Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Jurnal Penyakit Dalam Indonesia
Volume 9 Number 4 Article 20
12-31-2022
Cutaneous Adverse Drug Reaction Among HIV-Infected Patients Cutaneous Adverse Drug Reaction Among HIV-Infected Patients Starting Antituberculosis Treatment
Starting Antituberculosis Treatment
Alvina Widhani
Divisi Alergi Imunologi Klinik, Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, [email protected]
Teguh Harjono Karjadi
Divisi Alergi Imunologi Klinik, Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, [email protected]
Evy Yunihastuti
Divisi Alergi Imunologi Klinik, Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, [email protected]
Desi Salwani
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, [email protected]
Angga Pramudita
Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, [email protected]
See next page for additional authors
Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jpdi Part of the Internal Medicine Commons
Recommended Citation Recommended Citation
Widhani, Alvina; Karjadi, Teguh Harjono; Yunihastuti, Evy; Salwani, Desi; Pramudita, Angga; Nababan, Saut Horas; Praptini, Mirna Nurasri; and Mondrowinduro, Prionggo (2022) "Cutaneous Adverse Drug Reaction Among HIV-Infected Patients Starting Antituberculosis Treatment," Jurnal Penyakit Dalam Indonesia: Vol.
9: No. 4, Article 20.
DOI: 10.7454/jpdi.v9i4.1020
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jpdi/vol9/iss4/20
This Original Article is brought to you for free and open access by UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Jurnal Penyakit Dalam Indonesia by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Cutaneous Adverse Drug Reaction Among HIV-Infected Patients Starting Cutaneous Adverse Drug Reaction Among HIV-Infected Patients Starting Antituberculosis Treatment
Antituberculosis Treatment
Authors Authors
Alvina Widhani, Teguh Harjono Karjadi, Evy Yunihastuti, Desi Salwani, Angga Pramudita, Saut Horas Nababan, Mirna Nurasri Praptini, and Prionggo Mondrowinduro
This original article is available in Jurnal Penyakit Dalam Indonesia: https://scholarhub.ui.ac.id/jpdi/vol9/iss4/20
LAPORAN PENELITIAN
194| Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 9, No. 4 | Desember 2022
Cutaneous Adverse Drug Reaction pada Pasien HIV yang Mendapat Obat Antituberkulosis
Cutaneous Adverse Drug Reaction Among HIV-Infected Patients Starting Antituberculosis Treatment
Alvina Widhani1, Teguh Harjono Karjadi1, Evy Yunihastuti1, Desi Salwani2,3, Angga Pramudita2, Saut Horas Nababan2, Mirna Nurasri Praptini2, Prionggo Mondrowinduro2
1Divisi Alergi Imunologi Klinik, Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo, Jakarta
2Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
3Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Korespondensi:
Alvina Widhani. Divisi Alergi Imunologi Klinik, Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo, Jln Diponegoro No. 71 Jakarta, 10430. Email: [email protected]
ABSTRAK
Pendahuluan. Pengobatan tuberkulosis (TB) pada pasien HIV dapat menyulitkan karena terkait dengan berbagai komorbiditas dan kemungkinan efek samping yang dapat terjadi. Salah satu efek samping adalah cutaneous adverse drug reaction (CADR). Efek samping ini sering kali sulit ditata laksana karena banyak obat yang dikonsumsi pasien dalam waktu bersamaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan CADR pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang mendapatkan obat antituberkulosis (OAT).
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian restrospektif dari data rekam medik di UPT HIV RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada ODHA yang mendapatkan obat OAT selama Januari 2008-Desember 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan CADR pada ODHA yang mendapat OAT yang diteliti adalah jenis kelamin, usia, sumber penularan HIV, manifestasi TB, dan hitung CD4. Variabel numerik dianalisis dengan menggunakan uji T independen bila terdistribusi normal atau uji Mann- Whitney U bila distribusi tidak normal. Uji chi-square atau Fisher’s exact digunakan untuk menganalisis variabel kategorik.
Hasil dianggap signifikan secara statistik apabila nilai p<0,05.
Hasil. Terdapat 454 ODHA yang mendapat obat OAT dengan median usia 30 tahun. Sebagian besar berjenis kelamin laki-laki dan memiliki risiko penularan HIV dari narkoba suntik. Median hitung sel CD4+ baseline adalah 61 sel/µL. Terdapat 10,6% pasien yang mengalami CADR. Manifestasi CADR paling banyak yaitu ruam makulopapular (66,7%), diikuti oleh eritema multiforme (14,6%), dan sindrom Stevens Johnson (8,3%). OAT dihentikan dan kemudian dilakukan provokasi pada 54,2% pasien. OAT dilanjutkan dan hanya obat yang dicurigai kuat menjadi penyebab CADR yang dihentikan pada 29,2%
pasien. Obat yang menjadi penyebab CADR yaitu kotrimoksasol (41,7%), rifampisin (41,7%), etambutol (16,7%), pirazinamid (14,6%), pirimetamin (12,5%), isoniazid (10,4%), streptomisin (8,3%), efavirenz (8,3%), OAT fixed dose combination (8,3%), dan nevirapin (4,2%). Proporsi CADR lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (12% vs. 10,3%, p=0,66), pada non- narkoba suntik dibandingkan narkoba suntik (13% vs. 9,2%, p=0,20), dan pada manifestasi TB tanpa keterlibatan ekstraparu dibandingkan ekstraparu (11,1% vs. 9,4%, p=0,29), namun perbedaannya tidak signifikan. Median usia lebih tinggi (31 vs. 30 tahun, p=0,32) dan hitung CD4 lebih rendah (59,5 vs. 62 sel/μL, p=0,96) pada kelompok yang mengalami CADR dibandingkan yang tidak mengalami CADR.
Kesimpulan. Prevalensi CADR pada ODHA yang mendapatkan OAT yaitu 10,6%. Jenis kelamin, usia, sumber penularan HIV, manifestasi TB, dan hitung CD4 tidak berhubungan dengan CADR pada ODHA.
Kata Kunci: Cutaneous adverse drug reaction, HIV, tuberkulosis
ABSTRACT
Introduction. Treatment of tuberculosis (TB) in HIV patients is complicated due to numerous comorbidities and possible adverse effects. One of which is cutaneous adverse drug reaction (CADR). This adverse event is often difficult to manage because of multiple medications the patients get. The objective of this study was to know the prevalence and risk factors of CADR among HIV-infected patients starting anti-TB treatment.
Methods. This retrospective study reviewed data from medical records of new patients at Working Group on AIDS outpatient clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia in January 2008-December 2010 that had started anti-TB treatment. Risk factors of CADR among HIV patients treated with antituberculosis drugs evaluated were sex, age, route of HIV transmission, TB manifestation, and baseline CD4+ cell count. Numeric data were analyzed using independent T-test if normally distributed,
Cutaneous Adverse Drug Reaction pada Pasien HIV yang Mendapat Obat Antituberkulosis otherwise Mann Whitney U test were used. Chi-square or Fisher’s exact test were used for categorical data. p-value was considered significant if below 0.05.
Results. Of 454 HIV-infected patients that started anti-TB treatment, median age was 30 years. Most patients were male and intravenous drug users/IDU. Median baseline CD4+ cell count was 61 cells/ µL. There were 10.6% subjects that developed CADR. Most common manifestations were maculopapular rashes (66.7%), followed by erythema multiforme (14.6%), and Stevens Johnson Syndrome (8.3%). Anti-TB drugs were stopped and then re-challenge was conducted in 54.2% patients.
Anti-TB drugs were continued and only the suspected drug was stopped in 29.2% patients. The offending drugs were cotrimoxazole (41.7%), rifampicine (41.7%), ethambutol (16.7%), pyrazinamide (14.6%), pyrimethamine (12.5%), isoniazide (10.4%), streptomycin (8.3%), efavirenz (8.3%), fixed dose combination of antituberculosis drugs (8.3%), and nevirapine (4.2%). The proportion of CADR was higher in woman than man (12% vs. 10.3%, p=0.66), non-IDU than IDU (13% vs. 9.2%, p=0.20), without extrapulmonary TB than extrapulmonary TB (11.1% vs. 9.4%, p=0.29), but the associations weren’t statistically significant. Median age was higher (31 vs. 30 years, p=0.32) and CD4 cell count (59.5 vs. 62 sel/μL, p=0.96) was lower in CADR group than non CADR group.
Conclusion. The prevalence of CADR among HIV-infected patients starting anti-TB treatment was 10.6%. Sex, age, route of HIV transmission, TB manifestation, and baseline CD4+ did not have statistically significant association with CADR.
Keywords: Cutaneous adverse drug reaction, HIV, tuberculosis
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian terbanyak pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). World Health Organization (WHO)1 melaporkan bahwa ODHA memiliki risiko 20 kali lebih tinggi untuk mendapatkan TB aktif dibandingkan yang tidak terinfeksi HIV.Pada koinfeksi TB-HIV, dibutuhkan pengobatan secara bersamaan antara antiretroviral (ARV) dan obat anti TB (OAT). Pemberian terapi secara bersamaan tersebut dapat menyebabkan interaksi obat dan berbagai efek samping. Salah satu efek samping yang dapat terjadi yaitu cutaneous adverse drug reaction (CADR) yang dapat terjadi karena OAT atau obat lain yang didapat oleh pasien koinfeksi TB-HIV seperti obat ARV dan kotrimoksasol.2 Menentukan obat mana yang menjadi penyebab CADR di antara obat-obat tersebut sering kali tidak mudah karena diberikan pada waktu yang tidak jauh berbeda.3
Beberapa studi melaporkan bahwa ODHA berisiko lebih tinggi untuk mengalami CADR akibat OAT dibandingkan populasi umum dan risiko tersebut lebih tinggi pada kondisi imunodefisiensi yang lanjut.3,4 Pada ODHA, risiko CADR meningkat, namun mekanisme yang mendasarinya belum diketahui pasti. Penyebabnya multifaktor, dapat terkait perubahan metabolisme obat, interaksi obat, profil sitokin Th2 yang memicu sintesis IgE terhadap obat, stres oksidatif, dan hiperaktivasi respons imun.5-7
Penelitian oleh Boonyagars, dkk.8 mendapatkan angka insiden CADR pada ODHA yang mendapatkan obat tuberkulosis adalah 0,41 kejadian/person-year (48 kejadian CADR dari 307 pasien selama 6 bulan pengobatan OAT). Penelitian lain mendapatkan 13% ODHA mengalami CADR terkait OAT, sedangkan pada kelompok non-HIV hanya 8%.9
Kondisi CADR dapat terbatas pada kulit atau
bagian dari kelainan multisistem. Obat TB lini 1 dan 2 dapat menyebabkan berbagai manifestasi CADR, mulai ringan hingga berat. Satu obat dapat menyebabkan berbagai manifestasi CADR dan sebaliknya, manifestasi CADR tertentu bisa disebabkan berbagai OAT.3,9 Adanya
CADR dapat menyebabkan tata laksana TB lebih sulit karena dapat terjadi penundaan terapi atau perubahan regimen pengobatan.3 Terkadang manifestasi CADR yang terjadi bisa berat, seperti drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESSs), sindrom Stevens–
Johnson (SJS), atau nekrolisis epidermal toksik. Kondisi tersebut membutuhkan penundaan terapi OAT serta bisa menyebabkan perlunya rawat inap dan kematian.
Penundaan OAT dapat menyebabkan keluaran TB yang tidak baik. Tes provokasi obat merupakan baku emas untuk mengidentifikasi obat penyebab, meskipun terdapat juga risiko timbulnya CADR berulang yang bisa mengancam nyawa.10
Beberapa faktor yakni usia, jenis kelamin, sumber penularan HIV, manifestasi TB, dan hitung CD4 dipikirkan bisa terkait CADR pada ODHA yang mendapat OAT.
Penelitian Pramita, dkk.11 pada populasi HIV dan non-HIV mendapatkan usia berhubungan dengan CADR terkait OAT.
Insiden CADR dilaporkan lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki.12 Pada pasien dengan riwayat injecting drug user (IDU) diketahui terdapat peningkatan aktivasi respons imun yang dipicu oleh narkotika yang digunakan.13 Hiperaktivitas respons imun dikaitkan dengan peningkatan CADR pada ODHA.14 Sebagian besar tuberkulosis ekstraparu pada ODHA didapatkan pada kondisi imunosupresi lanjut.15 Imunodefisiensi berat yaitu hitung jenis CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 dilaporkan berhubungan dengan peningkatan reaksi obat yang lebih tinggi pada HIV.4
Data terkait CADR pada TB-HIV masih terbatas.
196| Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 9, No. 4 | Desember 2022
Alvina Widhani, Teguh H. Karjadi, Evy Yunihastuti, Desi Salwani, Angga Pramudita, Saut Horas Nababan, Mirna Nurasri Praptini, Prionggo Mondrowinduro Penelitian terkait CADR pada ODHA yang mendapat OAT
perlu dilakukan sehingga dapat memberikan pedoman yang lebih baik untuk tata laksana CADR pada populasi ini. Oleh karena itu, kami melakukan penelitian untuk mengetahui kejadian CADR pada ODHA dengan TB, obat apa yang tersering menjadi penyebab CADR, dan faktor risiko terkait CADR pada ODHA dengan TB.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dari data rekam medis pasien HIV dewasa yang berobat di UPT HIV RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta selama periode Januari 2008 hingga Desember 2010 yang mendapatkan terapi OAT. Penelitian ini telah mendapat lolos kaji etik 589/H2.F1/ETIK/2013. Data terkait karakteristik demografi, obat yang didapatkan pasien, dan tata laksana CADR dicatat dan dianalisis. Faktor risiko yang dievaluasi adalah jenis kelamin, usia, sumber penularan HIV, manifestasi TB, dan hitung CD4 baseline.
Kriteria inklusi yaitu apabila ada riwayat CADR yang jelas dari rekam medis dan perbaikan kondisi kulit setelah penghentian obat. Kasus dengan data tidak
lengkap dieksklusi. Diagnosis CADR berdasarkan gejala klinis dan evaluasi oleh spesialis penyakit dalam dan dermatovenerologi. Obat dianggap sebagai penyebab CADR apabila gejala dan tanda membaik setelah obat dihentikan dan kembali muncul pada pemberian ulang.
Selain itu, obat juga dianggap penyebab apabila CADR membaik dengan penghentian obat, meskipun tanpa dilakukan pemberian ulang (re-challenge) atau tes provokasi. Pada sebagian kasus, obat yang paling besar kemungkinannya menjadi penyebab CADR tidak diberikan ulang (re-challenge), yang dilakukan re-challenge adalah obat lainnya dengan kemungkinan yang lebih kecil menjadi penyebab CADR.
Variabel numerik dianalisis dengan menggunakan uji T independen bila terdistribusi normal atau uji Mann- Whitney U bila distribusi tidak normal. Uji chi-square atau Fisher’s exact digunakan untuk menganalisis variabel kategorik. Hasil dianggap signifikan secara statistik apabila nilai p<0,05.
ODHA=orang dengan HIV/AIDS; OAT=obat antituberkulosis; CADR=cutaneous adverse drug reactions; TB=tuberkulosis.
Gambar 1. Tata laksana cutaneous adverse drug reactions pada penelitian
Cutaneous Adverse Drug Reaction pada Pasien HIV yang Mendapat Obat Antituberkulosis
HASIL
Terdapat 454 ODHA yang mendapatkan OAT dengan median usia 30 tahun [rentang interkuartil (RIK) 27-34 tahun]. Sebagian besar subjek penelitian adalah pria (83,5%) dan tertular HIV karena riwayat pengguna narkoba suntik (64,5%). Median hitung CD4+ baseline adalah 61 (RIK 1-813) sel/µL.
Dari 454 subjek penelitian, 48 pasien (10,6%) mengalami CADR. Obat yang diberikan bersama dengan OAT adalah kotrimoksasol (79,2%), antiretroviral (14,6%), dan terapi toksoplasma (18,8%). Manifestasi CADR paling banyak adalah ruam makulopapular (66,7%), diikuti oleh eritema multiforme (14,6%), Sindrom Steven Johnson (8,3%), nekrolisis epidermal toksik (4,1%), angioedema (2,1%), eritroderma (2,1%), dan urtikaria (2,1%).
Obat antituberkulosis (OAT) dihentikan dan dilakukan tes provokasi (re-challenge) pada 54,2% pasien.
Pada 29,2% pasien, OAT tetap dilanjutkan dan hanya obat tersangka penyebab CADR paling kuat (obat selain OAT yang diberikan bersamaan dengan OAT) yang dihentikan (Gambar 1). Obat yang kemudian diketahui menjadi penyebab CADR yaitu kotrimoksasol (41,7%), rifampisin (41,7%), etambutol (16,7%), pirazinamid (14,6%), pirimetamin (12,5%), isoniazid (10,4%), streptomisin (8,3%), efavirenz (8,3%), fixed dose combination (FDC) OAT (8,3%), dan nevirapin (4,2%). OAT menjadi penyebab CADR pada 31 pasien dari 48 pasien yang mengalami CADR. Pada 31 pasien ini, median awitan CADR dari inisiasi OAT adalah 15 hari (RIK 3-90 hari).
Dari hasil analisis bivariat menggunakan uji chi square, proporsi CADR lebih tinggi pada perempuan (12%) dibandingkan laki-laki (10,3%), namun tidak berbeda secara signifikan (p=0,66). Selain itu, proporsi CADR lebih rendah pada ODHA yang memiliki riwayat narkoba suntik, dan terdapat manifestasi TB ekstraparu, meskipun
perbedaannya juga tidak signifikan (Tabel 1). Dari hasil uji Mann Whitney U, meskipun perbedaannya tidak signifikan (p=0,32), median usia lebih tinggi pada kelompok yang mengalami CADR dibandingkan yang tidak mengalami CADR. Median hitung CD4 lebih rendah pada kelompok ODHA yang mengalami CADR dibandingkan yang tidak mengalami CADR, meskipun perbedaannya tidak signifikan (p=0,96).
DISKUSI
Cutaneous adverse drug reaction (CADR) merupakan reaksi obat yang tidak diinginkan yang mengenai kulit dan mukosa yang terkait dengan respons imun. Manifestasi CADR antara lain meliputi ruam makulopapular, urtikaria dan angioedema, fixed drug eruption, eritema multiforme, nekrolisis epidermal toksik, sindrom Steven Johnson (SSJ), dan drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS). Semua obat dapat berpotensi menyebabkan CADR.16 Manifestasi tersering CADR pada penelitian ini adalah ruam makulopapular. Ruam makulopapular atau morbilli merupakan reaksi hipersensitivitas obat tersering.17 Pada penelitian kami terdapat 4 kasus SSJ.
Sindrom Steven Johnson merupakan CADR yang jarang, namun fatal dan dapat mengancam nyawa. Kejadiannya meningkat pada pasien koinfeksi TB-HIV yang mendapat OAT.18
Pada penelitian ini didapatkan 454 ODHA yang mendapatkan OAT. Median usia 30 tahun dan sebagian besar subjek adalah laki-laki (83,5%). Empat puluh delapan subjek (10,6%) mengalami CADR. Angka ini lebih besar dari penelitian yang dilakukan oleh Marks, dkk.5 pada populasi di Afrika Selatan yang mendapatkan 8,3% subjek mengalami CADR. Insidens CADR karena OAT tidak diketahui karena inkonsistensi dari studi yang ada, perbedaan populasi, manifestasi yang berbeda, dan
Tabel 1. Faktor risiko cutaneous adverse drug reaction pada pasien HIV yang mendapat terapi antituberkulosis
Variabel CADR (+) (n=48) CADR (-) (n=406) Nilai p
Usia (tahun), median (RIK) 31 (28-34,75) 30 (27-34) 0,32
Jenis kelamin, n (%)
Laki-laki 39 (10,3) 340 (89,7) 0,66
Perempuan 9 (12) 66 (88)
Manifestasi tuberkulosis, n (%)
Ekstraparu (-) 35 (11,1) 281 (88,9) 0,29
Ekstraparu (+) 13 (9,4) 125 (90,6)
Sumber penularan HIV, n (%)
Narkoba suntik 27 (9,2) 266 (90,8) 0,2
Selain narkoba suntik 21 (13) 140 (87)
Hitung CD4+ baseline (sel/μL), median (RIK) 59,5 (23,5-128) 62 (26-126) 0,96
CADR=cutaneous adverse drug reactions; RIK=rentang interkuartil; HIV=human immunodeficiency virus; CD=cluster of differentiation
198| Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 9, No. 4 | Desember 2022
Alvina Widhani, Teguh H. Karjadi, Evy Yunihastuti, Desi Salwani, Angga Pramudita, Saut Horas Nababan, Mirna Nurasri Praptini, Prionggo Mondrowinduro pelaporan yang tidak akurat.3 Median usia pada penelitian
Marks, dkk.5 tidak jauh berbeda (32 tahun), namun dengan proporsi pria yang lebih sedikit (46,1%). Sebagian besar subjek merupakan black African dan tidak ada yang berasal dari Asia. Selain itu, median hitung CD4 lebih rendah pada penelitian kami (61 sel/µL) dibandingkan penelitian Marks, dkk.5 (196 sel/µL).
Disfungsi imun pada HIV menyebabkan peningkatan risiko alergi.19 Pada pasien HIV, terdapat ketidakseimbangan antara sitokin Th1 dengan Th2, yaitu penurunan Th1 dan peningkatan Th2 dan IgE. Peningkatan IgE itu sendiri berhubungan dengan progresivitas penyakit.20 Hal tersebut diduga karena adanya protein virus yang memiliki domain yang mirip alergen yang menginduksi sintesis sitokin Th2.21 Selain disregulasi respons imun, peningkatan suseptibiltas terhadap CADR pada pasien HIV terkait juga dengan risiko genetik pre-HIV, peningkatan stres oksidatif, penurunan antioksidan, dan faktor farmakologi serta virusnya itu sendiri.22
Pada penelitian ini, median awitan munculnya CADR yang dicetuskan OAT adalah 15 hari sejak terapi OAT (RIK 3-90 hari). Pada 30 dari 31 kasus CADR yang disebabkan OAT pada penelitian ini, manifestasi CADR muncul ≤60 hari dari mulai terapi OAT. Penelitian Tan, dkk.17 mendapatkan 97% kasus terjadi dalam dua bulan awal OAT.Pada fase intensif perlu dimonitor kemungkinan munculnya CADR karena OAT. Bila CADR terjadi setelah fase intensif, perlu dipikirkan kemungkinan obat lain sebagai penyebab munculnya CADR.
Pada penelitian ini diketahui bahwa pasien mendapatkan berbagai obat lain selain OAT secara bersamaan. Obat yang diresepkan bersama dengan OAT yaitu kotrimoksasol (79,2% pasien), antiretroviral (14,6% pasien), dan obat terapi toksoplasma (18,8%
pasien). Menentukan obat mana yang menjadi penyebab CADR sering kali tidak mudah karena tiap obat memiliki kemungkinan menjadi penyebab. Selain itu, CADR bisa timbul beberapa menit hingga beberapa minggu setelah obat mulai dikonsumsi. Pada beberapa kasus, CADR disebabkan bukan oleh obat terakhir yang diberikan.
Obat TB dihentikan dan dilakukan provokasi pada 54,2% pasien. Pada 29,2% pasien, OAT tetap dilanjutkan dan obat lain yang lebih kuat dicurigai sebagai tersangka penyebab CADR yang dihentikan. Untuk mengetahui obat penyebab, dapat dilakukan tes provokasi obat, namun perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya CADR yang lebih berat. Alternatif lain yaitu menggunakan obat TB lini kedua.23 Semua obat harus dihentikan segera apabila terdapat ruam eritema generalisata, terutama apabila terdapat gejala dan tanda CADR berat (seperti edema
wajah, nyeri kulit, purpura palpable, nekrosis kulit, blister, pelepasan epidermal, tanda Nikolsky’s positif, erosi membran mukosa, demam tinggi, atau hipotensi).17 Pada penelitian kami, bila CADR yang terjadi ringan dan berdasarkan penilaian klinis yang dicurigai sebagai penyebab CADR adalah obat lain selain OAT, OAT tetap dilanjutkan.
Tes provokasi obat merupakan pemberian obat secara bertahap untuk mengetahui reaksi hipersensitivitas.
Tes ini merupakan baku emas untuk mengetahui hubungan sebab akibat pada reaksi hipersensitivitas obat.
Penundaan terapi OAT setelah CADR biasanya sementara, namun bisa cukup lama bila reaksi CADR berat. Tes provokasi dapat dilakukan setelah perbaikan parameter klinis dan laboratorium. Pada kondisi pasien dengan infeksi TB yang membutuhkan terapi segera, OAT dapat diberikan dengan 2-3 OAT yang belum pernah ada riwayat paparan sebelumya, seperti streptomisin, ethionamide, terizidone, atau fluoroquinolone. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan dampak buruk penundaan OAT sambil menunggu tes provokasi obat.3
Apabila ruam sudah jauh membaik, obat dapat diprovokasi satu per satu, dengan kenaikan dosis bertahap, dengan interval 2-3 hari. Ada yang menganjurkan agar obat yang lebih kecil kemungkinannya menyebabkan alergi diprovokasi terlebih dulu, ada juga pendapat obat yang paling efektif dulu yang dilakukan provokasi seperti rifampisin dan isoniazid untuk meminimalkan terapi yang suboptimal.3 Apabila tidak ada ruam muncul setelah tiga obat pertama, obat keempat sebaiknya tidak dilakukan provokasi, kecuali CADR yang terjadi sebelumnya ringan dan obat keempat esensial untuk pengobatan.17 Setelah tes provokasi obat, pada penelitian kami didapatkan ada pasien yang mengalami CADR dengan OAT dalam bentuk FDC, namun tidak muncul CADR ketika OAT diberikan dalam bentuk terpisah. Dengan hasil ini, tes provokasi obat dapat dilakukan pada keempat OAT lini satu pada FDC bila CADR yang terjadi sebelumnya tidak berat.
Penelitian ini mendapati bahwa pada sebagian besar kasus, obat penyebab CADR adalah kotrimoksasol (41,7%). Berdasarkan kepustakaan, trimethoprime- sulfametoxazole merupakan obat yang paling sering menyebabkan CADR pada ODHA.4 Oleh karena itu, pada pasien TB-HIV yang mengalami CADR pada saat mengonsumsi OAT, penyebabnya tidak selalu OAT. Obat lain juga dapat menyebabkan CADR, salah satunya kotrimoksasol.
Obat lain yang menjadi penyebab CADR pada penelitian kami adalah rifampisin (41,7%), etambutol (16,7%), pirazinamid (14,6%), pirimetamin (12,5%),
Cutaneous Adverse Drug Reaction pada Pasien HIV yang Mendapat Obat Antituberkulosis isoniazid (10,4%), streptomisin (8,3%), efavirenz (8,3%),
OAT dalam bentuk FDC (8,3%), dan nevirapin (4,2%). Pada penelitian Lehloenya, dkk.23 juga mendapatkan rifampisin merupakan OAT yang paling banyak menyebabkan CADR.
Hasil ini berbeda dari penelitian Tan yang mendapatkan pirazinamid sebagai penyebab CADR terbanyak diikuti oleh streptomisin, etambutol, rifampisin, dan isoniazid.17 Obat TB yang paling banyak menyebabkan alergi dapat dipertimbangkan untuk dilakukan provokasi dengan urutan paling akhir.
Pada penelitian kami, proporsi CADR lebih banyak pada subjek dengan jenis kelamin perempuan, meski tidak ada perbedaan yang bermakna. Perempuan memiliki risiko lebih tinggi mengalami CADR. Hal tersebut dapat terkait dengan faktor farmakokinetik, imunologi, dan hormonal yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan memiliki lean body mass yang lebih rendah, penurunan bersihan hati, serta aktivitas sitokrom P450 dan kecepatan metabolisme obat yang berbeda dengan laki-laki.24 Hasil penelitian kami yang menunjukkan proporsi CADR pada ODHA lebih banyak pada faktor risiko penularan yang bukan narkoba suntik dan tanpa manifestasi TB ekstraparu berbeda dengan hipotesis yang dipikirkan sebelumnya.
Hiperaktivitas respons imun pada ODHA dengan riwayat IDU dan manifestasi TB ekstraparu yang dikaitkan dengan imunosupresi yang lebih berat dipikirkan dapat meningkatkan risiko CADR.4,13-15
Pada penelitian kami, didapatkan median usia yang lebih tinggi dan hitung CD4 yang lebih rendah pada kelompok ODHA yang mengalami CADR. Penelitian Pramita, dkk.11 pada populasi HIV dan non-HIV mendapatkan usia berhubungan dengan CADR terkait OAT.
Penelitian tersebut juga mendapati bahwa peningkatan usia berhubungan dengan peningkatan CADR terkait OAT. Kondisi imunodefisiensi berat, yaitu hitung jenis CD4+ kurang dari 200 cells/mm3 dipikirkan berhubungan dengan peningkatan reaksi obat yang lebih tinggi pada HIV.4 Namun, penelitian oleh Boonyagars, dkk.8 di Thailand juga melaporkan tidak ada hubungan antara CADR dengan hitung CD4 yang rendah pada ODHA yang mendapat OAT.
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menata laksana CADR pada ODHA yang mendapat OAT sehingga bisa memperbaiki keluaran pasien. Dari penelitian ini didapatkan pada pasien TB- HIV yang mengalami CADR pada saat mengonsumsi OAT, penyebabnya tidak selalu OAT. Obat terbanyak yang menyebabkan CADR adalah kotrimoksasol, sedangkan OAT yang terbanyak adalah rifampisin. Terdapat pula kasus yang menunjukkan CADR dengan OAT dalam bentuk FDC tapi tidak terjadi CADR pada pemberian OAT
dalam bentuk terpisah. Data tersebut dapat membantu menghindari penghentian OAT yang tidak tepat, yang bisa memengaruhi hasil terapi TB.
Penelitian ini memiliki keterbatasan karena merupakan penelitian retrospektif. Selain itu, tata laksana CADR yang terjadi tidak mengikuti protokol yang seragam.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara prospektif dengan protokol manajemen CADR yang sudah ditentukan.
Selain itu, penelitian lanjutan juga diperlukan mengingat adanya perubahan rekomendasi dalam pemilihan obat ARV.
SIMPULAN
Prevalensi CADR pada ODHA yang mendapatkan OAT yaitu 10,6%. Kotrimoksasol merupakan obat yang paling banyak menyebabkan CADR, diikuti oleh rifampisin, etambutol, pirazinamid, pirimetamin, isoniazid, streptomisin, efavirenz, OAT FDC, dan nevirapine. Jenis kelamin, usia, sumber penularan HIV, manifestasi TB, dan hitung CD4 tidak berhubungan dengan CADR pada ODHA dengan HIV. Data obat yang menjadi penyebab CADR dapat menjadi pertimbangan dalam menata laksana ODHA yang mendapat OAT. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan desain penelitian prospektif pada ODHA yang mendapat OAT disertai protokol dalam manajemen CADR.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. HIV and tuberculosis [Internet]. Geneva:
WHO [Cited 2022 Oct 05]. Available from: https://www.who.int/
westernpacific/health-topics/hiv-aids/hiv-and-tuberculosis 2. Pooranagangadevi N, Padmapriyadarsini C. Treatment of
tuberculosis and the drug interactions associated With HIV-TB co- infection treatment. Front Trop Dis. 2022;3:834013.
3. Manchanda Y, Das S, Sarda A, Biswas P. Controversies in the management of cutaneous adverse drug reactions. Indian J Dermatol. 2018;63(2):125-30.
4. Hoosen K, Mosam A, Dlova NC, Grayson W. An update on adverse cutaneous drug reactions in HIV/AIDS. Dermatopathology (Basel).
2019;6(2):111-25.
5. Marks DJB, Dheda K, Dawson R, Ainslie G, Miller RF. Adverse events to antituberculosis therapy: influence of HIV and antiretroviral drugs. International Journal of STD & AIDS. 2009;20:339–45.
6. Montero MP, Suárez NF, Tinajero COA, González PMC, Guidos FGA.
HIV-infection and its implications on allergic diseases. Rev Alerg Mex. 2004;51(2):54-60.
7. Chaponda M, Pirmohamed M. Hypersensitivity reactions to HIV therapy. Br J Clin Pharmacol. 2011;71(5):659–71.
8. Boonyagars L, Hirunwiwatkul P, Hurst CP. CD4 count and risk of anti- tuberculosis drug-associated cutaneous reactions in HIV-infected Thai patients. Int J Tuberc Lung Dis 2017;21(3):338-44.
9. Lehloenya RJ, Dheda K. Cutaneous adverse drug ractions to antituberculosis drugs: state of the art and into the future. Expert Rev Anti Infect Ther. 2012;10(4):475-86.
10. Knight LK, Lehloenya RJ, Sinanovic E, Pooran A. Cost of managing severe cutaneous adverse drug reactions to first-line tuberculosis therapy in South Africa. Trop Med Int Health. 2019;24(8):994-1002.
11. Pramita P, Sundaru H, Rengganis I, Harimurti K, Mudjaddid E.
Cutaneous Adverse Drug Reaction (CADR) due to anti tuberculosis drugs and its influencing factors [Thesis]. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.
200| Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 9, No. 4 | Desember 2022
Alvina Widhani, Teguh H. Karjadi, Evy Yunihastuti, Desi Salwani, Angga Pramudita, Saut Horas Nababan, Mirna Nurasri Praptini, Prionggo Mondrowinduro 12. Martin RM, Biswas PN, Freemantle SN, Pearce GL, Mann RD. Age
and sex distribution of suspected adverse drug reactions to newly marketed drugs in general practice in England: analysis of 48 cohort studies. Br J Clin Pharmacol. 1998;46(5):505–11.
13. Deren S, Cleland CM, Lee H, Mehandru S, Markowitz M. The Relationship Between Injection Drug Use Risk Behaviors and Markers of Immune Activation. J Acquir Immune Defic Syndr.
2017;75(1):e8–12.
14. Davis CM, Shearer WT. Diagnosis and management of HIV drug hypersensitivity. J Allergy Clin Immunol. 2008;121:826-32.
15. Alemu A, Yesuf A, Gebrehanna E, Zerihun B, Getu M, Worku T, et al. Incidence and predictors of extrapulmonary tuberculosis among people living with Human Immunodeficiency Virus in Addis Ababa, Ethiopia: A retrospective cohort study. PLoS One.
2020;15(5):e0232426.
16. Ardern-Jones M. Common cutaneous drug reactions [Internet].
London, UK: BMJ Publishing; 2020 [Cited 2022 Oct 5]. Available from: https://bestpractice.bmj.com/topics/en-us/368
17. Tan WC, Ong CK, Kang SCL, Razak MA. Two years review of cutaneous adverse drug reaction from first line anti-tuberculous drugs. Med J Malaysia. 2007;62(2):143.
18. Adinma E, Ezeama NN, Umeokonkwo CD. Streptomycin-induced Steven-Johnson Syndrome in a HIV sero-positive patient with tuberculosis: A case report. Int J Clin Med. 2011;2:481-3.
19. Stokes SC, Tankersley MS. HIV: practical implications for the practicing allergist-immunologist. Ann Allergy Asthma Immunol.
2011;107(1):1-9.
20. Mulu A, Anagaw B, Gelaw A, Ota F, Kassu A, Yifru S. Effect of deworming on Th2 immune response during HIV-helminths co- infection. J Transl Med. 2015;13:236.
21. Becker Y. The changes in the T helper 1 (Th1) and T helper 2 (Th2) cytokine balance during HIV-1 infection are indicative of an allergic response to viral proteins that may be reversed by Th2 cytokine inhibitors and immune response modifiers--a review and hypothesis. Virus Genes. 2004;28(1):5-18.
22. Peter J, Choshi P, Lehloenya RJ. Drug hypersensitivity in HIV infection.
Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2019;19(4):272–82.
23. Lehloenya RJ, Todd G, Badri M, Dheda K. Outcomes of reintroducing antituberculosis drugs following cutaneous adverse drug reactions.
Int J Tuberc Lung Dis. 2011;15(12):1649-57.
24. Rademaker M. Do Women Have More Adverse Drug Reactions? Am J Clin Dermatol. 2001;2(6):349-51.