• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Peninggalan Budaya Tulis

N/A
N/A
Dewi Sintia Purbasari

Academic year: 2023

Membagikan "Contoh Peninggalan Budaya Tulis "

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Contoh Peninggalan Budaya Tulis 1. Prasasti

a. Prasasti Pada Masa Raja Purnawarman Tahun 450 M i) Prasasti Ciaruteun

sekarang ditempatkan pada lahan berpagar seluas sekitar 1000 m2 dan dilengkapi cungkup berukuran 8 x 8 m. Prasasti dipahatkan pada sebongkah batu andesit. Prasasti ini ditulis dengan huruf Palawa berbahasa Sansekerta, dituliskan dalam bentuk puisi India dengan irama anustubh terdiri dari 4 baris. Di atas tulisan terdapat goresan membentuk gambar sepasang tapak kaki dan di tengahnya terdapat gambar laba-laba.

Tulisan pada prasasti ini terdiri dari empat baris dan ditulis dalam bentuk puisi India. Berikut ini bunyi isi Prasasti Ciaruteun dan maknanya.

vikkrantasyavanipateh crimatah purnnavarmmanah tarumanagarendrasya vishnoriva padadvayam

Terjemahan: Ini (bekas) dua kaki, yang seperti kaki Dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia.

Yang menarik perhatian dari prasasti ini adalah lukisan laba-laba dan telapak kaki yang terdapat di bagian atas hurufnya. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan Raja Purnawarman, dan pesannya menegaskan kedudukan sang raja yang diibaratkan Dewa Wisnu, yaitu sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.

ii) Prasasti Kebon Kopi I

Prasasti Kebon Kopi I Oleh masyarakat juga disebut Batu Tapak Gajah. Prasasti Kebon Kopi I berada pada lahan berteras seluas sekitar 1500 m2 . Untuk melindungi prasasti telah dibuatkan cungkup dengan ukuran 4,5 x 4,5 m. Prasasti Kebon Kopi I dipahatkan pada sebongkah batu dengan bentuk tidak beraturan. Pada permukaan batu yang menghadap ke timur terdapat pahatan yang membentuk 2 telapak kaki gajah. Di antara kedua pahatan tersebut terdapat 1 baris tulisan setinggi 10 cm.

Prasasti ditulis dalam bentuk puisi anustubh. Prasasti Kebon Kopi berbunyi sebagai berikut (Hardiati, 2009: 52

Uu jayavicälasya tarume{ndra}sya ha {St} inah uu {aira vatabhasya vibhatidampadadvayam Terjemahannya:

Di sini nampak sepasang tapak kaki... yang seperti Airawata, gajah penguasa taruma (Yang) agung da/am... dan (?) keyayaan.

(2)

Foto Prasasti Kebon Kopi I atau Prasasti Tapak Gajah (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2006) iii) Prasasti Pasir Muara

Foto Prasasti Pasir Muara (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2006)

Prasasti ini berada di tepi Sisi barat Ci Sadane, berjarak sekitar 50 m dari pertemuan dengan Ci Anten. Prasasti ini masih berada pada lokasi semula, sehingga pada waktu air sungai pasang prasasti ini akan terendam. Prasasti Pasir Muara dipahatkan pada sebongkah batu dengan bentuk yang tidak beraturan. Keadaan batu pada beberapa bagian sudah mengelupas karena tergerus air sungai. Tulisan berupa aksara ikal seperti motif suluran yang belum dapat dibaca.

iv) Pasir Jambu

Prasasti Pasir Jambu biasajuga disebut dengan Prasasti Koleangkak Prasasti ini terletak 24 km sebelah barat dari Kota Bogor, atau ± IO km dari Kota Leuwiliang atau ± 14 km sebelah selatan Kota Kecamatan Nanggung. Secara administratif lokasi situs berada di Kampung Pasir Koleangkak, Desa Batutulis, Kecamatan Nanggung. Secara geografis terletak pada koordinat 106 0 32'46"BT dan

(3)

06034'06" LS dengan ketinggian ± 485 m di atas permukaan laut. Lokasi situs berada di sebelah timur Ci Kasungka yang bermuara di Ci Kaniki yang selanjutnya bermuara di Ci Anten.

Prasasti Pasir Jambu atau Prasasti Koleangkak pertama kali dilaporkan oleh J. Rigg pada tahun 1854.

Prasasti ini dialihaksarakan dan diterjemahkan oleh J. Ph. Vogel (1925) dalam bukunya yang berjudul The Earliest Sanskrit Inscription Q/'Java, dan oleh Poerbacaraka (1952) dalam bukunya Riwayat Indonesia I (Munandar, 2011: 35 - 36).

Prasasti yang terletak di puncak Bukit/Pasir Koleangkak, berada pada area seluas ± 1500 m2 dan berpagar kawat berduri setinggi 120 cm. Prasasti telah dibuatkan cungkup berukuran 6 x 7 m dengan pagar besi dan atap sirap. Tiang cungkup berupa pilar cor menyerupai batang kayu, dan lantai berupa susunan batu kerakal yang disemen. Pemagaran dan pembuatan cungkup dilakukan oleh Balai Pengelolaan Cagar Budaya Serang. Area sekitar cungkup telah ditata dan dilengkapi jalan setapak.

Foto Prasasti Pasir Jambu/Pasir Koleangkak (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2012)

Prasasti dipahatkan pada batu andesit, dengan bentuk segi tiga tidak sama sisi, berukuran tinggi 73 cm, sisi-sisinya berukuran 290 cm, 265 cm, 240 cm. Salah satu bagian sudut batu prasasti telah patah, tetapi telah disambung oleh Direktorat Perl indungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Pada permukaan batu bagian atas yang relatif rata, tertera dua baris inskripsi dengan huruf Palawa dan Bahasa Sansekerta. Pada permukaan batu ini juga terdapat bentuk sepasang telapak kaki. Prasasti tidak menyebutkan pertanggalan tetapi dari paleografinya dapat diperkirakan ditulis pada abad ke-5 M (Munandar, 2011: 35 — 36). Adapun isi dan terjemahan prasasti tersebut adalah sebagai berikut (Hardiati, 2009: 50). Isi:

'criman data krtajnyo narapatir asamo yah purl tarumayan namma cri purnnavarmma

pracurarwucarabedya vikhyata varmmo tasyedam davimbad

'iyamarinagarotsadanenityadaksham bhaktanam yandripanam bhavati sukhakaram calyabhutam rwunam

Terjemah:

Gagah, mengagumkan, dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada taranya, yang termashur Sri Purnawarman, yang sekali waktu (memerintah) di Taruma dan baju zirahnya yang terkenal (warman). Tidak dapat ditembus senjata musuh.

Ini adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota

musuh, hormat kepada pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging hagi musuh-

musuhnya.

(4)

b. Prasasti Talang Tuo

Prasasti Talang Tuwo Kata prasasti berasal dari bahasa sansekerta, arti sebenarnya adalah “pujian”, tapi kemudian dianggap “Piagam, maklumat, surat keputusan, undang- undang atau tulisan”. Meskipun pengertian awal sebagai pujian, tidak semua prasasti memuat pujian (raja). Sebagian besar prasasti yang dikenal untuk membuat keputusan tentang pembentukan daerah pedesaan atau daerah menjadi maju.

Prasasti merupakan sebuah peninggalan sejarah berupa batu yang bertulis tulisan kuno yang beisikan mengenai sebuah berita, informasi, peringatan, undang-undang dan yang lainnya.

Prasasti Talang Tuo adalah prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada tahun 1920 oleh pejabat Inggris yaitu L.C. Westenegh, di daerah Talang Tuo (Talang Kelapo sekarang), prasasti ini dibuat pada masa raja Dapunta Hiyang Sri Jayanasa. Prasasti ini bertanggal 2 bulan Shaitra tahun 606 Saka (684 M), yang terdiri atas 14 baris dengan berbahasa Melayu Kuno (Mahmud, 2007:24). Secara garis besar, prasasti ini menerangkan bahwa pemerintahan baru mengeluarkan undang-undang pertama yaitu berupa pembangunan taman yang disebut Sriksetra. Pada taman tersebut terdapat berbagai macam tanaman yang bermanfaat bagi masyarakat bumi Sriwijaya. Tujuanya ialah untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh makhluk hidup di bumi Sriwijaya sehingga masyarakat sejahtera dan tentram.

c. Prasasti Canggall

prasasti Canggal (654 Saka/732 Masehi), yang ditemukan di halaman percandian di atas gunung Wukir di Kecamatan Salam, Magelang. Prasasti Canggal memakai huruf Pallawa, berbahasa Sansekerta, dan membicarakan raja Sanjaya yang beragama Siwa, yang mendirikan sebuah linga di bukit Sthīranga.

(5)

Prasasti Canggal menjadi sumber sejarah yang penting karena menceritakan kehidupan awal di Kerajaan Mataram Kuno. Dijelaskan bahwa yang menjadi raja awalnya adalah Sanna, yang kemudian digantikan oleh Sanjaya anak dari Sannaha yang berasal dari Galuh.

Adapun isi dari Prasasti Canggal adalah sebagai berikut.

Bait 1: Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas bukit.

Bait 2-6: Pemujaan terhadap Dewa Siwa, Brahma, dan Wisnu.

Bait 7: Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan menghasilkan padi.

Pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjadesa.

Bait 8-9: Jawa yang dahulu diperintah oleh Raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil tindakannya, perwira perang, murah hati kepada rakyatnya. Ketika meninggal dunia negara berkabung, sedih kehilangan pelindung.

Bait 10-11: Pengganti Raja Sanna adalah putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan sebagai matahari. Kekuasaanya tidak langsung diberikan kepada Sanjaya, melainkan melalui saudara perempuannya (Sannaha).

Bait 12: Kesejahteraan, keamanan, dan ketenteraman negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tanpa takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadi kejahatan lainnya. Rakyat dapat hidup senang.

Aksara

 Aksara Devanagari adalah Aksara yang dipakai dalam kitab suci Veda. Selain merupakan huruf atau Aksara yang dipakai dalam kitab suci Veda Aksara Devanagari juga merupakan salah satu ciri agama Hindu meskipun tidak banyak umatnya yang paham Aksara Devanagari.

A

ksara Devanāgarī atau aksara Dewanagari (dari bahasa Sansekerta: "kota dewa")

adalah sebuah jenis aksara yang berasal dari India bagian utara. Aksara ini muncul

dari aksara Brahmi dan mulai dipergunakan pada abad ke-11. Aksara ini terutama

(6)

dipergunakan untuk menuliskan bahasa Hindi dan bahasa Sansekerta. Namun perlu diberi sedikit catatan di sini, bahasa Sansekerta tidak mutlak ditulis menggunakan aksara ini tetapi juga dengan banyak aksara lainnya, antara lain aksara-aksara Nusantara.

 Aksara Pallawa

Huruf Pallawa adalah salah satu aksara (sistem tulisan) yang berkembang pada peradaban India masa lalu

Huruf ini dikembangkan pada masa rezim Dinasti Pallawa, yaitu sekitar tahun 275 M hingga 876 M. Tidak diketahui dengan pasti asal-usul dari perkembangan penciptaan huruf ini, namun aksara ini telah banyak diadopsi dan berkembang menjadi sistem huruf lainnya. Contoh turunan atau perkembangan huruf Pallawa menjadi huruf lainnya adalah dalam huruf Jawa kuno, huruf Jawa, huruf Burma, huruf Khmer, huruf Thai, huruf Lao, dan lainnya.

Dalam konteks kajian peradaban Hindu-Buddha di Indonesia, huruf Pallawa telah menjadi huruf yang memungkinkan pencatatan sejarah masa itu. Dengan penyebaran Agama Hindu-Buddha yang dianut oleh banyak masyarakat Indonesia terutama para penguasa setempat, penggunaan huruf Pallawa meningkat karena huruf tersebut telah terkait dengan penggunaan Bahasa Sansekerta dalam kegiatan keagamaan. Secara tidak langsung, berkembanglah pula penggunaan huruf Pallawa beserta pengadopsian huruf tersebut dalam aksara lokal. Bersamaan dengan penggunaan Bahasa Sansekerta, terciptalah historiografi yang memungkinkan manusia masa kini untuk mencaritahu kondisi kehidupan manusia di masa itu. Historiografi yang tercipta berkat adanya bahasa Sansekerta adalah prasasti, kitab-kitab, beserta cerita dari pihak asing.

.

(7)

 Aksara jawa

Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Indonesia yang sejarahnya dapat ditelusuri dengan runut karena banyaknya peninggalan-peninggalan yang memungkinkan penelitian epigrafis secara mendetail. Aksara Jawa, juga dikenal sebagai Hanacaraka, Carakan, atau Dentawyanjana, adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di pulau Jawa.

Bahasa Jawa secara diakronis berkembang dari bahasa Jawa Kuno. Bahasa Jawa Kuno berkembang dari bahasa Jawa Kuno Purba. Bahasa Jawa atau Bahasa Jawa Baru banyak mendapat pengaruh kosakata bahasa Arab, dipakai sebagai wahana, baik lisan maupun tertulis dalam suasana kebudayaan Islam-Jawa. Dalam suasana itu ragam tulis bahasa Jawa tidak hanya ditulis dengan huruf Jawa dan Latin saja, tetapi juga ditulis dengan huruf Arab (Wedhawati dkk., 2010:1)

 Aksara Rencong

Aksara rencong adalah sejenis tulisan kuno diduga mulai muncul sejak abad ke-9 dan tumbuh serta terus berkembang sampai pertengahan abad ke-20 khususnya di luar pulau Jawa, terutama pada beberapa daerah di Sumatera, seperti Tapanuli (Batak), Jambi Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung, dan ditemukan aksara Bugis di Sulawesi Selatan.

(8)

 Aksara bali

Masyarakat Bali banyak menggunakan aksara bali sebagai aksara tradisional.

Aksara Bali adalah abugida yang berdasar pada huruf Pallawa. Aksara ini sebenarnya mirip dengan aksara Jawa. Perbedaannya ada pada lekukan bentuk hurufnya. Aksara Bali berjumlah 47 karakter, 14 di antaranya adalah huruf vokal (aksara suara). Huruf konsonan (aksara wianjana) memiliki jumlah 33 karakter.

Aksara wianjana Bali yang sering dipergunakan berjumlah 18 karakter. Selain itu, terdapat aksara wianjana Kawi yang dipakai pada kata-kata tertentu, khususnya kata-kata yang terpengaruh bahasa Kawi serta Sansekerta.

Meskipun terdapat aksara wianjana Kawi yang berisi intonasi nada spesifik, pengucapannya acap kali disamakan dengan aksara wianjana Bali. Contohnya, aksara dirgha (pengucapan panjang) yang semestinya dibaca panjang, acapkali dibaca sebagaimana aksara hresua (pengucapan pendek).

 Aksara sunda

Aksara Sunda Ngalagena menurut telaah bukti sejarah telah digunakan oleh orang Sunda sekitar abad ke-14 Masehi. Jejak perkembangan dan penggunaan aksara ini dapat dilihat pada Prasasti Kawali (Prasasti Astana Gede). Prasasti yang dibuat untuk mengenang Prabu Niskala Wastukancana yang memerintah Kawali, Ciamis, (1371

1475). Prasasti Kebantenan yang berasal dari abad ke-15 Masehi, termaktub dalam lempengan tembaga, juga memakai aksara Ngalagena. Namun belum ditemukan bukti dan kesimpulan yang pasti tentang kapan awal mula aksara Sunda diciptakan atau sejak kapan orang Sunda mulai menggunakan aksara itu.

(9)

 Aksara bugis (lontara)

Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Bentuk aksara lontara menurut budayawan Prof Mattulada (alm) berasal dari “sulapa eppa wala suji”.

Wala suji berasal dari kata wala yang artinya pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air- angin-tanah. Huruf lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan.

Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar (kira-kira sebesar lidi).

Lontara adalah perkembangan dari tulisan Kawi yang digunakan di kepulauan Indonesia sekitar tahun 800-an. Namun dari itu, tidak diketahui apakah Lontara merupakan turunan langsung dari Kawi atau dari kerabat Kawi lain karena kurangnya bukti. Terdapat teori yang menyatakan bahwa tulisan Lontara didasarkan pada tulisan Rejang, Sumatra selatan karena adanya kesamaan grafis di antara dua tulisan tersebut. Namun hal ini tidak berdasar, karena beberapa huruf lontara merupakan perkembangan yang berumur lebih muda. Istilah “Lontara” juga mengacu pada literatur mengenai sejarah dan geneologi masyarakat Bugis. Contoh paling panjang dan terkenal barangkali merupakan mitos penciptaan bugis Sure’

Galigo, dengan jumlah halaman yang mencapai 6000 lembar.

(10)

 Aksara lampung

Aksara Lampung (Lampung:Had lampung.png, Had Lampung) yaitu wujud tulisan yang mempunyai hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Jenis tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam Huruf Arab, dengan menggunakan tanda-tanda fathah pada baris atas dan tanda- tanda kasrah pada baris bawah, tetapi tidak menggunakan tanda dammah pada baris depan, melainkan menggunakan tanda di belakangan, di mana masing- masing tanda mempunyai nama tersendiri.

Had Lampung dipengaruhi dua unsur, yaitu Aksara Pallawa dan Huruf Arab.

Had Lampung mempunyai wujud kekerabatan dengan aksara Rencong, Aksara Rejang Bengkulu, aksara Sunda, dan aksara Lontara. Had Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambang, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah Kaganga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.

(11)

 Aksara Batak karo

Aksara Batak Karo adalah salah satu aksara kuno yang ada di Indonesia. Aksara Batak Karo ini merupakan peninggalan budaya dari masyarakat (etnis) Karo yang berbentuk tulisan simbol-simbol yang dimiliki oleh 9 masyarakat Karo kuno. Tulisan atau aksara Batak Karo ini tumbuh dan berkembang di masyarakat (etnis) Karo serta tersebar luas. Aksara Batak Karo digunakan dan diajarkan pada wilayah daerah Karo yang dahulunya meliputi pesisir timur di Sumatera bagian Utara dan daratan tinggi Karo yang terbentang luas di atas pegunungan bukit Barisan. Aksara Batak Karo sama halnya dengan aksara-aksara Batak yang lainnya, karena pada aksara terdapat kumpulan dari tanda-tanda (karakter/simbol- simbol) yang memiliki arti untuk menyatakan sesuatu dan pemakaiannya dimengerti dan disepakati oleh masyarakat penggunanya. Dahulu, aksara Batak Karo digunakan masyarakat Batak Karo sebagai alat untuk Berkomunikasi, menuliskan ramuan obat, mantera dan cerita-cerita. Masyarakat Batak Karo menuliskan aksara Batak Karo pada kulit kayu, tulang dan bambu. Alat untuk menulisnya terbuat dari bambu atau kayu yang ujungnya diruncingkan sehingga menyerupai seperti pena atau pensil, dan tintanya terbuat dari minyak kayu yang dibakar.

Kesimpulan

Tradisi besar merupakan penyampaian sejarah dapat melalui

sebuah tulisan. Tradisi kecil (lisan) berlangsung sebelum ada Tulisan. Awal

perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya

penulisan sejarah dalam bentuk naskah dan prasasti kuno. Salah satu

perkembangan penting dalam penulisan sejarah di Indonesia yang

mengarah pada bentuk historiografi yang modern adalah penulisan

sejarah yang ditulis oleh orang Belanda.

(12)

Referensi

Dokumen terkait