• Tidak ada hasil yang ditemukan

Consuming Cities: Mendefinisikan Kota Melalui Konsumsi

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Consuming Cities: Mendefinisikan Kota Melalui Konsumsi"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

1

Consuming Cities: Mendefinisikan Kota Melalui Konsumsi

Mencoba membahas permasalahan perkotaan melalui apa dan bagaimana masyarakat kota mengkonsumsi, inilah kira-kira tema diskusi yang berlangsung di FIB tanggal 14 Februari lalu. Tiga pembicara utama yang hadir, yaitu Marco Kusumawijaya, Elisa Sutanudjaja, dan Anwar Jimpe Rachman, dengan Johny Khusyairi dosen Program Studi Ilmu Sejarah FIB Unair sebagai moderator, mengupas topik tersebut dengan menarik. Acara yang diselenggarakan atas kerja sama Program Studi Magister Kajian Sastra dan Budaya beserta Unit Kajian Kebudayaan Jawa Timur (UK2JT) ini berlangsung selama sekitar dua jam, dimulai pada pukul 10.00 WIB.

Marco Kusumawijaya membuka diskusi dengan sebuah pernyataan bahwa kota adalah sebuah desain besar. Kota tidak lagi berfungsi mempermudah masyarakat yang ada di dalamnya, tetapi telah berkembang dan berubah sedemikian rupa hingga menjelma semacam mesin dan mengonsumsi masyarakatnya. Ia kemudian banyak menyinggung tentang bagaimana kota telah menjadi sebuah arena tempat identitas dan pencitraan seseorang telah dibentuk lewat barang yang dikonsumsi. Lifestyle tampaknya muncul dari benda-benda terancang. Jasa layanan kesehatan, hiburan, asuransi, memunculkan makna baru. Kurator seni yang aktif di Rujak Centre for Urban Studies ini memberi contoh bentuk seni kontemporer yang dibuat sebagai tanggapan atas semakin banalnya gejala komodifikasi di perkotaan.

Lewat foto-foto karya seni yang ditampilkan dalam diskusi tersebut, Marco sebagai kurator beserta para seniman yang terlibat berusaha menerjemahkan gejala konsumerisme kota.

Misalnya, lewat rezim branding yang diciptakan oleh kapitalisme, Marco menjelaskan bahwa stratifikasi sosial dibentuk oleh harga dan identitas konsumen. Di tengah kepungan kapitalisme dan konsumerisme semacam ini, menurut Marco, ada beberapa kemungkinan ekstrem yang akan dilakukan oleh warga kota. Titik ekstrem pertama adalah semacam trance, hanyut dalam benda-benda dan membiarkan diri dimiliki oleh benda2, lupa ruang dan waktu, menjadi semata-mata konsumen, menikmati fantasi yang diciptakan oleh consumer goods.

Sementara titik ekstrem yang lain adalah semacam meditatif, hanya diam sebagai penonton, menghayati tapi mengambil jarak dair kepungan konsumerisme. Meskipun demikian, sebagian besar orang justru berada di antara kedua kutub tersebut, bisa bergerak secara

(2)

2

bergantian dari kutub ke kutub, atau justru terbetot-betot oleh sisi trance dan sisi meditatif.

Marco pun mencontohkan bagaimana konsumerisme bahkan telah merasuk ke hal-hal yang semestinya bukan konsumtif. Car free day misalnya, yang dari namanya saja semestinya merupakan sebuah hari bebas mobil yang tentu saja meminimalkan konsumsi, justru menjadi sebuah arena yang membuka peluang mengonsumsi sebesar-besarnya, termasuk konsumsi atas ruang.

Pendekatan Marco yang cenderung ke arah Marxist dalam melihat gejala konsumerisme kota ini senada dengan paparan yang ditampilkan oleh Elisa Sutanudjaja. Melalui konsep yang disebut dengan ruang konsumsi, Elisa menjelaskan bagaimana para pemilik modal berhasil menciptakan ruang yang seolah-olah sebagai ruang publik tetapi sebenarnya kedok untuk melakukan kegiatan konsumsi. Ini bisa ditemukan, misalnya melalui banyaknya ruang untuk kepentingan publik yang diciptakan di mal-mal di perkotaan. Ruang semacam ini berwujud ruangan untuk ibu menyusui dan ladies parking lot di mal, arena bermain di real estate, dan sebagainya. Menurut Elisa, sarana publik yang seharusnya disediakan oleh negara sekarang disediakan oleh para pemilik modal. Hal ini semakin mengafirmasi pendapat yang menyatakan bahwa untuk bisa hidup nyaman di kota orang harus memiliki uang.

Jika Marco dan Elisa lebih banyak menyoroti gejala anomali di perkotaan, Anwar Jimpe Rachman sebagai pembicara terakhir banyak menggarisbawahi kiprah komunitas dalam mengangkat permasalahan kota. Melalui Penerbit Ininnawa yang didirikannya dan perpustakaan Kampung Buku yang dimilikinya, pembicara terakhir ini memberi keyakinan bahwa masih banyak yang bisa dilakukan masyarakat sipil untuk mengatasi anomali ini.

Laki-laki yang akrab dipanggil Jimpe ini kemudian menceritakan bagaimana penerbit dan komunitas yang dibentuknya akhirnya bisa menjadi rujukan utama bagi peneliti asing mengenai masyarakat kota di Sulawesi Selatan. Artinya, jika memerlukan sumber pustaka yang cukup bisa diandalkan tentang Sulawesi Selatan, Ininnawa adalah sumber yang harus dituju pertama kali.

(3)

3

Diskusi di pertengahan Februari ini cukup memberikan banyak pengetahuan yang bermanfaat bagi para dosen dan mahasiswa FIB yang menghadirinya. Sejalan dengan fokus utama FIB untuk mendalami isu-isu seputar perkotaan, diskusi semacam ini perlu sering diselenggarakan di masa mendatang.

Referensi

Dokumen terkait

integration of character value, (3) the produced teaching material was supported by relevant supporting devices which consist of; teacher guidelines and students

Hasil dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa service quality yang terdiri dari dimensi reliability, responsiveness, assurance dan empati belum mampu secara langsung