• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Determinan Stunting pada Anak Usia 0-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Indrajaya Kabupaten Pidie Tahun 2022

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of Determinan Stunting pada Anak Usia 0-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Indrajaya Kabupaten Pidie Tahun 2022"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

https://journal.literasisains.id/index.php/INSOLOGI

ISSN 2828-4984 (Media Online) | ISSN 2828-4992 (Media Cetak) Vol. 1 No. 6 (Desember 2022) 731-740

DOI: 10.55123/insologi.v1i6.1081

Submitted: 25-10-2022 | Accepted: 05-11-2022 | Published: 30-12-2022

Determinan Stunting pada Anak Usia 0-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Indrajaya Kabupaten Pidie Tahun 2022

Sri Muliasari1, Ramadhaniah Ramadhaniah2*, Nopa Arlianti3

1,2*,3Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh, Indonesia

Email: 1srimulyasari892@gmail.com, 2*ramadhaniah@gmail.com

Abstract

Stunting or short is a condition where children experience failure to grow and develop so that children have a shorter height than the standard age. The prevalence of stunting at the Indrajaya Public Health Center was 240 cases. The purpose of this study was to find out what factors were associated with the incidence of stunting in children aged 0-24 months in the Indrajaya Public Health Center, Pidie Regency in 2022. This type of research was observational analytic with a case control approach. The population is all mothers of infants aged 0-24 months as many as 70 mothers of infants in the Caleue settlement. Sampling in this study was conducted in the Caleue settlement, which consisted of 26 mothers of infants who experienced stunting as cases and as many as 26 mothers of infants who did not experience stunting as controls (control). Data collection from February 27 to March 04 using a questionnaire through interviews.

Data analysis using Chi-Square test SPSS program. The results of the study there was a relationship between energy and protein intake p = 0.003, there was a relationship between Low Birth Weight p = 0.005, there was a relationship between exclusive breastfeeding p = 0.012, there was a relationship between Early Breastfeeding Initiation p = 0.023, there was a relationship between history of infectious diseases p = 0.023 = 0.011, there is a relationship between family income p = 0.048 and there is a relationship between mother's knowledge p = 0.025 with stunting. Based on the research conducted, it can be concluded that the seven variables have a stunting relationship in the Indrajaya Public Health Center Work Area, Pidie Regency in 2022. It is expected that health workers can provide counseling regarding stunting prevention in children under two, such as providing adequate energy and protein intake.

Keywords: Stunting, Energy and Protein Intake, Low Birth Weight, Exclusive Breastfeeding, Early Initiation of Breastfeeding

Abstrak

Stunting atau pendek merupakan suatu kondisi dimana anak mengalami kegagalan tumbuh kembang sehingga anak memiliki tinggi badan lebih pendek dari standar usianya. Prevalensi stunting di puskesmas Indrajaya sebesar 240 kasus. Tujuan Penelitian ini Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 0-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Indrajaya Kabupaten Pidie Tahun 2022. Jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan case control.

Populasi adalah seluruh ibu bayi yang berusia 0-24 bulan sebanyak 70 ibu bayi di permukiman Caleue.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan di permukiman Caleue yang berjumlah 26 ibu bayi yang mengalami stunting sebagai kasus (case) dan sebanyak 26 ibu bayi yang tidak mengalami stunting sebagai kontrol (control). Pengumpulan data dari tanggal 27 Februari – 04 Maret dengan menggunakan kuesioner melalui wawancara. Analisis data menggunakan uji Chi-Square program SPSS. Hasil penelitian ada hubungan antara asupan energi dan protein p = 0,003, ada hubungan antara Berat Badan Lahir Rendah p = 0,005, ada hubungan antara ASI ekslusif p= 0,012, ada hubungan antara Inisiasi Menyusu Dini p = 0,023, ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi p = 0,011, ada hubungan antara pendapatan keluarga p= 0,048 dan ada hubungan antara pengetahuan ibu p = 0,025 dengan stunting. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa ketujuh variabel memiliki hubungan stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Indrajaya Kabupaten Pidie tahun 2022. Diharapkan petugas kesehatan agar dapat memberikan

(2)

penyuluhan mengenai pecegahan stunting pada baduta seperti memberi asupan energi dan protein yang cukup.

.

Kata Kunci: Stunting, Asupan Energi dan Protein, BBLR, ASI Ekslusif, Inisiasi Menyusu Dini

1. PENDAHULUAN

Periode yang sangat penting sejak janin sampai anak usia dua tahun atau 1000 HPK disebut juga Golden age (periode emas). Pada dua tahun pertama kehidupan tersebut terjadi proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang dimulai sejak janin. Jika pemenuhan gizi pada masa tersebut baik, maka proses pertumbuhan dan perkembangan dapat optimal. Jika kebutuhan zat gizi kurang maka dapat berisiko menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada seluruh organ dan sistem tubuh sehingga akan berdampak pada masa yang akan datang (Olsa, Sulastri, & Anas, 2018).

Stunting (pendek) atau kurang gizi kronik adalah suatu bentuk lain dari kegagalan pertumbuhan. Anak yang mengalami stunting terlihat memiliki badan normal yang proporsional, sebenarnya tinggi badannya lebih pendek dari tinggi badan normal yang dimiliki anak seusianya (Mediani, 2020). Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun mental (Kemenkes R. Kemenkes, 2016).

Kejadian Stunting menurut hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi pendek secara nasional adalah 37,2%, yang menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara- negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%) (Kementerian Kesehatan, 2013). Pada tahun 2018 Kemenkes RI kembali melakukan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) tentang Prevalensi Stunting. Berdasarkan Penelitian tersebut angka stunting atau anak tumbuh pendek turun menjadi 30,8%

(Kemenkes, 2018).

Berdasarkan hasil pemantauan Status Gizi Balita pada tahun 2015 -2017 diketahui stunting di Provinsi Aceh pada tahun 2015 31,6%, pada tahun 2016 26,4% dan pada tahun 2017 sebesar 35,7% (Dinkes Aceh, 2018). Kabupaten Pidie memiliki 26 wilayah kerja puskesmas. Dari 26 wilayah kerja puskesmas terdapat 4 wilayah kerja yang prevalensi stunting tertinggi yaitu di puskesmas Tangse dengan 251 kasus, Puskesmas Indrajaya 240 kasus, puskesmas Kembang Tanjong 222 kasus dan puskesmas Delima 213 kasus (Pidie, 2021). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stunting pada baduta dan faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Menurut Sumardilah and Rahmadi (2019) faktor konsumsi protein, konsumsi zink, IMD, status gizi ibu, umur ibu melahirkan, dan jarak kelahiran tidak berhubungan secara bermakna dengan kejadian stunting anak usia 7- 24 bulan di Kelurahan Sukaraja, sedangkan faktor konsumsi energi, ASI eksklusif, Riwayat penyakit infeksi, riwayat kelahiran prematur, dan pendidikan ibu berhubungan secara bermakna dengan kejadian stunting.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Determinan Stunting Pada Anak Usia 0-24 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Indrajaya Kabupaten Pidie Tahun 2022.

2. METODE

(3)

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan case control. Penelitian ini dilakukan di Permukiman Caleue Kecamatan Indrajaya Kabupaten Pidie Aceh. Populasi adalah seluruh ibu bayi yang berusia 0-24 bulan sebanyak 70 ibu bayi di permukiman Caleue. Sampel dalam penelitian ini dilakukan di permukiman Caleue yang berjumlah 26 ibu bayi yang mengalami stunting sebagai kasus (case) dan sebanyak 26 ibu bayi yang tidak mengalami stunting sebagai kontrol (control) dengan jumlah ibu bayi yang berusia 0-24 bulan sebanyak 70 orang. Pengumpukan data dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pengukuran tinggi badan, analisa data menggunakan ujistatistik chi-square dengan bantuan SPSS.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian tentang determinan stunting pada anak usia 0-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Indrajaya Kabupaten Pidie tahun 2022 dapat dilihat pada tebal 1, di bawah ini:

Tabel 1. Analisis Keterkaitan antara Variabel Independen dengan Stunting pada anak usia 0-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Indrajaya Kabupaten Pidie tahun 2022.

Variabel

Stunting

Total

P value OR (95%CI) Kasus Kontrol

n % n % n %

Asupan Energi dan Protein

Cukup 4 21,1 15 78,9 19 100

Tidak Cukup 22 66,7 11 33,3 33 100 0,003 7,5 (2,0-28,0)

BBLR

≥ 2500 gram 7 28,0 18 72,0 25 100

< 2500 gram 19 70,4 8 29,6 27 100 0,005 6,1 (1,83-20,3) ASI Ekslusif

Ya 7 29,2 17 70,8 24 100

Tidak 19 67,9 9 32,1 28 100 0,012 5,1 (1,55-16,7)

Inisiasi Menyusu Dini

Ada 6 28,6 15 71,4 21 100

Tidak 20 64,5 11 35,5 31 100 0,023 4,5 (1,37-15,07)

Riwayat Penyakit Infeksi

Tidak 6 27,3 16 72,7 22 100

Ada 20 66,7 10 33,3 30 100 0,011 5,3 (1,59-17,8)

Pendapatan

Menengah 7 31,8 15 68,2 22 100

< UMR 19 63,3 11 36,7 30 100 0,048 3,7 (1,15-11,8)

Pengetahuan

Baik 7 30,4 16 69,6 23 100

Kurang 19 65,5 10 34,5 29 100 0,025 4,3 (1,34-14,0)

Hubungan Asupan Energi dan Protein Dengan Stunting Pada Baduta

(4)

Rendahnya asupan energi pada balita stunting kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya frekuensi dan jumlah pemberian makan, nafsu makan balita berkurang, densitas energi yang rendah, dan ada penyakit infeksi penyerta. Kejadian stunting merupakan peristiwa yang terjadi dalam periode waktu yang lama (Ayuningtyas, Simbolon, & Rizal, 2018). Hasil analisis hubungan asupan energi dan protein dengan stunting, menunjukan bahwa baduta yang memiliki asupan energi dan protein yang cukup lebih dominan pada responden kontrol sebesar 78,9% sedangkan responden yang memiliki asupan energi dan protein yang tidak cukup lebih dominan pada responden kasus sebesar 66,7%. Hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square di peroleh nilai p value 0,003 < 0,05 berarti (Ho) ditolak. Hasil perhitungan OR menunjukkan baduta asupan energi dan protein tidak cukup 7,5 kali beresiko stunting dibandingkan baduta dengan asupan energi dan protein cukup.

Sejalan dengan Verawati, Afrinis, and danYanto (2021) ada hubungan asupan protein dan ketahanan pangan dengan kejadian stunting pada balita di masa pendemi COVID 19.

Asupan zat gizi merupakan kebutuhan yang berperan dalam proses pertumbuhan terutama dalam perkembangan otak. Kemampuan seseorang untuk dapat mengembangkan saraf motoriknya adalah melalui pemberian asupan gizi yang seimbang (Aramico & Siketang, 2017).

Asupan gizi merupakan salah satu faktor lain yang menentukan kebugaran jasmani.

Asupan gizi digunakan untuk sumber energi dalam melakukan aktifitas atau pekerjaan . Tingkat Kebugaran Jasmani berpengaruh terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar siswa. Siswa yang mempunyai tingkat kebugaran jasmani yang baik akan memiliki daya tahan, daya konsentrasi, dan ketersediaan tenaga untuk melakukan aktivitas belajar (Adani & Nindya, 2017)

Status gizi pada anak dipengaruhi oleh faktor langsung yaitu pola makan dan faktor tidak langsung yaitu keadaan ekonomi. Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukan pola makan seseorang sebab dapat mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Seseorang yang didasari dengan pengetahuan gizi yang baik akan memperhatikan keadaan gizi setiap makanan yang dikonsumsinya. Makanan yang bergizi bukanlah suatu makanan yang mahal dan enak rasanya (Mugianti, Mulyadi, Anam, & Najah, 2018).

Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Dengan Stunting Pada Baduta Berat badan merupakan hasil peningkatan/penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh antara tulang, otot, lemak, cairan tubuh, dan lainnya. hasil analisis hubungan Berat Badan Lahir Rendah dengan stunting, menunjukan bahwa baduta yang memiliki berat badan lahir normal lebih dominan pada baduta kontrol sebesar 72,0% sedangkan baduta yang memiliki berat badan lahir rendah lebih dominan pada baduta kasus sebesar 70,4%.

Hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square di peroleh nilai p value 0,005 < 0,05 berarti (Ho) ditolak. Hasil perhitungan OR menunjukkan baduta dengan Berat Badan Lahir Rendah 6,1 kali beresiko stunting dibandingkan baduta dengan berat badan lahir normal.

Sejalan dengan temuan Rahayu, Yulidasari, Putri, and Rahman (2015) bahwa riwayat berat badan lahir dengan kejadian stunting pada anak usia bawah dua tahun. Penelitian lainnya juga menunjukkan ada ada hubungan yang bermakna antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian stunting (Fitri, 2018).

Berat badan dipakai sebagai indikator yang terbaik untuk mengetahui keadaan gizi dan

(5)

tumbuh kembang anak (Hasdianah, Siyoto, & Peristyowati, 2014). Berat badan lahir rendah adalah gambaran multimasalah kesehatan masyarakat mencakup ibu yang kekurangan gizi jangka panjang, kesehatan yang buruk, kerja keras dan perawatan kesehatan dan kehamilan yang buruk. Secara individual Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) merupakan predictor penting dalam kesehatan dan kelangsungan hidup bayi yang baru lahir dan berhubungan dengan risiko tinggi pada anak (Murti, Suryati, &

Oktavianto, 2020).

Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, bayi dengan berat badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada pertumbuhan dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi kemunduran fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi hipotermi (Nainggolan & Sitompul, 2019).

Hubungan ASI ekslusif Dengan Stunting Pada Baduta

ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif adalah pemberian ASI tanpa menambahkan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6 bulan. Hasil analisis hubungan ASI ekslusif dengan stunting, menunjukan bahwa baduta yang mendapatkan ASI ekslusif lebih dominan pada baduta kontrol sebesar 70,8% sedangkan baduta yang tidak mendapatkan ASI ekslusif lebih dominan pada baduta kasus sebesar 67,9%. Hasil uji statistik dengan menggunakan chi- square di peroleh nilai p value 0,012 < 0,05 berarti (Ho) ditolak. Hasil perhitungan OR menunjukkan baduta yang tidak mendapatkan ASI ekslusif 5,1 kali beresiko stunting dibandingkan baduta yang mendapatkan ASI ekslusif.

Penelitian yang dilakukan di Kota Banda Aceh menyatakan bahwa kejadian stunting disebabkan oleh rendahnya pendapatan keluarga, pemberian ASI yang tidak Eksklusif, pemberian MP-ASI yang kurang baik, imunisasi yang tidak lengkap dengan faktor yang paling dominan pengaruhnya adalah pemberian ASI yang tidak Eksklusif (Al-Rahmad, Miko, & Hadi, 2013). Hasil penelitian yang menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh tidak adanya pemberian ASI Eksklusif kepada bayi (Pramulya, Wijayanti, & Saparwati, 2021).

World Health Organization. (WHO) merekomendasikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan, kemudian menggabungkan dengan makanan padat komplementer hingga usia 2 tahun atau lebih (Berlanga-Macias et al., 2018). Pemberian ASI eksklusif untuk 6 bulan pertama kehidupan dapat mengurangi sekitar 13% kematian bayi (Belachew et al., 2018). Menyusui dan pemberian ASI eksklusif secara khusus, merupakan salah satu strategi pengukuran untuk meningkatkan status gizi dan kelangsungan hidup bayi (Belachew et al., 2018).

Sebagai sumber nutrisi pada bayi usia 0-≤ 6 bulan sehingga kekurangan nutrisi pada masa tersebut dapat berdampak buruk bagi bayi baik dalam waktu jangka pendek seperti proses metabolisme, lipid, dan hormon protein sedangkan akibat jangka panjang dapat memningkatkan risiko penyakit seperti diabetes, obesitas, penyakit jantung, hipertensi, kanker, stroke dan penuaan (UNICEF, 2007). Bahkan dampak jangka lainnya adalah prestasi akademis yang buruk, menurun produktivitas dan gangguan kognitif dan sosial pembangunan (Egata, Berhane, & Worku, 2013).

Hubungan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Dengan Stunting Pada Baduta

(6)

Inisiasi Menyusu Dini merupakan proses dimana bayi mulai menyusu sendiri segera setelah lahir (Kaban, 2017). menjelaskan hasil analisis hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan stunting, menunjukan bahwa baduta yang ada mendapatkan Inisiasi Menyusu Dini lebih dominan pada baduta kontrol sebesar 71,4% sedangkan baduta yang tidak mendapatkan Inisiasi Menyusu Dini lebih dominan pada baduta kasus sebesar 64,5%.

Hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square di peroleh nilai p value 0,023 < 0,05 berarti (Ho) ditolak. Hasil perhitungan OR menunjukkan baduta yang tidak mendapatkan Inisiasi Menyusu Dini 4,5 kali beresiko stunting dibandingkan baduta yang mendapatkan Inisiasi Menyusu Dini.

Sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Kartiningrum (2015) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara status IMD dengan status gizi. Hal ini menunjukkan bahwa bayi yang tidak mendapatkan IMD dalam satu jam pertama kehidupannya lebih banyak menderita gizi kurang pada saat berusia enam bulan.

Artinya, IMD merupakan faktor risiko status gizi kurang pada bayi usia enam bulan.

Penelitian Windasari, Syam, and Kamal (2020) juga menunjukkan ada hubungan IMD dengan kejadian stunting di Puskesmas Tamalate Kota Makassar.

Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah bayi diberi kesempatan memulai/inisiasi menyusu sendiri segera setelah lahir/ dini, dengan membiarkankontak kulit bayi dengan kulit ibu setidaknya satu jam atau lebih, sampai menyusu pertama selesai. Apabila dalam satu jam tidak ada reaksimenyusu, maka boleh mendekatkan puting susu tetapi beri kesempatan bayi untuk inisiasi (Sirajuddin, Abdullah, & Lumula, 2013).

Menyusui adalah praktik dasar untuk perawatan dan pemberian makan yang tepat pada bayi baru lahir dan memiliki manfaat gizi, imunologi, perkembangan, psikologis, sosial, ekonomi dan lingkungan bagi bayi, ibu, keluarga dan masyarakat (Anatolitou, 2012).

Menyusui dapat mengurangi kematian anak dan mencegah morbiditas seperti diare, pneumonia, sepsis neonatal dan dapat mengurangi obesitas, stunting dan diabetes di kemudian hari (Victora et al., 2016)

Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi Dengan Stunting Pada Baduta

Riwayat penyakit infeksi berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 12-60 bulan. Penyakit infeksi mempunyai efek substansial terhadap pertumbuhan. Hasil analisis hubungan riwayat penyakit infeksi dengan stunting, menunjukan bahwa baduta yang tidak ada riwayat penyakit infeksi lebih dominan pada baduta kontrol sebesar 72,7%

sedangkan baduta yang ada riwayat penyakit infeksi lebih dominan pada baduta kasus sebesar 66,7%. Hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square di peroleh nilai p value 0,011 < 0,05 berarti (Ho) ditolak. Hasil perhitungan OR menunjukkan baduta yang ada riwayat penyakit infeksi 5,3 kali beresiko stunting dibandingkan baduta yang tidak ada riwayat penyakit infeksi.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Oktarina yang mendapatkan bahwa penyakit infeksi memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting. Baduta yang memiliki riwayat infeksi penyakit maka akan lebih berisiko menderita stunting sebesar 4 kali dari pada baduta yang tidak memiliki riwayat infeksi penyakit (Oktarina & Sudiarti, 2013). Penelitian Solin, Hasanah, and Nurchayati (2019) menemukan ada hubungan antara riwayat menderita penyakit infeksi seperti diare dan cacingan dengan stunting.

Penyakit infeksi dapat mengakibatkan kejadian stunting dimana penyakit infeksi disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan cacing. penyakit Penyakit infeksi banyak dialami bayi dan balita dikarenakan rentannya terkena penyakit, penyakit infeksi

(7)

sendiri bisa mengekibatkan keadaan status gizi bayi dan balita berkurang sehingga menurunnya nafsu makan dan tergangganggunya penyerapan dalam saluran pencernaan. Penyakit infeksi pada balita yang sering terjadi sangat erat kaitanya dengan kejadian pertumbuhan balita yang kurang optimal sehinga berdampak pada kejadia stunting (Rahayu, Yulidasari, Putri, & Anggraini, 2018)(Atikah, Rahayu, 2018).Terdapat interaksi bolak-balik antara status gizi dengan penyakit infeksi.

Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi. Apabila kondisi terjadi dalam waktu lama dan tidak segera diatasi dapat menurunkan intake makanan dan mengganggu absorpsi zatgizi, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting pada anak balita (Saadong, Suriani, Nurjaya, & Subriah, 2021)

Hubungan Pendapatan Keluarga Dengan Stunting Pada Baduta

Pendapatan adalah hasil yang diperoleh dari kerja atau usaha yang telah dilakukan. Hasil analisis hubungan pendapatan keluarga dengan stunting, menunjukan bahwa responden yang pendapatan keluarganya menengah lebih dominan pada responden kontrol sebesar 68,2% sedangkan responden yang pendapatan keluarganya < UMR lebih dominan pada responden kasus sebesar 63,3%. Hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square di peroleh nilai p value 0,048 < 0,05 berarti (Ho) ditolak. Hasil perhitungan OR menunjukkan responden yang pendapatan keluarganya < UMR 3,701 kali beresiko stunting dibandingkan responden yang pendapatan keluarganya menengah.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Picauly (2013) yang menunjukkan bahwa keluarga dengan tingkat pendapatan rendah memiliki peluang anaknya mengalami stunting sebesar 62.128 kali lebih besar dibandingkan keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Arini (2012) menunjukkan terdapat perbedaan antara tingkat pendapatan keluarga antara balita stunting dan non-stunting. Hasil penelitiian ini sesuai dengan pendapat Sulistyoningsih (2011) bahwa meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan yang baik secara kualitas maupun kuantitas.

Pendapatan keluarga berkaitan dengan kemampuan rumah tangga tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidup baik primer, sekunder, maupun tersier. Pendapatan keluarga yang tinggi memudahkan dalam memenuhi kebutuhan hidup, sebaliknya pendapatan keluarga yang rendah lebih mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Pendapatan yang rendah akan mempengaruhi kualitas maupun kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi oleh keluarga. Makanan yang di dapat biasanya akan kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada bahan pangan yang berfungsi untuk pertumbuhan anak sumber protein, vitamin, dan mineral, sehingga meningkatkan risiko kurang gizi (Ni’mah & Nadhiroh, 2015).

Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Stunting Pada Baduta

Status gizi balita sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan seorang ibu karena ibu memiliki keterikatan yang lebih dengan anaknya. Hasil analisis hubungan pengetahuan ibu dengan stunting, menunjukan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan baik lebih dominan pada responden kontrol sebesar 69,6% sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan kurang baik lebih dominan pada responden kasus sebesar 65,5%. Hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square di peroleh nilai p value 0,025 < 0,05 berarti (Ho) ditolak. Hasil perhitungan OR menunjukkan ibu yang memiliki pengetahuan kurang baik 4,3 kali beresiko stunting dibandingkan ibu yang memiliki pengetahuan baik.

(8)

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah (2012) bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan orang tua dengan kejadian stunting pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Picauly (2013) menunjukkan bahwa ibu dengan pengetahuan gizi kurang/rendah, memiliki peluang anaknya mengalami stunting dibandingkan ibu dengan pengetahuan gizi baik. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Candra (2013) tentang hubungan underlying faktor dengan kejadian stunting pada anak usia 1-2 tahun, bahwa tidak ada hubungan bermakna antara faktor pengetahuan dengan stunting pada anak

Pengetahuan orang tua tentang gizi membantu memperbaiki status gizi pada anak untuk mencapai kematangan pertumbuhan. Pada anak dengan stunting mudah timbul masalah kesehatan baik fisik maupun psikis. Oleh karena itu, tidak semua anak dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya, ada anak yang mengalami hambatan dan kelainan (Gerungan, Malonda, & Rombot, 2014). Kurangnya pengetahuan dan salah persepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Hal lainnya yang menyebabkan gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari- hari (Suhardjo, 2003).

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Ketujuh variabel memiliki hubungan dengan stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Indrajaya Kabupaten Pidie yaitu asupan energi dan protein, BBLR, ASI ekslusif, IMD, riwayat penyakit infeksi, pendapatan dan pengetahuan. Diharapkan petugas kesehatan agar dapat memberikan penyuluhan mengenai pecegahan stunting pada baduta seperti memberi asupan gizi yang cukup dan kepada keluarga untuk membawa badutanya ke puskesmas atau posyandu setepat agar dapat memantau pertumbuhan dan perkembangan badutanya.

REFERENCES

Adani, F. Y., & Nindya, T. S. (2017). Perbedaan asupan energi, protein, zink, dan perkembangan pada balita stunting dan non stunting. Amerta Nutrition, 1(2), 46-51.

Al-Rahmad, A. H., Miko, A., & Hadi, A. (2013). Kajian stunting pada anak balita ditinjau dari pemberian ASI eksklusif, MP-ASI, status imunisasi dan karakteristik keluarga di Kota Banda Aceh. J Kesehatan Ilmiah Nasuwakes, 6(2), 169-184.

Anatolitou, F. (2012). Human milk benefits and breastfeeding. Journal of Pediatric and Neonatal Individualized Medicine (JPNIM), 1(1), 11-18.

Aramico, B., & Siketang, N. W. (2017). Hubungan Asupan Gizi, Aktivitas Fisik, Menstruasi dan Anemia dengan Status Gizi pada Siswi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Simpang Kiri Kota Subulussalam.

Sel Jurnal Penelitian Kesehatan, 4(1), 21-30.

Arini, M. S. (2012). Perbedaan Karakteristik Keluarga Yang Memiliki Balita Stunting Dan Non-Stunting Di Kelurahan Kartasura Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Ayuningtyas, A., Simbolon, D., & Rizal, A. (2018). Asupan zat gizi makro dan mikro terhadap kejadian stunting pada balita. Jurnal Kesehatan, 9(3), 445-450.

Belachew, A., Tewabe, T., Asmare, A., Hirpo, D., Zeleke, B., & Muche, D. (2018). Prevalence of exclusive breastfeeding practice and associated factors among mothers having infants less than 6 months

(9)

old, in Bahir Dar, Northwest, Ethiopia: a community based cross sectional study, 2017. BMC Res Notes, 11(1), 768. doi: 10.1186/s13104-018-3877-5

Berlanga-Macias, C., Pozuelo-Carrascosa, D. P., Alvarez-Bueno, C., Martinez-Hortelano, J. A., Garrido- Miguel, M., & Martinez-Vizcaino, V. (2018). Relationship between exclusive breast feeding and cardiorespiratory fitness in children and adolescents: a protocol for a systematic review and meta- analysis. BMJ Open, 8(10), e023223. doi: 10.1136/bmjopen-2018-023223

Candra, A. (2013). Hubungan Underlying Factors Dengan Kejadian Stunting Pada Anak 1-2 Th. Journal of Nutrition and Health, 1(1).

Egata, G., Berhane, Y., & Worku, A. (2013). Predictors of non-exclusive breastfeeding at 6 months among rural mothers in east Ethiopia: a community-based analytical cross-sectional study. International breastfeeding journal, 8(1), 1-8.

Fitri, L. (2018). Hubungan BBLR Dan Asi Ekslusif Dengan Kejadian Stunting Di Puskesmas Lima Puluh Pekanbaru. Jurnal Endurance: Kajian Ilmiah Problema Kesehatan, 3(1), 131-137.

Gerungan, G. P., Malonda, N. S., & Rombot, D. V. (2014). Hubungan Antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 13-36 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Tuminting Kota Manado. Jurnal. Manado: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado.

Hasdianah, H., Siyoto, S., & Peristyowati, Y. (2014). Gizi, Pemanfaatan Gizi, Diet, Dan Obesitas.

Yogyakarta: Nuha Medika, 24-42.

Kaban, N. B. (2017). Inisiasi Menyusui Dini. Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera, 15(2), 35-46.

Kartiningrum, E. D. (2015). Faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita di Desa Gayaman Kecamatan Mojoanyar Mojokerto. Hospital Majapahit (Jurnal Ilmiah Kesehatan Politeknik Kesehatan Majapahit Mojokerto), 7(2).

Kemenkes. (2018). Hasil Utama Riset Kesehata Dasar (RISKESDAS). Journal of Physics A: Mathematical and Theoretical, 44(8), 1-200.

Kemenkes, R. (2016). Situasi balita pendek. Infodatin, Pusdata & Info Kesehatan, Jakarta.

Kementerian Kesehatan, R. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Badan penelitian dan pengembangan kesehatan Kemenkes RI.

Mediani, H. S. (2020). Predictors of stunting among children under five year of age in Indonesia: a scoping review. Global Journal of Health Science, 12(8), 83.

Mugianti, S., Mulyadi, A., Anam, A. K., & Najah, Z. L. (2018). Faktor penyebab anak stunting usia 25-60 bulan di Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Jurnal Ners dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery), 5(3), 268-278.

Murti, F. C., Suryati, S., & Oktavianto, E. (2020). Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (Bblr) Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 2-5 Tahun Di Desa Umbulrejo Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 16(2), 52-60.

Nainggolan, B. G., & Sitompul, M. (2019). Hubungan berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian stunting pada anak usia 1-3 tahun. Nutrix Journal, 3(1), 36-41.

Nasikhah, R., Margawati, Ani. (2012). Faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 24–36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. Diponegoro University.

Ni’mah, K., & Nadhiroh, S. R. (2015). Faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita.

Media Gizi Indonesia, 10(1), 13-19.

Oktarina, Z., & Sudiarti, T. (2013). Faktor risiko stunting pada balita (24—59 bulan) di sumatera. Jurnal gizi dan pangan, 8(3), 177-180.

Olsa, E. D., Sulastri, D., & Anas, E. (2018). Hubungan sikap dan pengetahuan ibu terhadap kejadian stunting pada anak baru masuk Sekolah Dasar di kecamanatan Nanggalo. Jurnal Kesehatan Andalas, 6(3), 523-529.

(10)

Picauly, I. T., Sarci Magdalena. (2013). Analisis Determinan dan Pengaruh Stunting Terhadap Prestasi Belajar Anak Sekolah di Kupang dan Sumba Timur, NTT. Jurnal Gizi dan Pangan, 8(1), 55.

Pidie, D. K. (2021). Profil Kesehatan Pidie. Sigli: Dinkes Kabupaten Pidie.

Pramulya, I., Wijayanti, F., & Saparwati, M. (2021). Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-60 Bulan. Jurnal Kesehatan Kusuma Husada, 35-41.

Rahayu, A., Yulidasari, F., Putri, A. O., & Anggraini, L. (2018). Study guide-stunting dan upaya pencegahannya. Yogyakarta: Penerbit CV Mine.

Rahayu, A., Yulidasari, F., Putri, A. O., & Rahman, F. (2015). Riwayat berat badan lahir dengan kejadian stunting pada anak usia bawah dua tahun. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (National Public Health Journal), 10(2), 67-73.

Saadong, D., Suriani, B., Nurjaya, N., & Subriah, S. (2021). BBLR, Pemberian ASI Eksklusif, Pendapatan Keluarga, dan Penyakit Infeksi Berhubungan Dengan Kejadian Stunting. Jurnal Kesehatan Manarang, 7(Khusus), 52-58.

Sirajuddin, S., Abdullah, T., & Lumula, S. N. (2013). Determinan pelaksanaan inisiasi menyusu dini.

Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (National Public Health Journal), 8(3), 99-103.

Solin, A. R., Hasanah, O., & Nurchayati, S. (2019). Hubungan Kejadian Penyakit Infeksi Terhadap Kejadian Stunting Pada Balita 1-4 Tahun. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Keperawatan, 6(1), 65-71.

Suhardjo, C. (2003). Berbagi Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.

Sulistyoningsih, H. (2011). Gizi untuk kesehatan ibu dan anak. Yogyakarta: Graha Ilmu, 52, 57-58.

Sumardilah, D. S., & Rahmadi, A. (2019). Risiko stunting anak baduta (7-24 bulan). Jurnal Kesehatan, 10(1), 93-104.

UNICEF. (2007). The state of the world's children 2008: Child survival (Vol. 8): Unicef.

Verawati, B., Afrinis, N., & danYanto, N. (2021). Hubungan Asupan Protein dan Ketahanan Pangan dengan Kejadian Stunting pada Balita di Masa Pendemi COVID 19. PREPOTIF Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(1), 415-423.

Victora, C. G., Bahl, R., Barros, A. J., França, G. V., Horton, S., Krasevec, J., . . . Rollins, N. C. (2016).

Breastfeeding in the 21st century: epidemiology, mechanisms, and lifelong effect. The lancet, 387(10017), 475-490.

Windasari, D. P., Syam, I., & Kamal, L. S. (2020). Faktor hubungan dengan kejadian stunting di Puskesmas Tamalate Kota Makassar. AcTion: Aceh Nutrition Journal, 5(1), 27-34.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada Hubungan yang signifikan pada dukungan keluarga terhadap kepatuhan lansia dalam menjalankan protokol kesehatan dimana hasil P value