• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sementara itu, lebih luas diketahui bahwa resiliensi juga dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan berpengaruh terhadap kesejaheraan psikologis individu khususnya di masa pandemi COVID-19

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Sementara itu, lebih luas diketahui bahwa resiliensi juga dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan berpengaruh terhadap kesejaheraan psikologis individu khususnya di masa pandemi COVID-19"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

8 ANTESEDEN DAN HASIL DARI RESILIENSI

ANTECEDENT AND OUTCOME OF RESILIENCE Salsabila Arum Pratiwi1, Baiq Sandiati Yuliandri2

Universitas Islam Indonesia1,2

[email protected]1, [email protected]2

Abstrak: Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi ketika menghadapi kejadian berat atau masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupannya. Resiliensi dibutuhkan oleh individu untuk dapat bertahan dalam kehidupan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih dalam tentang resiliensi dan hal yang berkaitan dengannya. Adapun metode penelitian dalam penelitian ini adalah menggunakan pengumpulan penelitian-penelitian sebelumnya sebagai studi literatur.

Ditemukan bahwa terdapat beberapa aspek resiliensi yaitu regulasi emosi, pengendalian dorongan, kemampuan mengindentifikasi penyebab masalah, efikasi diri, optimisme, empati dan keterjangkauan.

Resiliensipun dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Telah banyak penelitian yang menjadikan resiliensi sebagai variabelnya. Diketahui bahwa resiliensi memberikan dampak yang positif di berbagai aspek kehidupan manusia. Resiliensi dapat meningkatkan kepercayaan diri, self esteem, dan optimisme mahasiswa dalam kegiatan pembelajarannya. Sementara itu, lebih luas diketahui bahwa resiliensi juga dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan berpengaruh terhadap kesejaheraan psikologis individu khususnya di masa pandemi COVID-19.

Kata kunci: resiliensi, aspek, faktor, alat ukur.

Abstract: Resilience is the ability to overcome and adapt when facing hard situations and problems that occur in life Resilience is needed for an individual to survive in this life. This study aims to find out more about resilience and the matters related to it. The research method in this study is to use the collection of previous studies as a literature study. There are several aspects of resilience, there is emotional regulation, motivation control, self-efficacy, optimism, empathy, and affordability.

Resilience is also affected by several factors both internal and external. There have been many studies that make adaptations related to resilience measuring instruments. It was found that there are several aspects of resilience, namely emotion regulation, impulse control, ability to identify the cause of problems, self-efficacy, optimism, empathy, and affordability. Resilience is influenced by several factors both internally and externally. There have been many studies that make resilience a variable.

It is known that resilience positively impacts various aspects of human life. Resilience can increase the confidence, self-esteem, and optimism of students in their learning activities. Meanwhile, it is widely known that resilience can also improve the quality of health and affect the psychological welfare of individuals, especially during the COVID-19 pandemic.

Keywords: resilience, aspect, factor, measurement instrument

(2)

9 PENDAHULUAN

Setiap orang pasti memimpikan hidup yang berjalan dengan baik dan tanpa hambatan.

Akan tetapi, apa yang diharapkan tak selamanya sesuai dengan realita yang ada.

Kesenjangan antara harapan dan kenyaaan tersebut seringkali dianggap sebagai sebuah masalah. Oleh karena itu, sangat diperlukan resiliansi yang dapat berfungsi sebagai cara untuk mengatasi, mengendalikan bouncing back dan reaching out kehidupan seseorang (Reivich

& Shatte, 2002).

Resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002) adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Setiap individu membutuhkan resilien dalam kehidupannya. Hal ini dikarenakan dengan memiliki resiliensi seseorang akan lebih mampu dalam mengatasi dan menghadapi berbagai macam rintangan dalam hidup (Deswanda, 2019). Akan tetapi, tak banyak individu yang mampu mengatasi dan melewati masalah dengan baik. Sementara itu, dalam Islam Allah SWT telah berfirman melalui Quran Surat Al- Isnyirah ayat 5 yang artinya “Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan,” secara tersurat bahwa Allah SWT telah mengatakan bahwa setiap kesulitan yang ada pasti memiliki jalan keluar, dan hal tersebut dapat menjadi daya lenting seseorang setiap manghadapi permasalahan. Selain itu, seyogyanya dengan hal tersebut individu sebaiknya selalu memandang segala sesuatu yang menimpanya dengan lebih positif dan optimis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sari dan Wulandari (2015) yang menyatakan bahwa resiliensi dibutuhkan oleh individu dalam menghadapi situasi-situasi yang berat dalam kehidupannya.

Lebih jauh, Reivich dan Shatte (2002) memaparkan beberapa karakteristik orang- orang yang memiliki resiliensi diantaranya adalah kemampuan mengatasi stres, mampu bersikap realistis dan optimis dalam mengatasi masalah, dan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan nyaman. Sementara itu, Goldstein dan Brooks (Deswanda, 2019) menjabarkan karakteristik individu dengan resiliensi memiliki kemampuan menghadapi setiap tantangan, dapat pulih dari kekecewaan, kesalahan, trauma dan kesengsaraan serta mampu mengembangkan tujuan yang lebih jelas dan realistis serta dapat memecahkan

masalah dan memiliki kehidupan sosial yang baik.

Salah satu contoh yang terkini adalah mengenai pandemi COVID-19. Pandemi COVID-19 yang saat ini masih mewabah di sebagian besar belahan dunia, termasuk Indonesia semakin hari kian semakin mengkhawatirkan. Penyebaran virus yang begitu cepat membuat sebagain besar masyrakat panik yang berujung pada adanya berbagai upaya penganggulangan seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga lock down.

Tidak hanya itu, pandemi COVID-19 ini pun mengubah banyak hal pada tatanan kehidupan masyakarat seperti sekolah yang harus dilakukan jarak jauh, pekerjaan yang harus dilakukan dari rumah dan masih banyak lagi.

Keadaan-keadaan tersebut sering kali menimbulkan berbagai permasalahan.

Kajian terdahulu menujukkan bahwa permasalahan atau dampak yang diakibatkan karena adanya pandemi COVID-19 banyak menyangkut permasalahan psikologis. Kajian yang dilakukan Zulva (2020) menunjukkan bahwa individu lebih rentan mengalami kecemasan hingga psikosomatis karena dibanjiri informasi yang terus-menerus tentang COVID-19. Temuan Zulva (2020), sejalan dengan temuan Susanto (2020) yang menyatakan bahwa gangguan kesehatan mental yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 seperti kecemasan, depresi, insomnia, somatisasi, gejala obsesif-kompulsif, sensitivitas interpersonal hingga post traumatic stress disorder (PTSD). Lebih jauh, WHO (2020) menyatakan bahwa ketakutan, kekhawatiran, dan stres adalah respon yang dialami masyarakat akibat ketidakpastian dari kapan berakhirnya COVID-19. Individu diharapkan dapat membuat suatu benteng pertahanan diri untuk menghadapi situasi pandemi COVID-19 dan situasi-situasi lainnya yang mungkin menyebabkan permasalahan psikologis. Grotbegr (Maulidya & Eliana, 2013) pun menyatakan bahwa untuk menghadapi berbagai situasi sulit dalam hidup individu memerlukan kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang terjadi dan bukan lari dari kesulitan dan hal tersebut dinamakan dengan istilah resiliensi. Pandemi COVID-19 merupakan satu dari sekian banyak contoh kondisi berat yang mungkin dialami oleh individu, sehingga individu sangat memerlukan resiliensi dalam hidupnya.

(3)

10 Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa individu yang memiliki resiliensi menunjukkan sifat-sifat positif dalam mengahadapi segala macam bentuk tekanan dalam kehidupannya (Sari & Wulandari, 2015).

Penelitian yang dilakukan Siebert (Achmad &

Darmawati, 2014) menunjukkan bahwa individu dengan kemampuan resiliensi yang baik akan mampu bangkit menjadi individu yang lebih kuat, lebih baik dan menemukan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

Resiliensi juga mampu membuat seseorang memiliki kekuatan, melakukan pengabdian pada pekerjaannya dan selalu berkonsentrasi tinggi dalam melaksanakan tugas atau dengan kata lain seseorang dengan resiliensi yang baik memiliki work engagement yang baik (Damayanti, 2018). Sementara itu, dalam dunia pendidikan di katakan bahwa individu dengan resiliensi yang baik akan lebih mampu melewati segala kesulitan dan masalah dalam pendidikannya (Sari, Aryansah & Sari, 2020).

Berdasarkan ulasan di atas, dapat dikatakan bahwa resiliensi merupakan hal penting yang sebaiknya dimiliki oleh setiap individu di dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, adapaun tujuan penulisan studi ini adalah untuk memaparkan informasi mengenai pengertian, aspek, faktor yang mempengaruhi terciptanya resiliensi, alat ukur resiliensi serta gambaran bagaimana resiliensi memberikan dampak yang positif bagi kehidupan manusia.

Oleh karena itu, resiliensi merupakan sesuatu hal yang penting yang harus dimiliki individu dalam menjalani kehidupannya.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kiteratur. Menurut Zed (Kartiningrum, 2015) metode ini merupakan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengelolah bahan penelitian. Studi literatur ini diambil berasal dari textbook, jurnal, artikel ilmiah. Studi literatur ini berisikan tentang konsep dari penelitian ini. Data yang digunakan berasal dari textbook, jurnal, artikel ilmiah, literature review yang berisikan tentang konsep yang diteliti. Adapun jumlah dari literatur yang dipakai adalah sebanyak 29 jurnal.

Sementara itu, literatur-literatur yang digunakan dalam penelitian ini dipilih melalui jurnal-jurnal terdahulu yang mengkaji mengenai resiliensi

baik secara online maupun offline berupa textbook. Sebelum akhirnya menentukan literatur yang digunakan, peneliti terlebih dahulu menentukan cakupan yang akan dikaji dalam studi ini, seperti halnya defnisi, aspek, faktor hingga alat ukur dari resiliensi.

Kemudian setelah itu, peneliti menyesuaian relevensi literatur-literatur yang digunakan dengan tujuan dari penulisan studi. Literatur- literatur yang digunakan dalam studi ini mencakup literatur yang memaparkan menganai resliensi dari yang terdahulu hingga terbaru.

HASIL

Pengertian Resiliensi

Wolin dan Wolin (1993) mengartikan resiliensi sebagai proses usaha untuk menghadapi kesulitan, memperbaiki diri, tetap teguh saat berhadapan dengan kemalangan serta kemampuan beradaptasi. Tidak jauh berbeda, Reivich dan Shatte (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi ketika menghadapi kejadian berat atau masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan. Resiliensi juga diartikan sebagai kualitas pribadi yang memungkikan individu untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan (Connor & Davidson, 2003). Luthar, dkk (Schoon, 2006) juga menjelaskan resiliensi sebagai proses yang menunjukkan kemampuan adaptasi individu dalam menghadapi masa- masa sulit yang berarti.

Van Brada (Nisa & Muis, 2016) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dari siatuasi yang menakan, trauma, aau kejadian yang membuat shock dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia menuju ke arah pengembangan yang positif. Sementara itu, Taufik (Ambarwati & Pihasniwati, 2017) menyatakan bahwa resiliensi atau daya lentur merupakan proses kemampuan psikologis individu dalam merespon stressor kehidupan yang dialaminya. Selanjutnya, Pahlevi dan Salve (2018) menjelaskan bahwa resiliensi adalah suatu bentuk respon yang dilakukan secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, untuk kemudian mengatasi perubahan hidup pada level yang tinggi serta merupakan kapasitas individu dalam mengatasi, memperkuat diri, dan melakukan perubahan sehubungan dengan ujian yang dialaminya.

(4)

11 Resiliensi tidak hanya terdapat dalam perspektif

psikologi barat, melainkan juga terdapat dalam Islam. Adz-Dzakiey (Wahidah, 2018) menyatakan bahwa resiliensi dalam sudut pandang Islam memiliki beberapa indikator seperti bersikap sabar baik hati dan jiwa dalam menerima seluruh permasalahan hidup yang berat dan menyakitkan atau bahkan yang membahayakan kesalahan diri lahir dan batin.

Mujib (Wahidah, 2018) menegaskan bahwa kesabaran individu akan mampu membawanya terhindar dari berbagai kegelisahan dan kegoncangan jiwa. Lebih jauh dalam QS Al- Insyirah ayat 1-8 terdapat kalimat yang diulangi yaitu perihal kesulitan dan kemudahan. Ayat 5- 6 dalam surah ini mampu memberikan semangat kepada manusia untuk senantiasa semangat dalam menghadapi kesulitan karena Allah SWT telah menjamin setelah kesulitan akan ada kemudahan.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi ketika menghadapi kejadian berat atau masalah- masalah yang terjadi dalam kehidupannya.

Lebih jauh, resiliensi juga merupakan hal yang sebaiknya dimiliki oleh setiap individu guna menunjang kehidupannya. Hal ini dikarenakan Allah SWT menjamin bahwa setiap kesulitan yang individu alami akan menemukan jalan keluarnya.

Aspek-aspek Resiliensi

Menurut Connor dan Davidson (2003) terdapat lima aspek yaitu pertama aspek personal competence, high standards dan tenacity yang merupakan aspek untuk mendukung individu untuk terus maju terhadap tujuan. Kedua, aspek trust in one’s instincts, tolerance of negative affect dan strengthening effects of stress yang merupakan aspek yang berfokus pada ketenangan diri, ketepatan waktu dan keputusan individu saat mengahdapi stres.

Ketiga, aspek positive acceptance of change and secure relationships yaitu aspek yang berakaitan dengan bagaimana individu beradaptasi. Keempat, aspek control yaitu aspek yang berfokus pada kontrol individu untuk mencapai tujuan dan kemampuan untuk mendapatkan bantuan dari orang lain. Kelima, aspek spiritual infuences yaitu kepercayaan individu pada tuhan dan nasibnya.

Selanjutnya menurut Reivich dan Shatte (2002) terdapat tujuh aspek dari

resiliensi. Pertama, aspek regulasi emosi yaitu aspek yang dapat melihat kemampuan untuk mengelola sisi internal diri agar tetap efektif untuk membantunya mengendalikan emosi, perhatian maupun perilakunya dengan baik.

Aspek ini menjelaskan bahwa pengendalian emosi dapat dibantu dengan regulasi emosi yang baik pula.

Kedua, aspek pengendalian dorongan yaitu aspek yang melihat kemampuan untuk mengelola bentuk perilaku dari impuls emosional pikiran termasuk kemampuan untuk menunda mendapatkan hal yang dapat memuaskan bagi individu dan dapat mengendalikan dorongan, Pengendalian dorongan dapat membantu individu untuk melakukan hal-hal tidak diinginkan di kemudian hari.

Ketiga, aspek analisis kausal yaitu kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab dari permasalahan secara akurat dan mendapatkan sesuatu yang berpotensi menjadi solusi dari permasalahan tersebut, Saat individu telah memiliki analisis kausal, akan lebih mudah untuk menganalissis penyebab permasalahan dan mencari solusi sehingga dapat keluar dari permasalahan dengan solusi yang telah dipikirkan secara akurat.

Keempat, aspek efikasi diri yang merupakan keyakinan individu untuk dapat memecahkan masalah dan yakin bahwa dirinya telah melakukan dengan baik serta menempatkan diri berada di stempat yang baik.

Efikasi diri ini diperlukan ketiga solusi telah dipikirkan tetapi individu harus terus berpikir cara menjalankan solusi tersebut dengan keyakinan diri serta menempatkan dirinya.

Kelima, aspek realistis dan optimis yang merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk tetap positif terhadap masa depan yang belum terealisasikan dan melibatkan akurasi dan realisme, Ketika individu dapat tetap positif dalam menjalani hidup serta realistis akan berkuranglah rasa khawatir dan kegelisahan sehingga lebih mudah untuk bangkit.

Keenam, aspek empati yaitu dapat melihat kemampuan individu untuk membaca isyarat perilaku orang lain untuk memahami keadaan emosional orang tersebut sehingga dapat membangun hubungan yang lebih baik.

Memiliki kemampuan empati ini mempermudah individu untuk beradaptasi dan mengenal individu baru.

(5)

12 Ketujuh, aspek keterjangkauan yaitu

kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek positif dari kehidupan sehingga dapat mengambil suatu kesempatan baru sebagai tantangan. Keterjangkauan ini dapat menjadi pondasi bagi individu untuk meningkatkan pandangan positifnya kepada kehidupan.

Selanjutnya menurut Hendirson (Fransisca, 2004) aspek dalam resiliensi yaitu, pertama I have yaitu aspek dimana individu mempunyai sumber daya seperti dukungan eksternal untuk membangun perasaan aman.

Dukungan dalam I have ini seperti individu memiliki hubungan yang dapat individu percaya, struktur dan aturan di rumah yang baik, model peran dan role yang baik, dorongan untuk mengatur diri sendiri, memiliki hubungan dengan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan diri dan pelayanan keamanan.

Kedua, aspek I am yaitu kekuatan diri individu yang berakitan dengan konsep diri dan integritas pribadi. Contoh dari aspek I am adalah perasaan individu untuk memiliki perasaan dicintai, memiliki rasa mencintai, bangga dengan diri sendiri, dapat mengatur serta bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri dan adanya harapan perjuangan dan kepercayaan pada dirinya.

Ketiga, aspek I can yaitu aspek dimana individu memiliki kemampuan yang berkaitan dengan kapabilitas, kemampuan dan efikasi diri. Aspek I can ini meliputi kemampuan komunikasi, kemampuan individu dalam mengatasi masalah, mengatur perasaan dan dorongan dalam dirinya serta mencari hubungan yang dapat dipercaya.

Berdasarkan pemaparan beberapa aspek di atas, penulis mengerucutkan bahwa aspek resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002) adalah aspek yang sebaiknya dimiliki oleh semua individu. Hal ini dikarenakan aspek tersebut mencakup semua aspek kehidupan manusia baik secara internal maupun eksternal.

Sementara, untuk aspek dari Hendirson, Connor dan Davidson masih berfokus pada diri individu secara internal saja.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi resiliensi dalam diri seseorang salah satunya adalah Resnick, Gwither dan Roberto (2011) dikatakan bahwa,

dukungan sosial (social support), spritualitas, dan emosi positif. Pertama, adalah dukungan sosial (social support), dikatakan bahwa individu yang memiliki dukungan sosial yang baik lebih resilien dalam menghadapi berbagai permasalahannya. Dukungan sosial sering dih ubungan dengan resiliensi bagi mereka yang sedang berjuang mengalami kesulitan dan kesengsaraan, dikatakan bahwa individu yang dikelilingi oleh orang-orang di sekitarnya akan berdampak pada penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan dalam proses bangkit yang dilakukan oleh individu.

Kedua, adalah faktor spritualitas. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan resiliensi pada individu adalah ketangguhan (hardiness) dan keberagaman serta spritualitas. Faktor spritaulitas membuat individu percaya bahwa Tuhan adalah penolong dalam setiap kesengsaraan yang tengah dialaminya. Individu yang mengalami kesengsaraan dan memiliki faktor spritualitas dalam dirinya percaya bahwa tidak hanya manusia yang mampu menyelesaikan segala kesengsaraan yang ada, melainkan dalam prosesnya ia percaya bahwa Tuhan adalah penolong setiap hamba.

Ketiga adalah faktor emosi positif.

Emosi positif merupakan faktor penting dalam menentukan resiliensi seseorang. Emosi postif sangat dibutuhkan ketika menghadapi suatu situasi yang kritis dan tidak diinginkan. Emosi positif yang dimiliki individu tersebut mampu membuatnya lebih positif dalam memandang setiap permasalahan dan meningkatkan rasa syukur yang mampu mengurangi stres dan emosi negatifnya.

Sejalan dengan faktor emosi yang dikemukakan oleh Resnick, Gwither dan Roberto (2011), dikatakan bahwa gratitude atau rasa syukur merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan resiliensi seseorang.

Kumar dan Dixit (2014) menyatakan bahwa rasa syukur individu berpengaruh pada bagaimana individu tersebut resilien dalam menghadapi masalah. Individu yang memiliki rasa syukur, akan melihat hal negatif yang menimpanya sebagai sesuatu yang positif dan harus disyukuri, lebih jauh dikatakan pula bahwa kegagalan atau masalah yang sedang dihadapi adalah proses untuk mengarah ke hal yang lebih baik.

Selain itu dikatakan juga faktor demografi seperti usia dan jenis kelamin mempengaruhi tingkat resiliensi individu.

Tefera dan Mulatie (2014) berdasarkan hasil

(6)

13 penelitiannya mengungkapkan bahwa individu

yang lebih dewasa cenderung akan lebih resilien dibandingkan individu yang relatif lebih muda. Temuan ini didukung oleh pernyataan Sewasew, Lewshon dan Kassa (1027) yang menyatakan bahwa tingkat resiliensi individu dewasa lebih baik dibandingkan anak ataupun remaja. Hal ini dikarenakan seiring bertambahnya usia akan meningkatkan kemampuan seseorang dalam emotional regulated (Deswanda, 2019). Sementara, jika berdasarkan usia, dikatakan bahwa perempuan memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Sobana, 2018). Sobana (2018) menjelaskan bahwa kondisi tersesbut disebabkan karena perempuan cenderung terbuka dengan orang-orang disekelilingnya, sehingga dapat mengurangi gejala masalah emosional, sementara dikatakan bahwa laki-laki lebih tertutup.

Alat Ukur Resiliensi

Perdana (2018) dalam penelitiannya menggunakan skala resiliensi yang diadaptasi dari skala resiliensi versi China yang telah dirancang oleh Yu dan Zhang (2007) yang berasal dari adaptasi Connor-Davidson’s Resilience Scale (CDRISC) yang berjumlah 25 aitem. Aspek yang diukur pada skala resiliensi yang digunakan oleh Perdana (2018) yaitu aspek tenacity (kegigihan), strength (kekuatan) dan optimism (optimisme).

Selanjutnya berdasarkan penelitian dari Aldi (2019) yang menggunakan skala resiliensi yang berasal dari adaptasi dari skala resiliensi dari Grotberg (Reni Setya, 2014) yang memiliki 16 aitem dengan skor realibilitas alpha sebesar 0.93. Aspek yang diukur pada skala resiliensi yang digunakan oleh Aldi (2019) yaitu aspek i have, i am, I can. Sementara dalam penelitiannya yang lain, Adli (2020) yang menggunakan skala dari The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) yang memiliki 10 aitem dan memiliki koefisien reliabilitas alpha sebesar 0.76. Aspek yang diukur dalam alat ukur ini adalah kompetensi pribadi, kuat menghadapi tekanan, penerimaan positif, pengendalian diri dan spiritualitas. Berikut sebaran data peraspek dari alat ukur yang digunakan yaitu sebagai berikut

Sedangkan berdasarkan penelitian dari Wirottama (2020) yang menggunakan skala dari Connor Davidson yang telah dimofikasi dan terdiri dari 27 aitem. Aspek yang diukur dalam skala ini adala fleksibilitas untuk

mesnghadapi perubahan dan tantangan, dukungan keluarga dan lingkungan sosial, pengaruh spiritual (yakin kepada Tuhan), dan memiliki kehidupan yang berorientasi pada tujuan). Berikut sebaran data peraspek dari alat ukur yang digunakan yaitu sebagai berikut

PEMBAHASAN

Individu hendaknya memiliki resiliensi dalam diri. Hal tersebut dikarenakan resiliensi yang dimiliki oleh individu dapat membuat individu lebih optimis, yakin dan lebih tenang karena dapat mengontrol emosinya, sehingga dapat membuat individu lebih mudah dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya (Sari, Aryansah & Sari, 2020).

Pandemi COVID-19 yang belum dapat diprediksi kapan berakhir, rentan membuat individu mengalami stress. Berbagai kondisi yang tidak menggenakkan di masa pandemi COVID-19 ini dapat dilalui oleh individu jika dirinya memiliki resiliensi yang baik.

Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa resiliensi berperan penting dalam kehidupan individu. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Sholichah, Paulana, dan Fitrya (2018) menunjukkan bahwa reiliensi dan self-esteem berperan dalam mempersiapkan mahasiswa menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi di masa pandemi COVID-19. Tidak hanya itu, studi yang dilakukan oleh Roellyana dan Listiyandini (2016) menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki resiliensi yang tinggi akan lebih percaya diri dan optimis dalam menjalankan kegiatan akademiknya.

Selanjutnya penelitian terbaru yang dilakukan oleh Sari, Aryansah dan Sari (2020) juga menunjukkan bahwa resiliensi yang dimiliki oleh mahasiwa berpengaruh terhadap proses pembelajarannya.

Tidak hanya di bidang akademik, resiliensi pun sangat berperan dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati, Listyandini dan Rahmatika (2019) menunjukkan bahwa resiliensi memiliki peranan terhadap kualitas kesehatan. Artinya bahwa seseorang yang memiliki resiliensi yang baik, cenderung akan memiliki kesehatan yang lebih baik pula dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki resiliensi. Kemudian, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Indrawati (2019) ditemukan bahwa resiliensi bersama-sama dengan religiusitas berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis pada guru di

(7)

14 PAUD rawan bencara rob. Dikatakan bahwa

individu yang memiliki resiliensi tinggi, maka memiliki regulasi emosi yang baik dan hal tersebut dapat membuat individu tetap tenang walaupun dalam kondisi yang genting dan membuat tertekan (Indrawati, 2019). Hal ini sejalan dengan kondisi pandemi COVID-19, yang mengharuskan individu untuk tetap tenang agar terhindar dari stress yang dapat berdampak pada kesejahteraan psikologis individu.

Penelitian terbaru oleh Kurniawan dan Susilo (2021) menunjukkan bahwa selama pandemi COVID-19 individu menunjukkan berbagai macam dinamika resiliensi pada penyintas COVID-19. Kurniawan dan Susilo (2021) dalam temuannya menyatakan bahwa individu yang resiliensi dalam menghadapi COVID-19 ini adalah mereka yang memiliki faktor protektif seperti pola pikir adaptif, kemampuan mengelola emosi, dukungan sosial dan spiritual.

KESIMPULAN

Pandemi COVID-19 yang saat ini masih mewabah di sebagian besar belahan dunia, termasuk Indonesia semakin hari kian semakin mengkhawatirkan. Pandemi COVID- 19 merupakan satu dari sekian banyak contoh kondisi berat yang mungkin dialami oleh individu, sehingga individu sangat memerlukan resiliensi dalam hidupnya.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi ketika menghadapi kejadian berat atau masalah- masalah yang terjadi dalam kehidupannya.

Begitupula pada perspektif islam, resiliensi diartikan sebagai resiliensi bersikap sabar baik hati dan jiwa dalam menerima seluruh permasalahan hidup yang berat dan menyakitkan atau bahkan yang membahayakan kesalahan diri lahir dan batin. Kesabaran individu inilah yang akan mampu membawanya terhindar dari berbagai kegelisahan dan kegoncangan jiwa. Selain itu, terdapat beberapa aspek resiliensi yaitu regulasi emosi, pengendalian dorongan, kemampuan mengindentifikasi penyebab masalah, efikasi diri, optimisme, empati dan keterjangkauan.

Resiliensipun dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Resiliensi sangat dibutuhkan oleh individu untuk dapat bertahan dalam kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, M.I.B & Darmawati, I. (2014).

Resiliensi Pada Perempuan yang Dipoligami (Studi Kasus). Jurnal Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 2 (3), 1-13.

Adli, R. (2020). Tawakal dan resiliensi pada remaja panti asuhan Yogyakarta. Skripsi.

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Aldi, S.P. (2019). Resiliensi dan kesejahteraan

psikologis pada guru honorer di Kecamatan Karangkobar Kabupaten Banjarnegara. Skripsi. Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.

Ambarwati, R., & Pihasniwati. (2017).

Dinamika resiliensi remaja yang pernah mengalami kekerasan orang tua.

Psikologika, 22(1), 50-68.

Connor, K. M., & Davidson, J. R. T. (2003).

Development of a new resilience scale:

the Connor-davidson resilience scale (CD-RISC). Depression and Anxiety, 18(1), 76-82.

Damayanti, T. M. (2018). Pengaruh resiliensi terhadap work engagement pada masinis yang bertugas di statsiun tugu Yogyakarta. Jurnal Perkeretaapian Indonesia, II(2), 87-94.

Deswanda, A. R. (2019). Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi remaja yayasan sosial di Jakarta selatan. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Fransisca, I.R. (2004) Hubungan Antara Resiliensi dengan Depresi Pada Perempuan Pasca Pengangkatan Payudara (Mastektomi). Jurnal Psikologi.

Indrawati, T. (2019). Pengaruh resiliensi dan religiusitas terhadap kesejahteraan psikologis pada guru di paud rawan bencana rob. Al Athfaal: Jurnal Imliah Pendidikan Anak Usia Dini, 2(2), 71-82.

Kurniawan, Y., & Susilo, M. N. I. B. (2021).

Bangkit pascainfeksi: dinamika pada penyintas covid-19. Philanthropy Journal of Psychology, 5(1), 131-156.

Maulidya, M & Eliana, R. (2013). Gambaran Resiliensi Perantau Minangkabau yang Berwirausaha di Medan. Jurnal Psikologia. 8(1), 34-39

Nisa, M. K. & Muis, T. (2016). Studi tentang daya tangguh (resiliensi) anak

(8)

15 dip anti asuhan sidoarjo. e-Journal

UNES, 1(1), 40-44.

Perdana, M. (2018). Hubungan kebersyukuran dan resiliensi pada narapidana di Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.

Rahmawati, B.D., Listiyandini, R.A., Rahmatika, R. (2019). Resiliensi Psikologis dan pengaruhnya terhadap Kualitas Hidup terkait Kesehatan pada Remaja di Panti Asuhan, Analitika:

Jurnal Magister Psikologi UMA, 11(1), 21 – 30.

Ratih, A., & Pihansniwati. (2017). Dinamika resiliensi remaja yang pernah mengalami kekerasan orang tua.

Psikologika, 22(1), 50-68.

Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The resilience factor: 7 keys to finding your inner strength and overcoming life’s hurdles.

New York: Broadway Books.

Roellyna, S., & Listyani, R.A. (2016). Peranan optimisme terhadap resiliensi akademik pada mahasiswa pada mahasiswa tingkat akhir yang mengerjakan skripsi.

Konfrensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia, 1(1), 29-37.

Sari, D. A., & Wulandari, D. A. (2015).

Resiliensi diri dalam menghadapi tekanan kehidupan (studi pada rencana istri anggota tni angkatan darat). Psycho Idea, 13(1), 12-19.

Sari, S. P., Aryansah, J. E., & Sari, K. (2020).

Resiliensi mahasiswa dalam menghadapi pandemic covid-19 dan implikasinya terhadap pembelajaran.

Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application, 9(1), 17-22.

Sari, S. P., Aryansah, J. E., & Sari, K. (2020).

Resiliensi mahasiswa dalam menghadapi pandemi covid-19 dan implikasinya terhadap proses

pembelajaran. Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application, 9(1), 17-22.

Schoon, I. (2006). Risk and resilienceadaptation in changing time.

Cambridge : University Press.

Sewasew, D., Braun, L. 0., & Kassa, E. (2017).

The contribution of guardian care and peer support for psychosocial resilience among orphaned adolescents in Eithiopia. Contemporary Social Science, 12(3-4), 175-188.

Sobana, R. M. (2018). Comparison of resilience between male and female orphan children. International Journal of Research in Social Sciences, 8(5), 438- 448.

Solichah, L.F., Paulana, A. N., & Fitrya, P.

(2018). Self esteem dan resiliensi akademik mahasiswa. Proceding National Confrance Psikologi, UMG, 191-197.

Wahidah, E. Y. (2018). Resiliensi perspektif Al-Qur’an. Jurnal Islam Nusantara, 2(1), 105-120.

WHO. (2020). Mental health &

COVID-19. Dikutip dari WHO:

https://www.who.int/teams/mentalhealt h-and-substance-use/covid-19

Wirrota, D.W. (2020). Pelatihan kebersyukuran untuk meningkatkan resiliensi pada remaja dengan orang tua bercerai.

Tesis. Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.

Wolin, S. J.. & Wolin, S. (1993). The resilience self: how a survivor of troubled families rises above adversity. Villard: New York.

Zulva, T. N. I. (2020). Covid-19 Dan Kecenderungan Psikosomatis. J.

Chem. Inf. Model, 1–4.

Referensi

Dokumen terkait