• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi dan Struktur tentang Tanin

N/A
N/A
Arsyela A Fikriyyah

Academic year: 2023

Membagikan "Definisi dan Struktur tentang Tanin"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanin

Definisi dan Struktur

Tanin merupakan senyawa polifenol yang memiliki bobot molekul tinggi antara 500 sampai 20 000 Dalton dan memiliki kemampuan membentuk kompleks dengan protein dan polisakarida. Tanin secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis (Hagerman 2002).

Tanin Terkondensasi. Tanin terkondensasi merupakan senyawa polimer dari flavan-3-ol(-)-epikatekin dan (+)-katekin (Hagerman 2002). Karena tanin ini dapat terhidrolisis dalam larutan asam kuat membentuk antosianidin, maka tanin terkondensasi dikenal juga dengan istilah proantosianidin (Taiz & Zeiger 2002).

Tanin terkondensasi terdapat dalam jumlah yang paling banyak pada tanaman, tidak mudah dihidrolisis, dan memiliki struktur yang kompleks (Cheeke & Shull 1985). Struktur dasar senyawa ini ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur dasar tanin terkondensasi (Taiz & Zeiger 2002).

(2)

Tanin Terhidrolisis. Tanin terhidrolisis merupakan ester kompleks asam galat (asam 3,4,5-trihidroksil benzoat) dengan glukosa. Mereka memiliki bobot molekul yang lebih rendah dibandingkan tanin terkondensasi dan dapat dengan mudah dihidrolisis dalam asam encer (Taiz & Zeiger 2002). Tanin terhidrolisis dibagi menjadi dua kelompok yaitu gallotanin dan ellagitanin (Hagerman 2002).

Gallotanin adalah tanin terhidrolisis sederhana yang terbentuk melalui ikatan ester antara glukosa dengan asam galat. Bentuk dasar dari senyawa ini disebut pentagalloyl glukosa (ß-1,2,3,6-pentagalloyl-O-D-glukopiranosa), memiliki lima ikatan ester yang terdiri dari gugus hidroksil alifatik pada inti glukosa (Hagerman 2002). Struktur dasar pentagalloyl glukosa dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Pentagalloyl glukosa (Hagerman 2002).

Berbeda dengan gallotanin, ellagitanin dibentuk melalui ikatan ester antara asam heksahidroksidifenat (HHDP) dengan glukosa. HHDP sendiri dibentuk melalui penggabungan oksidatif dua molekul asam galat, dimana senyawa ini dapat membentuk asam ellagat secara spontan. Reaksi pembentukan asam ellagat dari asam heksahidroksidifenat diperlihatkan pada Gambar 3.

(3)

Asam heksahidroksidifenat (HHDP) asam elagat

Gambar 3 Pembentukan asam ellagat dari HHDP (Hagerman 2002).

Ellagatanin dapat mengalami reaksi penggabungan oksidatif intermolekular dengan tanin terhidrolisis yang lain membentuk dimer. Contoh bentuk dimer tersebut adalah euforbin A yang strukturnya ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Struktur euforbin A (Hagerman 2002).

Keterangan : G = asam galat G-G = HHDP

Fungsi Tanin

Keberadaan tanin dalam tanaman berfungsi untuk pertahanan diri tanaman dari serangan bakteri, fungi, virus, insekta herbivora dan vertebrata herbivora.

Selain itu, senyawa ini juga penting untuk mencegah degradasi nutrien yang berlebihan di dalam tanah. Dengan demikian simpanan nutrien di dalam tanah untuk periode vegetasi berikutnya dari tumbuhan dapat terpenuhi (Leinmüller et al. 1991).

(4)

Tanin juga memiliki beberapa fungsi fisiologi, antara lain bertindak sebagai regulator pada pertumbuhan tanaman dan melindungi tanaman dari stres yang ditimbulkan oleh sinar matahari (Leinmüller et al. 1991).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanin dapat berperan penting dalam bidang kesehatan. Senyawa fenolik ini memiliki aktivitas sebagai antibiotik dengan cara membentuk kompleks dengan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh patogen atau dengan mengganggu proses metabolisme patogen tersebut.

Selain itu, ellagitanin dapat mencegah absorpsi virus HIV ke dalam sel dan menghambat aktivitas transkriptase kebalikan yang terdapat di dalam virus (Seigler 1998). Lebih lanjut, penelitian yang dilaporkan oleh Cordovés et al.

(2001) menunjukkan bahwa tanin terkondensasi memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan dapat melindungi kulit dari kerusakan yang ditimbulkan oleh irradiasi ultraviolet.

Interaksi Tanin dengan Makromolekul

Tanin memiliki kemampuan membentuk senyawa kompleks dengan beberapa molekul seperti karbohidrat, protein dan enzim. Kemampuan tanin untuk membentuk kompleks dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (1) karakteristik protein seperti asam amino, struktur, titik isoelektrik dan berat molekul (2) karakteristik tanin, seperti bobot molekul, struktur dan heterogenitas tanin, dan (3) kondisi pereaksi, seperti suhu, waktu dan komposisi pelarut (Leinmüller et al.

1991).

Interaksi tanin dengan protein terjadi melalui empat ikatan yaitu ikatan hidrogen, ion, kovalen dan interaksi hidrofobik. Ikatan ion dan kovalen memiliki peran yang kecil di dalam interaksi tanin-protein. Ikatan hidrogen dibentuk melalui interaksi antara gugus hidroksi fenolik pada tanin dengan gugus amino bebas protein, gugus asam karboksilat atau dengan atom nitrogen pada ikatan peptida. Sedangkan interaksi hidrofobik terjadi antara cincin aromatik polifenol dengan bagian hidrofobik dari protein (Leinmüller et al. 1991). Ikatan kovalen antara tanin dengan protein dapat terjadi setelah tanin mengalami reaksi oksidasi oleh enzim oksidatif seperti polifenol oksidase (Taiz & Zeiger 2002). Proses pembentukan ikatan kovalen tanin-protein ditunjukkan pada Gambar 5.

(5)

OH

Polifenol Oksidase

NH2 Protein

NH Protein

OH O

Gambar 5 Proses pembentukan ikatan kovalen antara tanin dan protein (Taiz & Zeiger 2002).

Terikatnya tanin pada struktur protein enzim dapat mempengaruhi aktivitas enzim sebagai katalis. Aktivitas enzim dapat mengalami peningkatan atau penurunan jika berinteraksi dengan tanin. Penghambatan aktivitas enzim oleh senyawa fenolik ini dapat disebabkan oleh terikatnya tanin pada substrat sehingga substrat tidak dapat berinteraksi dengan sisi aktif enzim, atau disebabkan oleh interaksi tanin dengan enzim (Leinmüller et al. 1991). Penelitian yang dilakukan oleh Oh dan Hoff (1986) melaporkan bahwa tanin terkondensasi dapat menurunkan aktivitas enzim pepsin dan kimotripsin. Sebaliknya penambahan senyawa fenolik tersebut dapat meningkatkan aktivitas enzim tripsin.

Selain dapat membentuk kompleks dengan protein, tanin juga memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan karbohidrat khususnya selulosa, pati dan pektin. Interaksi tanin-karbohidrat seperti halnya ikatan antara tanin dengan protein, dipengaruhi oleh karakteristik karbohidrat, karakteristik tanin dan kondisi reaksi (Leinmüller et al. 1991).

(6)

Aspergillus niger

Aspergillus niger merupakan kapang yang termasuk genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Moniales dan subdivisi Deuteromycotyna (Frazier &

Westhoff 1981). Jamur ini berperan penting dalam bidang industri dan sering digunakan untuk produksi asam-asam organik dan protein (Vondervoort 2004).

Dalam pertumbuhannya, A. niger berhubungan langsung dengan zat- zat makanan yang terdapat dalam medium. Hifanya berseptat dan sporanya besar.

Hifa vegetatif berada di bawah permukaan dan digunakan untuk menyerap unsur hara sedangkan yang muncul di atas permukaan umumnya merupakan hifa fertil yang digunakan sebagai alat reproduksi. Bagian-bagian yang menjadi ciri kapang ini adalah sel kaki (footcell), konidiofora, vesikel, sterigma tambahan dan spora yang tumbuh memanjang di atas sterigma yang disebut konidia. Spora A. niger berbentuk globular, konidianya kasar, dapat berwarna hitam, coklat kehitaman, atau ungu kecoklatan (Frazier & Westhoff 1981).

Pertumbuhan Kapang

Pertumbuhan mikroorganisme dibagi menjadi 7 fase yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase logaritmik, fase pertumbuhan lambat, fase statis, fase menuju kematian dan fase kematian (Fardiaz 1989b). Kurva pertumbuhan mikroorganisme tersebut disajikan pada Gambar 6.

(7)

Gambar 6 Kurva pertumbuhan mikroorganisme.

Keterangan:

1 fase adaptasi

2 fase pertumbuhan awal 3 fase logaritmik

4 fase pertumbuhan lambat 5 fase statis

6 fase menuju kematian

7 fase kematian

Fase adaptasi adalah tahap dimana mikroorganisme menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Lamanya fase ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya medium dan lingkungan pertumbuhan serta jumlah inokulum. Jika medium dan lingkungan pertumbuhan sama seperti medium dan lingkungan sebelumnya, tidak diperlukan waktu adaptasi. Tetapi jika nutrien yang tersedia dan kondisi lingkungan yang baru berbeda dengan sebelumnya, maka diperlukan waktu penyesuaian untuk mensintesa enzim-enzim. Jumlah inokulum dapat juga mempengaruhi fase adaptasi dimana jumlah awal sel yang tinggi dapat mempercepat proses adaptasi. Setelah mengalami fase adaptasi, mikroba mulai membelah dengan kecepatan yang rendah, disebut fase pertumbuhan awal.

Pada fase pertumbuhan logaritmik, sel mikroba tumbuh dengan cepat dan konstan mengikuti kurva logaritmik. Kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi

Log jumlah sel hidup

Waktu 1

2 3 4

5

6

7

(8)

oleh kondisi medium seperti pH dan kandungan nutrien, juga keadaan lingkungan termasuk suhu dan kele mbaban udara. Untuk fase pertumbuhan lambat, terjadi penurunan jumlah populasi dari fase pertumbuhan logaritmik. Hanya saja jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak dari pada jumlah sel yang mati. Menurunnya jumlah populasi mikroba disebabkan oleh nutrien di dalam medium sangat berkurang dan adanya hasil- hasil metabolisme yang mungkin beracun atau dapat menghambat pertumbuhan mikroba.

Fase pertumbuhan tetap (statis) yaitu saat terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang tumbuh dengan jumlah sel yang mati. Ukuran sel menjadi lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun nutrien sudah habis. Karena kekurangan nutrien, sel kemungkinan mempunyai komposisi berbeda dengan sel yang tumbuh pada fase logaritmik. Pada fase menuju kematian dan fase kematian, terjadi penurunan jumlah sel akibat nutrisi dalam medium habis dan energi cadangan di dalam sel telah habis pula. Kecepatan kematian tergantung dari kondisi nutrien, lingkungan dan jenis mikroba.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kapang dan pembentukan produk antara lain adalah zat makanan (nutrien), suhu dan pH.

a Nutrien

Semua mikroorganisme membutuhkan karbon sebagai sumber energi dalam pertumbuhannya. Sumber karbon dapat berasal dari CO2 tetapi kebanyakan diantaranya membutuhkan senyawa karbon organik seperti glukosa dan karbohidrat lain (Pelczar & Chan 1986).

Mikroorganisme memiliki kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi. Hal ini disebabkan ketidakmampuan beberapa mikroba untuk mentransport monosakarida dan disakarida ke dalam sel. Selain itu, beberapa mikroba tidak dapat menghidrolisis polisakarida di luar sel.

Umumnya jamur dapat memanfaatkan polisakarida sebagai sumber karbon (Ray 2000). Menurut Frazier dan Westhoff (1981) A. niger akan tumbuh dengan baik jika menggunakan karbohidrat khususnya glukosa sebagai sumber energi. Kapang memerlukan karbohidrat untuk dua tujuan utama yaitu sebagai sumber energi dan sebagai bahan pembentuk sel. Beberapa produk metabolik digunakan untuk mensintesis komponen selular seperti asam amino (Ray 2000).

(9)

Mikroorganisme juga memerlukan nitrogen di dalam pertumbuhannya.

Sumber nitrogen dibedakan atas sumber nitrogen anorganik dan organik. Sumber nitrogen anorganik biasanya berasal dari garam- garam amonia, garam-garam nitrat atau gas amonia. Sedangkan sumber nitrogen organik antara lain corn steep liquor (CSL), ekstrak khamir dan limbah pengolahan kedelai (Solomons 1969).

Mineral adalah nutrien yang dibutuhkan oleh mikroorganisme selain karbon dan nitrogen. Media pertumbuhan mikroba umumnya memerlukan magnesium, fosfor, kalium, sulfur, kalsium dan klor sebagai komponen esensialnya. Garam- garam magnesium dan kalsium berfungsi untuk mengendapkan senyawa-senyawa kimia pengganggu (Standbury & Whitaker 1984). Unsur-unsur logam seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium, mangan, besi, seng, tembaga dan kobalt biasanya dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil dengan satuan ppm (Pelczar &

Chan 1986). Keberadaan unsur- unsur litium, natrium, kalium dan rubidium dalam media diketahui dapat merangsang pembentukan spora pada konsentrasi tertentu (Standbury & Whitaker 1984).

b Suhu

Proses pertumbuhan bergantung pada reaksi-reaksi kimiawi dan karena laju reaksi ini dipengaruhi oleh suhu, maka pola pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein sedangkan suhu yang rendah dapat menurunkan aktivitas enzim sehingga pertumbuhan mikroba akan terganggu. Suhu optimum berbeda untuk setiap jenis mikroba dan jenis enzim yang dihasilkan (Wiseman 1985). Aspergillus niger memiliki suhu optimum pertumbuhan sekitar 37oC (Davies 1963).

Menurut Davies (1963) pembentukan enzim ekstraseluler akan lebih baik pada suhu yang lebih rendah dari suhu optimum pertumbuhan. Hal ini disebabkan pada suhu tinggi sistem enzim satu persatu akan non aktif dan akhirnya berakibat pada ketidakstabilan pertumbuhan. Selain itu, pada suhu yang lebih rendah, proses metabolisme akan berjalan lambat dan membantu mengurangi penghambatan sintesa enzim yang dikenal dengan istilah “represi katabolitik” (Berkeley et al.

1979).

(10)

c pH

Salah satu faktor yang penting untuk pertumbuhan mikroorganisme dan pembentukan produk fermentasi adalah pH. Kebanyakan jamur dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 4-7, tetapi ada juga yang dapat tumbuh pada pH 2.

Aspergillus niger dapat tumbuh pada kisaran pH yang cukup tinggi yaitu 2-8 sedangkan pH optimumnya tergantung pada produk apa yang diharapkan (Onions 1981).

d Aktivitas Air (Aw)

Air bebas yang terdapat dalam nutrien sangat penting untuk pertumbuhan mikroba. Air berperan penting di dalam transpor nutrien dan pemindahan material buangan, reaksi enzimatik, sintesis material selular dan sebagai reaktan dalam reaksi biokimia seperti hidrolisis polimer membentuk monomer. Setiap mikroba memiliki nilai aktivitas air (Aw) yang berbeda-beda untuk tumbuh. Pada umumnya jamur memiliki nilai Aw minimum sebesar 0.8, jamur xerofilik sebesar 0.6, khamir 0.85 dan khamir osmofilik berkisar antara 0.6 sampai 0.7. Kebanyakan bakteri Gram positif memiliki nilai Aw minimum sebesar 0.9 sedangkan untuk bakteri Gram negatif mempunyai nilai Aw yang lebih besar dibandingkan bakteri Gram positif, yaitu 0.93 (Ray 2000).

Setiap kapang mempunyai nilai Aw optimal untuk pertumbuhan yang berbeda-beda. Sebagai contoh Aw optimum untuk Aspergillus sp. adalah 0.98, Rhizopus sp. sebesar 0.98-0.995 dan Penicillium sp. adalah sebesar 0.9935 (Frazier & Westhoff 1981). Umumnya nilai Aw yang dibutuhkan untuk pembentukan spora pada bakteri dan pembentukan racun pada mikroorganisme penghasil racun, lebih tinggi dibandingkan nilai Aw untuk pertumbuhan. Selain itu, nilai Aw minimum untuk pertumbuhan mikroba pada kondisi ideal lebih kecil dibandingkan pada kondisi non ideal (Ray 2000).

e Agitasi dan Aerasi

Agitasi dan aerasi pada fermentasi media cair memiliki 3 fungsi yaitu menaikkan kecepatan kelarutan oksigen, melancarkan sirkulasi dan mengakibatkan turbulensi yang mempercepat transfer nutrien dan oksigen ke dalam sel (Muchtadi et al. 1992). Pada sistem agitasi, transfer oksigen secara

(11)

sinambung dari gelembung-gelembung udara atau pada permukaan udara cair ke dalam medium kultur dapat terpenuhi sehingga aktivitas mikroba berlangsung cepat (Gumbira-Said 1987). Dalam proses fermentasi, transfer oksigen sangat berpengaruh terhadap produk akhir yang dihasilkan (Fardiaz 1989a). Penelitian yang dilakukan oleh Sanchez (2003) menunjukkan bahwa aktivitas tanase tertinggi diperoleh pada kondisi agitasi sebesar 150 rpm.

Enzim

Enzim merupakan katalis penting yang dijumpai pada semua benda hidup.

Penggunaannya telah banyak dimanfaatkan dalam bidang industri baik itu industri pangan maupun obat-obatan.

Pemanfaatan enzim dalam industri memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan cara kimia dan fisika. Pertama, kerja enzim bersifat spesifik sehingga hasil samping yang tidak diharapkan dapat dihindari. Kedua, penggunaan enzim tidak memerlukan pH dan temperatur yang ekstrim sebagaimana dalam perlakuan secara kimia dan fisika, dengan demikian penggunaan enzim tidak memerlukan energi yang besar. Ketiga, pemisaha n enzim dari produk di akhir proses tidak perlu dilakukan karena konsentrasinya sangat rendah dan akan inaktif akibat proses pengolahan selanjutnya (Muchtadi et al.

1992). Lebih lanjut Cheetham (1985a) mengungkapkan bahwa pemanfaatan enzim dalam industri makanan dapat mengurangi biaya produksi karena penggunaannya yang relatif sedikit.

Enzim yang digunakan secara komersial dalam industri pangan harus memiliki beberapa persyaratan, antara lain: (1) biaya yang dibutuhkan untuk produksi enzim harus lebih kecil dibandingkan dengan nilai tambah produk akhir, (2) enzim harus cukup aktif pada kisaran pH, temperatur dan konsentrasi substrat yang umum diperlukan dalam industri pangan, (3) enzim harus bebas dari komponen toksin, karsinogen dan patogen, dan (4) enzim harus mudah diperoleh dalam keadaan murni dan stabil serta dengan aktivitas yang terkontrol (Muchtadi et al. 1992).

Secara umum enzim dihasilkan dari tiga sumber yaitu tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Enzim yang berasal dari tumbuhan dan hewan biasanya

(12)

digunakan untuk pengolahan makanan secara tradisional. Sebagai contoh enzim papain dan bromelin yang digunakan untuk pengempukan daging, dan rennin yang berperan penting dalam produksi keju. Sedangkan enzim yang berasal dari mikroorganisme, digunakan secara luas dalam bidang industri. Hal ini disebabkan enzim yang berasal dari mikroba lebih murah dan terdapat dalam jumlah yang banyak serta mudah dikembangkan dibandingkan enzim yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Enzim mikroba juga bersifat lebih stabil dan prosedur untuk menghasilkan enzim tersebut lebih aman dan mudah (Cheetham 1985a).

Selain itu, jaringan hewan dan tumbuhan mengandung beberapa materi yang berbahaya seperti senyawa fenol yang dapat bertindak sebagai inhibitor enzim (Chaplin & Bucke 1990).

Produksi enzim oleh mikroba dapat ditingkatkan dengan menambahkan suatu zat kimia yang dapat bertindak sebagai “induser” ke dalam lingkungan, atau dengan jalan mengubah komposisi substrat (Muchtadi et al. 1992). Zat kimia yang dapat bertindak sebagai induser adalah substrat atau senyawa yang sekerabat dengan substrat dari reaksi yang dikatalis oleh enzim yang bersangkutan. Produk kadangkala dapat juga bertindak sebagai induser enzim (Pelczar & Chan 1986).

Model induksi yang paling banyak diterima oleh masyarakat ilmiah adalah yang dikemukakan oleh Jacob dan Monod. Model induksi Jacob dan Monod dapat dilihat pada Gambar 7.

Jika protein represor bergabung dengan gen kromosom (gen o), maka RNA polimerase tidak dapat bergerak sehingga mencegah disintesisnya mRNA oleh gen-gen struktural. Jadi tidak ada pembentukan enzim. Untuk enzim indusibel, induser yang ditambahkan ke dalam media dapat terikat pada represor sehingga protein represor tidak dapat lagi bergabung dengan gen o. Bila protein represor tidak bergabung dengan gen o, maka RNA polimerase dapat berpindah dari p dan menjalin gen s sehingga terjadi sintesis mRNA dan pembentukan enzim dapat berlangsung.

(13)

mRNA represor

represor

represor mRNA mRNA lac + induser

β-galaktosidase permease transasetilase

represor inaktif

Gambar 7 Model induksi Jacob Monod.

Enzim-enzim mikrobial dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu enzim ekstraseluler (eksoenzim) yang berfungsi di luar sel dan enzim intraseluler (endoenzim) yang berfungsi di dalam sel. Fungsi enzim ekstraseluler adalah mendegradasi nutrien yang berada di sekitar medium menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga memungkinkannya untuk memasuki sel melalui dinding sel.

Sedangkan enzim intraseluler berperan di dalam sintesis bahan-bahan seluler dan juga menguraikan nutrien untuk menyediakan energi yang dibutuhkan oleh sel (Pelczar & Chan 1986).

Enzim ekstraseluler umumnya lebih banyak digunakan dalam bidang industri dibandingkan enzim intraseluler. Hal ini disebabkan enzim ekstraseluler tidak memerlukan perusakan sel dan pemisahan enzim dari sel debris seperti yang dilakukan pada produksi enzim intraseluler sehingga produksi enzim akan lebih tinggi. Selain itu, enzim ekstraseluler biasanya tersedia dalam bentuk murni dan bersifat lebih stabil dibandingkan enzim intraseluler (Cheetham 1985a).

Tanpa induser

Terdapat induser

(14)

Tanin Asil Hidrolase (Tanase)

Tanin asil hidrolase yang biasa disebut tanase merupakan enzim yang berfungsi sebagai katalis dalam reaksi hidrolisis tanin. Enzim ini secara khusus memutuskan ikatan galoil pada tanin terhidrolisis untuk menghasilkan asam galat dan pliol, tetapi tidak dapat mengkatalis reaksi pemutusan heksahidroksifenil.

Selain itu tanase juga memiliki kemampuan mengkatalis reaksi hidrolisis tanin terkondensasi untuk menghasilkan senyawa flavonoid (Seigler 1998). Reaksi hidrolisis tanin oleh enzim tanin asil hidrolase ditunjukkan pada Gambar 8.

HC O HC O CH O

HC O CH

R1 R2 R2

R2

CH2 O R2 O

OH

OH

OH OC

R1

I

HC O HC O CH O

HC O CH

R1 R2 R2

R2

CH2O R2 O

II

OH

OH

O OC

R2 OH

OH

OC OH

CHO HC O

CH O

HC O CH

R1 R1

R1

CH2 O R1 OH

CHO HC O

CH O

HC O CH CH2 O

OH

III

IV ASAM GALAT + GLUKOSA

Gambar 8 Jalur hidrolisis tanin oleh tanase. (I) asam tanat; (III) 2,3,4,5- tetragalloil glukosa; (IV) monogalloil glukosa (Albertse 2002).

Tanase memiliki peranan yang penting di bidang industri makanan maupun obat-obatan. Dalam industri makanan, enzim ini digunakan dalam pembuatan jus, anggur dan untuk mengurangi efek antinutrisi pada makanan ternak. Di Brazil, tanase dimanfaatkan untuk mengurangi rasa sepat yang ditimbulkan oleh adanya

(15)

tanin pada jus buah jambu mete (Pinto et al. 2001). Selain itu, tanase juga digunakan dalam pembuatan teh instan, dimana penambahan enzim ini dapat melarutkan cream teh dalam air dingin yang ditambahkan ke dalam teh instan.

Tanpa penambahan tanase, cream teh tidak larut dalam air dingin dan cenderung membentuk endapan jika ditambahkan pada teh (Sanderson & Coggon 1977).

Dalam industri obat-obatan, tanin asil hidrolase diaplikasikan untuk menghasilkan asam galat (Pinto et al. 2001). Asam galat digunakan untuk mensintesis antibakteri trimetoprim dan propil galat yang berperan sebagai antioksidan pada lemak, minyak dan minuman (Najera 2002). Du-Thumm et al.

(2005) melaporkan bahwa enzim ini dapat juga digunakan sebagai pemutih gigi.

Beberapa mikroorganisme diketahui memiliki potensi yang besar untuk memproduksi tanase walaupun ada juga beberapa tumbuhan yang mampu menghasilkan enzim ini. Mikroorganisme yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim tersebut ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Beberapa mikroorganisme penghasil tanase

Mikroorganisme Pustaka

Bakteri

Achromobacter sp.

Bacillus pumilis Bacillus polymyxa Corynebacterium sp.

Klebsiella planticola

Pseudomonas solanacearum Selenomonas ruminatium Bacillus licheniformis Lactobacillus plancarum Lactobacillus pentosus Lactobacillus paraplantarum

Fungi

Aspergillus niger

Aspergillus oryzae

Lewis dan Starkey 1969 Deschamps et al. 1983 Deschamps et al. 1983 Deschamps et al. 1983 Deschamps et al. 1983

Deschamps dan Lebeault 1984 Skene dan Brooker 1995 Mondal dan Pati 2000 Osawa et al. 2000 Osawa et al. 2000 Osawa et al. 2000

Barthomeuf et al. 1992 Pinto et al. 2001 Najera et al. 2002 Sharma et al. 2002 Sabu et al. 2005 Hatamoto et al. 1996

(16)

Tabel 1 Lanjutan

Mikroorganisme Pustaka

Aspergillus aculeatus Aspergillus japonicus Aspergillus foetidus Rhizopus oryzae Aspergillus flavus Aspergillus aureus Aspergillus awamori Aspergillus fischeri Aspergillus rugulosus Aspergillus terreus

Penicillium glabrum Penicillum chrysogenum Penicillium digitatum Penicillium acrellanum Penicillium charlesii Penicillium citrinium Cryphonectria parasitica Fusarium solani

Fusarium oxysporium Trichoderma viride Trichoderma hamatum Trichoderma harzianum Helicostylum sp.

Cunninghamella sp.

Syncephalastrum racemosum Neurospora crassa

Khamir Candida sp.

Pichia spp.

Debaryomyces hansenii

Banerjee et al. 2001 Bradoo et al. 1996 Banerjee et al. 2005 Banerjee et al. 2005 Yamada et al. 1968 Bajpai dan Patil 1996 Bradoo et al. 1996 Bajpai dan Patil 1996 Bradoo et al. 1996 Bajpai dan Patil 1996 Lagemaat dan Pyle 2004 Rajakumar et al. 1983 Bradoo et al. 1996 Bradoo et al. 1996 Bradoo et al. 1996 Bradoo et al. 1996 Farias et al. 1992 Bradoo et al. 1996 Bradoo et al. 1996 Bradoo et al. 1996 Bradoo et al. 1996 Bradoo et al. 1996 Bradoo et al. 1996 Bradoo et al. 1996 Bradoo et al. 1996 Bradoo et al. 1996

Aoki et al. 1976

Deschamps dan Lebeault 1984 Deschamps dan Lebeault 1984

Untuk menghasilkan tanase secara komersial, mikroorganisme yang biasa digunakan adalah A. niger dan A. oryzae (Cheetham 1985b). Tumbuhan yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan tanase adalah Terminalia chebula, Caesalpinia coriaria, Caesalpinia digyna, Quercus robur, Quercus rubra dan Rhus typhina (Albertse 2002; Banerjee et al. 2004).

Tanase yang berasal dari fungi merupakan glikoprotein dengan bobot molekul berkisar antara 165–310 kDa. Enzim ini memiliki pH optimum antara 5.0 –6.0 dan tetap stabil pada pH 3.5–8. Temperatur optimum berkisar antara 30

(17)

sampai 40oC dengan stabilitas temperatur antara 30 sampai 60oC. Terdapat juga beberapa enzim tanase yang bekerja secara optimal pada suhu tinggi yaitu antara 50 sampai 70oC. Aktivitas tanase dapat dihambat oleh adanya ion-ion logam seperti Cu2+, Zn2+, Fe2+, Mn2+ dan Mg2+ tetapi aktivitas dapat meningkat dengan kehadiran ion kalium (K+). Senyawa-senyawa seperti O-fenantrain, EDTA, 2- merkaptoetanol, sodium tioglikolat, magnesium sulfat, kalsium klorida dan magnesium klorida dapat menginaktifkan tanase (Sabu et al. 2005; Wright 2005).

Karakteristik tanase dari beberapa mikroba dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik tanase dari beberapa sumber

No. Mikroorganisme

Massa molekul

(kDa)

pH optimum

Suhu optimum

(oC)

Pustaka

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

12

Mikroba

Aspergillus flavus

Aspergillus flavus

Aspergillus niger

Aspergillus niger

Aspergillus niger ATCC 16620 Aspergillus niger LCF 8

Penicillium chrysogenum Bacillus

licheniformis KBR 6 Aspergillus niger van Tieghem

Paecilomyces variotii

Cryphonectria Parasitica

Tumbuhan Pedunculate Oak

194 80-85 - 90, 180 168 186 - - - 149.5 240

300

5.0-5.5 6 5.5 6 6 6 5.0-6.0 5.75 6 5-7 5.5

4.3-5

50-60 70 60 60-70 30-40 35 30-40 60 60 30-50 30

35-40

Adachi et al.

1968

Yamada et al.

1967 Lekha dan Lonsane 1994 Ramirez-Coronel et al. 2003 Sabu et al. 2005 Barthomeuf et al.

1994

Rajakumar dan Nandy 1983 Mondal dan Pati 2000

Sharma et al.

1999

Mahendrar et al.

2006

Farias et al. 1993

Niehaus dan Gross 1997

(18)

Produksi tanin asil hidrolase dapat ditingkatkan dengan menambahkan suatu induser ke dalam medium pertumbuhan mikroorganisme. Penelitian yang dilakukan oleh Sanchez (2003) melaporkan bahwa penambahan asam tanat mampu meningkatkan produksi tanase dari A. niger. Asam tanat yang ditambahkan ke dalam medium sebesar 3% dapat menghasilkan tanase dengan nilai produksi sebesar 7.45 U/ml.h selama 24 jam inkubasi. Lebih lanjut, penelitian Lagemaat dan Pyle (2004) menyimpulkan bahwa penggunaan fermentasi media padat dapat digunakan untuk meningkatkan produksi tanase.

Fermentasi

Fermentasi adalah proses-proses yang menghasilkan komponen-komponen kimia kompleks sebagai akibat adanya pertumbuhan maupun metabolisme mikroba. Berdasarkan jenis media yang digunakan, fermentasi dibedakan atas dua jenis yaitu fermentasi media padat dan fermentasi media cair. Fermentasi media padat ditandai dengan tidak adanya air bebas dalam sistem tersebut dimana media berfungsi sebagai sumber karbon, nitrogen ma upun energi. Sedangkan pada fermentasi media cair digunakan media cair yang substratnya terlarut atau terdispersi dalam cairan dan mikrobanya berada di bawah permukaan cairan pada kondisi aerob dengan bantuan aerasi dan agitasi (Muchtadi et al. 1992).

Fermentasi media padat memiliki beberapa keunggulan antara lain: (a) menggunakan substrat tunggal seperti biji-bijian atau limbah padat yang mengandung karbohidrat, protein, lemak dan mineral; oleh sebab itu zat tambahan lain yang diperlukan biasanya air (b) kepekatan produk lebih tinggi dibandingkan teknik fermentasi media cair, sehingga dalam mengekstraknya dapat menggunakan pelarut yang relatif lebih sedikit (c) kontrol terhadap kontaminasi bakteri lebih mudah karena sistem mengandung air bebas yang rendah selama pengagitasian (d) memiliki produktivitas yang tinggi (e) kapang dapat tumbuh mendekati keadaan yang biasa dijumpai di alam (f) hasil dalam jumlah yang sama dapat terulang dengan kondisi yang sama (g) masalah terbentuknya buih yang membutuhkan sistem kontrol yang rumit tidak terdapat pada fermentasi padat, dan (h) tidak memerlukan kontrol pH dan suhu yang teliti. Fermentasi fase padat juga memiliki kerugian yakni keterbatasan jenis mikroba yang dapat digunakan,

(19)

jumlah spora inokulum yang dibutuhkan cukup besar, penetapan bobot miselium secara teliti sulit dilakukan, dan pengukuran dan pengaturan kadar air, pH dan lain- lainnya menjadi lebih sulit (Muchtadi et al. 1992).

Fermentasi media cair memiliki permasalahan pada proses agitasi, yaitu terbentuknya buih. Salah satu penyebab terbentuknya buih adalah tingginya senyawa-senyawa protein di dalam media. Untuk itu, faktor- faktor seperti volume media, kecepatan agitasi serta ukuran dan bentuk agitator memerlukan perhatian pada proses fermentasi ini. Keuntungan menggunakan fermentasi media cair adalah tidak diperlukan jumlah inokulum yang tinggi. Sebaliknya fermentasi yang menggunakan media padat memerlukan jumlah inokulum yang besar.

Fermentasi media cair dapat dilakukan dengan metode kultur terbenam dan kultur permukaan, baik dengan kultur bergoyang maupun kultur stasioner. Kultur permukaan dengan media cair mempunyai beberapa kelemahan diantaranya mudah terkontaminasi, membutuhkan wadah yang lebih banyak dan waktu fermentasi yang lebih lama. Sedangkan kultur terendam yang dilakukan dalam wadah tertutup mempunyai keuntungan berupa sterilitas yang tinggi (Muchtadi et al. 1992).

Referensi

Dokumen terkait