DINAMIKA PERKEMBANGAN TEATER INDONESIA D! YOGYAKARTA-)
HerrY
Mardianto..)
Inti
SariPertumbuhan dan perkembangan sastra di Yogyakarta menjadi salah satu barometer bagi per- kembangan sastra
di
daerah laindi
Indonesia, terlebih perkembangah pementasan drama- nya. Setidaknya hal ini dapat dicermati dari pengaruh pementasan Bipbop-nya Rendra sampai pemanggungan monolog Butet Kertarejasa. Konsep-konsep pementasan Rendra dan Butet Ker- tarejasa terasa begitu kuat dan dicontoh oleh kelompok teater lairu baik yang berada di Jakarta Surabaya, maupun kelompok-kelompok teater yang tumbuh di kota-kota kecil di Indonesia. Kaji-an ini ingin melihat bagaimana pertumbuhan kelompok teater, sistem pementasan, dan tanggap- an audience terhadap pementasan tersebut melalui pisau bedah makro sastra dan penjelajahan existing documentatioru dengan tujuan mengumpulkan informasi mengenai sistem pementasary penulisan naskah, dan sistem kritik drama di Yogyakarta pada tahun 1980-2000.
Kata kunci: drama, Yogyakarta, makro sastra, kritik, existing dobumentation.
Growth and deoetopnrent of literatun
i, vogyfrl:rt:r::rr"*e
on of barometers for literary deaelopment in other places in Indonesia, primarily the plays performance deaelopment. At least, it could be aiewed ftomthe influence of Bipbop performance by Rendra to the monologue performance by Butet Kertareiasa. Those performance concepts were much influenced and deseraed to be imitated by other theatres group, either in lakarta, Surabaya, or those that grett in small cities in Indonesia. This reoiew tried to portray the growth of theatre groups, their performance system and audience response to the performance using literary macro and existing documentation gathering in order to collect information about performance, text utriting and plays critique system in Yogyakartabetween 1980 and 2000.
Key utords: plays, Yogyakarta, literary fixacro, critique, existing documentation
1.
Latar BelakangBukanlah hal berlebihan jika
hampir sepuluh tahun silam Dorethea Rosa Herliany,penyair wanita kelahiran
Magelang, menge- mukakan pendapat bahwauntuk
melihat sas-tra
Indonesiamodern
secara strategis dapatdilakukan
dengan mengamati perkembangan kesusastraandi
Yogyakarta. Alasannya kare-na pertumbuhan
kesastraandi
Yogyakartamemiliki
dinamika yangtidak
kehabisan sisi menariknya-berbagai peristiwa dapat menjadi"intuisi" untuk iklim
pertumbuhan kesenian,sastra Yogya tidak mengalami stagnasi; di sam- ping banyaknya penerbitan karya sastra dalam
bentuk buku
sebagaikontribusi
pengemban-gan peta
kesusastraanIndonesia
r-nodern.Lepas
dari
gagasan Dorethea, kenyataannya persoalandunia
berkeseniandi
Yogyakartasangat
penting
dibicarakan mengingat tidak seorangpun
dapat menyangkal strategisnya posisi Yogyakarta dalam perkembangan dan pengembangan keseniandi
Indonesia; mun- culnya sejumlah seniman dengan peran yangtidak dapat
diabaikarubaik dari
persoalan105
demokratisasi maupun penawaran konsep es-
tetika berkesenian; dan dominasi kota Yogya- karta sebagai pusat kegiatan bersastra
di
luar Jakarta.Asumsi itu dapat dipahami
denganproduktifnya kota Yogyakarta
melahirkan seniman dalamiklim
pergaulan kepengaran- gan yang kondusif,kompetitif,
dan kentaldi
kalangan para peminat seni/sastra. Nama besar
Kuntowijoyo,
Mangunwijaya,Umar
Kayam, Rendra, EmhaAinun
Nadjib (untuk menyebut beberapa nama)tidak
dapat dilepaskan dari komunitas kehidupan kesenian (kesastraan)di
Yogyakarta.
Kegelisahan
kehidupan
berkeseniandi
Yogyakartasalah satu
penyebabnya adalah karena referensi mengenai kegiatan kesastraantidak
mudah didapatkan. Pertanyaan menge-nai siapa Azwar AN, Pedro Sudjono-mi- salnya-bagaimana
mereka mengembangkan dan mempertahankan TeaterAlam
dan TeaterMuslim
dengan idealisme mereka masing-ma- singdi
tengahtimbul
tenggelamnya teaterdi
Yogyakarta, tidak mudah ditemukan jawaban- nya karena dokumen yang berkaitan dengan persoalan tersebut
tidak
tersedia dansulit
di- dapatkan. Sama halnya jika kita menginginkan naskah-naskah atau dokumentasi pementasan teaterdi
Yogyakarta, pasti akan menemukan jalanbuntu.
Belum lagijika
pemahaman sas-tra diperluas
dengan memperhatikan mun-culnya
berbagaikelompok diskusi
mauPunsanggar-sanggar atau kelompok teater di kam- pus sebagai tumpuan perkembangan kegiatan bersastra (setelah sumpeknya
Malioboro
dan robohnya Senisono). Referensi mengenai Sigit Sugito dengan Persatuan Teater Bantul, Lan- dung Simatupang dengan Teater Stemka, eksis- tensi Teater Lampu, Teater Alam, Teater Arena, Teater]eprik,
Teater Gandrik, Teater Aksara,dan beberapa grup teater lain, semua bukanlah sosok yang jelas dan bisa dengan mudah kita temukan
di
perpustakaanumum
yang adadi
wilayah Yogyakarta.Kerumpangan bagi upaya "penulisan" se-
jarah teater/drama
di
Yogyakarta terjadi kare-na tidak
adanya kesadaran lembaga-lembaga keseniandi
Yogyakarta mendokumentasikan naskah dan kegiatan pementasan sastra. jadi,sudah
saatnya pemerintahdan
lembaga ke- seniantidak lagi
sekadarberfungsi
sebagaiwadah memunculkan kreativitas seniman (Pe- nyair dan sastrawan) dalam berkeseniary tetapi mampu memberi informasi lengkap mengenai dinamika kehidupan dan perkembangan du-
nia
kesenian. Dengandemikian,
(meminjam istilah Linus Suryadi) lembaga formal kesenianDIY tidak
sekadarmenjadi tangan
panjangyang
gamang. Jika pemerhati masalah sosial budaya sastra merasaprihatin
dan gusar de- ngan tergerusnya Senisono oleh pembangunan kawasan Malioboro, tidak tersedianya gedung kesenian representatifdi
Yogyakarta; maka para pemerhati sastrapun
berhak "menggu-gat"
agar lembaga kqsenian (termasuk Dewan Kesenian Yogyakarta/Taman Budaya) memPu-nyai
pusat dokumentasi sastra yang mampu memotret perkembangan kehidupan berkese- nian/berkesastraan di Yogyakarta. Pusat doku- mentasi sastra Yogyakarta dalam jangka pan- jang dapat menjadi pangkalan data mengenai perkembangan dan pengembangan sastra Yog- yakarta serta dapat diakses oleh siapa pun.2.
fUasalahPersoalan yang muncul
dari
uraian sing-kat latar
belakangdi
atas adalah bagaimana mendapatkaninformasi yang akurat
tentangsistem reproduksi naskah dan
pementasan drama tahun 1980-2000 dengan berbagai do- kumen yang ada. Dengan dokumen-dokumen tersebut dapat diketahui: (1) siapakah kelom- pok teater yang produktif manggung selama ta- hun 1980--2000, (2) bagaimana sistem PemanS-gungan dan
kepengarangan sebuah naskah, dan (3) bagaimana hubungan pementasan de- ngan audience; adakalt sistemkritik
yang mun-cul dan
mendorong pertumbuhan kelompok teater pada kurun waktu itu.3.
TujuanAda
2
(dua)tujuan pokok
Peneljtianini
ialah (1) tujuan praktis, dan (2) tujuan teoritis.Tujuan praktis: (1) mengumpulkan informasi mengenai sistem pementasan, penulisan nas-
kah, dan
sistemkritik
dramadi
Yogyakarta pada tahun 1980-2000, dan (2) meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap perkembangan naskah dan pementasan dramafteatet selama tahun 1980-2000. Tujuan Teoritis: (1) merang-106
Widyapanua, Volume 39, Nomor 2, Desember 2011sang penelitian lanjutan
terhadap permasa- lahan dramadi
Yogyakarta, khususnya yang berkaitan dengan sistemdi luar
sastra, dan (2) dalam jangka panjang, melalui penelitian- penelitianlain
yang sejenis, diharapkan dapatdisusun simpulan
mengenai sistem pemen- tasan dan penulisan naskah dramadi
Yogya- karta.4.
Teoridan Metode Peneliitian
Penelitian sastra pada hakikatnya dapat
dilihat dari dua segi, yaitu (1) dari
karyasastra,
dan (2) dari faktor-faktor luar
sastra yang sangat mempengaruhi kehadiran karya sastra. Jenis penelitian yang pertama berusaha mengungkapkan aspek-aspekformal
sastra sehinggayang didekati
adalah segi internal.Jenis
penelitian
tersebut menganggap sastradapat berdiri sendiri,
tanpabantuan
aspek- aspeklain di
sekitarnya. Adapun jenis pene- litian kedua adalah penelitian yang menyadari bahwa sastratidak
dapathadir
dengan sen-dirinya, tetapi dihadirkan melalui
berbagai aspek,atau
lembagadi
sekitarnya-seperti pengarang,penerbit, dan
audience-nya. Jenis penelitian yang keduaitu
mengungkap sastradari
hubungannya dengan aspek-aspek luar- sastra atau segi-segi eksternalnya. Oleh Tanaka (1,976:9), pendekatanuntuk jenis
penelitian pertama disebut pendekatan mikro-sastta, se-dangkan
pendekatanuntuk penelitian
jenis kedua disebut pendekatan makro-sastra.Seperti disebutkan dalam subbab masalah, maka arah orientasi penelitian ini tidak ke arah mikro-sastra, tetapi kepada pendekatan ekstrin- sik atau teori makro-sastra dengan pusat orien- tasi pada sistem pemanggungan/pementasan,
penulisan, dan kritik terhadap
pementasan naskahdrama.
Dasar-dasarteori
sistem di- angkat dari Ackoff (dalam Tanaka, 1,976:8-1.2).Pertama, dalam pengertian sistem secara luas, sebuah sistem adalah seperangkat elemen yang saling berhubungan antara satu dengan yang
lain
(bahkan antarbagian elemen-elemennya) sehingga membangun keutuhan yang integral.Kedua, dengan demikian, bila terjadi perubah- an dalam elemen-elemen atau subelemen (sub-
bagian) akan
mempengaruhi elemen-elemen lainnya sehingga akan terjadi pula perubahan dalam keseluruhan sistem tersebut. Ketiga, se-tiap sistem memiliki sifat masing-masing yang menentukan cara kerjanya. Sistem
yang
ter-buka
adalah sistem yangmemiliki
lingkung-ary
sedangkan sistemyang tertutup
adalah sistem yang tidak memiliki lingkungan. Hanya pada sistem terbukalah yang bersifat dinamis sehinggamemungkinkan terjadi
perubahandi
dalamnya. Keempat, setiap sistem bekerja sepertikerja
sebuah organisasidan
dengan demikian memiliki tujuan sendiri-sendiri yang didukung oleh seluruh bagian sistem tersebut.Jadi, dalam kaitannya dengan sistem penerbit,
tujuan
penerbit yang_tidak
terlepasdari
fak-tor
lingkungan dan faktor-faktor sosial (yangterkait) turut
menentukankondisi
pengarangdan
karya-karya me-reka @andingkan Hall,1.979:1,02-1.05).
Di
sampingteori makro
sastra Tanaka karena munculnya kegelisahan terhadap ter- batasnya dokumentasidan rujukan
sejarah perkembangan estetikadan peristiwa
teater moderndi
Yogyakarta, tahapan penelitianini didahului
dengan penjelajahan existing docu- mentation. Pengertianexisting
documentationdalam
penelitianini
mengacu kepada bukuKepin gan Riw ay at Teater Kontemp or er Yo gy akar t a
yang diprakarsai oleh Kalangan
Anak
Zarnan (Yogyakarta, 2000). Existing documentation be- rarti 'dokumentasi yang ada'; pengertianini
di- batasi pada beragam bentuk dokumen tercetak (printed document)yang mencatat
merekam,dan
menginformasikan fenomenadan
peris-tiwa
teater modern yang terjadidi
Yogyakarta antara tahun 1980-2000. Bentuk dokumentasi yang dimaksud adalahkliping
(surat khabar dan majalah), foto, naskah/buku drama.5. Analisis
5.1Teater dan Dinamika Sosial
Tidak dapat dipungkiri bahwa meningkat- nya sarana mobilitas fisik memberikan penga- ruh penting bagi hubungan kekerabatan antar- warga dan pembentukan kelompok-kelompok
kegiatan
(kesenian)di
kalangan penduduk,termasuk penduduk Yogyakarta. Dalam kaitan dengan perteateran
di
Yogyakarta, ketersedi- aan sarana transportasi (bermotor),dan
me- ningkatnya prasarana jalan, membuka peluangbagi
munculnya kelompok teateryang
meli-Dinamika Perkembangan Teater lndonesia di Yogyakarta 107
batkan berbagai
individu dari
tempat tinggal yang saling berjauhan.Ini
sesuatu yang sulit dibayangkan terjadi padatahun
1960-ary ke- cualiuntuk
segelintir pecinta teater yang mau bersusah-payah mendatangi tempat yang rela-tif jauh demi "rasa cinta"
(handarbeni) terha- dap kelompok teater yang hendak diikutinya.Sebagai ilustrasi, antara
akhir tahun
1,960-anhingga awal tahun
1970-an, TeaterMandiri
Yogyakarta memusatkan kegiatandi
daerah Semaki,di pinggiran timur
kota Yogyakarta.Dalam persiapan pementasan
lakon "Lartan
Bernyanyi" (Putu Wijaya), sebagian besar pen- dukungnya rela melakukan perjalanan ulang-alik ke tempat latihan
dengan mengendarai sepeda menempuh jarak sepuluh sampai lima belas kilometer sekali jalan. Gambaranitu ti- dak lazim
karenakelompok
kegiatan teater yangtipikal
saatitu
adalah kelompok kegiatan teater yangdidukung
oleh komunitas dalam lokalitas tertentu. Misalnya, kelompok Stemka (berdiri tahun 1969), didukung oleh komunitas pemuda di lingkungan gereja katholik Kumeti- ran, wilayah di bagian barat Malioboro; TeaterDipo
didukung oleh remaja dari kampungDi-
powinatan dan sekitarnya.Meningkatnya mobilitas fisik dengan mem-
banjirnya
kendaraanbermotor roda dua
se- menjakOrde
Baru/mampu
"membebaskan"kegiatan kelompok teater
di
Yogyakarta dariikatan ketat
sosial geografis. Teater Gadjah Mada yang termasuk paling tua di Yogyakartal dapat dijadikan ilustrasi dalam konteks pembi- caraanini.
Perintis berdirinya kelompok teateryang dua kali
memenangkanfestival
teater mahasiswa nasionalini
adalah Suharyoso Sk (mahasiswa Geografi) dengan dibantu Suprap- to Budi Santoso (mahasiswa Teknik Sipil), Yu-wono
(mahasiswaPsikologi), dan
Landung Simatupang (mahasiswa Sastra).Tiga
nama yang disebut awal adalah mahasiswa pemon- dok. Suharyoso Sk datang dariKediri di
JawaTimur dan menyewa rumah sederhana di kam- pung Terban bersama adik-adiknya. Suprapto Budi Santoso berasal dari Madiun, Jawa Timur, dan mondok (nderek) satu keluarga (rekan se- jawat ayahnya) yang tinggal di perumahan kar- yawan PNKA (Perusahaan Negara Kereta
Api) di
Bumijo. Sedangkan Yuwono, dari Solo, nde- rek pada keluarga salah seorang kerabat orang tuanya di kampung Sosrokusuman. Dalam ke- giatan kesehariary relasi sosial mereka dengan masyarakat setempat sangat renggang diban- dingkan dengan para pelajar dan mahasiswa yang nderekdi
rumahtangga keluarga-keluar- gadi
Yogyakartatahun
1950-7960-an ketikaiir*u
atau mahasis{va pemondok merupakan anggota klub bulutangkis, aolley-ball atau sang- gartari di
kampung tempatnya mondok. Bah- kan tidak jarang (waktuitu),
seorang pemon-dok
menyandang kepengurusandi
kampungtempatnya menetap.
Perkembangan
lain terjadi pada
tahun 1980-an ketika pertumbuhan ibukota kabupa-ten
semakin pesat berbenahmenjadi
"kota"dengan reg^la fasilitas
di
berbagai sektor, ter-masuk
kesenian.Institusi pendidikan
tinggidan pendidikan
menengahmulai
merambah lokasidi luar
kotamadya. Teater yang semula sepertiterkungkung di
kotamadya, meluber dan merambahke
desa-desa kabupaten yang berupaya menjelma menjadi kota.Di
kabupa- ten Slemary muncul kelompok Teater Majenun, antara lain mementaskan lakon "Ben Go Tun"(Saini
KM) di
gedung kesenian Serba Guna kompleks perkantoran Kabupaten Sleman pada tahun 1980-an2. Teater Majenun (dipimpin olehHedi
Santoso, penduduk Murangary Sleman) sempat berpentasdi gedung Purna
Budaya Yogyakarta membawakanlakon "Nabi
Kem-bar"
(Mroszek). Teaterini tidak
kedengaran namanyalagi
sejak awal 1990-an.Di
sisi lain, Paguyuban TeaterBantul
dengantokoh
Sigit Sugito terus berkembang dan kian menampak-1 Didirikan pada tahun 1975, gagasan pembentukan Teater Gadjah Mada datang dari Drs. Soeroso M.A. (rekior UGM pada waktu itu) untuk merayakan Dies Natalis UGM dengan pementasan lakon "Prabu dan Putri" karya Rustandi Kartakusuma di Gedung
"Batik PPBI" Jalan Yudonegarary Yogyakarta, tahun 1973. Penyutradaraan dipegang oleh Mochtar Probottingi (mahasiswa ]urusan Inggris Fakuitas Sastra dan Kebudayaan). Pendukung produksi pementasan, antara lain Syafri Sairin, Imran T. Abdullah, Rafan Yusuf, Syamsul Arifin, Roestamadji Broto, Tamdaru Tjokrowerdojo, Sigit Dwianto, Sayuti Abdullah, Sayekti, Agustin Nurhayati, Suharyoso Sk. dan Landung Simatupang.
2 Menurut Hedi Santoso, sutradara pementasary banyak calon penonton yang berduyun datang ke temPat Pementasan mengira bahwa yang akan mereka tonton adalah pertunjukan musik (band).
108
Widyapanua, volume 39, Nomor 2, Desember 2011kan sosoknya3. Komunitas
ini
banyak meman- faatkan keberadaan gedung kesenian Gabus- an, Bantul.Di
Bantul bilangantimur,
muncul Teater Lampu yangproduktif
dan pementasan- nya selalu diberitakan di suratkabar Kedaulatan Rakyat.Kedudukan ibukota
kabupaten sebagai pusat-pusatitu juga diakui dan
dikukuhkan oleh lembaga semi-pemerintah seperti Panitia Festival Kesenian Yogyakarta yang menyeleng- garakan pesta seni tahunan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika padaawal
penyelenggaraan festival kegiatan pementasan dilakukan hanyadi
kotamadya Yogyakarta, padawaktu
beri- kutnya festival dilangsungkan pula di ibukota- ibukota kabupaten di DIY.Itulah
sebagiandari
setting dinamika so- sial teatermutakhir
Indonesiadi
Yogyakarta,tempat
berbaurnyaberbagai unsur
budaya tradisional maupun yang lebih "modern", dan yang ternyata masih mudah berulang-alik se-perti
para pengendara sepedadi
awal tulisanini - yang lalu
mengalami penggodokan ber-
sama menjadi sesuatu yang "beraroma Yogya-
karta" . Apa pun persepsi orang tentang "aroma
Yogyakarta" dalam
kebhinekaan teater
kon-
temporer Indonesia, yang pasti adalah bahwa
kenyataan itu
terbentuk melalui
proses yang
berlangsung cukup lama.
5.2 Sistem Pengarang
Karya sastra merupakan sistem yang di-
lingkupi
oleh berbagai sistem yangtidak
bisa dipisahkan darinya (Damono, 1.995:1);di
anta- ranya (yang penting) adalah sistem sastrawan (penulis/pengarang), penerbit (reproduksi), pe- ngayom, dan pembaca (termasukdi
dalamnya kritikus). Dalarn pembahasan kali ini akan dibi- carakan sistem penulis/pengarang, penerbit, pengayom, dan pembaca. Sistem-sistem terse-but
dianggapmampu
mempengaruhi secaralangsung perkembangan
dan
pengembangan drama di Yogyakarta.Penulis/pengarang merupakan komponen yang sangat penting dalam penciptaan karya sastra (naskah drama) karena tanpa kehadiran
penulis, tidak mungkin akan lahir naskah dra- ma. Perlu juga diingat apa yang pernah dilon- tarkan Damono (1999:235) bahwa pendekatan dalam
ilmu
sastra dapat memusatkan perha-tian pada
penulis/pengarang.Pilihan ini
di- dasarkan alasan bahwa penulis/pengarang me- rupakan sumber pesan dalam karya sastra. Be- berapa jenis pendekatan (baik historis, sosiolo- gis,maupun
psikologis) menekankan betapa pentingnya penulislpengarang. Pengarang se-bagai
individu
dan kelompok dapat dipelajari asal-usul, pendidikan, ideologi, dan agamanya.Dalam konteks pembicaraan sistem penu- lis/pengarang, ada sqtu
hal
yangpatut
diper-hatikan bahwa
sesungguhnyatidak
mudah menentukanatau
mendefinisikandrama
In- donesiadi
Yogyakarta: apakah naskah drama tersebut harus ditulis oleh pengarang yang ber- asal(lahir) di
Yogyakarta atau naskah drama tersebutditerbitkan dan
atau dipentaskandi
Yogyakarta?Untuk
mengantisipasi berbagai persoalan yang mungkin muncul, maka drama Indonesiadi
Yogyakartayang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah naskah drama yang lahir (terbit) di Yogyakarta atau ditulis oleh sas- trawan yang berdomisili di Yogyakarta dan sas- trawan yang secarakultural
dalam proses kre- atifnya tidak dapat dilepaskan dari Yogyakarta.Kelompok teater
di
Yogyakartamemiliki
cara dan
"tradisi"
sendiri dalam penulisan nas- kahuntuk
pementasan.Ada
kelompok teater yang memiliki penulis naskah,di
samping adapula
kelompok teater yangtidak
mempunyaipenulis,
sehingga naskahyang
dipentaskan merupakan naskah hasil adaptasi, terjemahary atau bahkan naskah yang berasal dari penulis kelompok teater lainnya.Setiap penulis naskah dalam suatu grup atau kelompok teater
di
Yogyakartamemiliki beragam sistem penulisan
naskah. Naskah"Patung Kekasih" yang dipentaskan Teater
Di-
nasti, misalnya, ide awal naskah ini merupakan
"ngengrengan"
dari
SimonHf, kemudian
di- latihkan dengan sistem dramatic reading (diba- ca bersama anggotagrup) untuk
mengetahui kekurangandan
kelebihannya. Setelah tahap 3 Teater Garasi yangbarubeberapabulanberpindah sanggar ke wilayah Bantul mendapat undangan rapat persiapan pelaksanaan perkemahan Teater Bantul. Teater Garasi terperangah menerima undangan itu, karena - di tempat pertama - kelompok teateryang berdiri menjelang pertengahan tahun 1990-an di lingkungan mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik UGM ini tidak pernah mempertautkan identitasnya dengan lokasi geografis sanggarnya.
Dinamika Perkembangan Teater lndonesia di Yogyakarta 109
ini
selesai, tugas selanjutnya berkaitan dengan penyempurna"isi,
misi, danvisi",
dikerjakan oleh CakNun.
Demikian juga dengan naskah lainnya.Ide
ceritabisa
datangdari
anggota Teater Dinasti. Naskah "SepatuNomor
Satu",ide
cerita berasaldari Agus
Istiyanto, kemu- dian dikembangkan dan disempurnakan oleh Simon HT serta Joko Kamto.Puntung CM Pujadi, penulis
sekaligus sutradara teater Shima, dalam penulisan nas- kah drama menggunakan sistem trsil and error.Artinya,
naskahditulis tidak
langsung jadi utuh (sempurna) sebagai naskah, tetapi melalui adegan per adegan yang dipakai sebagai bahanlatihan
pemeranan para anggotanya. Adeganyang dibuat tidak beruturan itu
kemudiansetelah lengkap baru disusun secara berurutan menjadi naskah
utuh
yang siap dipentaskan.Jadi, proses terciptanya naskah drama melalui beberapa tahapan.
1.
Tahap pencarian inspirasi untuk melahirkan ide atau gagasan cerita.2.
Menuliskan cerita singkat per adegan3.
Mencobalatihan untuk
dibacadan
dipe- rankan oleh anggota kelompok4.
Menulis ceritauntuk
adegan lainuntuk
di- coba seperti sebelumnya.5. Menyusun
adeganyang tidak
berurutan menjadi lebihruntut
sebagi naskah drama siap untuk diproduksi.Sistem tersebut dilakukan ketika menulis naskah "Godres" dan "Sekrup" . Caralain yang
dipakai
PuntungCM
Pudjadi dalam menulis naskah drama dilakukan dengan perenungan terhadap fenomenayang ada di
sekitar ke- hidupannya.Berbeda dengan Simon
HT
dan PuntungCM
Pudjadi,Noor WA
melakukan penulisannaskah tanpa bantuan orang lain,
artinya, sistem penulisan naskah-naskahnya dikerjakan sendiri tanpa melalui dramatic reading. Naskahdihasilkan melalui
pengamatan (observasi),baik melalui studi literatur mauplril
dengan mengamati fenomena secara langsung. Naskah"Sendrek" atau
"Megatruh"
merupakan hasil pengamatandari
fenomena yang terjadi padatahun
1980-an saatterjadi
penembakan paragali
olel;."Petrus"
(penembakmisterius)-ke- giatan
pemberantasanpenjahat ini
dikenalsebagai OPK (Operasi Pemberantasan Kejahat- an). Naskah
lain
karya Noor WA adalah "Le-dhek", lahir dari
rasa keprihatinannya terha-dap
kehidupan seorang ledhek (penari) yangtidak laku lagi
mengamenkarena
sudahtua dan tidak memikat lagi
sebagai ledhek.Kenyataan
ini
membuktikan bahwa dalam pe-nulisan
naskah-naskahnya,ide atau
gagasancerita, diilhami oleh
fenomena masyarakat yangterjadi
padakurun waktu
tertentu. Ide yang diangkat berangkatdari
persoalan yang dianggap mampu menggelitik nurani. Berbagai fenomena yang menarik segera"direkam"
kedalam
naskahlako4 yang kemudian
dipen- taskan dengan gaya sampakan.Suwarto Peyot,
penulis
naskahdan
pe-mimpin kelompok
Teater Gedhek,memiliki
sistem penulisanyang
serupa dengan Noor WA. Kemungkinanitu
terjadi karena Suwarto Peyot merupakan salah satumurid Noor
WAdi
Teater Pendopo. Hanya saja Suwarto Peyot menulis naskah untuk dimainkan oleh anggota Teater Gedhek yang usianya relatif muda-mu- da (di bawah 17 tahun).Penulis lain dari Teater Gandrik, Heru Ke- sawamurti, selalu membiarkan terlebih dahulu
ide yang muncul
mengembara secara"liar"
dalam pikirannya. Setelah mengendap bebera- pa saatbarulah gagasan itu ditulis menjadi nas- kah drama yang bisa dibaca para calon pemain
dan
sutradarauntuk
kemudian didiskusikan atau masukke tahap
"bedahnaskah"
(shar- ing). Pada tahapini
terjadi pengurangan dan penambahan gagasan karena munculnya ide- ide baru yang mampu menyempurnakan cerita tersebut. Kesempurnaaan naskah karya Heru Kesawamurti ketika tulisan pertama (dinama- kannya sebagai"karya
sastra") kemudian di- ketik ulang menjadi karya panggung. Artinya, naskah pertama yang disebut sebagai"katya
sastra"itu
hanya merupakan sebuah ceritera (frame)berisi tempat peristiwa,
dan, waktu.Sedang naskah kedua (naskah panggung) su- dah dilengkapi dengan pemaparan mengenai pemanggungannya, seperti letak atau susunan sett dan property. Keuntungan proses kerja
ini
adalah apabila terjadi "penyelewengan" pada naskah kedua (naskah panggung), masih dapatdiluruskan kembali dengan
mengacu pada naskah pertama sebagai "babon" cerita.110 Widyapanrl,
Volume 39, Nomor 2, Desember 20115.3 Sistem Penerbit dan Penerbitan
Penulis atau pengarang merupakan kom- ponen pertama lahirnya sebuah naskah drama.
Dalam proses berikutnya, penerbit memegang peranan penting untuk menyebarluaskan karya tersebut agar dapat dipentaskan dan
dikritisi
oleh masyarakat luas.
Naskah drama
disebarluaskanagar
idepengarang dapat diketahui oleh
masyara-kat
(tidak hanya terbatas pada penonton per-tunjukkan). Ide
pengarangyang
dituangkan dalam naskah drama akan menimbulkan ber-bagai kemungkinan
tanggapan masyarakat.Kemungkinan pertama,
masyarakat merasa senang, sejalan dengan pikiran penulis, sehing- ga hasil penerbitanitu
mendapat respon posi-tif.
Kemungkinan kedua, masyarakat kurang atautidak tertarik
padaide
penulis sehingga mereka enggan memberikan apresiasi. Kejadi- an tersebut merupakan hal yang wajar dalam dunia penerbitan, karena menerbitkan sebuah naskah drama pada hakikatnya adalah upaya menjajakan ide.Berdasarkan uraian
di
atas dapatditarik
simpulan bahwa dunia penerbitan harus me- nerapkan suatu sistem yang utuh, artinya kom- ponen-komponen pendukungnya: pengaran&penerbit, karya,
dan
pembacaterjalin
secara erat. Sistem pengelolaannya benar-benar pro- fesional agar penerbitan tersebut tidak sekedar dapat menerbitkan naskah drama tetapi tidak menjamin kelangsungan hidupnya. Kemung- kinan terburuk bahwa penerbit akan"gulung tikar" jika
menerbitkan naskah drama mem-buat
eksistensi naskahdrama
terpinggirkandari dunia
penerbitan. Naskah drama hanyaberedar di
kalangantertentu
dalan-' bentuk stensilan atau fotokopian, sehingga masyara- kat kesulitan untuk mendapatkannya. Kondisiini diperparah
dengan kenyataantidak
ada lembaga yang merasa bertanggung jawab men- dokumentasikan naskah-naskahdrama
yangpernah
dipentaskandi wilayah
Yogyakarta.Kalaupun ada naskah drama yang diterbitkan, setidaknya naskah drama tersebut berasal dari sebuah lokakarya atau lomba penulisan nas- kah dan diterbitkan oleh instansi pemerintah.
Contoh konkret kasus
ini
adalahnya terbitnya buku AntologiNaskahDrama 1 dan Napi: Antolo- gi Naskah Drama 2. Buku Antologi Naskah Drama1 berisi enam naskah drama yang
ditulis
oleh peserta Lokakarya Penulisan Naskah Drama, diselenggarakanoleh
Taman Budaya Yogya- karta pada tanggal8-9 Juli
1992. Lokakaryadiikuti
40 peserta dengan pembicara SainiKM
dan Bakdi Soemanto serta tiga orang fasilita-tor:
Fajar Suharno, Chairul Anwar, dan Bam- bang Darto. Sebagai kelanjutan lokakarya, para peserta diwajibkan membuat satu naskah dra- ma, dan akhirnya terkumpul 15 naskah. Setelah diklasifikasi berdasarkan urutan bobot,dipilih 6
naskahyang kemudian diterbitkan
dalam satu buku antologi.lujuan
penerbitan antologiini,
seperti yang terfera dalam prakata (1992:i) penyandang dana (Taman Budaya Yogyakarta) sebatasdapat
memperkaya perbendaharaan naskah-naskah asli dalam rangka memperba- nyakbank
naskah yang ada sekaligus dapat bermanfaat dan memberikan rangsangan ke- pada penulis naskah dramauntuk lebih
kre- atif dan produktif. Di sisi lain, Bakdi Soemanto (1,992:1) dalam kata pengantar memberi catatan dan penghargaan kepada Taman Budaya Yog- yakartayang telah
memberi peluang dalamwujud
penerbitan naskah-naskah lakon karya penulis-penulis yang boleh dikatagorikan barumemulai karir
mereka. Sudah barang tentu,karena lakon-lakon yang diterbitkan
dalam kumpulanini ditulis
oleh pengarang yang be-lum
berpengalaman,tidak
banyak yang bisa diharapkan dari lakon-lakon ini, baik dari segi masalah atauisu
yangditampilkan,
pengga- rapannya, maupun teknik penyajiannya.Pada tahun 1993, Taman BudayaYogyakarta menerbitkan buku Napi: Antologi Naskah Drama
2.
Berbeda denganantologi terdahulu
yangberisi
naskahdari hasil
lokakarya, antologiini
berisi naskah pemenang (dan 10 nominasi)hasil
Lomba Penulisan Naskah Drama tahunanggaran
199217993.Di samping
memuatnaskah-naskah pemenang
dan 10
nominasi terbaik, antologiini
dilengkapi dengan prolog yang berisi catatan parajuri
(Bakdi Soemanto, Imron T. Abdullah, dan Djoko Murdianto), baik terhadap naskah pemenang, naskah nominasi, maupun naskah-naskah lain dari peserta lomba penulisan naskah tersebut. Pada bagian akhir, untuk melengkapi isi buku ini,ditutup
dengan epilog berupa catatan parajuri
sekaligus pe- ngamat dari uji coba pemanggungan salah satu Dinamika Perkembangan Teater lndonesia di Yogyakartall,l
naskah pemenang, yaitu
"Napi"
(pemenang ke dua).Dalam kata pengantar (1993:i), Taman Bu- daya Yogyakarta berharap penerbitan antologi tersebut
di
samping tersedianya naskah-nas- kah dalam satu satu antologi, dapat pula digu- nakan sebagai referensi untuk kepentingan lain yang berkaitan dengan sastra Indonesia mau-pun teater modern.
Kelemahan-kelemahan naskah yang termuat dalam antologiini
dapat dicermatidari
epilog yangditulis
DjokoMur-
dianto (1993:769-170): kelemahan yang masih tampak dalam antologiini
adalah kurangnya penggarapan perwatakanyang dapat
meno- pang alur cerita yang sudah berhasil dibangun.Dengan kata lain, deaelopment of character
tidak tampak
sehingga ketegangandramatik
yang sudah dibangun menjadikendor dan
kehila- ngan makna. Namun demikian, naskah drama dalam antologi ini diharapkan mampu menjadi langkah awal untuk mengarungi khazanah sas-tra yang sangat luas dan kadang-kadang tam- pak suram dan menjadi pelita
untuk
menera- ngi kesuraman tersebut.5.4 Sistem Pementasan
Dari tahtin 1980 hingga tahun 2000, sistem pementasan grup-grup tater
di
Yogyakartati-
dak mengalami perubahan yang berarti, baikdari
pengelolaan manajemen produksi pentasmaupun
manajemen penataanartistik
pang- gung. Biasanyagrup
teaterdi
Yogyakarta ke-tika bermaksud akan memproduksi
suatu karya, terlebih dahulu mernbuat staf produksi, dan kemudian staf produksi ini membagi tugasproduksi
dalamdua tim, yaitu tirn
produksi dantim
artistik.o
Tim ProduksiPada umumnya, kelompok teater
di
Yog-yakarta, baik
secaraamatir maupun
secara professional,memiliki
stafproduksi
yang di- bentuk ketika suatugrup
akan menrproduksi karya pementasan teater modern. (ada naskahdrama
yar-rg dipentaskandi
sebuah gedungpertunjukan dan
menjualtiket
tanda masuk bagi penonton).Staf produksi bertugas merancang proses
latihan
sampai terlaksananya pementasandi
gedung pertunjukan. Gedtrng pertunjukan yang
biasanya
dipilih
sebagaitempat
pementasanadalah gedung yang memiliki
bentukprosenium (seperti Langen
Budaya/Taman Budaya Yogyakarta), Senisono, SasonohinggilDwi
Abad, dan Gedung Batik PPBI; alternatiflain
adalah SportHall
Kridosonodan
teater terbuka Purawisata. Dari beberapa nama tempat pertunjukandi
atas, tak satu gedung pun yang dapat dianggap sebagai tempat pertunjukkan yang representatif.Ini
sebuah kenyataan ironissebab Yogyakarata yang menyandang predikat sebagai "kota budaya" tidak
memiliki
gedungpertunjukan yang
_representatif,
kalaupunada, dapat dipasti\an milik
sekolahan atau instansi pendidikan yang tidak bersifat umum, seperti auditoriummilik
ISI Fakultas kesenian ketika masihdi
Karangmalang sekarang UNYdan auditorium
PPPG Kesenian Mbesi, Jalan Kaliurang.Setelah
memilih
gedung sebagai tempat pertunjukan, makatim
produksi mencari do- natur atau pengusaha (dan perusahaan) untuk menjadi sponsor pementasan. Biasanya modalawal
kegiatan pementasandiambil dari
kas kelompok teater yang akan mengadakan per- tunjukan.Untuk
mengembalikan modal, per- tunjukan harus bisa menghasilkan pemasukan (uang) dengan cara menjual tiket tanda masuk kepada calon penonton.Pihak produksi pertunjukan sangat mem- butuhkan kehadiran penonton dengan asumsi bahwa semakin banyak penonton maka akan semakin banyak pula pemasukan dari penjual- an
tiket
tanda masuk. Hanya saja yang terjadi sebenarnya tidaklah dernikian, sebabdari
se-luruh
penonton yang hadir hampir bisa dipas- tlkan 25"/" sampai 40% penonton masuk tanpa tiket.Hal ini
terjadi karena teater belum men-jadi
tontonan populer seperti sepak bola ataumusik
rock.Untuk
menghadirkan penonton, pihak produksi harus rela menggratiskan seju-mlah tiket
tanda masuk kepada orang-orang tertentu yang dianggap dapat memancing pe- nonton lain untuk ikut menghadiri pertunjukan teater dengan membeli tiket. Untukitu,
dalam sebuah produksi pementasan teater diperlukan seorangpimpro
yangulet
sehingga terhindardari
kerugian dengan menggaetpihak
sPorl- sor atau donatur yang mau mengambil peran sebagai pengayom atau penyandang dana.Di
tL2 Widyapanril,
Volume 39, Nomor 2, Desember 2011samping
itu,
agar dapat menghadirkan penon- ton semaksimal mungkin maka pihak produk-si
melakukanpublikasi
pementasan melalui media cetak dan elektronik. Usahalain
yang dilakukan adalah dengan menghadirkan "bin- tangtamu"
yung dianggap layak dan mampu menyedot penonton karena kepopuleran bin- tang tamu tersebut.Selain sistem rekruitmen penonton
se-perti yang telah
digambarkandi
atas, cara lain yang dipakaitim
produksi adalah dengan pembinaan penonton, seperti yang dilakukan Himpunsn Teater Yogyakarta (HTY) pada seki-tar tahun
1985 dengan mengadakan "arisan teatet", dipelopori oleh Teater Alam pimpinan AzwarAN. Arisan ini
dilaksanakan dengan mengadakan pentaskeliling
dari kampung ke kampung secara bergiliran. Tujuannya adalah untuk merangsang anggota HTY aktif berkarya dan memperkenalkan seni teater kepada ma- syarakat umum (mencari penonton)..
TimArtistik
Fungsi dari tim
ini
dalam kelompok teater yang akan memproduksi sebuah pementasan lakonmemiliki
tugas mendukung pementasan dalam bentuk konkret di atas panggung dengan memperhatikan elemen-elemenpentas.
Hal yang dikerjakan adalah merencanakan bentuk set atau dekorasi panggung, property danhand proerty, merencanakan busanaatau
pakaianyang
akan dikenakanpara
pemeran, meren- canakan bentuk rias, dan mengafur penataanlampu
(lighting).Musik illustrasi
pementasan lakon biasanya diserahkan kepada seorang pe- nata musik di luar artistik panggung.5.5 Sistem Penanggap/Penonton
Sistem
pendukung
sastralainnya
yangperlu diperhitungkan
adalah sistem penang- gap atau penonton yang juga disebut gatekeep-ersyangdiperlukan grup teater untuk memper- baiki pementasan atau mendapatkan masukan/
saran/ide dari penonton (audience). Grup teater (termasuk pengayom) sebaiknya selalu mem-
beri
perhatian terhadap audience agartimbul
saling pengertian dan kerjasama secara simbi- osa mutualistis. Pembicaraan sistem penonton/penanggap akan meliputi beragam
kritik
yang diberikan penonton atau pemerhati pertunjuk-kan
setelah menyaksikan suatu pementasan.Kritikan
bisa diberikan kepada sutradara, pe- main, tata panggung, naskah, dan beberapa hal lain yang berkaitan dengan pementasan. Selainkritik
terhadap sebuah pementasan, pemer-hati
atau penanggap terkadang memberikankritik pula
terhadap kinerja pengayom yangturut andil
dalam menghidupi/mengembang- kan grup teater (di Yogyakarta);kritik
tersebut umumnya menyangkut segi pendanaan, peran,dan kiprah
sebuahinstitusi
dalam mengem- bangkan jagat teater di Yogyakarta.Kritik
terhadap p_ementasan grup teaterdi
Yogyakarta didominqsi oleh jenis
kritik
umum ataukritik
impresionistik. Kenyataanitu
men-jadi
sesuatu yang tidak berlebihan karena kar- ya-karyakritik
tersebutdimuat
dalam mediamassa umum (surat kabar) sehingga
ada semacam kesengajaanbagi para
penonton/penanggap untuk menulis
kritik tidak
dengan landasan teori atau aturan-aturan tertentu (yang baku). Kecenderungan itu disebabkan pula oleh belum berkembangnya teori-teori tertentu atau karena tidak adanya karya tertentu yang dapatdijadikan patokan atau pedoman
sehingga penanggap hanya mengandalkanintuisi
dan kemampuanpribadi
saat memberikankritik
(lewat media massa).Pementasan Teater
Mandiri
ASDRAFIdi
gedung Purna Budaya Yogyakarta, 27 Februari 1981,,dengan lakon
"Ranggah Rajasa" (Sri Murtono), disutradarai Masroom Bara, denganpemain Yoyok Aryo, Iwan Bl dan
CiciliaNaomi,
mendapat tanggapandari
Veven Sp Wardhana (Bernas, Maret 1981):"Sutradara
tidak
melalukakan observasi terhadap perwatakan yang khas dari Ken Arok, yang profilnya banyak bisa dipapar- jabarkan, apakah dia seorang tokohyangbra-ngasant menolak estabilitas, atau dia muncul sebagai sosok contoh buat masyarakat-dari
sosok rakyat mampu menjadi seorang raja."
Kritik di
atas ditujukan kepada sutradara yang kurang memahami eksistensi tokoh KenArok
secara spesifik. Artinya, tokoh KenArok
hendaknya dimunculkan secara dinamis, bu-kan
sekedar tokohhitam-putih. Kritik
terha- dap sutradara juga diberikan saat siswa SMA Negeri6
mementaskan"Obrok Owok
OwokDinamika Perkembangan Teater lndonesia di Yogyakarta 113
Ebrek Ewek Ewek" (Danarto)
di
gedung PPBI dengan sutradara PuntungPudjadi
(anggota TeaterAlam);
meskipun pementasanini
ber-hasil menghibur
penonton dengan lawakan.Indra
Tranggono mengkritisi bahwa Puntungtidak cukup mampu
mengibaskan rembesanpengaruh kelompok Teater Alam
("ObrokOwok Owok
EbrekEwek
Ewek Karikatural Vulgar dari Anak SMA", Bernas,17 Maret 1981).Sementara
itu
Veven Sp Wardhana memberi komentar:"Puntung hanya kurang dalam melakukan
unity,
anak-anakTeater Shima
dalam melakonkan naskah karya Danarto itu bukan vulgar seperti yang dikatakan oleh Indra Tranggono. Karena hampir di setiap tulisan Danarto terkesan ada satu hal yang perluuntuk
diperhatikaryyaitu
dalam sebuah pementasan sandiwara yang ada hanyalah permainan belaka, bahwa sandiwaraitu
ya sandiwara, main-main belaka." ("Naskah Lakon Danarto", Bernas,30 Maret 1981).Di
samping mengkritisi sutradara, VevenSp
Wardhana sekaligus memberi tanggapankritikan Indra
Tranggono atas penilaiannyaterhadap
pementasan"Obrok
Owok-Owok Ebrek Ewek-Ewek" yang dikatakan vulgar dan tidak bisa lepas dari pengaruh Teater Alam.Tanggal 15
September,"Oidipus
Rex"(Sophocles) dipentaskan Teater Alam
di
Purna Budaya dengan sutradara Tertib Suratmo danAzwar AN.
Pementasanini
berjalan sukses,gedung berkapasitas 500 orang
dipenuhipenonton. Meskipun demikian,
pementasantersebut mendapat sorotan dari Veven
Sp Wardhana (Bernas,22
September 1981) yangmenilai
pementasandari sisi teknis
tampakbanyak
kekurangankarena tidak didukung
lagi oleh beberapa anggota lama.
Jugadalam
hal
naskah, mestinyadisadur
dengan menyesuaikankondisi
Indonesia. Penanggap lairu Bakdi Soemanto, berkomentar:"....Beberapa
hal yang tragis
mestinya dimunculkary seperti tokoh Oidipus yang diperankan oleh Gege Hang Handika justru tidak sampai pada saat ia mencocol matanya, padahaldi
sinilah letak puncak tragikal kisahini.
Adegannya malah menjadi lucudan
membuat penonton tertawa...Dalambeberapa adegary Gege kurang meyakinkan, banyak
hal
yang kurang nampak untuk menciptakan motivasi dalam permainan.Plotnya pun belum tergarap dengan baik.
Karenanya dialog-dialog menjadi kurang wajar. Juga blokingnya sangat lemah..."
Japhens
dkk
mementaskan "Macbeth"(William
Shakespeare)dengan
sutradaraMayon
Sutrisno, tanggal 22 November 1981.Menurut Bakdi
Soemanto, pementasanini tidak
menyajikan penggarapanwatak,
tetapi malahmemilih
bentrokan kekuasaan sebagaititik
pusat pementasa \ny a (Ke daul at an Ralcy at, 1.Desember 1981). Sed{ngkan Faruk HT (Bernas, 1 Desember 1981) mengomentari:
"Mayon
tidak
konsisten terhadap naskaj, pendirian dan penafsirannya terlihat ragu- ragu.Di
satu pihak, Mayon menonjolkan cerita sosial politik, di lain pihak menonjol- kan pula gambaran kegetiran manusia yang bersifat filosofis dan psikologis. Lampu tidak terlihat begitu berperary musik cukup berha- sil mendukung adegan-adegan. Dan penon-ton
datang berbondong-bondong padahal karcis mahal."Tanggal
3 April
1982, TeaterTikar
dan Sanggar bambu mementaskan 3 naskah yangditulis
oleh Genthong HSA, yaitu "Seekor Bu- rung Gelatik", "Memburu Seorang Pemburu",dan
"Jubah-jubah".Indra
Tranggono (Bernas, 13April
1982) berpendapat bahwa dari ketiga pementasanitu
hanya "Jubah-jubah" yang pa-ling bisa dinikmati. Konflik-konflik yang
di- tampilkan Dadang Christanto (sutradara) tera- sa mengena, penggarapan tokoh-tokohnya pun tepat. Pementasan "Memburu Sang Pemburu"yang disutradarai Nana Ernawati tidak mampu diselesaikan dengan kecermatan. Pementasan 3 naskah dengan 3 sutradara berbeda
ini
adalah suatu keberanian yang dikipasi oleh gerak ke- bersamaan kelompok yang menarikuntuk
di- catat.6. Penutup
Ditinjau dari
sistempenulis,
kelompok teaterdi
Yogyakartamemiliki
cara dan"tradi- si"
sendiri dalam penulisan naskahuntuk
pe- mentasan. Ada kelompok teater yangmemiliki
penulis naskah, di samping ada pula kelompokt14 Wdyapanfia,
Votume 39, Nomor 2, Desember 2011teater yang tidak mempunyai penulis, sehingga naskah yang dipentaskan merupakan naskah
hasil
adaptasi, terjemahan, atau bahkan nas- kah yang berasal dari penulis kelompok teater lainnya. Dalam konteks ini perlu dicatatbahwa setiap penulis naskah dalam suatugrup
atau kelompok teaterdi
Yogyakartamemiliki
bera- gam sistem penulisan naskah.Ada
penulisan naskah dengan "ngengrengan",trail
and error, maupun dr amatic reading.Jika dicermati
dari
sistem penerbitan, se-lama tahun
1980-2000,tidak ada
lembagayang
merasa bertanggungjawab
mendoku- mentasikan naskah-naskah drama yang pernah dipentaskan di wilayah Yogya-karta. Kalaupun ada naskah drama yang diterbitkan, setidaknya naskah drama tersebut berasal dari sebuah lo-kakarya atau lomba penulisan naskah
dan diterbitkan oleh instansi pemerintah.Berkaitan dengan sistem
pementasan,dari tahun
1980hingga tahun
2000, sistem pementasangrup-grup tater di Yogyakarta
tidak mengalami perubahan yang
berarti,baik dari
pengelolaan manajemen produksi pentas maupun manajemen penataan artistik panggung.. Biasanya grup teater di Yogyakartaketika
bermaksud akan memproduksi suatu karya, terlebih dahulu membuat staf produksi, dan kemudian staf produksi ini membagi tugasproduksi
dalamdua tim, yaitu tim
produksi dantim
artistik.Pembicaraan sistem penonton/penanggap yang
meliputi
beragamkritik
yang diberikan penonton atau pemerhati pertunjukkan setelah menyaksikansuatu
pementasan; umumnyaditujukan kepada sutradara, pemain,
tata panggung, naskah, dan beberapa hal lain yangberkaitan
dengan pementasan. Selainkritik
terhadap sebuah pementasan, pemerhati atau penanggap terkadang memberikankritik
pula terhadap kinerja pengayom yangturut
andildalam menghidupi/mengembangkan
grup teater (di Yogyakarta);kritik
tersebut umumnya menyangkut segi pendanaan, peran, da.n kiprah sebuahinstitusi
dalam mengembangkan jagat teater di Yogyakarta.Daftar
PustakaAbdullah, Imran T dkk.1993. "Lomba Penulisan Naskah Drama Taman Budaya Yogyakarta 1992: Pertanggungjawaban
Dewan
Juri".Dalam Napi: Antologi
NaskahDrama
2.Yogyakarta: Taman Budaya.
Brandon, James
R.
(Ed). 1.997. The Cambridge Guideto
Asian Theatre. Cambridge: Cam- bridge University Press.Faruk.
1988. "EksperimentasiGandrik
yangBerani, Orde
Tabung: JalanBuntu
bagi Sang PenulisNagkah",
dalam Masa Kini, Yogyakarta, Oktober.rat dengan
Kritik
Sosial", dalam Suara Pem- baruan, ]akarta, 17April.
Herfanda, Ahmadun Y. "Silang Sengkarut Tea- terYogya", dalam Kedaulatan Rakyat, Yogya- karta, 19 Februari.
Kussudyarsana, Handung.1.989. "Galatama Te-
ater
tidat
Perlu Dipertentangkan", dalam Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 18 Maret.Murdianto, Joko. 1993.
"Epilog".
Dalam Napi:Antolo gi N askah Dr ama 2. Yogyakarta: Taman Budaya.
Simatupang,
Landung R.
2000. "Yogyakarta dan Kegiatan Teaternya: Urun Ingatan dan Amatan Seorang Pelaku". Dalam KepinganRiwayat Teater Kontemporer
di
Yogyakarta.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soernanto,
Bakdi.
1989. "PergelaranDajjal di
Yogya: Jernih,
Analitik,
danPuitik",
dalarn Kompas, Jakarta, 15April.
1992. "Pengantar".
Dalam
Antologi N askah Dr am s 1. Yo gyakarta: Taman Budaya.2002.
"Tradisi,
Lelucon,dan
Sastra Lakon Gandrik: Menghantar Sinden' :hinggaProyek" . Dalam Heru Kesawa
Murt|
Palaran:Lima Lakon
Aaant-Gandrik. Yogyakarta:Pustaka Gondho Suli.
Tanak4 Ronald. 1976. System Models for Literary Mscro-Theory. Lisse: The Peter
de
Ridder Press.Dinamika Perkembangan Teater lndonesia di Yogyakarta 115
Tim Peneliti
KalanganAnak
Zaman.2000.
1988."Di
Balik Ketegangan Sutrada- KepinganRiwayat
Teater Kontemporerdi
ra dan Produset", dalam MasaKini,6
No-Yogyakarta. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
vember.Tranggono,
Indra.
1981."Obrok Owok Owok
Van Ervery Eugene. 1992.The Playful RezsolutiottEbrek Ewek Ewek Karikatural Vulgar
dari
Theatreand
Liberationin Asia. Indiana
Anak
SMA", dalam Bernas, Yogyakarta,17
University Press.Maret' Wardhana Veven SP. 1981. "(Pentas) Teater
\
1987. "Menyongsong Pentas
Ber- di Yogya: Catatan Ringkas", dalam Bernas,
sama 4 Teater Yogya Pencarian Alternatif di
Yogyakarta, L3 Januari.
Tengah Kelesuan", dalam Kedaulatan
Rak-
19g2. ,,KomediNikolai
Gogol Teateryat,Yogyakarta, 18
Oktober.
Gadjah Mada: KecerdikanMemlrangkan
L982. "Teater Tikar Sanggar
Bambu
Segalanya", dalarn, Kedaulatttn Rakyat, Yog' dengan3
Naskah: LengkinganKeresahan
yakarta,29JunL
idalam Suatu Kanvas", dalam Bernas,
Yog-
I9g2. ,,TopengKayu
Teater Dinasti yakarta' L3April'
MencapaiMakriiat i".uiu santai",
dalamL987.
"lsyu
Teater Gandrik:Ambisi
Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta,6JulLdi Balik Intrik",
dalam Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, L Novernber.Catatan:
') Naskah masuk tanggal 15 Agustus 2011. Editor: Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum. Editlt 79-27 Agustus 2011. Edit II: 5-12 Sep- tember 2011
") Herry Mardianto; Drs.; Peneliti Madya pada Balai Bahasa Yogyakarta