman dapat menyesuaikan dan menetralkan kondisi pH [14].

2. TSS

Penggunaan CW mampu menurunkan TSS air limbah tahu. Meskipun penurunan TSS belum stabil, kecenderungan menunjukkan bahwa efluen TSS tahap II relatif lebih kecil dibanding tahap I (Tabel 1, Gambar 5). Waktu operasional yang masih singkat (± 2 bulan) memungkinkan belum tercapainya steady stage dan masih pada set-up stage. Pada set-up stage porositas media masih besar [15]. Hal ini menyebabkan penurunan TSS belum stabil. Pada tahap I penurunan TSS berkisar 40-57 % untuk kontrol dan 43-67 % untuk yang ditanami. Untuk tahap II penurunan TSS berkisar 57-85 % untuk kontrol dan 19- 90 % untuk yang ditanami (Gambar 6). Rerata efisensi penurunan TSS berkisar 42-53 % untuk kontrol dan 55-63% untuk yang ditanami. Operasional CW dua tahap ditujukan untuk memperbaiki kinerja pengolahan air limbah. Kecenderungan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai TSS efluen tahap II relatif lebih baik dibanding tahap I, baik untuk kontrol maupun yang ditanami.

Tabel 1. Rerata hasil pengujian TSS Minggu

ke

TSS influen

TSS efluen CW (mg/L) Kontrol

Tahap 1

Kontrol Tahap 2

Rumput GO Tahap 1

Rumput GO Tahap 2

0 494 208 112 161 399

I 229 210 294 74 275

II 242 143 92 93 39

III 383 222 55 127 35

VI 318 147 136 89 88

VIII 377 189 130 213 54

Sumber: Data penelitian (2021) 6

6,2 6,4 6,6 6,8 7 7,2 7,4 7,6 7,8

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 32 34 36 40 42 44 46 50 54

pH

Hari

pH influen CW pH efluen CW Kontrol Tahap 1

pH efluen CW Kontrol Tahap 2

pH efluen CW Rumput GO Tahap 1

pH efluen CW Rumput GO Tahap 2

(5)

Gambar 5. Hasil pengujian TSS Sumber: data penelitian (2021)

TSS mudah dipisahkan dari air melalu mekanisme sedimentasi, filtrasi melalui media maupun akar tanaman [12]. Penguraian biologis dan adsorpsi pada permukaan padatan seperti tanah, pasir dan kerikil turut mengontribusi secara signifikan dalam penyisihan TSS [16]. Penelitian terdahulu menggunakan rumput B. mutica dan Napier pada CW satu tahap, penurunan TSS berkisar 60 % - 90% [8][11][16]. Pada penelitian ini penyisihan dengan nilai tersebut dapat dicapai setelah melewati tahap II. Relatif rendahnya penyisihan TSS disebabkan media batuan dan kerikil yang digunakan berukuran cukup besar. Dalam penelitian ini kerikil yang digunakan berukuran 3-5 cm dan 1,5-2,5 cm. Hal ini menyebabkan tingginya porositas media dan pendeknya waktu tinggal hidrolis (< 1 hari). Walaupun beban hidrolis 0,1 m3/m2.hari masih dalam range operasional (0,01-0,1 m3/m2.hari), tetapi jika waktu tinggal hidrolis rendah dapat berpengaruh pada penyisihan TSS.

Berdasarkan uji anova (Tabel 2), variasi tahap CW tidak berpengaruh terhadap konsentrasi efluen TSS, namun lama penanaman berpengaruh terhadap konsentrasi TSS. Bertambahnya masa tanam berakibat pada bertambahnya panjang akar tanaman. Akar rumput yang panjang memungkinkan untuk menjangkau area yang lebih dalam dan luas, dan membantu penyisihan TSS baik melalui filtrasi atau adsorpsi di perakaran tersebut.

Gambar 6. Efisiensi penurunan TSS Sumber: data penelitian (2021) 0

100 200 300 400 500 600

0 I II III VI VIII

TSS (mg/L)

Minggu Ke- TSS influen TSS efluen CW Kontrol

Tahap 1

TSS efluen CW Kontrol Tahap 2

TSS efluen CW Rumput GO Tahap 1

TSS efluen CW Rumput GO Tahap 2

-40 -20 0 20 40 60 80 100

0 I II III VI

EFisiensi penurunan TSS (%)

Minggu Ke-

Efisiensi penurunan TSS (%) Efisiensi penurunan TSS (%) Efisiensi penurunan TSS (%) Efisiensi penurunan TSS (%)

(6)

Tabel 2. Anova TSS

Sumber Varian db JK KT F Hitung F Tabel

Perlakuan

Tahap CV 3 423.431 141.143,70 2,743 2,80

Lama tanam 5 519.554,52 103.910,90 2,743 2,41

Tahap CW x Lama tanam 15 771.764,95 51.451,00 2,020 1,88

Galat 48 90.067,00 1.876,40

Total 71 1.804.817,58

Sumber: Hasil analisis (2021)

3. COD

Hasil penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa baik pada bak kontrol maupun yang ditanami, terjadi penyisihan COD, ditunjukkan oleh konsentrasi COD efluen yang lebih rendah dibanding influen. Konsentrasi COD efluen tahap II, kecuali di minggu awal, menunjukkan nilai yang lebih rendah dibanding tahap II. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan dua tahap mampu meningkatkan kemampuan penyisihan COD.

Tabel 3. Rerata hasil pengujian COD

Sumber: Data penelitian (2021)

Gambar 7. Hasil pengujian COD Sumber: Data penelitian (2021)

Peningkatan efisiensi penyisihan COD setelah melalui CW tahap II hingga mencapai dua kali lipat sebagaimana disajikan pada Gambar 8. Zat organik dapat terurai secara aerobik maupun anaerobik.

Penguraian aerobik terjadi melalui kemoheterotrof, yang relatif lebih cepat laju metabolismenya dibandingkan kemoautotrof. Bakteri ini mengoksidasi bahan organik dan memanfaatkan oksigen sebagai akseptor elektron terakhir dan melepaskan karbon dioksida, amonia dan bahan kimia stabil lainnya.

Efisiensi penurunan COD pada CW kontrol menunjukkan kecenderungan meningkat dengan bertambahnya lama tanam, sedangkan pada CW yang ditanami naik turun. Pada CW yang ditanami, pada saat tertentu tanaman dan mikroorganisme yang mati dapat terbawa aliran efluen dan meningkatkan nilai TSS maupun

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

0 I II III VI VIII

COD (mg/L)

Minggu Ke-

COD influen COD efluen CW Kontrol

Tahap 1 COD efluen CW Kontrol

Tahap 2

COD efluen CW Rumput GO Tahap 1

Minggu ke

COD influen

COD efluen CW Kontrol

Tahap 1

Kontrol Tahap 2

Rumput GO Tahap 1

Rumput GO Tahap 2

0 813,528 703,182 465,728 545,578 459,742

I 807,542 681,233 424,307 544,329 466,385

II 801,556 638,331 388,755 581,541 324,007 III 1451,062 1106,853 528,913 615,982 604,010 VI 798,563 246,832 187,967 457,527 118,667

(7)

zat organik. Hal ini menjelaskan mengapa pada waktu tertentu kinerja CW yang ditanami lebih rendah dibanding kontrol [11].

Penelitian-penelitian terdahulu menyatakan bahwa penyisihan BOD, COD dan TSS dalam CW berkisar 73-83 %, sedangkan penyisihan nutrien (P dan N) lebih kecil berkisar 30-45%. Beban organik efluen (BOD dan COD) baik CW sistem surface maupun sub surface menunjukkan korelasi positif yang kuat dengan beban organik influen. Hal ini menunjukkan bahwa sisa konsentrasi zat organik efluen pada CW sebagian besar dipengaruhi oleh konsentrasi inlet [17]. Penggunaan HSSF-CW dua tahap untuk pengolahan air limbah bir menggunakan tanaman Cyperus alternifolius dan Typha latifolia berturut-turut menyisihkan COD hingga 74,2 % dan 83,6% [18].

Walaupun hasil penelitian ini untuk CW yang ditanami menunjukkan penurunan COD terbesar mencapai 85 %, namun nilai tersebut belum konstan. Penurunan hanya pada kisaran 58 %, lebih rendah dari penelitian sebelumnya. Penyisihan COD sebesar 58 ± 2% juga terjadi pada CW satu tahap yang ditanami kombinasi Phragmites australis Cav. dan Cyperus alternifolius L.[19]. Waktu tinggal merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap efisiensi penurunan COD [1][2]. Berdasarkan pengujian di lapangan, porositas media CW dalam penelitian ini berkisar 40-42% untuk kerikil, 29 % untuk pasir kasar dan 19 % untuk pasir halus. Dengan volume void yang tersedia dan beban hidrolis digunakan, waktu tinggal air dalam CW kurang dari 1 hari, lebih rendah dari yang dianjurkan. Berkembangnya kondisi anaerobik/anoksik pada CW tipe horizontal menyebabkan rendahnya penyisihan zat organik, namun efisien untuk penyisihan total nitrogen [13][20].

Gambar 8. Efisiensi penurunan COD Sumber: Data penelitian (2021)

Uji anova (Tabel 4) menunjukkan bahwa tahapan CW dan lama tanam berpengaruh terhadap konsentrasi efluen COD. Waktu tanam lebih lama menyebabkan akar tanaman lebih panjang. Pada daerah akar terjadi degradasi materi organik secara aerob dan anaerob. Selama limbah cair melewati rizosfer tanaman, materi organik akan terdekomposisi akibat aktivitas mikroba. Jika tersedia materi organik yang cukup nitrogen akan ter-denitrifikasi, phospat akan teradsorpsi oleh media dan tanaman.

Tabel 4. Anova COD

Sumber Varian db JK KT F Hitung F Tabel

Perlakuan

Tahap CV 3 4.341.590 1.447.196,72 5,535 2,80

Lama tanam 5 4.834.918,35 966.983,67 5,535 2,41

Tahap CW x Lama tanam 15 3.921.712,94 261.447,53 3,699 1,88

Galat 48 666.250,54 13.880,22

Total 71 13.764.472,00

Sumber: Hasil analisis (2021) 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 I II III VI VIII

efisiensi penurunan COD (%)

Minggu Ke- Efisiensi penurunan COD Kontrol

Tahap 1

Efisiensi penurunan COD Kontrol Tahap 2

Efisiensi penurunan COD Rumput GO Tahap 1

Efisiensi penurunan COD Rumput GO Tahap 2

(8)

4. Pertumbuhan tanaman

Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman diukur dari ketinggian tanaman, disajikan pada Gambar 9.

Pada penelitian ini pertumbuhan tanaman tidak sama, disebabkan perolehan cahaya matahari yang berbeda.

Sebagian bak CW tidak dapat terpapar matahari sepanjang hari karena terhalang oleh tanaman besar di sekitarnya (Gambar 10). Kurangnya paparan sinar matahari menyebabkan fotosintesis tidak berjalan optimal dan mengganggu pertumbuhan dan pada akhirnya berdampak pada penyisihan zat organik maupun TSS.

Keterangan: hari ke 28 dan 54 dilakukan pemotongan (pemanenan) rumput

Gambar 9. Tinggi tanaman Sumber: Data penelitian (2021)

Gambar 10. Setelah 4 minggu (sebelum pemanenan) Sumber: Dokumentasi penelitian (2021)

Pada panen pertama berat tanaman di CW tahap I sebesar 183 gr sedangkan tahap II sebesar 90 gr, dan pada panen kedua berat tanaman berturut-turut menjadi 751 gr dan 181 untuk CW tahap I dan tahap II. Hal ini menunjukkan bahwa pada panen pertama maupun kedua, hasil panen CW tahap I lebih besar dibanding tahap II. Influen CW tahap I menerima limbah langsung dari IPAL, sehingga kandungan zat organik maupun nutrien lebih besar dibandingkan influen tahap II yang merupakan efluen tahap I.

Saat panen kedua, berat tanaman lebih besar dibanding panen pertama, baik untuk CW tahap I maupun II. Ini menunjukkan tanaman mengalami pertumbuhan. Pemanenan tanaman efektif untuk menyisihkan nutrien dari sistem CW dan mendorong perkembangan tanaman, karena pemanenan menstimulasi pertumbuhan tanaman sehingga fotosintesis dan absorpsi nutrien menjadi lebih intens [9][10].

45 55 65 75 85 95

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 32 36 40 42 46 50 54

rata-rata tinggi rumput (cm)

Hari Ke-

Rata-rata Tinggi Rumput Gajah Odot (cm) CW tahap 1 Rata-rata Tinggi Rumput Gajah Odot (cm) CW tahap 2

(9)

Tabel 5. Berat tanaman saat panen Tahap Ulangan Berat tanaman (gr)

Hari ke 28 Hari ke-54

I

1 111 20

2 307 634

3 131 97

Rerata 183 751

II

1 7 4

2 142 421

3 120 118

Rerata 90 181

Sumber: Data penelitian (2021)

4. Kesimpulan

Suhu efluen antara bak kontrol dan bak yang ditanami relatif tidak ada perbedaan, sedangkan pH mengalami peningkatan, baik pada kontrol maupun yang ditanami. Secara umum bak yang ditanami rumput GO menurunkan konsentrasi TSS dan COD lebih besar dibandingkan kontrol. Efisiensi penurunan TSS dan COD berturut-turut sebesar 61-90% dan 27-85% untuk bak yang ditanami, sedangkan untuk kontrol sebesar 8-85% dan 13-79%. Tanaman dapat tumbuh ditunjukkan dengan adanya penambahan tinggi tanaman dan berat tanaman saat panen. Variasi tahap CW dan lama tanam berpengaruh terhadap konsentrasi efluen TSS dan COD. Waktu tinggal hidrolisis dan lama paparan sinar matahari perlu dikaji untuk penelitian selanjutnya.

5. Ucapan terimakasih

Ucapan terimakasih kepada kelompok pengrajin Tahu Ngudi Lestari yang telah memberi kesempatan, dan kepada Rusdi yang mengizinkan lahannya digunakan untuk penelitian. Rekan-rekan analis laboratorium Harjoko ITY dan mahasiswa yang telah membantu penelitian ini.

6. Daftar Pustaka

[1] A. Riyanti, M. Kasman, and M. Riwan, “Efektivitas Penurunan Chemichal Oxygen Demand (COD) dan pH Limbah Cair Industri Tahu dengan Tumbuhan Melati Air melalui Sistem Sub-Surface Flow Wetland,” J. Daur Lingkung., vol. 2, no. 1, p. 16, 2019, doi: 10.33087/daurling.v2i1.19.

[2] M. Al Kholif, Pungut, Sugito, Joko Sutrisno, and Winda Sulistyo Dewi, “Pengaruh Waktu Tinggal dan Media Tanam pada Constructed Wetland untuk Mengolah Air Limbah Industri Tahu,” Al-Ard J.

Tek. Lingkung., vol. 5, no. 2, pp. 107–115, 2020, doi: 10.29080/alard.v5i2.901.

[3] M. I. Nurliansyah, “Efektivitas Tanaman Genjer Dalam Menurunkan Bod Dan Cod Limbah Cair Tahu Hasil Proses Anaerob,” J. Teknol. Lingkung. Lahan Basah, vol. 4, no. 1, pp. 1–10, 2016, doi:

10.26418/jtllb.v4i1.13919.

[4] M. Azmi, E. HS, and D. Andrio, “Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan Tanaman Typha latifolia dengan Metode Constructed Wetland,” Jom F Tek., vol. 3, no. 2, p. 1, 2016.

[5] S. P. Karnanta, M. Solikin, and H. Purnama, “Terraced Wetland Construction of Liquid Waste Pollution Countermeasures from Tofu Industry (Case Study of Tofu Industry in Mojosongo, Surakarta),” J. Phys. Conf. Ser., vol. 1858, no. 1, 2021, doi: 10.1088/1742-6596/1858/1/012003.

[6] M. O. Dewi and T. Akbari, “Pengolahan Limbah Cair Tahu Dengan Metode Fitoremediasi Tanaman Eceng Gondok (Eichhonia Crassipes ) Pada Industri Tahu B Kota Serang,” Jurnalis, vol. 3, no. 1, pp.

1–13, 2020.

[7] L. Faridatuzzahro, S. M. R. Sedyawati, and N. Widiarti, “Penurunan Nilai BOD dan COD Limbah Tahu Menggunakan Tanaman Cyperus papirus Sistem Wetland,” Indones. J. Chem. Sci., vol. 4, no. 1, pp. 76–79, 2019.

[8] Van Thi Thanh Ho, M. P. Dang, L. T. Lien, T. T. Huynh, T. Van Hung, and L. G. Bach, “Study on Domestic Wastewater Treatment of the Horizontal Subsurface Flow Wetlands (HSSF-CWs) Using Brachiaria mutica,” Waste and Biomass Valorization, vol. 11, no. 10, pp. 5627–5634, 2020, doi:

10.1007/s12649-020-01084-4.

[9] T. L. Van, M. D. Pham, T. T. P. Anh, P. L. Thi, N. H. Dong, and V. T. T. Ho, “High efficiency of waste stabilization ponds using para grass (Brachiaria Mutica) vegetation for treatment of industrial wastei Ho Chi Minh City, Vietnam,” IOP Conf. Ser. Mater. Sci. Eng., vol. 991, no. 1, 2020, doi:

10.1088/1757-899X/991/1/012090.

(10)

[10] Q. Xu, Z. Hunag, X. Wang, and L. Cui, “Pennisetum sinese Roxb and Pennisetum purpureum Schum.

as vertical-flow constructed wetland vegetation for removal of N and P from domestic sewage,” Ecol.

Eng., vol. 83, pp. 120–124, 2015, doi: 10.1016/j.ecoleng.2015.06.011.

[11] P. Klomjek, “Swine wastewater treatment using vertical subsurface flow constructed wetland planted with Napier grass,” Sustain. Environ. Res., vol. 26, no. 5, pp. 217–223, 2016, doi:

10.1016/j.serj.2016.03.001.

[12] T. Saeed and G. Sun, “A review on nitrogen and organics removal mechanisms in subsurface flow constructed wetlands: Dependency on environmental parameters, operating conditions and supporting media,” J. Environ. Manage., vol. 112, pp. 429–448, 2012, doi: 10.1016/j.jenvman.2012.08.011.

[13] A. Torrens, D. de la Varga, A. K. Ndiaye, M. Folch, and A. Coly, “Innovative multistage constructed wetland for municipal wastewater treatment and reuse for agriculture in Senegal,” Water (Switzerland), vol. 12, no. 11, pp. 1–12, 2020, doi: 10.3390/w12113139.

[14] L. Indrayani and M. Triwiswara, “Tingkat Efektivitas Pengolahan Limbah Cair Industri Batik Dengan Teknologi Lahan Basah Buatan,” Din. Kerajinan dan Batik Maj. Ilm., vol. 35, no. 1, p. 53, 2018, doi:

10.22322/dkb.v35i1.3795.

[15] A. R. A. Zidan, M. M. El-Gamal, A. A. Rashed, and M. A. A. El-Hady Eid, “Wastewater treatment in horizontal subsurface flow constructed wetlands using different media (setup stage),” Water Sci., vol.

29, no. 1, pp. 26–35, 2015, doi: 10.1016/j.wsj.2015.02.003.

[16] T. Van Thanh Ho, M. P. Dang, T. L. Tu, T. H. Thien, and L. G. Bach, “Assessing the Ability to Treat industrial Wastewater by Constructed Wetland Model Using the Brachiaria mutica,” Waste and Biomass Valorization, vol. 11, no. 10, pp. 5615–5626, 2020, doi: 10.1007/s12649-020-01065-7.

[17] R. A. Frazer-Williams, “A Review of the Influence of Design Parameters on the Performance of Constructed Wetlands,” J. Chem. Eng., vol. C, no. 1, pp. 29–42, 1970, doi: 10.3329/jce.v25i0.7237.

[18] E. Alayu and S. Leta, “Post treatment of anaerobically treated brewery effluent using pilot scale horizontal subsurface flow constructed wetland system,” Bioresour. Bioprocess., vol. 8, no. 1, 2021, doi: 10.1186/s40643-020-00356-0.

[19] B. T. K. Anh et al., “Selection of Suitable Filter Materials for Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetland Treating Swine Wastewater,” Water. Air. Soil Pollut., vol. 231, no. 2, 2020, doi:

10.1007/s11270-020-4449-6.

[20] Sgroi, M., Pelissari, C., Ávila, C., Sezerino, P.H., Vagliasindi, F.G.A., García, J., Roccaro, P., 2017. Removal of Conventional Water Quality Parameters, Emerging Contaminants and Fluorescing Organic Matter in a Hybrid Constructed Wetland System. In: Mannina, G. (eds) Frontiers in Wastewater Treatment and Modelling. FICWTM 2017. Lecture Notes in Civil Engineering , vol 4.

Springer, Cham. DOI:10.1007/978-3-319-58421-8_50

Referensi

Dokumen terkait

Gambar di atas dapat dilihat bahwa kontrol negatif yang diberikan CMC 0,5% masih dalam rentang aktivitas enzim Alt plasma normal saat pengukuran pretest serta mengalami

Pada gambar 3.2 bagian grafik tanpa kontrol pH dapat dilihat bahwa nilai pH substrat turun secara polinomial. Hal ini dikarenakan pada menit tersebut telah memasuki tahapan

Sebelum sampel air efluen tersebut diolah dengan menggunakan constructed wetland , dilakukan uji karakteristik awal untuk mengetahui kondisi/konsentrasi

Diagram Blok Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa rangkaian sistem otomatisasi dan kontrol tanaman hidroponik memiliki beberapa blok dengan fungsi-fungsi diantaranya, sensor pH