• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA PERKAWINAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "DINAMIKA PERKAWINAN"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

Angayubagya penulis berdoa ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena atas kehendak dan niat tulus-Nya buku berjudul “DINAMIKA PERKAWINAN DALAM PAKAIAN: Kajian Yuridis dan Sosiologis” dapat terselesaikan sesuai rencana. Buku ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat dalam menyikapi permasalahan sosial keagamaan baik langsung maupun tidak langsung terkait perkawinan di laghang. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada pihak-pihak berikut ini.

I Wayan Suka Yasa, M.Si., selaku Direktur Program Pascasarjana Unhi Denpasar yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan fasilitas dalam proses penyelesaian skripsi ini sesuai dengan prosedur akademik yang baik. I Ketut Suda, M.Si., selaku Ketua Program Doktor Agama dan Kebudayaan, Program Pascasarjana Unhi Denpasar, atas dukungan dan kerjasamanya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga segala karma baik ini dilimpahkan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa dengan rezeki yang melimpah, kesehatan dan kadirgayusan.

Sebagai penutup, penulis berharap disertasi ini dapat diterima dan mempunyai berbagai data untuk perbaikan.

PENDAHULUAN

Sedangkan perkawinan Gelahang merupakan jenis perkawinan yang menentukan status purusa bagi kedua mempelai di rumah masing-masing. Dalam kasus seperti ini, perkawinan nyentana dan perkawinan gelahang menjadi alternatif tetap bagi keluarga yang tidak memiliki sentana purusa dalam keluarganya. Di sinilah perkawinan gelahang menjadi salah satu alternatif bagi keluarga yang tidak mempunyai sentana purusa, apalagi pada saat perkawinan nyentana sulit dilaksanakan.

Khusus di Kabupaten Karangasem, perkawinan di Gelahang seperti ini masih menuai untung dan rugi di masyarakat. Kontroversi perkawinan Gelahang pada masyarakat Hindu Bali di Kabupaten Karangasem tidak lepas dari perbedaan persepsi mengenai perkawinan tersebut, apalagi terjadi di luar norma atau keumuman yang berlaku dalam sistem adat. Melalui penelitian ini diharapkan dapat terungkap kejelasan penyebab, bentuk dan implikasi kontroversi perkawinan gelahang pada masyarakat Hindu Bali di Kabupaten Karangasem.

Buku ini ditulis dengan tujuan untuk menjelaskan perbedaan pemikiran, pendapat dan persepsi masyarakat Hindu Bali di Kabupaten Karangasem mengenai perkawinan gelahang.

PERKAWINAN PADA GELAHANG

Pertama, keadaan perkawinan di gelahang di Bali dengan menggambarkan banyaknya keluarga yang memilih jenis perkawinan tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah pernikahan yang diadakan di Gelahang di Bali dari tahun ke tahun. Pertama, yang menjadi fokus penelitian adalah kontroversi perkawinan antargelahang pada masyarakat Hindu Bali Kabupaten Karangasem yang tidak diungkapkan secara spesifik dalam penelitian.

Di Bali, perkawinan dengan gelahang dapat dilihat sebagai bentuk perkawinan 'baru' yang menuai keuntungan dan kerugian di masyarakat. Berbeda dengan perkawinan di gelahang, status purusa tetap pada kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa perjodohan sesuai dengan ajaran agama Hindu dan adat istiadat Bali.

Perkawinan gelahang juga dibenarkan menurut sumber hukum agama Hindu yaitu sruti, smrti, sila, peristiwa dan atmanastuti.

PENYEBAB TERJADINYA DINAMIKA PERKAWINAN PADA GELAHANG

Oleh karena itu, fenomena perkawinan gelahang dapat dicermati dalam konteks perubahan sosial sistem masyarakat tradisional Hindu Bali di Kabupaten Karangasem. Pandangan mengenai perubahan sosial sistem adat terkait perkawinan gelahang disampaikan Bagiarta (dalam FGD, 4 Mei 2017) sebagai berikut. Dalam kasus seperti itu, solusi yang paling tepat menurut saya adalah gelang pernikahan.

Ketiga, perkawinan di Gelahang menurut agama Hindu dapat dilangsungkan menurut tata cara upacara perkawinan yang lazim. Pendapat tersebut menunjukkan pengetahuan dan pengalaman hukum salah satu unsur masyarakat Hindu Bali Karangasem terkait perkawinan di Gelahang. Pengetahuan dan pengalaman tentang perkawinan di Gelahang juga diperoleh oleh elemen masyarakat lainnya sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda-beda.

Di sinilah konsensus penolakan nikah di gelahang terbentuk dan terus dipertahankan dalam kasus-kasus. Ungkapan peserta FGD menunjukkan bahwa perkawinan di lahang dipandang lebih banyak aspek negatifnya dibandingkan aspek positifnya. Dalam hal ini, perkawinan dengan gelahang tidak boleh menjadi beban tambahan bagi kehidupan masyarakat adat.

BENTUK DINAMIKA

Sebaliknya pihak yang menentang perkawinan di gelahang cenderung membangun pendapatnya berdasarkan sistem adat yang ada. Mereka yang melangsungkan perkawinan di Gelahang cenderung memandang bahwa hak dan kewajiban adat kedua mempelai memang bisa diatur melalui mekanisme adat. Ternyata masyarakat adat juga mempunyai logika sosial tersendiri terkait hak dan kewajiban adat dalam perkawinan gelahang.

Dari ungkapan informan tersebut terlihat jelas bahwa aturan yang menjadi dasar penentuan hak dan kewajiban adat bagi mereka yang melangsungkan perkawinan di Gelahang adalah awig-awig. Artinya, kondisi ini tidak akan menguntungkan baik bagi Desa Pakraman maupun pihak yang akan menikah di Gelahang. Pihak yang menerima perkawinan di Gelahang berpendapat bahwa hak dan kewajiban adat dapat ditentukan melalui kesepakatan yang melibatkan kedua keluarga dan prajuru adat.

Dengan demikian, hak dan kewajiban perjodohan secara adat tetap dapat dipenuhi tanpa mengubah sistem sosial. Pandangan hukum yang progresif ini rupanya menjadi landasan pemikiran pihak yang setuju (pro) menikah di gelahang di Kabupaten Karangasem. Dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung, kedudukan hukum dan status perkawinan dalam kaitannya dengan hukum adalah sah.

Perjanjian kontinjensi berpotensi tidak diatur dalam perkawinan gelahang karena faktor psikologis. Berbeda dengan persoalan kematian dan perceraian yaitu persoalan anak yang lahir dari perkawinan gelahang. Pandangan ini rupanya menjadi rujukan utama bagi pihak-pihak yang menerima perkawinan di gelahang.

Tradisi mapamit dalam upacara perkawinan di Gelahang menjadi isu penting yang diperdebatkan oleh pihak lain. Pendapat peserta FGD menunjukkan adanya pendapat bahwa perjodohan cenderung dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai permasalahan di Desa Pakraman. Artinya perkawinan gelahang dipandang menimbulkan permasalahan besar karena dilakukan oleh pihak-pihak yang bermasalah di Desa Pakraman.

Berbagai alasan inilah yang mendasari penolakan penolakan perjodohan pada masyarakat Hindu Bali di Kabupaten Karangasem.

IMPLIKASI DINAMIKA PERKAWINAN PADA GELAHANG TERHADAP AGAMA

DAN BUDAYA MASYARAKAT HINDU

Sebaliknya, pihak yang menentang menilai praktik pernikahan gelahang tidak sesuai atau bertentangan dengan tradisi agama Hindu di Bali. Dalam kontroversi pernikahan gelahang, terlihat pihak-pihak yang pro cenderung mendefinisikan kembali tradisi keagamaan yang terkait dengan pernikahan. Melalui penafsiran ini, tidak adanya prosesi mapam dalam pernikahan Gelahang dapat diterima secara rasional.

Redefinisi ini muncul akibat melemahnya otoritas adat, yaitu sistem adat yang tidak memperbolehkan perkawinan di gelahang. Dalam hal ini perjanjian menjadi acuan sistem perkawinan di Gelahang sebagai subkultur yang muncul dalam perkawinan adat Bali. Mereka yang pro terhadap pernikahan di Gelahang cenderung mendefinisikan kembali tradisi keagamaan, terutama jika menyangkut aspek-aspek yang berkaitan dengan pernikahan.

Implikasinya tidak lepas dari tidak disesuaikannya perkawinan gelahang dalam sistem adat pada umumnya. Oleh karena itu, pernikahan secara gelahang bagi pihak yang pro-partai dipandang sebagai solusi terbaik dan satu-satunya dalam situasi seperti ini. Pertama, penyesuaian perkawinan di Gelahang dalam sistem adat nampaknya menjadi wacana dominan yang disebarkan oleh pihak-pihak yang mendukung perkawinan di Gelahang.

Oleh karena itu, penataan kembali sistem patrilineal merupakan implikasi yang mau tidak mau terjadi ketika perkawinan di laghang diakomodir dalam sistem adat. Ideologi tersebut rupanya muncul dalam kontroversi wacana pernikahan gelahang di Kabupaten Karangasem. Perkawinan dengan gelahang memberikan hak waris penuh kepada anak perempuan dengan menetapkan status purusa.

Implikasi ini timbul jika pandangan pihak-pihak yang memihak pada perkawinan gelahang diterima oleh sistem adat umat Hindu Bali di Kabupaten Karangasem. Berdasarkan teori tersebut diketahui bahwa perkawinan gelahang merupakan gejala perubahan sosial dalam sistem adat. Implikasinya, jika pihak-pihak yang pro nikah terus memaksakan keinginan dan kepentingannya pada gelahang, maka disintegrasi sosial pasti akan terjadi.

Permasalahan perkawinan di Gelahang ini baik bagi Desa Pakraman untuk mawas diri dalam menghadapi tantangan.

PENUTUP

Ketiga, implikasi kontroversi perkawinan lahang pada masyarakat Hindu Bali di Kabupaten Karangasem merupakan konsekuensi logis dari pendapat yang pro dan kontra. Jika pandangan mereka yang pro perkawinan diterima oleh sistem adat, maka implikasinya bagi agama adalah redefinisi tradisi keagamaan, sedangkan bagi budaya berimplikasi pada restrukturisasi sistem patrilineal. Sebaliknya jika pandangan yang menentang perkawinan adalah sistem adat menerima sistem adat, maka implikasinya bagi agama adalah menguatnya sistem keagamaan tradisional, sedangkan bagi kebudayaan adalah disintegrasi dan integrasi sosial.

Penelitian ini menemukan fakta kontroversi perkawinan gelahang pada masyarakat Hindu Bali di kabupaten Karangasem sebagai berikut. Hal ini ditandai dengan maraknya penolakan tokoh adat untuk menikah di Gelahang. Teori ini sejalan dengan fakta yang menyatakan bahwa perubahan sosial telah membawa gagasan baru tentang perkawinan gelahang sehingga menimbulkan kontroversi dalam sistem adat Bali.

Pada penelitian ini terdapat pelanggan yang mendukung pernikahan gelahang karena memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan pernikahan. Di sisi lain, ada pihak yang menentang perkawinan gelahang karena tidak berada dalam kerangka budaya (nilai) yang sama dengan perkawinan tersebut sehingga mengkonstruksi alternatif pemaknaan lain. 3) Penelitian ini membenarkan teori sistem sosial yang berasumsi bahwa sistem dibangun oleh unsur-unsur yang berbeda dan setiap unsur saling bergantung satu sama lain. Teori tersebut sesuai dengan temuan penelitian bahwa kontroversi perkawinan gelahang terjadi dalam kerangka sistem sosial (sistem adat), sehingga diterima dan ditolaknya perkawinan selalu berkaitan dengan ketertiban dan keseimbangan sistem. 4) Penelitian ini merevisi atau memperjelas teori evolusi keluarga Bachofen yang menyatakan bahwa sistem orang tua merupakan tipe ideal bagi sistem kekerabatan.

Teori ini tidak sepenuhnya dapat diterima dalam konteks kontroversi perkawinan di kalangan masyarakat Hindu Bali di Kabupaten Karangasem. Penemuan ini menegaskan bahwa gagasan peralihan dari sistem patrilineal ke sistem orang tua pernah muncul dalam perkawinan gelahang. Berdasarkan kesimpulan dan temuan penelitian ini, peneliti melihat bahwa penolakan masyarakat mayoritas dan prajuru adat terhadap perkawinan gelahang di Kabupaten Karangasem merupakan sebuah realitas sosiokultural yang tidak dapat disangkal.

Peneliti menyampaikan bahwa perkawinan antargelahang di Kabupaten Karangasem tidak dapat diterima atau setidaknya harus ditinjau ulang. Kebijakan ini kemudian dapat menjadi solusi bagi umat Hindu untuk mengatasi berbagai permasalahan khususnya yang berkaitan dengan perkawinan sedarah.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil kajian sebagaimana terdeskripsikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, berbedanya tipologi pesantren di