• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN KURS VALUTA ASING

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "DAN KURS VALUTA ASING"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KESEIMBANGAN HUBUNGAN PENGARUH ANTARATINGKAT BUNGA, LAJU INFLASI,

DAN KURS VALUTA ASING

Endang Setyowati Algifari

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta Jl. Seturan Yogyakarta, 55821

E-mail: endang76setyowati@gmail.com dan fari.algi@gmail.com ABSTRACT

The aims of this research is to develop unequilibrium model relationship among interest rate, inflation, and foreign exchange rate in Indonesia using monthly data from January 2011 to April 2015. The results of Augmented Dickey-Fuller test shows that the data of interest rate, inflation, and foreign exchange rate in this period is not stationary at level, but stationary in first difference.

Johansen Cointegration test results indicate that the interest rate, inflation, and foreign exchange rate are cointegrated. Equilibrium model that used to determine the relationship among interest rate, inflation, and foreign exchange rate is Vector Error Correction models. The results of this study indicate that interest rate affect on inflation and foreign exchange rate in Indonesia.

Keyword: Interest Rate, Inflation, Exchange Rate,Vector Error Correction Model

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk membangun model keseimbangan hubungan antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing menggunakan data bulanan dari Januari 2011 sampai dengan April 2015. Hasil uji Augmented Dickey-Fuller menunjukkan bahwa data tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing dalam periode penelitian tidak stasioner pada tingkat level, tetapi stasioner pada tingkat first difference. Hasil uji Johansen Cointegration menunjukkan bahwa tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing berkointegrasi. Model keseimbangan yang digunakan untuk mengetahui hubungan pengaruh antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing adalah model Vector Error Correction. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat bunga berpengaruh terhadap laju inflasi dan kurs valuta asing di Indonesia.

Kata kunci: Tingkat Bunga, Inflasi, Kurs Valuta Asing, Model Vector Error Correction

PENDAHULUAN

Tugas utama Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia adalah menjaga stabilitas harga (price stability) dan stabilitas keuangan (financial stability). Salah satu instrumen yang dapat digunakan olah Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas harga dan stabilitas nilai rupiah adalah melalui tingkat bunga. Indikator stabilitas harga adalah laju inflasi, sedangkan indikator stabilitaskeuangan adalah fluktuasi kurs rupiah terhadap valuta asing.

Laju inflasi menggambarkan perkem- bangan harga barang dan jasa dalam perekonomian pada periode tertentu. Laju inflasi yang tinggi pada suatu periode menunjukkan terjadinya kenaikan harga-harga barang dan jasa pada periode tersebut. Laju inflasi tinggi akan berdampak buruk bagi perekonomian. Laju inflasi yang tinggi akan menurunkan pendapatan riil masyarakat, sehingga daya beli masyarakat turun.

Penurunan konsumsi masyarakat berakibat pengeluaran konsumsi masyarakat untuk barang dan jasa berkurang dan kondisi ini akan

(2)

menghambat kegiatan produksi nasional.Oleh karena itu pemerintah (Bank Indonesia) perlu menjaga agar laju inflasi pada tingkat yang tidak membahayakan perekonomian.

Kurs valuta asing menggambarkan perbandingan nilai rupiah terhadap nilai mata uang asing. Di Indonesia, kurs valuta asing dinyatakan dalam rupiah untuk setiap satu satuan mata uang asing. Misalnya kurs dolar Amerika adalah Rp13.250 untuk setiap satu dolar Amerika. Kurs rupiah terhadap dolar Amerika digunakan dalam melakukan transaksi perdagangan dengan negara lain.

Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia berkewajiban menjaga stabilitas rupiah.

Stabilitas nilai rupiah dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam negeri maupun berasal dari luar negeri. Pengaruh faktor dari luar negeri terhadap stabilitas nilai rupiah ini sebagai konsekuensi dari perekonomian Indonesia yang bersifat semakin liberal dan sangat terbuka. Indonesia perlu membeli produk yang dihasilkan oleh negara lain untuk kepentingan konsumsi masyarakat dan kegiatan produksi dalam negeri. Untuk membeli produk-produk dari luar negeri, Indonesia perlu mata uang asing, terutama dolar Amerika, karena sebagian besar atau bahkan semua transaksi Internasional menggunakan dolar Amerika. Sumber penerimaan Indonesia dalam bentuk mata uang asing sebagian besar berasal dari ekspor barang dan jasa. Ketersediaan mata uang asing, terutama dolar Amerika dalam perekonomian Indonesia menggambarkan kemampuan Indonesia membeli barang dan jasa dari luar negeri (impor) yang dibutuhkan oleh perekonomian Indonesia.

Pelemahan nilai rupiah terhadap dolar Amerika di satu sisi memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia, yaitu dapat meningkatkan ekspor Indonesia.

Pelemahan nilai rupiah terhadap dolar Amerika berarti harga produk dalam negeri akan dinilai oleh pembeli dari luar negeri turun, sehingga permintaan luar negeri terhadap produk Indonesia meningkat. Namun di sisi lain pelemahan nilai rupiah terhadap dolar Amerika mengakibatkan harga produk dari luar negeri dalam mata uang rupiah menjadi lebih tinggi atau meningkat. Saat ini kegiatan produksi di Indonesia masih banyak

menggantungkan bahan baku dan bahan penolong dari produk luar negeri, sehingga kenaikan harga produk luar negeri dalam rupiah akan mengganggu produksi dalam negeri.

Pelemahan nilai rupiah terhadap mata uang asing, terutama terhadap dolar Amerika akan berdampak positif bagi perekonomian Indonesia jika ekspor Indonesia responsif terhadap pelemahan nilai rupiah tersebut.

Artinya, kesiapan produksi dalam negeri dalam memenuhi peningkatan permintaan luar negeri dan infrastruktur kegiatan perdagangan luar negeri seperti regulasi mengenai ekspor, pelabuhan, alat angkut darat maupun laut mendukung peningkatan permintaan luar negeri tersebut. Sayangnya, momentum pelemahan nilai rupiah terhadap dolar Amerika yang terjadi saat ini tidak mampu direspon oleh kesiapan ekspor Indonesia, sehingga pelemahan nilai rupiah yang terjadi saat ini lebih memberikan dampak yang negatif terhadap perekonomian Indonesia.

Dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai stabilisator harga dan keuangan, instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia adalah tingkat bunga. Ketika perekonomian Indonesia mengalami inflasi tinggi, Bank Indonesia berusaha agar tingkat bunga naik. Dengan kenaikan tingkat bunga diharapkan dapat menekan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa dalam perekonomian. Kenaikan tingkat bunga juga diharapkan dapat meningkatkan aliran masuk mata uang asing ke Indonesia dan diharapkan nilai rupiah akan meningkat terhadap mata uang asing.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing di Indonesia.

Penelitian tentang hubungan antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing telah banyak dilakukan sebelumnya. Sinai (2014) meneliti hubungan laju inflasi, tingkat bunga (BI rate), dan kurs valuta asing di Indonesia.

Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan jangka panjang maupun jangka pendek antara laju inflasi sebagai variabel dependen dengan tingkat bunga (BI rate) dan kurs valuta asing sebagai variabel independen. Jaradat et. al.

(2014) melakukan penelitian tentang hubungan kausal antara tingkat bunga dan laju inflasi di Jordania menggunakan data dari tahun 1990

(3)

sampai dengan tahun 2012. Penelitian tersebut memperoleh bukti empiris adanya hubungan positif dua arah antara tingkat bunga dan laju inflasi di Jordania. Cho dan West (2003) melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat bunga dengan kurs valuta asing di Korea, Filipina, dan Thailand menggunakan data pada periode krisis moneter tahun 1997- 1998. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan tingkat bunga berdampak apresiasi nilai mata uang Korea dan Filipina, namun depresiasi untuk nilai mata uang Thailand.

Madesha et. al. (2013) melakukan penelitian tentang hubungan antara laju inflasi dan kurs valuta asing di Zimbabwe mengggunakan data 1980-2007.Penelitian tersebut memperoleh bukti empiris adanya hubungan kausal antara laju inflasi dengan kurs valuta asing.

KAJIAN LITERATUR

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan pengaruh antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing di Indonesia.

Berikut ini beberapa teori dan hasil penelitian empiris yang digunakan untuk mendasari perumusan hipotesis penelitian ini.

Hubungan antara Tingkat Bunga dengan Laju Inflasi

Dalam literatur ekonomi makro dijelaskan terdapat dua macam tingkat bunga, yaitu tingkat bunga nominal dan tingkat bunga riil.

Tingkat bunga nominal adalah tingkat bunga yang biasanya ditentukan untuk tabungan, deposito, pinjaman, obligasi, pinjaman.

Tingkat bunga nominal dapat berbeda untuk jenis pinjaman atau simpanan yang sama.

Perbedaan besarnya tingkat bunga ini dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu jangka waktu, risiko, dan pajak (Mankiw, 2007). Tingkat bunga nominal belum memperhitungkan laju inflasi, sedangkan tingkat bunga riil adalah tingkat bunga yang sudah memperhitungkan laju inflasi. Tingkat bunga riil adalah tingkat bunga nominal dikurangi laju inflasi.

Laju inflasi dapat dibedakan oleh penyebab terjadinya inflasi tersebut. Demand- pull inflation adalah terjadinya kenaikan harga-harga barang dan jasa (inflasi) yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan barang dan jasa dalam perekonomian,

sementara penawaran barang tidak dapat mengimbangi kenaikan permintaan tersebut.

Kenaikan permintaan terhadap barang dan jasa dalam perekonomian ini, misalnya disebabkan kenaikan gaji pegawai negeri dan tidak disebabkan oleh kenaikan jumlah uang beredar. Cost-push inflation adalah inflasi yang disebabkan oleh kenaikan ongkos produksi, misalnya kenaikan upah buruh yang menyebabkan biaya produksi meningkat dan bukan disebabkan oleh penambahan jumlah uang beredar oleh bank sentral. Mazhab strukturalis menjelaskan penyebab inflasi pada perekonomian di negara sedang berkembang adalah karena ketidak-elastisan struktur perekonomiannya, persaingan pasar yang tidak sempurna, tekanan sosial, kebijakan substitusi impor, ketidak-elastisan penawaran bahan makanan, proses industrialisasi, dan ketidak- stabilan politik. Mazhab monetaris menjelaskan terjadinya inflasi disebabkan oleh kebijakan bank sentral menambah jumlah uang beredar di masyarakat melebihi kenaikan nilai barang dan jasa yang dapat diproduksi oleh perekonomian tersebut.

Bagaimana pengaruh tingkat bunga terhadap laju inflasi? Tingkat bunga yang tinggi akan berdampak pada tingginya biaya meminjam uang untuk tujuan investasi.

Penurunan investasi akan mempengaruhi jumlah barang dan jasa yang ditawarkan dalam perekonomian (aggregate supply). Pengaruh laju inflasi terhadap tingkat bunga juga dapat dijelaskan dengan menggunakan persamaan Alfed Marshal dan Efek Fisher. Alfred Marshal mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara tingkat bunga dan laju inflasi adalah r = n – p – np, di mana r adalah tingkat bunga riil, n adalah tingkat bunga nominal, dan p adalah laju inflasi. Kemudian persamaan Fisher yang menggambarkan hubungan antara tingkat bunga dengan laju inflasi adalah r = n – p, di mana r adalah tingkat bunga riil, n adalah tingkat bunga nominal, dan p adalah laju inflasi.

Persamaan Marshal dengan persamaan Fisher menunjukkan adanya hubungan positif antara tingkat bunga nominal dengan laju inflasi. Jika laju inflasi meningkat, maka tingkat bunga nominal akan naik. Sebaliknya, jika laju inflasi turun akan berdampak pada penurunan tingkat bunga nominal.

(4)

Penelitian tentang hubungan antara tingkat bunga dengan laju inflasi telah banyak dilakukan. Booth dan Ciner (2001) meneliti hubungan antara tingkat bunga dan laju inflasi menggunakan data 10 negara, terdiri dari 9 negara di Eropa dan Amerika Serikat menggunakan data bulanan dari Januari 1978 sampai dengan Februari 1997. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan jangka panjang antara tingkat bunga dengan laju inflasi. Million (2003) melakukan penelitian pada perekonomian Amerika menggunakan data Januari 1951 sampai dengan Desember 1999dan menemukan bukti empiris hubungan jangka panjang antara tingkat bunga dengan laju inflasi. Bank sentral Amerika (Federal Reserve) menurunkan suku bunga nominal pada saat laju inflasi tinggi dan menaikkan tingkat bunga nominal apabila laju inflasi rendah. Lardie dan Magnon (2003) melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat bunga dengan laju inflasi pada negara-negara yang tergabung dalam G-7 (Jerman, Perancis, Inggris, Kanada, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan jangka panjang antara tingkat bunga dengan laju inflasi. Teker et. al.

(2012) meneliti hubungan antara tingkat bunga dan laju inflasi pada perekonomian Turki menggunakan data Januari 2002 sampai dengan Maret 2011. Penelitian tersebut memperoleh bukti empiris hubungan jangka panjang antara tingkat bunga dengan laju inflasi. Fatmawati dan Algifari (2014) meneliti efek Fisher di Indonesia menggunakan data tahunan dari tahun 1980 sampai dengan 2011 menggunakan pendekatan kointegrasi dan model koreksi kesalahan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan jangka panjang antara tingkat bunga dengan laju inflasi di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas dirumuskan hipotesis 1 dalam penelitian ini sebagai berikut:

H1: Terdapat hubungan pengaruh antara tingkat bunga dengan laju inflasi di Indonesia

Hubungan antara Tingkat Bunga dengan Kurs Valuta Asing

Kurs antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara

untuk saling melakukan perdagangan (Mankiw,2007). Para ekonom membedakan kurs menjadi dua, yaitu kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal adalah harga relatif antara dua negara. Misalnya jika kurs rupiah terhadap dolar Amerika adalah Rp10.000 untuk setiap US$1, maka untuk memperoleh US$1 Anda harus membayar Rp10.0000. Orang di Amerika yang ingin memiliki uang Rp10.000, maka ia harus membayar US$1. Kurs riil adalah harga relatif barang-barang di antara dua negara. Misalnya harga sebuah kemeja di Indonesia adalah Rp200.000, sedangkan harga kemeja di Singapura adalah Sin$100. Untuk membandingkan harga kemeja di antara kedua negara tersebut, harga kemeja diubah terlebih dahulu ke dalam mata uang yang sama.

Misalnya Sin$1 = Rp4.000, maka harga kemeja di Singapura dalam mata uang rupiah adalah 100 x Rp4.000 = Rp400.000. Dengan demikian harga kemeja di Singapura dua kali lebih besar daripada harga kemeja di Indonesia. Kita dapat menukarkan dua kemeja Indonesia dengan satu kemeja Singapura.

Setiap negara yang perekonomiannya bersifat terbuka perlu memelihara kurs valuta asing yang stabil. Kurs yang tidak stabil akan berdampak buruk bagi perekonomian negara tersebut. Oleh karena itu, setiap negara perlu memelihara kestabilan kurs (stabilitas nilai uang domerstik). Setiap negara memiliki kebijakan masing-masing dalam mengelola kurs valuta asingnya. Dalam literatur ekonomi terdapat tiga macam pengelolaan kurs, yaitu sistem kurs tetap (fixed exchange rate), sistem kurs mengambang terkendali (managed floating exchange rate), dan sistem kurs bebas (free floating exchange rate). Sistem kurs tetap maksudnya adalah kurs (harga mata uang asing) ditentukan oleh bank sentral. Dalam sistem ini bank sentral harus bersedia membeli atau menjual mata uang asing sesuai dengan kurs yang ditetapkannya. Misalnya Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia menentukan kurs 10.000 rupiah untuk satu dolar Amerika. Bank Indonesia harus bersedia membeli atau menjual dolar Amerika Rp10.000 untuk satu dolar Amerika.Bank sentral dapat mengubah kurs sewaktu-waktu jika diperlukan untuk mempengaruhi perekonomian. Kebijakan bank sentral menaikkan nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing disebut revaluasi, sedangkan

(5)

kebijakan bank sentral menurunkan nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing disebut devaluasi.

Sistem kurs mengambang terkendali maksudnya adalah kurs mata uang asing (valuta asing) yang berlaku tidak sepenuhnya ditentukan melalui mekanisme pasar.

Pemerintah (bank sentral) dapat mengintervensi pasar valuta asing jika diperlukan untuk menjamin stabilitas keuangan. Dalam sistem ini otoritas moneter (bank sentral) menentukan batas intervensi, yaitu kurs terendah dan kurs tertinggi. Jika bank sentral memprediksi kurs akan melampaui batas kurs tertinggi atau batas kurs terendah, maka bank sentral akan melakukan intervesi di pasar valuta asing dengan membeli atau menjual valuta asing.

Sistem kurs mengambang bebas maksudnya adalah kurs yang terjadi di pasar valuta asing ditentukan oleh permintaan dan penawaran valuta asing. Pada saat penawaran mata uang asing lebih tinggi relatif dibandingkan dengan permintaan mata uang asing, maka harga mata uang asing rendah.

Sebaliknya pada saat penawaran mata uang asing lebih rendah relatif dibandingkan dengan permintaan mata uang asing, maka harga mata uang asing tinggi. Jika terjadi kenaikan penawaran mata uang asing, sementara permintaan terhadap mata uang asing tidak berubah, maka harga mata uang asing akan turun. Sebaliknya, jika terjadi penurunan penawaran mata uang asing, sementara permintaan terhadap mata uang asing tidak berubah, maka harga mata uang asing akan naik. Penurunan harga mata uang asing berarti penguatan nilai mata uang domestik (mata uang domestik mengalami apresiasi).

Sedangkan kenaikan harga mata uang asing berarti pelemahan nilai mata uang domestik (mata uang domestik mengalami depresiasi).

Pengaruh tingkat bunga terhadap kurs valuta asing dapat dijelaskan menggunakan teori International Fisher Effect. Teori ini menggabungkan antara teori Purchasing Power Parity dan Fisher Effectyang dikemukakan oleh seorang ekonom bernama Irving Fisher. Untuk menjelaskan hubungan antara kurs valuta asing (misalnya rupiah) dengan tingkat bunga (misalnya tingkat bunga di Amerika) adalah sebagai berikut:

IDR/US$1menunjukkan kurs rupiah terhadap dolar Amerika setelah perubahan tingkat bunga, IDR/US$0 menunjukkan kurs rupiah terhadap dolar Amerika sebelum perubahan, rIDR adalah tingkat bunga di Indonesia, dan rUS$

adalah tingkat bunga di Amerika. Tingkat bunga digunakan sebagai ukuran nilai mata uang domestik. Tingkat bunga tinggi yang terjadi di suatu negara menunjukkan nilai mata uang domestik negara tersebut rendah.

Kenaikan tingkat bunga yang terjadi pada suatu negara akan menurunkan nilai mata uang negara tersebut. Jika tingkat bunga di Indonesia lebih tinggi daripada tingkat bunga di Amerika, maka rupiah akan mengalami pelemahan (rupiah terdepresiasi). Sebaliknya, jika tingkat bunga di Indonesia lebih rendah daripada tingkat bunga di Amerika, maka rupiah akan mengalami penguatan (rupiah mengalami apresiasi).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memperoleh hasil empiris tentang hubungan antara tingkat bunga dengan kurs valuta asing. Hnatkovska et. al. (2008) meneliti hubungan antara tingkat bunga dengan kurs valuta asing menggunakan sampel pada 6 negara sedang berkembang (Brasil, Korea, Meksiko, Thailand, Peru, Filipina) dan 4 negara maju (Kanada, Jerman, Italia, dan Amerika Serikat) sebagai kontrol grup. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan antara tingkat bunga dengan kurs valuta asing. Wilson dan Sheefeni (2014) melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat bunga dengan kurs valuta asing di Namibia menggunakan data kuartalan dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2012. Namun penelitian tersebut tidak berhasil memperoleh bukti empiris adanya hubungan antara tingkat bunga dan kurs valuta asing pada perekonomian Namibia. Chowdhury et. al.

(2014) melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat bunga dengan kurs valuta asing di Bangladesh. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tingkat bunga dengan kurs valuta asing. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat bunga domestik berpengaruh positif terhadap kurs valuta asing. Penelitian ini 119

(6)

merumuskan pengaruh tingkat bunga terhadap kurs valuta asing adalah sebagai berikut:

H2: Terdapat hubungan pengaruh antara tingkat bunga dan kurs valuta asing di Indonesia

Hubungan antara Laju Inflasi dengan Kurs Valuta Asing

Inflasi adalah peristiwa ekonomi di mana harga-harga barang dan jasa di dalam negeri cenderung naik. Kenaikan harga-harga barang dan jasa di dalam negeri dapat dipicu oleh dua macam, yaitu karena kenaikan biaya (cost push inflation) atau kenaikan permintaan (demand-pull inflation). Pengaruh laju inflasi terhadap kurs valuta asing dapat dijelaskan dengan teori purchasing power parity. Teori ini menyatakan bahwa harga suatu barang atau jasa di negara mana saja akan sama (dalil satu harga). Misalnya harga kemeja di Indonesia Rp100.000. Dengan kurs satu dolar Amerika adalah Rp10.000, maka harga kemeja tersebut di Singapura adalah US$10. Jika harga kemeja di Indonesia naik menjadi Rp150.000, maka kurs rupiah terhadap dolar Amerika akan menyesuaikan perubahan harga kemeja di Indonesia tersebut. Kenaikan harga-harga barang dan jasa di Indonesia akan mempengaruhi kurs valua asing Indonesia.

Arah pengaruh laju inflasi terhadap kurs rupiah terhadap dolar Amerika dapat dijelaskan dengan formulasi sebagai berikut:

e adalah kurs nominal,  adalah kurs riil, P*

adalah harga di luar negeri, dan P adalah harga domestik. Kurs nominan tergantung dari kurs riil, harga luar negeri, dan harga dalam negeri.

Jka persamaan tersebut diubah ke dalam bentuk logaritma, maka diperoleh persamaan sebagai berikut:Ln(e) = Ln() + Ln(P*) – Ln(P), di mana Ln(e) adalah persentase perubahan kurs nominal, Ln() adalah persentase perubahan kurs riil, Ln(P*) adalah persentase perubahan harga di luar negeri (laju inflasi di luar negeri), dan Ln(P) adalah persentase perubahan harga domestik (laju inflasi domestik). Jika laju inflasi di luar negeri diberi simbol * dan laju inflasi domestik diberi simbol , maka persamaan

menjadi:% perubahan kurs nominal = % perubahan kurs riil + (* - ). Persamaan tersebut menyatakan bahwa persentase perubahan kurs nominal sama dengan persentase perubahan kurs riil ditambah selisih antara laju inflasi di luar negeri dengan laju inflasi domestik. Artinya, jika laju inflasi domestik lebih tinggi daripada laju inflasi di luar negeri, maka nilai mata uang domestik akan naik (mengalami apresiasi atau kurs valuta asing akan turun). Sebaliknya, jika laju inflasi domestik lebih kecil daripada laju inflasi di luar negeri, nilai mata uang domestik akan turun (mengalami depresiasi atau kurs valuta asing akan naik). Dengan kata lain, mata uang negara yang memiliki laju inflasi lebih tinggi akan mengalami apresiasi (kurs turun), sedangkan mata uang negara yang memiliki laju inflasi lebih rendah akan mengalami depresiasi (kurs naik). Misalnya laju inflasi di Indonesia lebih tinggi daripada laju inflasi di Amerika, maka rupiah akan mengalami apresiasi (kurs rupiah terhadap dolar Amerika turun). Sebaliknya, jika laju inflasi di Indonesia lebih rendah daripada laju inflasi di Amerika, maka rupiah akan mengalami depresiasi (kurs rupiah terhadap dolar Amerika naik). Penelitian yang bertujuan untuk memperoleh bukti empiris tentang hubungan antara laju inflasi dan kurs valuta asing telah banyak dilakukan. Shintani et. al.

(2009) meneliti hubungan antara laju inflasi dengan kurs valuta asing pada perekonomian Amerika Serikat menggunakan model nonlinear runtut waktu. Hasil penelitian menunjukkan rendahnya kurs dolar pada era 1980an sampai dengan 1990an berhubungan dengan rendahnya laju inflasi. Sek et. al.

(2012) meneliti hubungan antara laju inflasi dengan kurs valuta asing menggunakan sampel 3 negara Asia (Korea, Filipina, dan Thailand) dan 3 negara Eropa (Norwegia, Swedia, dan Inggris). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara laju inflasi dan kurs valuta asing. Madesha et. al. (2013) meneliti hubungan kausal antara laju inflasi dengan kurs valuta asing di Zimbabwe menggunakan data 1980-2007. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan kausal dua arah antara laju inflasi dengan kurs valuta asing di Zimbabwe. Wilson dan Sheefeni (2014) melakukan penelitian tentang 120

(7)

hubungan antara laju inflasi dengan kurs valuta asing di Namibia menggunakan data kuartalan dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2012. Penelitian tersebut berhasil memperoleh bukti empiris adanya hubungan antara laju inflasi dan kurs valuta asing pada perekonomian Namibia. Ebiringa dan Anyaogu (2014) melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing pada perekonomian Nigeria periode 1971-2010 menggunakan model autoregressive distributed lag (ARDL).

Penelitian tersebut memperoleh bukti empiris adanya hubungan positif antara laju inflasi dan kurs valuta asing, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini merumuskan hipotesis pengaruh laju inflasi terhadap kurs valuta asing adalah sebagai berikut:

H3: Terdapat hubungan pengaruh antara laju inflasi dan kurs valuta asing di Indonesia

METODA PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan data tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs rupiah terhadap dolar Amerika pada periode Januari 2011 sampai dengan April 2015 yang diperoleh dari portal Bank Indonesia. Tingkat bunga yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat bunga deposito 12 bulan. Data laju inflasi menggunakan Indeks Harga Konsumen Indonesia. Indeks Harga Konsumen Indonesia dihitung menggunakan rumus Laspeyres yang dimodifikasi. Rata-rata harga komoditas dihitung menggunakan rata-rata aritmatik, namun untuk beberapa komoditas seperti beras, minyak goreng, bensin mengggunakan rata-rata geometri. Mulai Januari 2014, Indeks Harga Konsumen Indonesia dihitung menggunakantahun 2012 sebagai tahun dasar.

Dengan demikian Indeks Harga Konsumen Indonesia pada tahun 2012 sama dengan 100.

Perkembangan harga-harga barang dan jasa yang banyak dikonsumsi masyarakat dihitung di 82 kota besar di Indonesia, terdiri dari 33 ibu kota provinsi dan 49 kota-kota besar di seluruh Indonesia. Barang dan jasa yang digunakan untuk menghitung Indeks Harga Konsumen Indonesia dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok pengeluaran, yaitu kelompok

bahan makanan; makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau; perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar; sandang; kesehatan;

pendidikan, rekreasi dan olah raga; serta transportasi, komunikasi dan jasa keuangan.

Setiap kelompok terdiri dari beberapa sub kelompok, dan dalam setiap sub kelompok terdapat beberapa komoditas. Kurs valuta asing pada penelitian ini menggunakan kurs tengah rupiah terhadap dolar Amerika yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Data penelitian dianalisis melalui beberapa tahap. Tahap pertama dilakukan uji terhadap stasioneritas data penelitian. Jika semua data dalam penelitian menunjukkan stasioner pada tingkat Level, langkah berikutnya membuat persamaan hubungan antara tingkat bunga,laju inflasi, dan kurs valuta asing menggunakan persamaan Ordinary Least Square (OLS). Namun jika tidak semua data stasioner pada tingkat Level, proses berikutnya adalah menguji stasioneritas data penelitian pada tingkat first difference.

Jika semua data penelitian menunjukkan stasioner pada tingkat first difference, maka analisis data dilanjutkan dengan uji kointegrasi untuk mengetahui adanya kemungkinan terjadi keseimbangan jangka panjang. Jika data penelitian tidak berkointegrasi, model yang digunakan dalam penelitian untuk menunjukkan model keseimbangan hubungan antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing di Indonesia adalah model Vector Autoregressive (model VAR). Sedangkan jika data penelitian berkointegrasi, model yang digunakan dalam penelitian untuk menunjukkan model keseimbangan hubungan antara tingkat bunga, laju inflsi, dan kurs valuta asing di Indonesia adalah model Vector Error Correction (model VEC).

Model Vector Error Correction (model VEC) merupakan pengembangan model dari model Vector Autoregressive (model VAR).

Model VAR dikembangkan oleh Sims pada 1980 dengan asumsi semua variabel dalam model simultan merupakan variabel endogen (Enders, 2004). Dalam model VAR, variabel dependen dalam model juga akan muncul sebagai variabel independen dalam persamaan yang sama. Bentuk umum persamaan multivariat dalam model VAR adalah sebagai berikut:

Yt = A0 + A1Yt-1 + A2Yt-2 + … + ApYt-p + t

(8)

Yt adalah vektor (nx1) yang berisi n setiap variabel dalam model VAR, A0 dalah vektor (nx1) intersep, Ai dalah matrik koefisien variabel (nxn), dan t adalah vektor (nx1) error terms. Model VAR digunakan untuk menggambarkan hubungan keseimbangan jangka panjang antarvariabel yang tidak semua stasioner pada tingkat Level dan semua stasioner pada tingkat first difference dan tidak

berkointegrasi. Jika semua variabel penelitian mengalai stasioner pada tingkat first difference dan berkointegrasi, maka model yang digunakan adalah model vector error correction. Bentuk umum model vector error correction antara variabel X, Y, dan Z adalah sebagai berikut:

0 adalah konstanta dan t-1 adalah error correction term.

HASIL PENELITIAN

Penggunaan data runtut waktu pada model regresi harus dihilangkan pengaruh waktu perhadap variabel yang diamati. Oleh karena itu, model regresi estimasi yang dibangun harus pada waktu di mana data tersebut stasioner pada tingkat yang sama.

Seperti yang telah dibahas pada begian sebelumnya, uji stasioneritas data penelitian digunakan Augmented Dickey-Fuller (ADF)

Test. Tabel berikut ini berisi data statistik Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test data penelitian.

Hipotesis nol pada pengujian ini menyatakan bahwa data variabel penelitian (tingkat bunga, laju inflasi, kurs valuta asing) memiliki akar-akar unit pada tingkat level.

Artinya, data tingkat bunga, laju inflasi, kurs valuta asing tidak stasioner pada tingkat level.

Tabel 1

Uji Stasioner Data Bunga, Inflasi, dan Kurs pada Level

Variabel t-Statistik Prob.(MacKinnon) t-Kritis

(5%) Keterangan Tingkat Bunga

-1.533659 0.5082 -2.923780 Tidak

Stasioner Laju Inflasi

-1.603885 0.4733 -2.919952 Tidak

Stasioner Kurs Rupiah

-0.026048 0.9514 -2.921175 Tidak

Stasioner Sumber: Data diolah.

Sementara itu, hipotesis alternatif menyatakan bahwa data tingkat bunga, laju inflasi, kurs valuta asing tidak memiliki akar- akar unit pada tingkat level. Artinya, data tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing stasioner pada tingkat level. Nilai statistik t absolut uji Augmented Dickey-Fuller untuk semua data penelitian lebih kecil

daripada nilai kritis t absolut pada tingkat signifikansi 5%. Hasil pengujian ini menerima hipotesis nol menyatakan bahwa data tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing memiliki akar-akar unit. Atau, data tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing tidak stasioner pada tingkat level. Uji Augmented Dickey-Fuller dilakukan kembali sampai

(9)

diketahui tingkat data penelitian tersebut stasioner. Tabel 2 berikut ini berisi data statistik Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test

data tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing pada tingkat first difference.

Tabel 2

Uji Stasioner Data Bunga, Inflasi, dan Kurs pada First Difference

Variabel t-Statistik Prob.(MacKinnon) t-Kritis (5%) Keterangan

Tingkat Bunga -3.318632 0.0192 -2.921175 Stasioner

Laju Inflasi -6.989318 0.0000 -2.921175 Stasioner

Kurs Rupiah -4.813979 0.0002 -2.921175 Stasioner

Sumber: Data diolah.

Hipotesis nol pada pengujian ini menyatakan bahwa data variabel penelitian (tingkat bunga, laju inflasi, kurs valuta asing) memiliki akar-akar unit pada tingkat first difference. Artinya, data tingkat bunga, laju inflasi, kurs valuta asing tidak stasioner pada tingkat level. Sedangkan hipotesis alternatif manyatakan bahwa data tingkat bunga, laju inflasi, kurs valuta asing tidak memiliki akar- akar unit pada tingkat first difference. Artinya, data tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing stasioner pada tingkat first difference.

Nilai statistik t absolut uji Augmented Dickey- Fuller untuk semua data penelitian lebih besar daripada nilai kritis t absolut pada tingkat signifikansi 5%. Hasil pengujian ini menolak hipotesis nol menyatakan bahwa data tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing memiliki akar-akar unit. Atau, data tingkat

bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing stasioner pada tingkat first difference.

Analisis selanjutnya dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian memiliki hubungan jangka panjang. Johansen Cointegration Test bertujuan untuk mengetahui apakah variabel yang diamati (tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing) berkointegrasi? Variabel yang berkointegrasi memiliki hubungan jangka panjang. Tabel 3 berikut ini adalah nilai statistik untuk uji kointegrasi antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing.

Hipotesis nol (H0) pada Johansen Cointegration Test menyatakan bahwa tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing tidak berkointegrasi. Sedangkan hipotesis alternatif (HA) pada Johansen Cointegration Test menyatakan bahwa tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing berkointegrasi.

Tabel 3

Johansen Cointegration Test antara Tingkat Bunga, Laju Inflasi, dan Kurs Valuta Asing

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized

No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic

0.05

Critical Value Prob.**

None * 0.337114 32.53998 29.79707 0.0236 At most 1 0.211563 11.98239 15.49471 0.1578 At most 2 0.001942 0.097217 3.841466 0.7552 Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Sumber: Hasil proses data dengan Eviews

(10)

Hasil perhitungan menunjukkan nilai statistik Trace test = 32,53998 dengan nilai probabilitas 0,0236. Nilai statistik Trace test = 32,53998 lebih besar daripada nilai kritis pada tingkat signifikansi, yaitu 5% = 29,79707.

Nilai probabilitas Trace test = 0,0236 lebih kecil daripada tingkat sigifikansi yang digunakan adalah 5%. Pengujian hubungan kointegrasi Johansen antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing menolak hipotesis nol yang menyatakan bahwa data tidak berkointergasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing mempunyai hubungan jangka panjang.

Hasil uji kointegrasi menggunakan Johansen Cointegration Test menyimpulkan bahwa terdapat kointegrasi antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing.

Model estimasi yang akan digunakan untuk menguji hubungan antara bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing dalam penelitian ini menggunakan model Vector Error Correction (VEC). Sebelum menentukan model estimasi VEC perlu dilakukan analisis terhadap kelambanan (lag) optimal model VEC.

Informasi tentang kelambanan optimum model VEC diperlukan untuk membuat model estimasi VEC yang baik untuk menganalisis hubungan kausal antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing. Tabel 4 berikut ini hasil pengolahan data untuk memperoleh nilai AIC (Akaike Information Criterion), SC (Schwarz Information Criterion), HQ (Hannan-Quinn information criterion), dan LR (Likelihood Ratio).

Tabel 4.

Niilai AIC, SC HQ dan LR

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -441.6366 NA 22312.67 18.52652 18.64347 18.57072 1 -418.3998 42.60070 12343.15 17.93333 18.40113 18.11011 2 -399.5365 32.22488* 8225.588* 17.52235* 18.34100* 17.83172*

3 -394.4052 8.124567 9783.845 17.68355 18.85305 18.12550 Hasil pengolahan data menunjukkan

kelambanan optimal adalah 2, karena semua tanda bintang berada pada kelambanan 2.

Dengan demikian model VEC yang digunakan untuk menganalisis hubungan kausal antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs rupiah terhadap dolar Amerika dalam penelitian ini adalah model VEC dengan kelambanan 2.

Hasil pengujian kointegrasi antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing menyimpulkan bahwa antara tingkat

bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing berkontegrasi. Untuk menggambarkan hubungan antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing mengunakan model Vector Error Correction (model VEC). Tabel 5 berikut ini hasil pengolahan data untuk mengestimasi model VEC. Model keseimbangan hubungan antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing adalah sebagai berikut:

Tabel 5

Hasil Estimasi Model VEC antara Tingkat Bunga, Laju Inflasi, dan Kurs Valuta Asing

Cointegrating Eq: CointEq1

BUNGA(-1) 1.000000

INFLASI(-1) 0.127153 (0.01320) [ 9.63643]

(11)

Tabel 5 (Lanjutan)

Cointegrating Eq: CointEq1

KURS(-1) -5.15E-05

(0.00012) [-0.42069]

C -22.83814

Error Correction: D(BUNGA) D(INFLASI) D(KURS)

CointEq1 -0.030758 -5.058267 77.17436

(0.03010) (1.33181) (42.8458) [-1.02188] [-3.79804] [ 1.80121]

D(BUNGA(-1)) 0.527729 9.364260 640.2736

(0.13883) (6.14284) (197.622) [ 3.80130]* [ 1.52442] [ 3.23989]*

D(BUNGA(-2)) 0.187301 -23.48770 -148.3113

(0.14577) (6.45019) (207.510) [ 1.28487] [-3.64140]* [-0.71472]

D(INFLASI(-1)) 0.001334 0.334533 6.402664

(0.00378) (0.16720) (5.37891) [ 0.35303] [ 2.00084]* [ 1.19033]

D(INFLASI(-2)) 0.000725 0.284697 16.93183

(0.00325) (0.14387) (4.62840) [ 0.22290] [ 1.97888] [ 3.65825]*

D(KURS(-1)) -0.000142 0.004106 -0.003959

(0.00010) (0.00451) (0.14520) [-1.39382] [ 0.90984] [-0.02726]

D(KURS(-2)) 0.000269 0.006126 0.024878

(9.4E-05) (0.00416) (0.13399) [ 2.85634]* [ 1.47088] [ 0.18567]

C 0.002645 -0.377523 70.80012

(0.01746) (0.77272) (24.8593) [ 0.15144] [-0.48856] [ 2.84803]

[ ] nilai statistik t

Sumber: Diolah dari Hasil proses data dengan EViews

PEMBAHASAN

Hasil uji stasioneritas antara data tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing tidak stasioner pada tingkat level dan semua data stasioner pada tingkat first difference. Hasil uji ini menunjukkan bahwa data tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing dalam periode peneltian berkointegrasi. Untuk menggambarkan hubungan antar variabel yang berkointegrasi menggunakan model Vector Error Correction. Hasil penentuan kelambanan optimum menggunakan memperoleh nilai AIC (Akaike Information Criterion), SC (Schwarz Information

Criterion), HQ (Hannan-Quinn information criterion), dan LR (Likelihood Ratio) diketahui bahwa model VEC yang memiliki kelambanan optimal pada kelambanan 2. Dengan demikian modal keseimbangan hubungan antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing adalah model Vector Error Correction dengan kelamban 2.

Model VEC dengan kelambanan 2 menunjukkan hubungan pengaruh antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing. Berdasarkan model tersebut, variabel yang signifikan berpengaruh terhadap perubahan tingkat bunga pada bulan tertentu adalah tingkat bunga pada satu bulan yang lalu

(12)

dan kurs valuta asing pada dua bulan yang lalu. Hasil penelitian ini tidak dapat membuktikan hipotesis tentang pengaruh laju inflasi terhadap tingkat bunga (Hipotesis 1).

Namun hasil penelitian ini dapat membuktikan hipotesis tentang pengaruh kurs valuta asing terhadap tingkat bunga (Hipotesis 3).

Perubahan laju inflasi pada bulan tertentu dipengaruhi oleh perubahan tingkat bunga pada dua bulan sebelumnya dan laju inflasi pada satu bulan sebelumnya. Hasil penelitian ini dapat membuktikan hipotesis tentang pengaruh tingkat bunga terhadap laju inflasi (Hipotesis 1).

Perubahan kurs valuta asing pada bulan tertentu dipengaruhi oleh perubahan tingkat bunga pada satu bulan yang lalu dan perubahan laju inflasi pada dua bulan yang lalu. Hasil penelitian ini dapat membuktikan hipotesis tentang pengaruh tingkat bunga terhadap kurs valuta asing (Hipotesis 2) dan pengaruh laju inflasi terhadap kurs valuta asing(Hipotesis 3).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk membangun model keseimbangan antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing. Hasil uji stasioneritas data penelitian menunjukkan bahwa data semua variabel penelitian tidak stasioner pada tingkat level dan stasioner pada tingkat first difference. Hasil uji kointegrasi menunjukkan bahwa antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing pada periode penelitian berkointegrasi. Dengan demikian model estimasi yang digunakan untuk menggambarkan hubungan pengaruh antara tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing adalah model Vector Error Correction.

Dalam model estimasi Vector Error Correction yang dihasilkan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tingkat bunga berpengaruh terhadap laju inflasi dan kurs valuta asing dan kurs valuta asing.

2. Laju inflasi berpengaruh terhadap kurs valuta asing dan tidak berpengaruh terhadap tingkat bunga.

3. Kurs valuta asing tidak berpengaruh terhadap tingkat bunga laju inflasi.

Pengaruh kurs valuta asing terhadap tingkat bunga terjadi pada kelambanan waktu (lag) dua bulan, sedangkan pengaruh tingkat bunga terhadap kurs valuta asing terjadi pada kelambanan waktu (lag) satu bulan.

Saran

Tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing merupakan variabel ekonomi makro yang penting bagi perekonomian Indonesia. Tingkat bunga akan menentukan investasi dalam perekonomian yang juga akan berdampak pada penciptaan lapangan kerja.

Laju inflasi akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Laju inflasi yang tinggi akan menurunkan daya beli masyarakat dan pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kurs valuta asing juga sangat penting bagi perekonomian Indonesia, karena kurs valuta asing akan menentukan ekspor dan impor Indonesia.

Berdasarkan model keseimbagan yang diperoleh dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat bunga memiliki peran yang menentukan laju inflasi dan kurs valuta asing. Tingkat bunga dapat mempengaruhi laju inflasi dan kurs valuta asing. Tingkat bunga juga merupakan variabel yang relatif lebih dapat dikontrol oleh pemerintah (Bank Indonesia) dibandingkan dengan laju inflasi dan kurs valuta asing.

Dengan demikian penelitian ini memberi saran kepada pemerintah, dalam hal ini adalah Bank Indonesia untuk menggunakan kebijakan moneter (kebijakan tingkat bunga) secara lebih berhati-hati. Kebijakan tingkat bunga sebaiknya yang dipilih adalah kebijakan tingkat bunga yang mampu mengendalikan laju inflasi (price stability) dan yang mampu mengendalikan kurs valuta asing (financial stability) agar kegiatan pembagunan di Indonesia dapat terjadi secara berkelanjutan (sustainable).

(13)

DAFTAR REFERENSI

Algifari. 2015. Analisis Regresi. Edisi 3. BPFE UGM, Yogyakarta.

Bank Indonesia, bi.go.id. Juli 2015.

Booth, G. G. dan Citen Ciner. 2001. The Relationship between Nominal Interest Rates and Inflation: International Evidence. Journal of Multinational Financial Management. 11: 269-280.

Chowdhury, M.N.M., Uddin, M.J. and Islam, M.S., 2014. “An econometric analysis of the determinants of foreignexchange reserves in Bangladesh”.

Journal of World Economic Research, 3(6): 72-82.

Chow, D, and K. West. 2003. “Managing Currency Crises in Emerging Market.

Interest Rates and Exchange Rates in the Korean, Philippines, dan Thai Exchange Rate Crises”. University of Chicago Press.

Ebiringa, O. T. and Anyaogu, N. B., 2014.

“Exchange Rate, Inflation, and Interest Rates Relationships: An Autoregressive Distributed Lag Analysis”. Journal of Economics and Development Studies, 2 (2): 263-279.

Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series.Wiley, New York.

Fatmawati dan Algifari. 2014. “Efek Fisher di Indonesia: Pendekatan Cointegration dan Error Correction Model”. Jurnal Riset Manajemen dan Bisnis, 9 (1): 51- 70.

Gujarati, D. and Porter c. Dawn.2009. Basic Econometrics.Fifth Edition.Mc.Grow- Hill, New York.

Hnatkovska, V., Lahiri, A., and Vegh., C.A., 2013. “Interest Rates and Exchange Rate:

A Non-monotonic Tale”. European Economic Review, 63: 68–93.

Jaradat, M.A. and AI-Hhosban, S.A., 2014.

“Relationship and Causality between

Interest Rate and Inflation Rate Case of Jordan”. Interdiciplinary Journal of Contemporary Reserach in Business. 6 (4): 54-65.

Madesha, W. Clainos Chidoko, C. and Zivanomoyo, J. 2013. “Empirical Test of the Relationship Between Exchange Rate and Inflation in Zimbabwe”. Journal of Economics and Sustainable Development, 4 (1):52-59.

Mankiw, N. Gregory. 2007. Macroeconomics.

Sixth Edition.Worth Publishers. New York.

Million, N. 2003. Shifting Regimes in the Relationship between Interest Rates and Inflation: A Threshold Cointegration Approach. Proceeding of the Second International Conference of Economic

Policy Modeling.

www.econpaper.repec.org didownload Juni 2015.

Sek, K.S., Ooi, P.C., and Ismael, M.T., 2012.

Investigating the Relationship between Exchange Rateand Inflation Targeting”.

Applied Mathematical Sciences, 6 (32):

1571-1583.

Shintani, M. et. al. 2009. “Exchange Rate Pas- Throughtand Inflation: A Nonlinear Time Series Analysis”. Journal of International Money and Finance, 1-33.

Sinai, L. Jansen. 2014. “Pendekatan Vector Error Correction Model untuk Analisis Hubungan Antara Inflasi, BI Rate, dan Kurs Dolar Amerika Serikat”. Jurnal Barekeng, 2(8): 9-18.

Dilek Teker, D., Alp. E.A. , and Kent, O.

2012. “Long-run Relationship between Interest Rates and Inflation: Evidence from Turkey”. Journal of Applied Finance and Banking, 2 (6): 41-54.

Wilson, L. and Johannes P. Sheefeni. 2014.

“The Relationship between Interest Rate and Exchange Rate ini Namibia”. Journal of Emerging Issues in Economics, Finance, dan Banking, 3 (1): 947-961.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas sehingga dapat diajukan hipotesis sebagai berikut: H1: Kepemilikan institusional berpengaruh terhadap penghindaran pajak Pengaruh komisaris independen

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menarik hipotesis sebagai berikut: H1: E-Service Berpengaruh dignifikan terhadap Loyalitas pelanggan 2.2.2 Pengaruh Brand Awareness terhadap