• Tidak ada hasil yang ditemukan

Purpose : To determine prevalence, treatment and outcome of refractive amblyopia in Cicendo Eye Hospital National Eye Center on January – December 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Purpose : To determine prevalence, treatment and outcome of refractive amblyopia in Cicendo Eye Hospital National Eye Center on January – December 2015"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo

Abstract

Introduction : Amblyopia is a frequent cause of monocular or binocular vision loss in children. A difference in refractive error between eyes (anisometropic) or very high refractive error in both eyes (isometropic) is the cause of refractive amblyopia.

Purpose : To determine prevalence, treatment and outcome of refractive amblyopia in Cicendo Eye Hospital National Eye Center on January – December 2015.

Method : A descriptive retrospective study, from medical records of pediatric ophthalmology and strabismus department in Cicendo Eye hospital.

Results : We found 566 refractive amblyopia patients with 51.8%. It happened commonly in 6-10 years of ages. The most type of refractive amblyopia was isoametropic amblyopia (86 %), moderate amblyopia (51.6%) and treated with spectacle (92.8%). The most causes was compound myopic astigmatism (60.0%).

Good compliance for evaluation the treatment was only on 28.3% patients.

Conclusion : Refractive amblyopia in this study has no difference between sex, significantly decreased with older age. The most common type was isoametropic amblyopia and treatment with spectacle has improvement of visual acuity in 68.1%.

Routine examination and patient compliance are crucial to the success of amblyopia therapy.

PENDAHULUAN

Ambliopia adalah gangguan penglihatan yang disebabkan gangguan pengolahan informasi visual selama periode sensitif masa perkembangan visual. Keadaan ini merupakan akibat dari kelainan okular seperti kelainan refraksi, strabismus dan katarak dini. Ambliopia merupakan penyebab gangguan penglihatan baik monokular maupun binokular pada anak.

Ambliopia terkadang sulit terdeteksi tanpa adanya skrining yang efektif.1,2

Prevalensi ambliopia berkisar 1.44%

- 5.0% pada beberapa penelitian.

Ambliopia juga merupakan penyebab kehilangan penglihatan permanen pada 2.9% orang dewasa. Perbedaan kelainan refraksi pada masing-masing mata (anisometropia) atau kelainan refraksi

yang tinggi pada kedua mata (isoametropia) dapat menyebabkan keadaan ambliopia yang disebut ambliopia refraktif. 1–3

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif. Data penelitian ini diambil dari rekam medis pasien dengan ambliopia refraktif pada anak di Unit Pediatrik Oftalmologi dan Strabismus Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung dari bulan Januari sampai dengan Desember 2015. Data yang diambil adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis ambliopia refraktif, derajat ambliopia, jenis kelainan refraktif, kepatuhan kontrol, jenis terapi ambliopia dan hasil terapi ambliopia.

1

(2)

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah pasien yang berusia sama dengan atau kurang dari 15 tahun dengan diagnosis ambliopia refraktif. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan riwayat kelainan anatomi okular lain seperti kelainan kornea, lensa dan retina, pasien dengan riwayat strabismus, kekeruhan media penglihatan, pasien dengan riwayat trauma atau operasi mata, dan pasien dengan data rekam medis yang tidak lengkap.

Definisi operasional pada penelitian ini yaitu ambliopia refraksi adalah keadaan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik tidak mencapai maksimal dikarenakan kelainan refraksi atau perbedaan kelainan refraksi antar mata tanpa adanya kelainan okular lainnya.

Ambliopia isoameteropia adalah jenis ambliopia yang disebabkan oleh kelainan refraksi yang tinggi yang bersifat amblyogenic. Ambliopia anisometropia adalah jenis ambliopia yang disebabkan perbedaan kelainan refraksi masing-masing mata dengan minimal perbedaan dua baris tajam penglihatan. Ambliopia ringan yaitu keadaan tajam penglihatan dengan koreksi maksimal lebih dari 0.5.

Ambliopia sedang yaitu keadaan tajam penglihatan dengan koreksi maksimal 0.2-0.5. ambliopia berat yaitu tajam penglihatan dengan koreksi maksimal yaitu tajam penglihatan dengan koreksi maksimal kurang sama dengan 0.2.

Pasien dikatakan kontrol teratur apabila pasien kontrol minimal 3x berturut-turut atau sesuai yang telah dianjurkan. Hasil terapi ambliopia dikatakan perbaikan jika terdapat peningkatan tajam penglihatan.

Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan dengan kartu Snellen. Data yang diperolah diolah dengan

menggunakan software SPSS dan disajikan dalam bentuk tabel.

HASIL

Hasil pengambilan data sekunder didapatkan total kunjungan pasien kelainan refraktif selama tahun 2015 berjumlah 1694 pasien dan pasien dengan ambliopia refraktif yaitu sebanyak 566 pasien.

Tabel 1 menggambarkan data dermografi dari seluruh pasien. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan didapatkan hasil 48.2% dan 51.8%. Usia 6-10 tahun dengan tingkat pendidikan SD merupakan karateristik yang terbanyak sesuai dengan usia terbanyak pada penelitian ini.

Tabel 1. Data Demografi

Karakteristik Jumlah (n=566) Jenis kelamin

Laki-laki 273 (48.2%)

Perempuan Usia 0-5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun Status pendidikan Belum sekolah TK

SD SMP

293 (51.8%)

55 (9.7%) 324 (57.2%)

187 (33%)

13 (2.3%) 40 (7.1%) 381 (67.3%) 132 (23.3%)

Jenis ambliopia refraktif pada penelitian ini paling banyak merupakan jenis ambliopia isometropia (86%).

Derajat ambliopia pada penelitian ini terbanyak yaitu derajat sedang dimana tajam penglihatan dengan koreksi maksimal kacamata yaitu <0.5 hingga

>0.2 adalah sebanyak 296 pasien (51.9%). Terapi ambliopia kacamata merupakan terapi terbanyak yaitu 525 pasien (92.8%) dengan kepatuhan

(3)

kontrol teratur yang rendah yaitu 28.2%

(Tabel 2).

Tabel 2. Karakteristik Pasien Ambliopia Refraktif

Karakteristik Jumlah Jenis

Anisometropia 79 (14%) Isoametropia

Derajat Ambliopia Ringan

Sedang Berat

Terapi Ambliopia Kacamata

Kacamata dan oklusi Kepatuhan kontrol Teratur

Tidak teratur

487 (86%) 189 (33.4%) 294 (51.9%) 83 (14.7%) 525 (92.8%) 41 (7.2%) 160 (28.3%) 406 (71.8%)

Jenis kelainan refraktif pada pasien ambliopia terbanyak adalah astigmatisme miopia kompositus yaitu 340 pasien (60.0%). Astigmatisme miopia kompositus merupakan kelainan refraksi terbanyak penyebab ambliopia disemua kategori usia.

Kelainan refraksi astigmatisme merupakan kelainan refraksi yang terbanyak sebagai penyebab dibandingkan miopia simpleks dan hipermetropia simpleks sebagai penyebab ambliopia refraktif penelitian ini (Tabel 3).

Tabel 3. Jenis kelainan refraksi pasien ambliopia refraktif

Jenis kelainan

refraksi

Kategori usia (tahun)

Total 0-5 6-10 11-15

MS HS AMS AMK AHS

0 0 2 30

2 4 0 20 184

3

2 3 18 126

1

6 (1.1%) 3 (0.5%) 40 (7.1%) 340 (60%) 6 (1.1%) AHK

AM

14 7

59 54

23 14

96 (17%) 75 (13.2%)

Keterangan : MS : Miopia simpleks, HS:

Hipermetropia simpleks, AMS: Astigmatisme miopia simpleks, AMK: Astigmatisme miopia kompositus, AHS: Astigmatisme hipermetropia simpleks, AHK: Astigmatisme hipermetropia kompositus, AM : Astigmatisme mikstus Penilaian keberhasilan terapi ambliopia dinilai pada pasien-pasien yang tergolong memiliki kepatuhan kontrol yang baik. Pada Tabel 4 dengan total pasien kontrol teratur sejumlah 160 pasien dengan paling banyak derajat ambliopia sedang 92 pasien (57.5%) dengan jenis terapi ambliopia yang diberikan berupa kacamata 150 pasien (93.8%) dan kacamata-oklusi 10 pasien (6.3%). Keberhasilan terapi ambliopia yang dinilai pada seluruh pasien dengan kontrol teratur didapatkan perbaikan pada 109 pasien (68.1%) dengan 93.6 % jenis terapi ambliopia yaitu kacamata dan 65%

ambliopia derajat sedang. (Tabel.4)

Tabel 4. Karakteristik Pasien Dengan Kontrol Teratur

Karakteristik Jumlah (n=160) Derajat Ambliopia

Ringan Sedang Berat

Terapi Ambliopia Kacamata

Kacamata dan oklusi Keberhasilan Terapi Perburukan Tetap Perbaikan

47 (29.4%) 92 (57.5%) 21 (13.1%)

150 (93.8%) 10 (6.3%)

3 (1.9%) 48 (30.0%) 109 (68.1%)

DISKUSI

Kelainan refraktif merupakan penyebab pertama gangguan penglihatan berdasarkan World Health Organization (WHO).

Sembilan belas juta anak usia dibawah 15 tahun diperkirakan mengalami gangguan penglihatan, 12 juta diantaranya disebabkan karena kelainan refraksi. Lebih dari 1 juta diantaranya mengalami kebutaan seumur hidup dan membutuhkan rehabilitasi visual.4

(4)

Kelainan refraksi yang amblyogenic dapat menyebabkan turunnya tajam penglihatan yang berakhir pada keadaan ambliopia jika tidak ditangani dengan baik.

Kriteria kelainan refraksi yang bersifat amblyogenic isoameteropia yaitu miopia  6.00 D, hipermetropia  4.00 D dan astigmatisme  2.50 D sedangkan amblyogenic anisometropia yaitu miopia  3.00 D, hipermetropia  1.00 D dan astigmatisme  1.50 D.5,6

Penelitian ini melaporkan bahwa pasien yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 48.2% dan perempuan sebesar 51.8%. Hasil ini serupa dengan penelitian prevalensi ambliopia pada 6 negara yang dilakukan oleh Xiao dkk pada tahun 2015 melaporkan bahwa pasien ambliopia yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 51.2% dan perempuan sebesar 48.8%. Hasil ini juga serupa dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Lee dkk.5,7

Penelitian ini memberikan hasil kejadian ambliopia paling tinggi pada usia 6-10 tahun yaitu 324 (57.2%) dan paling rendah pada usia 0-5 tahun yaitu 55 pasien (9.7%). Hal ini serupa dengan penelitian Rajavi dkk yang memberikan hasil prevalensi ambliopia yang menurun pada anak-anak dengan usia yang lebih tua, walaupun hasil ini berbeda dengan penelitian Faghihi dkk yang memberikan hasil prevalensi yang tidak berbeda berdasarkan usia. Hasil penelitian ini kejadian ambliopia refraktif terendah pada kategori usia 0-5 tahun (2.3%) dapat disebabkan oleh kesadaran orang tua terhadap gangguan penglihatan pada usia tersebut, status pendidikan anak yang belum sekolah sehingga gangguan penglihatan tidak tampak, dan pemeriksaan skrinning rutin pada usia tersebut masih rendah. Hal ini didukung oleh penelitian tahun 1994 dan tahun 2015 yang dilakukan oleh Rajavi dkk memberikan hasil penurunan

prevalensi ambliopia 3% menjadi 2.3%

dikarenakan pemeriksaan skrinning pada usia dibawah 6 tahun telah dilakukan rutin di Iran.6,8

Jenis ambliopia pada penelitian ini dilaporkan bahwa jenis kejadian isometropia paling banyak yaitu 487 (86%) dimana hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Gupta dkk dan Chung dkk tetapi penelitian lainnya melaporkan hasil yang berbeda.

Penelitian yang dilakukan oleh Xiao dkk, Mehmood dkk, Karki dkk, Caca dkk, dan Rajavi dkk melaporkan hasil bahwa ambliopia anisometropia merupakan jenis ambliopia yang paling banyak ditemukan. 2,5,6,9,10

Pembagian derajat ambliopia pada penelitian ini terbagi atas tiga berdasarkan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik yaitu ringan (>0.5), sedang (>0.2-0.5) dan berat (0.2).11 Pembagian derajat ambliopia dibeberapa studi terbagi atas dua yaitu sedang dan berat. Amblyopia Treatment Studies membagi derajat ambliopia sedang yaitu ambliopia dengan tajam penglihatan

>0.2 dan berat dengan tajam penglihatan 0.2-0.05. Derajat ambliopia pada penelitian ini terbanyak yaitu derajat sedang sebanyak 51.9%. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Weber yang melaporkan hasil ambliopia derajat sedang sebanyak 70% dan derajat berat sebanyak 30%.12

Penatalaksanaan pada ambliopia tergantung oleh penyebabnya.

Penatalaksanaan dimulai sejak dini akan meningkatkan prognostik visual yang baik tetapi saat ini terapi ambliopia diatas usia 10 tahun masih dapat memberikan peningkatan penglihatan.

Kesuksesan terapi ambliopia ini sangat bergantung dengan kepatuhan pasien dan edukasi kepada orang tua merupakan faktor yang penting.

(5)

Keadaan ambliopia dapat membaik dalam beberapa bulan maupun tahun tetapi dapat terjadi rekurensin 24%

setelah satu tahun, sehingga pemeriksaan yang rutin sangat penting dalam memantau keberhasilan terapi ambliopia.3,13

Terapi ambliopia refraktif dapat berupa koreksi kelainan refraktif dan oklusi atau penalisasi pada mata yang tidak ambliopia untuk menstimulasi perkembangan visual pada mata yang ambliopia. Terapi ini bergantung pada tipe ambliopia, usia dan derajat ambliopia. Terapi awal ambliopia isoametropia yaitu koreksi penuh kelainan refraktif dengan kacamata atau lensa kontak dan dievaluasi setelah 4-6 minggu kemudian kontrol setiap 4-6 bulan. Terapi pada ambliopia anisometropia setelah koreksi penuh selama 4-6 minggu dapat dievaluasi terapi tambahan berupa oklusi.

Penelitian ini didapatkan terapi kacamata sebesar 92.8% dan kacamata dengan oklusi sebesar 7.2%. Hasil ini sesuai dengan jenis ambliopia yang paling banyak pada penelitian ini yaitu ambliopia isoametropia lalu beberapa pasien dengan jenis ambliopia anisometropia yang masih dalam terapi awal koreksi dan juga beberapa pasien yang tidak kontrol kembali setelah terapi awal diberikan. Pasien yang kontrol teratur pada penelitian ini hanya 28.3%.

Kepatuhan kontrol pada terapi ambliopia dapat disebabkan status pendidikan orang tua, pemahaman orang tua terhadap manfaat terapi, dan jarak tempat tinggal terhadap rumah sakit.3,14,15 Jenis kelainan refraksi pada pasien ambliopia refraktif pada penelitian ini paling banyak yaitu astigmatisme miopia kompositus (60.0%) dan diikuti dengan jenis astigmatisme lainnya. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Gupta dkk dengan hasil kelainan refraktif

astigmatisme (41.93%), Sapkota dkk dengan astigmatisme (59.2%), dan Xiao dkk juga melaporkan astigmatisme (92%) pada pasien ambliopia.16

Kesuksesan terapi ambliopia dapat nilai dengan adanya perbaikan tajam penglihatan pada mata ambliopia. Tidak didapatkan adanya batasan perbaikan tajam penglihatan dalam menentukan kesuksesan terapi. Hasil dari penelitian ini terhadap hasil penatalaksanaan ambliopia refraktif dinilai dari tajam penglihatan pada kontrol terakhir dan hanya pada pasien yang kontrol teratur yaitu 68.1% mengalami perbaikan tajam penglihatan, 30% tetap dan hanya 3 pasien (1.9%) yang mengalami penurunan tajam penglihatan. Penelitian yang dilakukan Stewart dkk pada studi Monitored Occlusion Treatment of Amblyopia Study (MOTAS) melaporkan perbaikan tajam penglihatan dapat terjadi pada 15-18 minggu sejak terapi awal ambliopia. Penelitian Wallace dkk melaporkan hasil terapi ambliopia bilateral refraktif pada 1 tahun terapi dengan perbaikan rerata 3.9 baris dengan terapi kacamata pada 73% anak dengan kepatuhan kontrol dan pemakaian kacamata 75-100%. Berdasarkan ATS yang membandingkan terapi oklusi dan penalisasi pada ambliopia derajat sedang memberikan hasil terapi perbaikan tajam penglihatan >3 baris pada 79% terapi oklusi dan 74% terapi penalisasi pada 6 bulan terapi.17,18

Terapi tambahan ambliopia pada penelitian ini berupa terapi oklusi dengan sebagian besar derajat ambliopia yaitu derajat sedang dengan hasil perbaikan tajam penglihatan pada 68.1%

pasien. Penurunan tajam penglihatan terjadi pada 3 pasien dalam penelitian ini yaitu terjadi penurunan tajam penglihatan pada kontrol terakhir sebesar 1 baris. Penurunan tajam

(6)

penglihatan ini dapat disebabkan penggunaan chart yang berbeda dan tingkat kooperatif pasien. Penurunan tajam penelitian pada pasien ini juga belum dapat disimpulkan hasil terapi ambliopia yang gagal dikarenakan pasien-pasien dengan ambliopia isoametropia baru dapat mencapai tajam penglihatan terbaiknya setelah 1-2 tahun dari terapi kacamata diberikan sedangkan rentang kontrol pasien ini yaitu 3-6 bulan.14,18

SIMPULAN

Ambliopia refraktif pada tahun 2015 di Poli Pediatrik oftalmologi dan strabismus PMN RS Mata Cicendo terjadi pada 53.04% dari seluruh pasien anak dengan kelainan refraktif.

Ambliopia yang terjadi pada anak dengan kelainan refraksi jika tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang permanen. Penanganan yang baik terhadap kelainan refraktif dan deteksi dini terhadap kejadian ambliopia dapat mencegah hal tersebut. Kepatuhan pasien terhadap pemeriksaan rutin dan penggunaan kacamata ataupun terapi oklusi sangat berperan penting terhadap keberhasilan terapi ambliopia.

Saran penelitian ini peningkatan edukasi terhadap orang tua dalam pengetahuan pentingnya pemeriksaan rutin yang jangka panjang dan kepatuhan pemakaian kacamata atau oklusi pada penderita ambliopia refraktif dalam mencegah kehilangan penglihatan yang permanen.

DAFTAR PUSTAKA

1. Morya AK, Khan FR. Management of Refractive Amblyopia in all Age Group by Triple Technique Therapy.

Sch J App Med Sci.

2015;3(2A):555–7.

2. Caca I, Cingu AK, Sahin A, Ari S,

Dursun ME, Dag U, et al. Amblyopia and Refractive Errors Among School- Aged Children With Low Socioeconomic Status in Southeastern Turkey. J Pediatr

Ophthalmol Strabismus.

2013;50(1):37–43.

3. Bradfield YS. Identification and Treatment of Amblyopia. 2013;

4. WHO. WHO _ Visual impairment and blindness [Internet]. World Health Organization. 2014. p. Fact Sheet No.282. Diunduh dari:

http://www.who.int/mediacentre/fact sheets/fs282/en/

5. Xiao O, Morgan IG, Ellwein LB, He M. Prevalence of Amblyopia in School-Aged Children and Variations by Age , Gender , and Ethnicity in a Multi-Country Refractive Error Study. Am Acad

Ophthalmol [Internet].

2016;122(9):1924–31. diunduh dari:

http://dx.doi.org/10.1016/j.ophtha.20 15.05.034

6. Rajavi Z, Sabbaghi H, Baghini AS, Yaseri M, Moein H, Akbarian S, et al. Prevalence of Amblyopia and Refractive Errors Among Primary School Children. J Ophthalmic Vis Res. 2015;10(4):408–16.

7. Lee C, Lee Y, Lee S. Factors influencing the prevalence of amblyopia in children with anisometropia. Korean J Ophthalmol.

2010;24:225–9.

8. Faghihi M, Ostadimoghaddam H, Yekta AA. Amblyopia and strabismus in Iranian schoolchildren,

Mashhad. Strabismus.

2011;19(4):147–52.

9. Mehmood F, Gupta Y, S ARR.

Anisometropia , Ametropia and Amblyopia and Their Effect on Near Visual Acuity. J Ophthalmic Clin Res. 2015;2(007):7–10.

10. Karki K. Prevalence of amblyopia in ametropias in a clinical set-up.

Kathmandu Univ Med J.

2006;4(4):470–3.

(7)

11. Petroysan T. Amblyopia : The Pathophysiology Behind It and Its Treatment. Am Optom Assoc.

2015;1(2000):1–15.

12. Webber A, Wood JM, Gole GA, Brown B. The Effect of Amblyopia on Fine Motor Skills in Children.

Investig Ophthalmol Vis Sci J.

2009;49:594–603.

13. Doshi NR, Rodriguez MLF.

Amblyopia. Am Acad Fam

Physicians [Internet].

2007;75(3):361–7. Diunduh dari:

www.aafp.org/afp

14. Rouse MW, Cooper JS, Cotter SA, Press LJ, Tannen BM. Care of the Patient with Amblyopia. 1st ed.

Rouse MW, Cooper JS, Cotter SA, Press LJ, Tannen BM, editors.

Optometric Clinical Practice Guidline. St. Louis: AOA Board Of Trustees; 2005. hlm 1-31.

15. Awan M. Amblyopia and Visual Development. University of Leicester; 2008.

16. Gupta M, Rana SK, Mittal SK, Sinha R. Profile of Amblyopia in School going ( 5-15 years ) Children at State Level Referral Hospital in Uttarakhand. J Clin Diagnostic Res.

2016;10(11):9–11.

17. Stewart C, Moseley M, Stephens D, Fielder A. Treatment dose-response in amblyopia therapy: the Monitored Occlusion Treatment of Amblyopia Study (MOTAS). Invest Ophthalmol Vis Sci. 2004;45:3048–54.

18. Wallace DK, Chandler DL, Beck RW, Arnold RW, Bacal DA, Birch EE, et al. Treatment of Bilateral Refractive Amblyopia in Children Three to Less Than 10 Years of Age.

Am J Ophthalmol. 2007;144:487–96.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Daisuke Miyamoto A Study of the Relation Between Endangered Language and Common Language Policy in China Abstract This paper mainly discusses common language policy in China from a

2 In determining whether an agreement is or is not against the public interest the Commission may have regard to and may apply and give effect to any principles, guidelinos or