• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM

Mohammad Syafikurrahman dan Abd Rahman

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep syafik.mira88@gmail.com

gusement@gmail.com

Abstrak

This research aims to reveal three main problems; First, what is the history of the emergence of traditionalism and rationalism in the thinking of Islamic theology? Second, what are the characteristics of traditionalism and rationalism in Islamic theology? Third, what are the concepts of traditionalism and rationalism in Islamic theology? The approach used in this research is descriptive and analytical, even to get an ideal picture, the author also does not escape using historical methods, especially when discussing the history of the emergence of traditionalist and rationalist theology. The results obtained from this study reveal that, the emergence of traditional and rational theology originated from the polemic between the Mu'tazilah and Asy'ariyah who opposed the problems of the kafir and mu'min, but eventually turned into a problem of the superiority of the Mu'tazilah to the label rational theology, and inferiority of reason to the Asy'ariyah so that it is labeled with traditional theology. In this way, the implication, for Rational Theology, holds that knowledge of God and good and bad can be obtained by reason. Whereas in traditional theology is that human reason does not have any ability except to know God alone.

Keywords: Traditionalism, Rationalism, Islamic Theology

Pendahuluan

Wacana terkait dengan persoalan teologi rasional dan tradisional, sejatinya berangkat dari ajaran-ajaran Islam yang berdimensi dua kategori; Pertama, ajaran-ajaran yang bersifat mutlak- absolut serta kekal yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Kedua, ajaran yang bersifat relatif-nisbi yang dapat berubah sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Dalam hal ini, ajaran tersebut berupa tafsir,

(2)

hadits, fiqih, teologi dan tasawuf1 di mana semuanya merupakan hasil interpretasi para ulama ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang bersifat aksidental lantaran al-Qur'an dan Hadits memuat ajaran yang bersifat universal.

Namun dalam perkembangan lebih lanjut, pada dasarnya, masyarakat menyikapi dua ajaran tersebut ada yang lebih cenderung mensuperioritaskan pada ajaran pertama dan menginferioritaskan pada ajaran kedua, dalam satu sisi, namun ada juga yang merespon sebaliknya, di sisi yang lain. Pergulatan tersebut, hingga pada titik kulminasinya mengalami truth claim, bahkan tidak jarang sikap mengaku dirinya paling benar, dengan mudah menuduh orang lain kafir dan itu berarti menghukumi darah lawannya dengan label halal.

Praktek dan tindakan abnormal ini, bukan saja melumpuhkan ide-ide cerdas pluralitas pemikiran yang nota bene eksistensinya diakui al- Qur'an, tetapi yang sangat fatalis diam-diam ia telah menyaingi Tuhan. Sebab absolutisme sifat Maha Tahu hanyalah hak prerogatif- otoritatif Tuhan an-sich.2

Praktek saling mengkafirkan ini, jika dilihat dari optik historis, sebenarnya jauh pernah terjadi dulu pasca wafatnya Khalifah Utsman bin Affan akibat keruhnya konstelasi politik waktu itu, namun pada akhirnya persoalan politik tersebut mengalami sofistifikasi menjadi persoalan teologi, sehingga bila dipilah dan pilih, sekurang- kurangnya terdapat tiga paradigma dari teologi-teologi anutan umat

1 Formulasi simplistis khazanah intelektual Islam menjadi ajaran-ajaran baku, semisal Fiqih, tafsir, teologi dan tasawuf merupakan asimilasi dan pergesekan budaya pasca wafatnya Nabi. Lihat selengkapnya; Amin Abdullah, Studi Agama;

Historisitas dan Normativitas (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 150.

2 Fathurrosyid, Humanisasi Pendidikan Agama, Radar Madura; Jawa Post Group. Ed. Ahad, 16 Juli, 2006.

(3)

Islam hari ini yang pada prinsipnya sama berkecenderungan teosentris, yakni; Pertama, tradisional. Kedua, rasional. Ketiga,

“fundamentalis”. Secara umum, ketiganya mendasarkan derivasi keyakinan teologisnya pada khazanah kalâm klasik, yakni yang pertama pada Jabariyah, As„ariyah, dan Maturidiyah (sayap Bukhara);

sedang yang kedua pada Qadariyah, Mu„tazilah, dan Maturidiyah (Samarkand); dan yang ketiga pada Khawarij.3

Berangkat dari fenomena di atas, penelitian ini hendak mengungkap tiga persoalan pokok; Pertama, Bagaimana sejarah munculnya Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam pemikiran Teologi Islam?. Kedua, Apa Karekteristik Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam pemikiran Teologi Islam?. Ketiga, Bagaimana Konsep Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam pemikiran Teologi Islam?

Metode yang digunakan dalam dalam penelitian ini berupa pendekatan deskriptif4 dan analitis, bahkan untuk mendapatkan gambaran ideal, penulis juga tidak lepas menggunakan metode historis5, khususnya ketika membahas sejarah kemunculan teologi tradisionalis dan rasionalis. Sumber Data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu: Pertama, Sumber data primer yang berupa buku teologi Islam yang ditulis oleh orang muslim atau bukan,

3 Mansour Faqih, ‚Teologi Kaum Tertindas,‛ dalam Ahmad Suaedy (eds.), Spiritualitas Baru:Agama dan Aspirasi Rakyat (Jogjakarta: Institut Dian/Interfidei, 1994), h. 42.

4 Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keberadaan komunitas tertentu yang berdiam di tempat tertentu, atau mengenai gejala sosial tertentu, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), h. 50.

5 Anton Bekker, dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h.43.

(4)

baik berbahasa Indonesia atau bahasa asing. Kedua, Sumber data sekunder yang berupa ensiklopedi atau buku-buku lain yang ada korelasinya dan menunjang data sekunder. Teknik pengumpulan dan analisa datanya diperoleh dengan cara membaca dan menelaah sumber data primer dan sekunder. Setelah itu disiapkan analisis kualitatif yang terdiri dari pengolahan, pengorganisasian dan analisa data.

Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme; Analisa Konsep 1. Definisi Teologi Islam Tradisionalisme dan Rasionalisme

Sebelum membahasa lebih jauh tentang definisi –baik secara etimologi maupun terminologi- tradisionalisme dan rasionalisme, penulis terlebih dahulu akan mengeksplorasi definisi teologi Islam. Hal ini menjadi "penting" untuk memberikan gambaran dan arahan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan teologi Islam, mengingat terdapat juga istilah teologi- teologi non Islam. Setelah itu, barulah penulis akan menjelaskan definisi tradisionalisme dan rasionalisme.

a. Definisi Teologi Islam

Secara etimologis, teologi merupakan istilah yang diambil dari bahasa Inggris, theos yang berarti "Tuhan" dan logos yang berarti "wacana atau ilmu"6. Dengan demikian, maka theologi dapat berarti ilmu ketuhanan.7

6 Loren Bagus, KamusFilsafat (Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2005), h.

1090.

7 Wojowasito, KamusLengkap Ingris-Indonesia (Bandung: Hasta, 1982), h.

232.

(5)

Adapun teologi dilihat dari optik terminologis yaitu ilmu tentang hubungan relasi dunia ilahi dengan dunia fisik yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah atau Tuhan dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam semesta8 atau bisa juga didefinisikan dengan “discourse or concerning” (diskursus/pemikiran tentang Tuhan)9.

Dari terminologi ini, maka teologi10 dapat disimpulkan sebagai disiplin ilmu yang membicarakan kenyataan- kenyataan dan gejala-gejala agama dan membicarakan hubungan Tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan maupun pemikiran murni atau dengan jalan wahyu.

Kalau kita meninjau ilmu kalam11 sendiri, maka kita dapati lapangannya sama dengan lapangan-lapangan teologi yang disebutkan tadi; yaitu sekitar Tuhan, ada-Nya, keesaan- Nya, sifat-sifat-Nya dari segala segi dan hubungan Tuhan dengan manusia dan alam, berupa keadilan dan kebijaksanaan, pengutusan rasul-rasul sebagai penghubunga

8 Lorens, KamusFilsafat,…………h. 1090.

9 William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion (USA: Humanities Press Ltd. 1980), hlm. 28

10 Lapangan Teologi bisa bercorak non agama yang merupakan bagian dari filsafat. Akan tetapi bisa juga bercorak agama sebagai suatu intellectual expression of religion. Karena itu, untuk pembatasan lapangan dan penetapan arti kata teologi, biasanya dibubuhi dengan kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Kristen, Katolik atau Islam, bahkan dengan kualifikasi lebih terbatas lagi, seperti Teologi Apologatik, Teologi Hukum, Teologi Sejarah dan lainnya. Lihat leblih lengkap:

Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1974), hlm. V.

11 Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib baginya, sifat-sifat yang jaiz baginya dan tentang sifat-sifat yang ditiadakan darinya dan juga tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat wajib, jaiz dan muhal dari mereka. Lihat: Muhammad Abduh, Risalah. Tauhid, Terj. Firdaus An.

Bulan (Jakarta: Bintang, 1965), hlm. 25

(6)

antara Tuhan dan manusia dan soal-soal yang bertalian dengan khidupan di sana. Sudah barang tentu ilmu yang membicarakan lapangan-lapangan tersebut bisa dinamakan

"teologi". Hanya karena pembicaraan tersebut didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran agama Islam, maka dinamakan "Teologi Islam12".

Definisi dan analisa di atas nampaknya mengamini paparan Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa teologi atau kalam adalah ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan akidah keimanan dan menolak pembaharuan yang menyimpang dalam dogma yang dianut kaum muslimin pertama dan ortodoks Muslim.13

b. Definisi Tradisionalisme dan Rasionalisme

Istilah tradisionalisme berasal dari Bahasa Ingris

"traditional" yang berarti menurut adat atau turun temurun.14 Sedangkan istilah tradisi jika dilihat dari optik bahasa Arab yaitu berupa al-turats15 yang berarti warisan atau peninggalan

12 Penggunaan istialah Teologi Islam sebenarnya sudah lama dikenal dalam buku-buku Ingris, Prancis bahkan Indonesia. Trittin, misalnya, menulis buku yang berjudul "Moslem Theology", Mac Donald "Devolepment of Moslem Theology, Yurisprudence and Constitutional Theory", M.M. Annawati "Introduction ala Theologie Musulmane, sedang di Indonesia ada Harun Nasution yang menulis dengan terang-terangan dengan judul "Teologi Islam".

13 Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 589.

14 Wojowasito, KamusLengkap,………. h. 241.

15 Istilah al-Turast ini banyak dipakai oleh ulama kontemporer untuk menuangkan gagasannya tentang paradigma berpikir wacana ke-Islamana, seperti Hasan Hanafi (al-Turats wa al-Tajdid), Muhammed Abid al-Jabiri (al-Turats wa al- Hadatsah), A.D. Umari (al-Turast wa al-Mu'ashirah). Lihat selengkpanya; Luthfi al- Syaukani, "Tipologi Wacana Pemikiran Arab Kontemporer" dalam Jurnah Pemikiran Islam PARAMADINA, Jakarta, Vol. I, Juli-Desember 1998, h. 62.

(7)

(legacy, heritage) berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan atau diwariskan oleh generasi-generasi terdahulu.

Berangkat dari definisi di atas, maka terminologi tradisionalisme adalah sebuah paham di mana bentuk pengetahuan mereka dengan segala aspeknya mulai dari agama, bahasa hingga sastra berpegang pada model

“pemahaman literal atas tradisi” (al-fahm al-turâtsi li al- turâts), yaitu suatu bentuk pemahaman yang merujuk pada pandangan ulama masa lampau. Ciri umum yang melekat pada pendekatan semacam ini dalam persoalan-persoalan masa lalu yang dihadapi tradisi, serta bersikap menyerah terhadapnya.16

Penyerahan secara totalitas pada tradisi ini disinyalir oleh Amin Abdullah sebagai bentuk dan sumber kekuatan mental-spirtual yang maha ampuh untuk menahan badai perubahan dan pembangunan dalam segala sektor kehidupan (ghairu qabil li al-Taghyir)17 serta menganggap hasil ijtihad - selain al-Qur'an dan hadits- para ulama yang hidup antara abad ke 7 hingga 13 M18 sebagai referensi yang absolut dan kekal.19

Sedangkan definisi etimologi rasionalisme juga berasal dari Bahasa Inggris "Rationalism" yang berarti kekuatan

16 Mohammed Abed al-Jabiri, Post,………,h. 9-11.

17 Amin Abdullah, FalsafahKalam (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 31- 33. 18 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Cet. 6 (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 1.

19 Harun Nasution, IslamRasional (Bandung: Mizan, 1996), h. 123.

(8)

pikiran.20 Sedangkan definisi rasionalisme secara terminologis adalah kecenderungan untuk mempertimbangkan prinsip akal atau salah-satu prinsip akal untuk mencapai kebenaran dalam agama dan tidak mempertimbangkan wahyu dan tradisi dalam mengerjakan beberapa persoalan teologi, terutama ketika terdapat konflik antara ketiganya.21

Dengan cara seperti itu, maka rasionalisme secara terminologis adalah sebuah paham di mana bentuk pengetahuan mereka dengan segala aspeknya mulai dari agama, bahasa hingga sastra berpegang pada model pemahaman pada logika. Artinya, landasan pacu pemahaman mereka senantiasa lebih diorientasikan pada soft-ware akal dari pada lainnya, semisal indera, persepsi dan pengalaman, serta wahyu.

Dari penjelasan di atas, dua aliran ini antara tradisionalisme dan rasionalisme memiliki pengertian tak sama, di mana tradisionalisme mengandung kontinuitas dan stabilitas, sedangkan rasionalisme menyebabkan terjadinya perubahan dan instabilitas. Tradisi biasanya berasal dari ajaran nenek moyang, teks dan naql, sedangkan akal berasal dari kacamata perorangan yang apabila disandingkan dalam tradisi ilmu-ilmu tafsir, bahwa epistemilogi rasionalism dan tradisionalism22 tidak jauh berbeda dengan tafsir bi al-ra'yi

20 Wojowasito, KamusLengkap,……….h. 169.

21 Binyamin Abrohamov, Islamic Theology; Tradisionalism and Rasionalism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), h. ix-x.

22 Tentang hal ini lihat tulisan Fathurrosyid, Posisi Akal dalam Penafsiran;

Studi Analitis Tafsir bi Al-Ra'yu. Makalah disampaikan untuk memenuhi tugas mata kulliah Tafsir, S2 IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2009.

(9)

untuk yang pertama, sedangkan yang kedua (baca;

rasionalism) sama dengan kinerja epistem tafsri bi al-ma'tsur.

2. Historisitas Munculnya Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme

Ketika memasuki pembacaan pada dinamika pemikiran Islam, maka seringkali kita temukan historisitas bahwa isu pertama yang berakibat langsung pada konflik masyarakat muslim pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. adalah persoalan keabsahan pengganti Nabi saw. atau khalifah. Setelah khalifah Utsman ibn „Affan terbunuh pada 656, isu pengganti Nabi saw. ini semakin mengemuka dan bahkan mejadi polemik berkepanjangan, utamanya perihal pengusutan otak intelektual pembunuh Utsman.23 Semua ini berlangsung sewaktu Sayyidina Ali sedang memangku jabatannya.

Sebagian umat Islam saat itu telah berani membuat analisis tentang pembunuhan Utsman tersebut, apakah si pembunuhnya berdosa ataukah tidak, bahkan tidak sampai di situ saja, tetapi juga dianalisis siapa yang menggerakkan tangan si pembunuh itu, apakah manusia sendiri ataukah Tuhan. Hal ini

23 Dalam kondisi yang demikian, tidak heran jika pada saati itu tampil tiga sosok pembela Utsman –dalam hal ini Thalhah, Zubair dan Aisyah- meminta pada Ali untuk mengusut tuntas aksi pembunuhan tersebut. Namun upaya Ali untuk berdamai, tidak mendapat respon positif dari mereka, sehingga terjadilah bentrok yang sengit dengan nama Perang Jamal di mana perhelatan ini dimenangkan oleh pihak Ali. Lihat selengkapnya: Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), h. 40.

(10)

yang menjadi cikal bakal tumbuhnya paham Jabariah dan Qadariah.24

Kemenangan Ali Vs Aisyah dalam perang Jamal bukan tugas akhir dari dinamika politik waktu itu di mana tugas rekonsiliasi politik belum juga usai, sebab Ali Cs masih menghadapi satu persoalan lagi yaitu timbulnya perlawanan dari pihak Muawiyah, Gubernur Damaskus, hingga pada titik klimaksnya terjadilah bentrok yang populer dengan nama Perang Shiffin antara pendukung „Ali ibn Thalib yang nota bene sebagai menantu nabi saw. Vs Mu‟awiyah -kerabat khalifah yang terbunuh- merupakan pertikaian tragis yang tak bisa dihindarkan.25

Dalam perang Shiffin, pasukan Ali hampir saja memenangkan perang, namun berkat tipu daya Amr bin 'Ash,26 ketua perunding dari pihak Mu'awiyah yang melawan Ali, menggunakan politik ulur waktu dan minta diadakan arbitrase (tahkim)27 hingga akhirnya pihak Ali dikalahkan.28 Akibat dari kekalahan ini, tidak pelak kemudian barisan pendukung Ali menjadi berantakan; satu kelompok dikenal dengan sebutan

24 Yusran Asmuni, 1996, Dirasah Islamiah II Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 59.

25 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2001), h. 13.

26 Fazlurrahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), h.

245. Bandingkan dengn Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1985), h. 11.

27 Al-Thabari, Tarikh al-Thabari, Juz V (Kairo: Dar al-Ma'arifah, t.th.), h. 70- 71. 28 Maksud dari "dikalahkan" ini adalah kalah dalam bidang diplomasi, di mana pihak Ali dipimpin oleh Abu Musa al-Asy'ari, seorang sahabat Nabi tapi terindikasi kesetiaannya pada Ali kurang begitu mendalam. Lihat lebih lengkap;

Syafi'i Ma'arif, Membumikan Islam (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 92.

(11)

Syi'ah, yang pro pada Ali, sedang yang lain dikenal dengan golongan khawarij, barisan yang kontra pada Ali.

Penerimaan arbitrase, tentu saja side effect-nya tidak hanya kepemimpinan Ali yang tidak legitimate, namun juga membuat "gerah" kelompok kontra arbitrase yang dipelopori oleh Asy‟ts ibn Qayis hingga mengeluarkan fatwa bahwa orang yang terlibat dalam keputusan tahkim, baik menyetujui dan apalagi melaksanakannya dihukumi berdosa besar dan setiap orang yang berdosa besar meninggal dunia tanpa tobat, maka itu adalah kafir dan harus dilenyapkan.29 Salah-satu argumentasi mereka karena tidak atau ingkar menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Berangkat dari fenomen ini, maka jelas sekali bawha penentuan seseorang kafir atau tidak kafir yang nota bene merupakan persoalan politik praktis, tetapi mengalami sofistifikasi ideologi menjadi persoalan teologi. Hal ini terbukti ketika kelompok kontra arbitrase tersebut mengklaim Ali dan Muawiyah min ahlil kafirin.30 Kafir adalah orang yang tidak percaya, dilawankan dengan mu‟min yang berarti orang yang percaya.31

Kedua istilah ini dalam al Qur‟an biasanya merupakan kata antonim (musytarak).32 Kata kafir yang ditujukan pada golongan di luar Islam, oleh Khawarij dipergunakan dengan

29 Nur Khalis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 12.

30 Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1996), h. 58.

31 AW. Munawwir, Kamu al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1998), h. 234.

32 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur'an; Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulang Bintang, 1991) hlm. 88.

(12)

makana yang berbeda, yaitu untuk golongan yang berada dalam Islam sendiri.33 Sebagai reaksi dari fatwa khawarij ini sebagian umat Islam yang dipelopori oleh Ghailan Dimasqy, tidak menerima akan fatwa tersebut. Mereka ini dalam perkembangan selanjutnya menjadi mazhab Murji'ah. Menurut mereka, karena fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya ditunda saja, diserahkan kepada Allah di akhirat kelak. Hal ini menegaskan bahwa keimanan memiliki tingkat stabilitas dan tidak bisa berkurang oleh dosa.34

Reaksi kelompok lain adalah penganut paham Abdullah ibn Saba‟ dan orang-orang yang mengagungkan Ali ibn Abi Thalib. Mereka ini dikemudian hari dikenal dengan Syi‟ah.35 Persoalan dosa besar antara Khawarij dan Murji‟ah itu tidak berhenti begitu saja, tetapi masih berlanjut sampai pada masa Hasan Basri (642-728 M) versus Wasil bin Atho' (murid Hasan) yang memberikan antitesa pada pemikiran di atas36 dengan terminologi al-manzilah bainal manzilatain37 bagi pelakuk dosa besar, sehingga dalam sejarah pemikiran Islam pemikiran ini sebagai cikal bakal lahirnya paham Mu'tazilah yang bercorak rasional.

33 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II(Jakarta:

UI Press, 1986), h. 31.

34W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought, Terj.

Sukoyo (Jogjakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 163.

35 Syi'ah secara terminologis adalah sebagaina kaum muslimin yang dalam bidang spiritual selalu merujuk pada keturunan Nabi. Lebih lengkap lihat: Abdul Rozak, IlmuKalam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 89.

36 Latar belakang kemuculan Mu'tazilah ini dalam sejarah pemikiran teologi Islam mengandung banyak versi, namun yang sering digunakan adalah versi forum dialogis Hasan Vs Wasil. Lihat selengkapnya; Ibid., h. 77-80.

37 Tosiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, Terj. Agus Fahri (Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 53.

(13)

Perselisihan persoalan teologi yang bermula dari konflik politik di atas masih berlanjut sampai dengan masa khalifah Makmun (813-833) yang menetapkan bahwa paham Mu‟tzilah sebagai paham resmi negara dan rakyat dituntut untuk mengikutinya secara represif.38 Pada masa ini, seorang yang berkecimpung dalam paham Mu‟tazilah 40 tahun lamanya ingin menjembatani paham-paham yang saling bertentangan itu. Mereka adalah Abu al-Hasan al Asy‟ari dan selanjutnya dibantu oleh Imam Maturidi. Kedua ulama ini merupakan tokoh dari paham Ahlu Sunnah wal Jamaah39, walaupun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat.

Polemik antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah ini sudah tidak lagi pada persoalan kafir dan mu'min, namun sudah jauh melangkah berubah menjadi persoalan kesanggupan akal dan fungsi wahyu40 di mana masing-masing dari mereka mengklaim superioritas atau inferioritas akal atas wahyu, sehingga karenanya, term teologi Rasional selalu saja disandingkan dan dilalbelkan pada Mu'tazilah yang lebih mensuperioritaskan akal,41 sedangkan

38 Lihat peristiwa mihnah dalam Al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Jilid 7 (Beirut: Mu'asasah al-a'la li al-Matbu', 1995), h. 195. Bandingkan dengan;

Komaruddin Hidayat, "Arkoun dan Tradisi Hermeneutika", dalam Tradisi, Kemodernan dan Meta Modernisme (Jogjakarta: LKis, 1994), h. 20-30. Bandingkan dengan : Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas (Jogjakarta:

Pustaka Pelajar, 1996), h. 268-269.

39Term ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy'ariyah dan Maturidiyah yang menentang ajaran Mu'tazilah. Lihat; Harun Nasution, TeologiIslam,….h. 64.

40 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h.

75-77.

41 Pemberian nama rasionalis pada paham Mu'tazilah ini menurut observasi Harun Nasution disamping paham ini lebih mendewakan akal, juga term-term yang sering digunakan oleh kaum orientalis pada paham ini, semisal D.B. Macdonald.

Lihat selengkapnya; Harun Nasution, Islam,……….h. 129.

(14)

Asy'ariyah sebagai representasi aliran bercorak tradsional lantaran lebih menginferioritaskan akal.

Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme; Peta Epistemologis 1. Karakteristik Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme

Merujuk sejarah pemikiran klasik, corak teologi dalam Islam di bagi dua42 yaitu teologi rasional dan teologi tradisional.

Teologi rasional dikenal dengan aliran Mu‟tazilah43 dan Maturidiyah Samarkand44. Sedangkan teologi tradisional dikenal

42 Pembagian ini sebenarnya mengikuti alur pemikiran mainstream, walau sebenarnya, jika dirinci mazhab ilmu kalam tak kurang dari tujuh mazhab; Khawarij, Murjiah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, namun semua itu ada banyak kemiripan antara satu dengan yang lain. Lihat, Afrizal M, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 26.

43 Mu’tazilah adalah aliran yang didirikan oleh Washil bin Atha’ (80-131 H/699-748 M), kemudian didukung dan disempurnakan ajaran-ajarannya oleh tokoh pemikir Islam yang datang sesudahnya, seperti Abu Hudzayl al-Allaf (135-226 H/752-840 M), Ibrahim al-Nazhzham (185 H-221 H/802-845 M), Abu Ali al-Jubabai (235-303 H/849-917 M), al-Qadhi Abduljabbar (320-415 H/932-1025 M) dan al- Zamarkhasyari (467-538/1075-1144 M). Mereka adalah ulama rasional dan kritis, tidak hanya terhadap hadits-hadits dan cara memahami ayat-ayat dan sunnah, tetapi juga terhadap filsafat klasik Yunani Aristoteles dan Neo-Platonis. Itulah sebabnya, aliran ini juga disebut aliran rasionalis dalam Islam. Aliran ini sudah tidak mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah. Merskipun demikian, ajarna-ajarannya mulai muncul kembali terutama di kalangan kaum terpelajar saat ini. Lihat selengkapnya. Lihat; Harun Nasution, Islam………..h. 376.

44 Maturudiyyah adalah aliran yang didirkan oleh Imam Abu Manshur al- Maturidi (w.333 H). Aliran ini kemudian didukung oleh Abu al-Yasar al-Bazdawi (421-493 H), Abu Ma’in al-Nasafi (438-508), dan Najm al-Din ‘Umar al-Nasafi (462- 537 H). Meskipun al-Bazdawi adalah tokoh yang mendukung aliran Maturidiyyah, antara al-Bazdawi dan al-maturidi terdapat beberapa perbedaan pendapat dan masalah-masalah teologi. Perbedaan antara kedua tokoh ini kemudian melahirkan dua subaliran, yaitu aliran Maturidiyah Samarkand yang ditokohi oleh al-Maturidy sendiri dan aliran Maturidiyyah Bukhara yang ditokohi oleh al-Bazdawi. Aliran Maturidiyyah banyak dianut oleh kaum Muslim yang bermazhab Hanafi dalam bidang hukum (fiqh). Lebih lengkap lihat dalam, Dr. HH. Noer Iskandar Al-Barsany, Pemikiran Kalam Imam Abu mansur A-Maturidi; Perbandingan dengan Kalam Mu’tazilah dan Al-Asy’ari (Jakarta: Srigunting, 2001), h. 20.

(15)

dengan aliran Asy‟ariyah45 dan Maturidiyah Bukhara.46 Namun demikian, dari beberapa aliran ini, penulis dalam sub bab makalah ini hanya akan memfokuskan pada dua corak teologi; yaitu teologi rasional dengan representasi Mu'tazilah dan teologi tradisional di mana aliran Asy'ariyah sebagai representasinya.

Dari kedua ciri aliran di atas, sebenarnya perbedaan corak teologis tersebut dilatarbelakangi adanya metodologi yang berbeda dalam mengurai objek kajiannya, sehingga tidak heran jika kemudian memunculkan pemetaan paradigma metode berpikir rasional dan tradisional,47 yang dalam hal ini, kedua metode berpikir tersebut memiliki prinsip-prinsip masing, sehingga keduanya tidak bisa saling mengklaim dan mengganggap cara berpikir kelompoknya yang paling benar di mana hanya akan mengakibatkan pada –meminjam Abdul Mustaqim- "syirik intelektual".48 Hal ini dikarenakan dalam tataran histories- interpretatif, kebenaran itu tentu menjadi relatif. Bagaimanapun

45 Asy’ariyah adalah aliran yang didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M). Aliran ini kemudian didukung dan dikembangkan oleh ulama-ulama besar seperti al-Baqilani (w. 403 H), al-Juwaini (w.470 H), al-Ghazali (250-505 H) dan Fakh al-Din al-Razi (544-606 H). Mesikipun Imam Asy’ari yang telah mendirikan aliran pernah menjadi tokoh Mu’tazilah, ajaran-ajarannya banyak bertolak belakang dengan ajaran Mu’tazillah. Aliran ini masih dominant hingga saat ini dan dianut oleh mayoritas kaum Muslim, khususnya mereka yang bermazhab Syafi’I dan Maliki.

46 Sirajuddin Zar, Teologi Islam Aliran dan Ajarannya (Padang: IAIN-IB Press, 2003) h. 4-5. Lihat juga, Harun Nasution, Islam, ……… h. 66.

47 Prinsip metode berpikir rasional (1) Hanya terikat pada dogma-dogma dan ayat yang Qat'i (2) Memberikan kebebasan pada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat pada akal. Sedangkan prinsip berpikir tradisional (1) Terikat pada dogma dan ayat yang mengandung arti zanni (2) Tidak memberikan kebebasan pada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta tidak memberikan daya yang kuat pada akal. Lihat selengkapnya: Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsri al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 16-17.

48 Abdul Mustaqim, Tafir Feminis Versus Tafsir Patriarki (Jogjakarta: Sabda Persada, 2003), h. vii.

(16)

ketika teks-teks keagamaan, (al-Qur'an) dikonsumsi dan masuk dalam "disket" pemikiran manusia, tentu produk pemikirannya juga akan relatif lantaran pikiran manusianya juga relatif.

Ada tiga barometer, sekurang-kurangnya untuk melihat dan mengetahui suatu aliran, yaitu: kedudukan akal dan fungsi wahyu, perbuatan dan kehendak manusia, serta keadilan atau kehendak mutlak Tuhan, sehingga terbentuklah ciri-ciri teologi rasional- tradisional sebagaimana disebutkan oleh Abdul Razak49, sebagaimana berikut:

Ciri-ciri teologi tradisional adalah; Pertama, Akal mempunyai kedudukan yang rendah, karenanya dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti lafzhi atau literal.

Kedua, Manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak. Ketiga, Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini, bukan menurut sunatullah, namun benar-benar menurut kehendak mutlak Tuhan.

Karekteristik teologi tradisional di atas, dapat disederhakana bahwa wahyu selalu dianggap sebagai patokan dasar dan sumber kebenaran par excellence, sedangkan akal adalah sumber yang membuka kemungkinan bagi pemberontakan atas wahyu, oleh karena itu harus dikendalikan.50

Adapun ciri teologi rasional adalah: Pertama, Akal mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, karenanya dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti majazi.

Kedua, Manusia bebas berbuat dan berkehendak. Karena akal

49 Abdul Razak, IlmuKalam,……..h. 45.

50 Ulil Abshar Abdallah, Membakar Rumah Tuhan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 110

(17)

kuat, manusia mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan dan kehendak serta mampu berpikir secara mendalam. Ketiga, Keadilan Tuhan, menurut paham ini, terletak pada adanya hukum alam (sunatullah) yang mengatur perjalanan alam ini.

Dari kedua cirri teologi di atas, terutama menyangkut peranan akal dan wahyu, penulis mengutip ilustrasi gambar dari Harun Nasutioan sebagai berikut51:

Peta Konsep Teologi Rasional MT = Mengetahui Tuhan

KMT = Kewajiban Mengetahui Tuhan MBJ = Mengetahui Baik dan Jahat KMBJ = Kewajiban Mengerjakan

Baik dan Menjauhi Jahat

Peta Konsep Teologi Tradisional MT = Mengetahui Tuhan

KMT = Kewajiban Mengetahui Tuhan MBJ = Mengetahui Baik dan Jahat KMBJ = Kewajiban Mengerjakan

Baik dan Menjauhi Jahat

Kedua gambar di atas, terlihat jelas sekali perbedaan yang sangat mendesar antara teologi rasional yang memberikan porsi dominan pada akal, sementara teologi tradisional memberikan peranan yang terbatas pada akal, sehingga karenanya bagi teologi yang posisinya mensuperioritaskan akal disebut aliran Mu'tazilah

51 Harun Nasution, Teologi,……….., h. 86-87.

(18)

yang popular dengan terminologi teologi rasional, sedangkan teologi yang posisinya menginferioritaskan akal disebut aliran Asy'ariyah yang populer dengan terminologi teologi tradisional.52

2. Konsepsi Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme

Sebagaimana telah dijabarkan di muka, bahwa di antara konsep pokok teologi islam adalah persoalan posisi akal dan wahyu yang berkaitan dengan empat hal53 yaitu; Pertama, persoalan mengetahui tuhan. Kedua, persoalan kewajiban mengetahui Tuhan. Ketiga, persoalan kewajiban mengetahui baik dan buruk. Keempat, persoalan kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk.

Bagi Teologi Rasional dalam hal ini Mu'tazilah berpendapat bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan baik-buruk dapat diperoleh dengan daya akal. Karena itu, berterima kasih kepada tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib.54 Di samping itu, karena akal juga dapat mengetahui soal baik baik dan buruk, maka setiap orang wajib mengerjakan yang baik seperti sikap jujur, berbuat adil dan meninggalkan yang buruk semisal berdusta dan berbuta zalim.55

Aliran ini berargumen antara lain bahwa baik dan buruk merupakan esensi bagi setiap perbuatan. Dan perbuatan-perbuatan itu sesungguhnya terpilah menjadi baik atau buruk; manfaat atau

52 Abdul Rozak, Ilmu Kalam,…………. h. 34. Bandingkan dengan Harun Nasution, IslamRasional, ………h. 371-372.

53 Harun Nasution, Teologi, ……,…. h. 80.

54 Abd Al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihl (Mesir: Matba'ah Mustafa al-Bab al-Halabi, 1967), vol. I, h. 42.

55Ibid., h. 52.

(19)

bahaya. Al-Jubai't tokoh mu'tazilah, seperti dikutip oleh Abu Zahrah, mengemukakan bahwa perbuatan-perbuatan dapat diidentifikasi menjadi empat macam, yaitu; Pertama, buruk karena dilarang (qabih li al-Nahyi). Kedua, buruk karena esensinya (qabih li nafsih). Ketiga, baik karena diperintah (hasan li al-amri bih). Keempat, baik karena esensinya (hasan li nafsih).

Empat kategorisasi al-Jubai'I ini lalu disederhanakan oleh Abu Zahrah menjadi tiga macam saja, yaitu; Baik esensial, buruk esensial, serta baik dan buruk tergantung pada perintah dan larangan56

Kategorisasi yang telah disebutkan di atas memberikan penjelasan bahwa baik esensial jika terdapat dalam suatu perbuatan, maka bagi mu'tazilah perbuatan itu wajib dihindarkan.

Karena itu, menurut mu'tazilah, dalam situasi sebelum adanya syariat atau wahyu, manusia telah terbebani untuk melakukan hal yang baik dan meninggalkan yang buruk.

Argumen lain yang dikemukakan oleh mu'tazilah bahwa term husn (baik) adalah sesuatu yang boleh dikerjakan, atau suatu perbuatan yang tidak mengarahkan pelakunya mendapat celaan.

Sebaliknya, term jelek (qubh) bermakna sesuatu yang tidak boleh dikerjakan karena bila dikerjakan akan mendapat celaan.57 Dengan demikian, pengetahuan akan tentang baik dan buruk adalah sebuah keniscayaan. Perbuatan baik, misalnya ditandai dari esensi dari perbuatan itu sendiri yang membawa manfaat, seperti berkata jujur dan bersikap adil. Sebaliknya, perbuatan buruk ditandai

56 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Ttp: Dar al-Fikr al-Arabi, tth.), h. 69-76.

57 Abu Al-Husain al-Bashri al-Mu'tamad, Fi Ushul al-Fiqh (Damaskus: Al- Ma'had al-Ilmi, 1964), Vol. I. h. 365-366.

(20)

dengan indikasi adanya kerugian dalam esensi perbuatan itu, misalnya berdusta dan aniaya. Lebih lanjut, Abu al-Husain al- Bashri menandaskan bahwa sesuatu dipandang baik apabila terdapat kemanfaatan di dalamnya dan tidak diketahui mengandung kerugian dan bahaya.58

Akibat niscaya dari pandangan mu'tazilah seperti di atas, sebagaimana diutarakan Abu Zahrah, ada tiga hal; Pertama, Orang-orang yang hidup pada masa kevakuman wahyu ataupun dalam ketidaktahuan terbebani untuk mengerjakan perbuatan baik esensial dan mengelakkan diri dari perbuatan jelek esensial.

Kedua, jika nash tidak memberi petunjuk apa-pun, maka akan berfungsi menentukan baik atau buruknya suatu hal. Ketiga, tuhan tidak mungkin memerintahkan untuk mengerjakan perbuatan buruk esensial atau melarang untuk berbuat yang baik secara esensial.59 Artinya, segala syariat yang diturunkan tuhan bagi manusia adalah demi kepentingan dan maslahat manusia itu sendiri.

Namun meski demikian, mu'tazilah tetap membutuhkan dan berpedoman kepada wahyu. Bagi mu'tazilah, akal hanya dapat mengetahui hal-hal yang bersifat umum. Sedangkan mengenai hal-hal yang terperinci, mutlak membutuhkan penjelasan dan informasi wahyu.60 Ibnu Hasyim, salah-satu pemuka mu'tazilah,

58Ibid., h. 878.

59 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh,……, h. 72.

60 Di samping menjelaskan hal-hal yang terperinci, wahyu juga menginformasikan tindakan-tindakan yang tidak diketahui akal nilai baik dan buruknya, seperti berzina. Karena itu, mu'tazilah membuat dua tipologi perbuatan baik, yaitu manakir al-aqliyyah (perbuatan yang dicela akal seperti berdusta), dan manakir sya'riyyah (perbuatan yang dicela wahyu seperti berzina). Lihat selengkapnya Harun Nasution, TeologiIslam,…………., h. 98.

(21)

menyatakan bahwa rasul-rasul datang untuk memperkuat sesuatu yang telah ditempatkan tuhan dalam akal kita, dan untuk menerangkan perincian sesuatu yang telah diketahui akal.61 Dengan demikian, wahyu menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Atas dasar ini, dapat disimpulkan bahwa mu'tazilah berpandangan bahwa wahyu berfungsi melakukan konfirmasi dan informasi.

Berbeda dengan konsep teologi rasional, teologi tradisional berpendapat bahwa akal manusia tidak memiliki kemampuan apa-apa kecuali mengetahuan Tuhan an-sich.

Sedangkan tiga hal lainnya hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu. Karena itu, masalah nilai baik atau buruk dari suatu tindakan tak dapat ditetapkan oleh akal melainkan mesti dengan pemberitahuan wahyu. Berdusta, misalnya merupakan perbuatan buruk karena wahyu menyatakannya demikian. Andai saja wahyu menetapkan bahwa berdusta itu adalah baik, maka pastilah berdusta merupakan pekerjaan yang baik dan jika sekiranya Tuhan mewajibkan hamba-Nya untuk berdusta, maka tidak ada alasan apa-pun bagi manusia untuk menolak melakukannya.62 Dengan kata lain, nilai baik dan buruk itu tergantung sepenuhnya pada perintah dan larangan dari Tuhan, dalam hal ini wahyu.

Imam al-Ghazali, salah-seorang teolog Asy'ariyah, menolak pengertian bahwa suatu perbuatan disebut baik jika perbuatan itu sesuai dengan tujuan, dan disebut buruk apabila

61Ibid., h. 99.

62 Abu Hasan al-Asy'ari, al-Luma' fi al-Radd 'Ala ahl al-Zayq wa al-Bida' (Beirut: Matba'ah Kathulikiyah, 1952), h. 70-71.

(22)

tidak sesuai dengan tujuan. Sebab bagi al-Ghazali, perbuatan baik atau buruk bukanlah bergantung pada kesesuaian ataupun keterbedaannya dengan tujuan di masa sekarang, melainkan pada tujuan di masa depan (akhirat kelak).63

Dari uraian singkat di atas, nyatalah bahwa bagi Asy'ariyah nilai baik dan buruk bukanlah esensi dari suatu perbuatan mealainkan hanya berupa kualitas pada perbuatan.

Dengan begitu, maka implikasinya adalah posisi akal tidak mempunyai potensi dan kemampuan untuk mengeathui apakah suatu perbuatan berkualitas baik atau sebaliknya. Dalam hal ini, informasi wahyu mengenai suatu perbuatan, apakah berkualitas baik atau buruk mutlak dibutuhkan. Dengan demikian, karena potensi akal dianggap tidak mempunyai kapabilitas, maka sudah barang tentu tidak ada suatupun yang mewajibkan setiap manusia untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk, kecuali jika wahyu telah datang menginformasikannya.

3. Teologi Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam Tataran Analisa

Melihat ketegangan dari paradigma berpikir kedua aliran di atas yang berhadapan secara frontal di mana teologi rasionalis memposisikan akal super-ordinat, sedang teologi tradisionalis meletakkan akal pada posisi sub-ordinat, tentu dalam konteks saat ini sudah tidak relevan lagi dan tidak akan menyelesaikan

63 Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I'tiqad (Mesir: Musthafa al-Babi al- Halabi wa Awladuh, tth.), h. 84.

(23)

masalah, sebab keduanya sama-sama dijunjung tinggi eksistensinya dalam al-Qur'an.

Tuduhan sebagai anak kecil pada paham tradisionalis lantaran tidak bisa memfungsikan akalnya dan tunduk secara totalitas pada wahyu, dan anggapan sebagai anak dewasa pada paham rasionalis lantaran kematangan berpikirnya, kiranya perlu mendapatka kajian ulang. Sebab prakonsepsi tersebut mempunyai side effect yang berbeda pula. Artinya, menjadi tradisionalis dengan mendewakan referensi pada wahyu, mungkin membuat kita merasa seolah makhluk masa silam yang asing dalam arus perubahan zaman, shock culture, bahkan lantaran ekslusivitas tersebut, tidak heran jika kemudian selalu dihinggapi rasa terancam. Sebaliknya, menjadi rasionalis, dengan mensuperioritaskan pada akal dengan melihat pada akselerasi zaman, satu sisi memang membuat kita secara sosial relevan dengan zaman kontemporer, tetapi pada saat yang sama, tidak jarang membuat kita mengalami konflik psikologis, dan kian merasa berjarak dari Islam, sebagai jalan keyakinan.64

Selanjutnya, untuk menjembatani ketegangan dari dua aliran mainstream ini, perlu kiranya digagas suatu teologi baru yang disebut teologi alternatif untuk mengakumulasikan dan merekonsiliasikan kedua aliran tersebut, semisal gagasn tentang keadilan sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari kesadaran bahwa ketidakadilan sosial (kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, eksploitasi, diskriminasi, dan dehumaisasi) merupakan produk dari suatu proses sosial via struktur dan sistem

64 Muhammad Abed Al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam (Jogjakarta: LKiS, 2000), h. v.

(24)

yang tidak adil, yang terjadi lantaran proses sejarah manusia.

Artinya, realitas sosial yang tidak adil bukanlah predestinasi Tuhan (taqdîr), seperti umum diyakini teologi-teologi tradisional, melainkan hasil dari proses sejarah yang by design, disengaja.

Bukan pula belaka akibat “ada yang salah dalam bangunan mentalitas-budaya manusia,” seperti keyakinan teologi-teologi rasional, melainkan semua itu terjadi lantaran adanya imbas langsung dari diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil, eksploitatif, dan menindas.

Kalaupun solusi dari cara berpikir teologi alternatif ini belum bisa dipraktekkan secara maksimal dan simultan, maka tindakan yang mendesak untuk dipraktekkan terlebih dahulu adalah bangunan keyakinan dan kesadaran baru di antara ummat Islam bahwa pandangan kedua aliran ini merupakan sebuah ijtihad dan hasilnya bukan sesuatu yang mutlak dan absolut.

Oleh karena itu, sikap yang harus dikembangkan oleh masyarakat adalah : Pertama, Akseptasi, kesediaan menerima keberadaan dan kehadiran mazhab pemikiran lain. Kedua, Apreasi, menghargai mazhab dan paham yang dianut kelompok lain. Ketiga, Ko-eksistensi, kesediaan untuk hidup berdampingan dengan kelompok manusia manapun.65 Keempat, Kooperasi, kesediaan untuk bekerja-sama dengan pemikiran lain.66

Pengembangan keempat arah sikap di atas bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti akan mengurangi kesadaran

65A. Hajar Sanusi, Memasuki Islam dalam Berbagai Pintu, dalam Al-Hikmah Jurnal Studi-studi Islam, No. 14, vol. VI, tahun 1995, h. 3.

66 Kuntowijoyo, "Dari Toleransi ke Kooperasi", dalam Atas Nama Agama (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 359.

(25)

religiusitas masyarakat. Sebab hal itu sudah dipraktekkan oleh Rasulullah ketika beliau membangun masyarakat Madinah.

Karena itu, perilaku ideal yang dicontohkan oleh Rasul sebagai figur paradigmatik (uswah hasanah) jangan hanya dijadikan informasi sejarah yang perlu dikagumi saja, tetapi bagaimana upaya totalitas untuk diterjemahkan dalam kehidupan nyata.67

Kesimpulan

Dari semua paparan di atas, penulis dapat memberikan kesimpulan tentang pemikiran teologi tradisional dan rasional dalam Islam sebagai berikut:

Pertama, sejarah munculnya teologi tradisional dan rasional adalah berawal dari polemik antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah yang awalnya mempertentangkan persoalan kafir dan mu'min, namun akhirnya jauh melangkah berubah menjadi persoalan kesanggupan akal dan fungsi wahyu di mana masing-masing dari mereka mengklaim superioritas atau inferioritas akal atas wahyu, sehingga karenanya, term teologi Rasional selalu saja disandingkan dan dilalbelkan pada Mu'tazilah yang lebih mensuperioritaskan akal, sedangkan Asy'ariyah sebagai representasi aliran bercorak tradsional lantaran lebih menginferioritaskan akal.

Kedua, karakteristik teologi tradisional adalah bahwa posisi akal inferior, manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan bukan menurut sunatullah, namun benar-benar menurut kehendak mutlak. Sedangkan teologi

67 Fathurrosyid, Gerakan Feminis Rasulullah; Membaca Sisi Lain Peringatan Isra' Mi'raj 1430 H, dalam Harian Pagi Radar Madura; Jawa Post Group, Ed. Rabu, 22 Juli 2009.

(26)

rasional adalah bahwa posisi akal superior, manusia bebas berbuat dan berkehendakk dan keadilan Tuhan terletak pada adanya hukum alam (sunatullah) yang mengatur perjalanan alam ini.

Bagi Teologi Rasional berpendapat bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan baik-buruk dapat diperoleh dengan daya akal.

Karena itu, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Di samping itu, karena akal juga dapat mengetahui soal baik baik dan buruk, maka setiap orang wajib mengerjakan yang baik seperti sikap jujur, berbuat adil dan meninggalkan yang buruk semisal berdusta dan berbuta zalim. Sedangkan dalam teologi tradisional adalah bahwa akal manusia tidak memiliki kemampuan apa-apa kecuali mengetahuan Tuhan an-sich. Sedangkan tiga hal lainnya hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu. Karena itu, masalah nilai baik atau buruk dari suatu tindakan tak dapat ditetapkan oleh akal melainkan mesti dengan pemberitahuan wahyu. Berdusta, misalnya merupakan perbuatan buruk karena wahyu menyatakannya demikian.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin. 1996. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas.

Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

______________. 2004. Falsafah Kalam. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Abrohamov, Binyamin. 1998. Islamic Theology; Tradisionalism and Rasionalism. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Abduh, Muhammad. 1965. Risalah. Tauhid, Terj. Firdaus An. Bulan.

Jakarta: Bintang.

al-Jabiri, Mohammed Abed. 2002. Post Tradisionalisme Islam.

Jogjakarta: LKiS.

(27)

Al-Barsany, HH. Noer Iskandar. 2001. Pemikiran Kalam Imam Abu mansur A-Maturidi; Perbandingan dengan Kalam Mu’tazilah dan Al-Asy’ari. Jakarta: Srigunting.

al-Mu'tamad, Abu Al-Husain al-Bashri. 1964. Fi Ushul al-Fiqh.

Damaskus: Al-Ma'had al-Ilmi.

al-Asy'ari, Abu Hasan. 1952. al-Luma' fi al-Radd 'Ala ahl al-Zayq wa al-Bida'. Beirut: Matba'ah Kathulikiyah.

al-Ghazali, Abu Hamid. Tth. al-Iqtishad fi al-I'tiqad. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh.

Abdallah, Ulil Abshar. 1999. Membakar Rumah Tuhan. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Asmuni, Yusran. 1996. Dirasah Islamiah II Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan

Al-Thabari. 1995. Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Jilid 7. Beirut:

Mu'asasah al-a'la li al-Matbu'.

________. t.th. Tarikh al-Thabari, Juz V. Kairo: Dar al-Ma'arifah.

al-Syaukani, Luthfi. "Tipologi Wacana Pemikiran Arab Kontemporer"

dalam Jurnah Pemikiran Islam PARAMADINA, Jakarta, Vol.

I, Juli-Desember 1998.

al-Syahrastani, Abd Al-Karim. 1967. al-Milal wa al-Nihl. Mesir:

Matba'ah Mustafa al-Bab al-Halabi.

Afrizal M. 2006. Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam.

Jakarta: Erlangga.

Bagus, Loren. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Pustaka Gramedia Utama.

Bekker, Anton, dan Achmad Charis Zubair. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

(28)

Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr Dalam al-Qur'an; Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik . Jakarta: Bulang Bintang.

Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Cet. 6. Jakarta: LP3ES.

Faqih, Mansour. 1994. “Teologi Kaum Tertindas,” dalam Ahmad Suaedy (eds.), Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat. Jogjakarta: Institut Dian/Interfidei.

Fakhry, Majid. 2001. Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul

Am. Bandung: Mizan.

Fathurrosyid, 2006. Humanisasi Pendidikan Agama. Radar Madura;

Jawa Post Group. Ed. Ahad, 16 Juli.

__________. 2009. Gerakan Feminis Rasulullah; Membaca Sisi Lain Peringatan Isra' Mi'raj 1430 H, dalam Harian Pagi Radar Madura; Jawa Post Group, Ed. Rabu, 22 Juli.

Fazlurrahman. 1984. Islam, Terj. Ahsin Muhammad. Bandung:

Pustaka.

Hanafi, Ahmad. 1974. Theologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Hidayat, Komaruddin. 1994. "Arkoun dan Tradisi Hermeneutika", dalam Tradisi, Kemodernan dan Meta Modernisme.

Jogjakarta: LKiS.

Izutsu, Tosiko. 1994. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, Terj.

Agus Fahri. Jogjakarta: Tiara Wacana.

Kuntowijoyo. 1998. "Dari Toleransi ke Kooperasi", dalam Atas Nama Agama. Bandung: Pustaka Hidayah.

Khaldun, Ibn. 2001. Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha. Jakarta:

Pustaka Firdaus.

Ma'arif, Syafi'i. 1995. Membumikan Islam. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

(29)

Madjid, Nur Khalis. 1994. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Munawwir, A.W. 1998. Kamu al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif.

Mustaqim, Abdul. 2003. Tafir Feminis Versus Tafsir Patriarki.

Jogjakarta: Sabda Persada.

Nasution, Harun. 1985. Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.

_____________. 1986. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. Jakarta: UI Press.

_____________. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press.

_____________. 1996. Islam Rasional. Bandung: Mizan.

Reese, William L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion. USA:

Humanities Press Ltd.

Rozak, Abdul. 2009. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

Sanusi, A. Hajar. 1995. Memasuki Islam dalam Berbagai Pintu, dalam Al-Hikmah Jurnal Studi-studi Islam. No. 14, vol. VI.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Watt, W. Montgomery. 1999. The Formative Period of Islamic Thought, Terj. Sukoyo. Jogjakarta: Tiara Wacana.

Wojowasito. 1982. Kamus Lengkap Ingris-Indonesia. Bandung:

Hasta.

Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo.

Islam dan Pemikiran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Yusuf, Yunan. 1990. Corak Pemikiran Kalam Tafsri al-Azhar.

Jakarta: Pustaka Panjimas.

(30)

Zahrah, Abu. 1996. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Kairo: Dar al- Fikr al-Arabi.

__________. Tth. Ushul al-Fiqh. Ttp: Dar al-Fikr al-Arabi.

Zar, Sirajuddin. 2003. Teologi Islam Aliran dan Ajarannya. Padang:

IAIN-IB Press.

Referensi

Dokumen terkait

Pemantulan total : pada sudut datang tertentu,cahaya yang datang dari medium lebih rapat ke medium kurang rapat akan dibiaskan sejajar dengan permukaan batas

melakukan kerja sama antara manajemen dengan auditor dalam melakukan kecurangan laporan keuangan sehingga hal tersebut menunjukkan kualitas audit menjadi buruk