• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskursus Syarat-Syarat Mufassir Era Klasik ... - repository iiq

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Diskursus Syarat-Syarat Mufassir Era Klasik ... - repository iiq"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

Diskursus Syarat-Syarat Mufassir Era Klasik hingga Modern

(Studi Perbadingan Kitab-Kitab Ulumul Qur’an )

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Siti Hazrotun Halaliyatul Muharromah NIM.14210629

Program Studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

2018 M / 1439 H

(2)

Era Klasik hingga Modern

(Studi Perbadingan Kitab-Kitab Ulumul Qur’an )

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Siti Hazrotun Halaliyatul Muharromah NIM.14210629

Pembimbing,

Dr.Muhammad Ulinnuha, Lc.MA

Program Studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

2018 M / 1439 H

(3)

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “ DISKURSUS SYARAT-SYARAT MUFASSIR ERA KLASIK HINGGA MODERN STUDI PERBANDINGAN KITAB-KITAB ULUMUL QUR’ANyang disusun oleh Siti Hazrotun Halaliyatul Muharromah dengan Nomor Induk Mahasiswa 14210629 telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan ke sidang Munaqasyah.

Jakarta, 12 Juli 2018 M

Pembimbing,

Dr.Muhammad Ulinnuha, Lc.MA.

(4)

ii

Skripsi dengan judul “ DISKURSUS SYARAT-SYARAT MUFASSIR ERA KLASIK HINGGA MODERN STUDI PERBANDINGAN KITAB-KITAB ULUMUL QUR’AN oleh Siti Hazrotun Halaliyatul Muharromah dengan Nomor Induk Mahasiswa 14210629 telah diujikan pada sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta pada tanggal 02 Agustus 2018.

Jakarta,16 Agustus 2018

Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta

Dra.Hj. Maria Ulfa, MA Sidang Munaqasyah,

Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

Dra.Hj.Maria Ulfa, MA Dra.Ruqayah Tamimi

Penguji I, Penguji II,

Prof.Dr. Ahsin Sakho Muhammad,MA Istiqomah,MA Pembimbing,

Dr.Muhammad Ulinnuha, Lc.MA

(5)

iii

PERNYATAAN PENULIS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Siti Hazrotun Halaliyatul Muharromah

NIM : 14210629

Tempat/ Tanggal Lahir : Jember, 22 Mei 1995

Menyatakan bahwa Skripsi dengan judul “ DISKURSUS SYARAT- SYARAT MUFASSIR ERA KLASIK HINGGA MODERN STUDI PERBANDINGAN KITAB-KITAB ULUMUL QUR’ANadalah benar- benar asli karya saya kecuali kutipan-kutipan yang sudah saya sebutkan.

Kesalahan dan kekurangan dalam karya ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 12 Juli 2018 M Yang Membuat Pernyataan

(Siti Hazrotun Halaliyatul Muharromah)

(6)

iv

Teruntuk Abahku tercinta Nur Hasanuddin Ali Mustofa Sosok lelaki teladan bagi keluarga, menjadi cahaya ketika mata ini terasa gelap tak lagi menemukan jalan, beliau selalu rela menghantarkanku pada kepastian dalam harapan.

Umiku tersayang Juma‟ati, Perempuan hebat, menjadi penyejuk ketika hati ini mulai gersang dengan panasnya kehidupan. Engkau telah berhasil menjadi sosok ibu, aku bangga menjadi anakmu.

Kepada keduanya aku haturkan do‟a, semoga disetiap langkah kakinya, setetes keringat usahanya selalu mendapatkan keberkahan.

Kepada Murobbi, Almh. Gus Lukman Al Karim ra. Memang jasadmu tak lagi bersama kami, tapi aku yakin engkau tidak akan pernah meninggalkan kami. Semoga engkau masih mau mengenaliku sebagai muridmu hingga kelak di hari kiamat. Bisa bertemu dan berkumpul dengan mu wahai guru dunia akhiratku.

Untuk suamiku Mukhammad Sofiyanto, Engkaulah harapan dan tumpuan hidupku, semoga engkau mampu membawaku ke surga Tuhanku yang Maha Agung.

Do‟akan aku, semoga aku bisa menjadi apa yang kalian harapkan.

Karena kebahagiaan kalian adalah puncak keberhasilanku.

(7)

v

MOTTO

“HARTA dan KECERDASAN bukanlah sebuah tujuan HIDUP karena RIDHA ALLAH swt. lah yang paling utama.

Lebih Baik MATI dari pada HIDUP ber-HARTA dan ber-

ILMU tapi tak bisa MEMBERI MANFAAT”

(8)

vi

Alhamdulillah, segala puji syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Diskursus Syarat-syarat Mufassîr Era Klasik Hingga Modern”.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah Saw, keluarganya, para sahabat, serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Semoga kita semua kelak akan mendapatkan syafa‟atnya.

Skripsi ini merupakan salah satu hasil karya tulis Ilmiah yang pernah penulis tulis. Walaupun dalam penyelesaiannya mengalami berbagai kesulitan karena keterbatasan kemampuan yang penulis miliki sehingga tidak pernah lepas dari adanya bantuan, bimbingan, motivasi serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah swt. yang selalu memberikan petunjuk dan pertolongan.

2. Ibu Prof.Dr.Khuzaimah T Yanggo,MA. Selaku Rektor Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta.

3. Ibu Dra.Maria Ulfa,MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta.

4. Dr.Muhammad Ulinnuha, Lc.MA Selaku Ketua Prodi Ilmu Al- Qur‟an Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta. dan Tafsir sekaligus Dosen pembimbing skripsi yang telah sabar dan berkenan memberikan saran dan ilmunya kepada penulis.

(9)

vii

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliyahan.

6. Seluruh Staf Fakultas Ushuluddin dan Dakwah yang telah membantu penulis dalam pembuatan skripsi.

7. Bapak Dr.KH.Ahmad Fathoni,Lc.MA. dan segenap instruktur Tahfidz yang telah membimbing penulis dalam menghafal Al-Qur‟an 8. Terima kasih kepada Abahku Nur Hasanuddin Ali Mustofa dan umi

Juma‟ati yang selalu memberikan do‟a, kasih sayang, serta motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

9. Guru tercinta Almh. Gus Lukman Al-Karim. Tanpamu penulis tak ada apa-apanya. Bagai telur yang tak bisa menetas kehilangan induknya. Engkau banyak mengajarkan kami arti kehidupan yang sesungguhnya. Dari perkataanmu yang selalu penulis ingat “Sabar itu adalah puncak solusi dari segala permasalahan. Syukur adalah modal hidup bahagiamu”. Semoga kelak di akhirat bisa berkumpul denganmu wahai murabbi dunia akhirat. Kami sangat merindukanmu.

10. Terima kasih tak terhingga, kepada Umi Iis dan ibu Irni beserta keluarga. Atas segala dukungan, baik moril dan materil kepada penulis. Tak ada kalimat terindah kecuali do‟a yang tak akan pernah putus penulis panjatkan. Hanya Allah yang mampu membalas segala kebaikan umi dan ibu. Semoga kemanfaatan yang beliau ajarkan dapat penulis teruskan.

11. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada suami tercinta Mukhammad Sofiyanto yang telah memberikan insprirasi bahkan berperan aktif membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama hal penterjemahan kitab-kitab klasik.

(10)

viii

penyemangatku. Senyum kalian yang membuat kakak semakin kuat.

Semoga kalian kelak menjadi wanita-wanita panutan umat.

13. Sahabat-sahabat seperjuaganku di Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta, Isyroqotun Nashoikha, Ni‟amah Lailul Husna, Fazat Azizah dan Mabrurotul Hasanah. Terimakasih karena selalu menjadi tempat berteduh dikala jiwa dan raga ini mulai merasa letih menghadapi penatnya kehidupan. Solusi, candaan dan semua hal yang kalian lakukan banyak memberikan pelajaran yang tak akan pernah aku lupakan.

14. Untuk adik-adikku Pesantren Bahrul Maghfiroh Malang, Ni‟matus Sholihah, Nur Farida, Lutfiyah Sulistina, Hymmah Amaliyah Zahroh dan Rifka Ismanul Hasanah. Terima kasih telah men-support penulis.

Semoga kalian bisa menjadi wanita yang amanah dengan apa yag telah guru kita ajarkan.

15. Seluruh teman-teman angkatan 2014, khususnya teman-teman jurusan Ilmu Al Qur‟an dan Tafsir atas kebersamaannya.

Tak lupa penulis ucapkan permohonan maaf, jika dalam penyusunan skripsi ini terdapat suatu hal yang kurang berkenan. Tidak ada makhluk yang sempurna. Dan Tentu skripsi ini jauh dari kata sempurna kritik dan saran konstruktif sangat penulis harapkan. Akhir kata semoga karya ini bermafaat bagi penulis dan para pembaca

Jakarta, 12 Juli 2018 M

Siti Hazrotun Halaliyatul Muharromah

(11)

ix DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING... i

LEMBAR PENGESAHAN...ii

PERNYATAAN PENULIS...iii

PERSEMBAHAN...iv

MOTTO...v

KATA PENGANTAR...vi

DAFTAR ISI...ix

PEDOMAN TRANSLITRASI...xi

ABSTRAK...xiv

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar belakang...1

B. Identifikasi Masalah...7

C. Batasan dan Rumusan Masalah...8

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan...9

E. Tinjauan Pustaka...9

F. Metode Penelitian...11

G. Sistematika Penulisan...14

BAB II: TINJAUAN UMUM SYARAT-SYARAT MUFASSIR A. Pengertian Tafsir dan Mufassir...16

B. Sejarah Munculnya Syarat-syarat Mufassir...19

C. Urgensi syarat-syarat Mufassir...23

D. Klasifikasi Syarat-Syarat Mufassir 1. Syarat Syar‟iyyah dan Akhlaqiyah. ...28

2. Syarat „Aqliyyah ...31

3. Syarat Ilmiyyah...33

4. Syarat li Anwa‟i at Tafsir...36 BAB III: LITERATUR ULUMUL QUR’AN DALAM SYARAT-

SYARAT MUFASSIR

(12)

x

a. Nabi dan para sahabat (abad I H/VII M) ...46 b. Tabi‟in dan Tabi‟inat Tabi‟in (abad II H/VIII M) ...94 2. Periode Tengah (abad III-XII H/IX-XIX M)

a. Ulama Mutaqaddimin (abad III-VIII H/IX-XIII M) ...50 b. Ulama Muta‟akhhirin (abad IX-XII H/XIII-XVIII M) ...59 3. Periode Modern (abad XIII H/XVIII- Sekarang)...56 B. Tokoh-tokoh Ulumul Qur‟an

1. Periode Klasik...94 2. Periode Tengah...60 3. Periode Modern abad 13-14 H...62 BAB IV: PERIODESASI SYARAT-SYARAT MUFASSIR

A. Periode Klasik (Dari abad I-II H/VII-VIII M)

1. Kriteria Mufassir Periode Nabi dan Sahabat (abad I H/VII M)...66 2. Kriteria Mufassir Periode Tabi‟in dan tabi‟ Tabi‟in (abad II

H/VIII M)...72 B. Periode Pertengahan (Dari Abad III-XII H/ 9-15 M)

1. Kriteria Mufassir Periode Ulama Mutaqaddimin Mutaqaddimin abad 3-7H/9-13M...74 2. Kriteria Mufassir Periode Ulama Muta‟akhhirin abad 8-11H/14-

17M...79 C. Kriteria Mufassir Periode Modern-Kontemporer (abad 12-14H/18-

21M)...84 BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan...91 B. Saran ...93 DAFTAR PUSTAKA...95

(13)

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin mengikuti pedoman yang diberlakukan dalam petunjuk praktis penulisan skripsi Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.

A. Konsonan No Huruf

Arab Huruf Latin No Huruf

Arab Huruf Latin

1

ا

A 14

ص

Sh

2

ب

B 15

ض

Dh

3

ت

T 16

ط

Th

4

ث

Ts 17

ظ

Zh

5

ج

J 18

ع

6

ح

H 19

غ

Gh

7

خ

Kh 20

ف

F

8

د

D 21

ق

Q

9

ذ

Dz 22

ك

K

10

ر

R 23

ل

L

11

ز

Z 24

م

M

12

س

S 25

ن

N

13

ش

Sy 26

و

W
(14)

xii

28 ء „

29 ي Y

B. Vokal

Vokal Tunggal Vokal Panjang Vokal Rangkap Fathah : a آ : ȃ ْ ي َ... : ai

Kasrah : i ي : ȋ ْ و َ... : au

Dhammah : u و: ȗ

C. Kata Sandang

a. Kata sandang yang diikuti alif lam

(لا)

qamariyah

Kata sandang yang diikuti alif lam (لا)qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh:

ْ ةرقبلا

: al-

Baqarah.

b. Kata sandang yang diikuti alif lam

(لا)

syamsiyah

Kata sandang yang diikuti alif lam

(لا)

syamsiyahditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Contoh:

لجرلا

: ar-rajul

c. Syaddah (Tasydȋd)

Syaddah (Tasydȋd)dalam sistem aksara Arab digunakan lambang ( ّ), sedangkan untuk alih aksaran ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan cara menggandakan huruf yang bertanda

(15)

xiii

tasydȋd. Aturan ini berlaku secara umum, baik tasydȋd yang berada di tengah kata, di akhir kata ataupun yang terletak setelah kata sandang yang diikuti oelh huruf-huruf syamsiyah. Contoh:

ْااللهابِْاَّنَمَأ

: Ȃmanna billȃhi d. Ta’ Marbȗthah (ة)

Ta’ Marbȗthah (ة) apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh kata sifat (na’at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “h”. Contoh:

ْاةَدائ فَ لْا

: al-Af'idah

Sedangkan ta’ Marbȗthah (ة) yang diikuti atau disambungkan (di-washal) dengan kata benda (isim) maka dialih aksarakan menjadi huruf “t”. Contoh:

ٌْةَباصَنٌَْةَلاماَع

: „Ȃmilatun Nȃshibah e. Huruf Kapital

Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf kapital, akan tetapi apabila telah dialih aksarakan maka berlaku ketentuan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, seperti penulisan awal kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain. Ketentuan yang berlaku pada EYD berlaku pula dalam alih aksara ini, seperti cetak miring (italic), atau cetak tebal (bold) dan ketentuan lainnya. Adapun nama diri yang diawali dengan kata sandang, maka huruf yang ditulis kapital adalah awal nama diri, bukan kata sandangnya. Contoh:

„Alȋ Hasan al-„Ȃridh. Khusus untuk penulisan kata Al-Qur`an dan nama-nama surah menggunakan huruf kapital. Contoh: Al- Qur`an, Al-Baqarah, dan seterusnya.

(16)

xiv

Menjadi seorang mufassir tentu tidaklah mudah, diperlukan beberapa keahlian khusus yang harus dimiliki dan dipahami oleh seorang mufassir.

Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah penafsiran akibat tidak adanya ilmu yang mumpuni yang dikuasai mufassir. Sejarah penetapan syarat-syarat mufassir tidak lepas dari sejarah kodifikasi ‘Ulûm Al-Qurân. Seiring dengan semakin luasnya daerah yang dipengaruhi oleh Islam. Tafsir Al-Qur‟an mengalami perkembangan sedemikian rupa sesuai dengan tendensi dan kecenderungan kelompok mufassir itu sendiri. Menurut Quraish shihab bahwa syarat-syarat yang ditetapkan oleh sebagian ulama adalah syarat mufassir yang ingin menafsirkan Al-Qur‟an secara kamil dengan ijtihad mereka. Akan tetapi hal tersebut berlaku pada masanya, sebab pada periode modern ini, sangat sulit menemukan seseorang yang ahli dalam berbagai ilmu.

Minimnya pembahasan tentang masalah syarat mufassir memancing ghiroh penulis untuk meneliti tema ini. Setiap tokoh ulama memiliki ketentuan syarat yang berbeda. Bahkan pada abad-abad awal munculnya kajian ‘Ulumul Qur’an, belum adanya sistematisasi syarat bagi mufassir.

Sebagian dari mereka menyebutkan syarat tersebut pada muqaddimah sebuah tafsir, ada sebagian yang menyebutkan secara khusus dalam sebuah bab.

Oleh karena itu, tulisan ini mencoba untuk menganalisis perbedaan- perbedaan penetapan syarat-syarat bagi mufassir yang diajukan oleh beberapa ulama dari zaman klasik hingga kontemporer melalui kajian kitab- kitab ‘Ulumul Qur’an dengan menggunakan pendekatan histories- sosisologis, Penelitian ini juga bersifat deskriptif-analitis. Penulis mengklasifikasikan syarat-syarat tersebut kedalam empat bagian. Yaitu pertama, syarat Syar‟iyyah atau Akhlaqiyah, kedua, syarat Aqliyah, ketiga syarat Ilmiyah, keempat, syarat li Anwa‟i at Tafsir. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penulis dalam mengidentifikasi syarat-syarat disetiap periodenya.

Adapun kesimpulan dari penelitian yang penulis lakukan adalah bahwa embrio dari syarat dan ketentuan bagi seorang mufassir sudah ada sejak masa sahabat. Dan mulai berkembang pada abad pertengahan, pada masa ini penetapan syarat-syarat bagi mufassir lebih lengkap dan sistematis dibadingkan dengan masa sebelumnya. dan menjadi sebuah kajian khusus Key words: Syarat Mufassir, Klasik, Pertengahan, Modern

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Allah memerintahkan kepada manusia, untuk berfikir tentang ayat- ayat-Nya dan mengecam terhadap mereka yang hanya sekedar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar. Dengan dasar pemikiran tersebut, seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami dan menafsirkan Al-Qur‟an karena hal ini merupakan perintah Al-Qur‟an sendiri. Sebagaimana setiap pendapat yang diajukan seseorang walaupun berbeda dengan pendapat lain, harus ditampung.

Inilah konsekuensi logis dari perintah tersebut, Selama pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.

Kebebasan yang bertanggung jawab inilah timbul pembatasan-pembatasan dalam menafsirkan Al-Qur‟an, sebagaimana pembatasan-pembatasan yang ditemukan dalam setiap disiplin ilmu. Sebab mengabaikan pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka dalam kehidupan. Dapat dibayangkan jika seseorang bebas menafsirkan Al- Qur‟an tanpa memiliki persyaratan yang menjamin dari ketersesatan dan menyesatkan orang lain.

Bidang kedokteran misalnya, seseorang tidak diperkenankan menangani pasien jika tidak menguasai ilmu kedokteran dengan baik.

Bahkan jika ia nekad membuka praktek dan ternyata pasien malah bertambah sakit, ia akan dituduh melakukan malpraktek sehingga bisa dituntut ke pengadilan. Demikian juga halnya dengan tafsir Al-Qur‟an, syarat yang ketat diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran.

Pada abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an. Seorang pernah bertanya kepada Abû Bakr

(18)

tentang makna abbâ dalam ayat

 

(QS.Abasa [80]: 31). Abû Bakr menjawab, “Di bumi apa aku berpijak, dan di langit mana aku berteduh bila aku mengatakan di dalam Al-Qur‟an dengan pendapatku”. Hal ini menunjukkan peran ijtihad masih sangat dihindari, demi menjaga kemurnian Al-Qur‟an.1

Ibn „Abbâs, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling tahu maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian. Pertama, yang dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka. Kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya. Ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama. Kelima, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.2

Penjelasan yang diutarakan oleh Abû Bakr dan Ibn Abbâs hanya sebagai bukti kehati-hatian beliau dalam menjelaskan suatu hal yang berhubungan dengan Al-Qur‟an dan hal tersebut memberikan isyarat bahwa pada masa sahabat sudah ada pembatasan terkait ruang lingkup bagi seorang yang ahli ilmu, sebab tidak semua ayat Al-Qur‟an bisa ditafsirkan oleh semua orang.

Pada abad-abad berikutnya, sebagian ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an selama ia memiliki syarat- syarat tertentu seperti menguasai ‘ilm nahwu, sharf, balâghah, isytiqâq3, ‘ilm ushûl ad-dîn, ‘ilm qirâ’ât4, asbâb an nuzûl5, nâsikh wa mansûkh6, dan lain

1 Al furqon, “Kaidah Kualifikasi Intelektual Mufasir Dan Urgensinya” dalam Jurnal Mutawâtir, Vol.1 No.2 Juli 2011, h.22

2 Badr al-Dîn Muhammad Abdullâh al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’ân (Mesir: al-Halabî, 1957), h.164.

3 Isytiqaq adalah kata-kata yang mempunyai bentuk berbeda tetapi mempunyai keterkaitan dalam tiga huruf asli, pada fa‟, „ain, dan lam fi‟ilnya

4 Suatu aliran di dalam melafalkan Al-Quran yang dipakai oleh salah seorang imam qurra’ yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al-Quran al karim, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung kepada Rasulullah saw. Lihat Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Cet. I: Bandung : Pustaka Setia, 2000), h.147

(19)

3

sebagainya.7 Perincian syarat-syarat yang disebutkan diatas muncul pada abad-abad terakhir yaitu pada abad ke-4 hijriah bukan pada masa Rasulullah ataupun sahabat, akan tetapi embrio syarat bagi seorang mufassir telah ada sejak masa sahabat bahkan Rasulullah walaupun tidak secara jelas dan terperinci. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan dalam berbagai aspek di setiap periodenya, baik dalam hal keilmuan maupun pengaruh lingkungan masyarakat. Sehingga syarat bagi mufassir mulai tersistematis hingga sekarang.

Dengan adanya perbedaan pemahaman dalam memahami Al-Qur‟an dan Ulȗmul Qur’an di era klasik hingga modern maka konteks sosio- historis Al-Qur‟an sangat penting. Khususnya pada pembahasan tentang diskursus perkembangan syarat-syarat mufassir. Sebab dengan melihat dan mempertimbangkan keadaan, perlu adanya penyelarasan pendapat-pendapat para ulama terdahulu mengenai penetapan syarat bagi mufassir dengan kondisi keilmuan agar lebih relevan dengan kehidupan muslim pada masa sekarang.

Adapun persyaratan bagi seorang mufassir dalam beberapa literatur kitab ‘Ulumul Qur’an adalah sebagai berikut:

1. Menurut Syekh Muhammad Hussein adz-Dzâhâbi mensyaratkan seorang mufassir harus mengetahui ilmu bahasa dan rahasianya, mengetahui adat istiadat dan kebiasaan orang Arab, mengetahui keadaan orang Yahudi dan Nasrani pada saat Al-Qur‟an diturunkan,

5 Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat, baik sebelum maupun sesudah turunnya, dimana kandungan ayat tersebut berkaitan/dapat dikaitkan dengan peristiwa itu. Lihat Kaidah Tafsir karya Muhammad Quraish Shihab, h.235

6 Pembatalan hukum syar‟i akibat hadirnya hukum syar‟i yang baru yang bertolak belakang dengan hukum syar‟i yang sebelumnya. Lihat Kaidah Tafsir karya Muhammad Quraish Shihab, h.283

7 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,(Bandung: Penerbit Mizan, 1998), h.46

(20)

Mengetahui asbâb an-nuzûl, Mempunyai pemahaman yang kuat dan pengetahuan yang luas.8

2. Syekh Manna‟ al-Qâththan mensyaratkan seorang mufassir dan tata cara menafsirkan adalah Akidah yang benar, bebas dari hawa nafsu, memulai menafsirkan Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an, mencari tafsir dari as Sunnah9, pendapat dari tabi‟in, mengetahui bahasa Arab dengan semua cabangnya, mengetahui pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan ilmu Al-Qur‟an, dan memiliki ketajaman berpikir.10

3. Khâlid as-Sabt: Syarat bagi seorang mufassir (yang hampir semuanya mengenai bahasa Arab) yaitu harus mengetahui Fiqh lughah11, Hukum kalimah, al-bayân,, al-ma‘ânî dan, al-badî‘, mûbham12 dan mufasshal13, ‘Am dan khas, Ilmu Kalam, dan ‘Ilm Qira’at.14

4. Imam as-Suyûti: Dalam kitabnya al-Itqan menyebutkan beberapa jenis ilmu yang diperlukan dalam menafsirkan Al-Qur‟an, yaitu: Ilmu Lughat, Ilmu nahwû15, Ilmu sharaf16, Ilmu Isytiqâq, Ilmu Balâghah (retorika, metafora). Ilmu Qira‟at, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Ushul Fiqh,

8 Muhammad Husain adz-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Vol. 1 (Kairo: t.p, 1987), h.59

9 Sunnah ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum menjadi rasul maupun sesudahnya.

10 Manna‟ Khalil al Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Al- Qur’an, Terj. Mudzakir, (Jakarta:

PT. Pustaka Litera Antar Nusa: 1992), Cet.1, h.457-460

11 Ilmu yang berkaitan dengan pemahaman bahasa, dan pelajaran problematikanya, dan tema-temanya. Dalam pengertian lain, fiqih lughah, yaitu ilmu yang dipelajari dan memperoleh tema-tema tertentu dari sebagian kejadian yang telah terjadi.

12 Hadits yang nama rawinya atau orang yang memiliki hubungan dengan riwayat tersebut tidak jelas, baik pada matan maupun pada sanad.

13 Menjelaskan secara terperinci.

14 Khalid As Sabt, Qawaid at Tafsir, (Cairo:Dar Ibnu Affan,tt), h.382

15 Ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip untuk mengenali kalimat-kalimat bahasa arab dari sisi i'rab dan bina'-nya

16 Ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip untuk mengenal pola-pola kalimat dan kondisi-kondisinya.

(21)

5

Ilmu Asbabu an-Nuzul, Ilmu Nasikh dan Mansukh, Ilmu Hadits, Ilmu Mubhamah, Ilmu sains dan teknologi.17

Melihat beberapa persyaratan secara umum yang dikemukakan oleh beberapa ulama terkait syarat sebagai mufassir yang penulis kutip, memiliki perbedaan titik tumpu. Ada yang mengutamakan sisi keilmuan baik ilmu bahasa, sosial, politik dan lain sebagainya. Khususnya bahasa Arab dan yang terkait. Ada pula yang mengutamakan sisi spiritualitas mufassir. Hal ini menujukkan bahwa adanya faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut, baik dari faktor perbedaan masa, geografis, budaya dan kondisi keilmuan masyarakat ketika itu.

Dengan demikian perlu adanya telaah ulang sebagai proses untuk mewujudkan idealitas penafsiran dengan melihat perkembangan syarat- syarat yang ada disetiap masanya. Sebab semakin bertambah masanya, semakin banyak bermunculan corak-corak penafsiran dan metode-metode yang beragam. Seyogyanya syarat bagi seorang mufassir memiliki kemungkinan akan bertambah bahkan akan menjadi lebih sederhana dibandingkan dengan masa sebelumnya. Misalnya pada masa sahabat, kecenderungan penafsiran mereka hanya berkutat pada periwayatan dan asbâb an-nuzûl. Pada masa selanjutnya mulai bermunculan pemikiran baru, bahkan pada periode kontemporer kebebasan berfikir lebih luas dibandingan masa sebelumnya, sehingga syarat bagi mufassir-nya pun berbeda.

Muhammad Quraish Shihab -seorang ulama kontemporer- berpendapat bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan menyangkut syarat-syarat yang begitu banyak dan rumit, diantaranya adalah:

1. Syarat-syarat tersebut ditujukan kepada orang yang ingin mengemukakan pendapat baru berdasarkan analisisnya

17 Imam Jalaluddin As Suyuthi, Samudera Ulumul Qur’an, Terj. Farikh Marzuqi Ammar dan Imam Fauzi Ja‟iz, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 2007), Cet.1, h.248

(22)

menyangkut ayat-ayat Al-Qur‟an, bukan bagi mereka yang hanya menyampaikan pendapat mufassir yang selama ini telah dikemukakan oleh pakar tafsir;

2. Syarat-syarat tersebut adalah bagi mereka yang ingin menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an secara keseluruhan. Jika mereka hanya ingin menafsirkan ayat Al-Qur‟an yang membahas tentang satu ilmu misalkan tentang astronomi maka tidaklah mutlak baginya mengetahui ilmu ushûl fiqh atau naskh mansûkh, atau ‘ilm al fiqh.

Tetapi cukup hanya dengan salah satu yang mutlak baginya adalah ilmu tentang astronomi ditambah dengan bahsa Arab. Sebab mustahil mengerti Al-Qur‟an tanpa bahasa Arab;

3. Sebagian dari syarat-syarat yang dikemukakan oleh para ulama klasik dipandang perlu adanya revisi atau diberi pemaknaan yang berbeda, seperti syarat lurusnya akidah penafsir. Syarat ini menjadikan penafsiran orientalis (non muslim) tidak dapat diterima. Tetapi bila syarat itu diganti dengan kalimat objektivitas, maka siapapun yang objektif, ia berpotensi memahami ayat-ayat Al-Qur‟an dengan baik selama syarat minimal telah dimilikinya;

4. Diperlukan penambahan syarat yaitu pengetahuan tentang objek uraian ayat. Seseorang tidak mungkin akan memahami dengan baik syarat-syarat yang berbicara, misalnya tentang embriologi, atau ekonomi, jika ia tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang memadai menyangkut disiplin ilmu-ilmu tersebut.18

Dapat dilihat secara jelas, bagaimana perbedaan pola pikir ulama pada masa klasik seperti Ibnu Abbâs, Ibnu Jârir at Thabâri, Imam As Suyûti hingga Quraish Shihab. Hal ini dapat dibenarkan jika melihat sumber daya manusia yang kurang meumpuni prasyarat bagi mufassir, berbanding terbalik

18 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,(Tangerang: Lentera Hati,2013) h.397-398

(23)

7

dengan berbagai peristiwa dan permasalahan yang menuntut para ulama untuk menyelesaikan permasalahan umat modern. Dengan menyeimbangkan pola pikir dengan perkembangan zaman.

Diperkirakan pada suatu titik para ulama dan mufassir utamanya akan hilang ditelan zaman karna tidak adanya atsar-atsar keilmuan yang hanya menjadi kenangan. Sedangkan di sisi lain umat dalam kebingungan menghadapi permasalahan-permasalahan baru yang mereka tidak menemukannya di dalam rujukan tafsir sebelumnya. Hal tersebut dapat menimbulkan kekacauan dimasa yang akan datang.

Minimnya pembahasan tentang masalah syarat mufassir memancing semangat penulis untuk meneliti topik ini. Sebab banyak para ulama menyebutkannya secara terpisah dan setiap tokoh ulama memiliki ketentuan syarat yang berbeda. Tulisan ini mencoba untuk menganalisis perbedaan- perbedaan dalam menetapkan syarat-syarat bagi mufassir yang diajukan oleh beberapa ulama dari zaman klasik hingga kontemporer melalui kajian kitab- kitab ‘Ulumul Qur’an dengan menggunakan pendekatan sosio-historis, dan menemukan relevansi bagi perkembangan literatur tafsir. Penulis berusaha mengaktualisasikannya dengan mengklasfikasikan syarat-syarat tersebut, agar lebih mudah mengidentifikasi perbedaan antara syarat mutlak bagi mufassir dan syarat penunjang bagi mufassir.

B. Identifikasi Masalah

Terdapat beberapa aspek yang perlu dibahas terkait syarat-syarat mufassir, melihat adanya perbedaan syarat yang diajukan oleh para ulama di setiap masanya. Sebab permasalahan yang berbeda, kebutuhan masyarakat yang bervarian, kapasitas keilmuan yang dimiliki bahkan konflik para tokoh yang mendorong munculnya syarat-syarat bagi mufassir.

Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan, Apakah setiap orang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Qur‟an? Lantas, siapakah yang

(24)

memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Qur‟an dan apa saja yang harus dipenuhi olehnya? Apa yang menyebabkan adanya perbedaan syarat yang dikemukakan oleh para ulama ? Apakah ada suatu hal yang mempengaruhi para ulama terkait penetapan syarat sebagai mufassir ? Apakah sebagai seorang mufassir harus mencangkup semua persyarat ? Bagaimana cara untuk menambah khazanah referensi tafsir jika kebanyakan dari mereka merasa tidak mumpuni untuk menafsirkan Al-Qur‟an dan hal ini berbanding terbalik dengan perkembangan dan kebutuhan zaman? Apakah perlu adanya penyelarasan bahkan pembaharuan dengan metode pengkolaborasian yang disaring dengan sederhana terkait syarat-syarat mufassir modern, demi meningkatkan motivasi masyarakat untuk lebih banyak mencurahkan perhatiannya terhadap Al-Qur‟an?.

Mengingat bahwa semakin minimnya kajian tentang Al-Qur‟an dapat menimbulkan kekacauan dimasa yang akan datang. Hal ini dipandang perlu untuk mensinergikan syarat-syarat mufassir dengan kebutuhan zamannya dan realitas permaslahan umat, agar keilmuan tidak berhenti hanya pada zaman permasalahan klasik.

C. Batasan dan Rumusan masalah

Melihat identifikasi masalah di atas, penulis akan meneliti terkait syarat-syarat mufassir yang terbatas pada permasalahan diskursus perkembangan dan perbedaan syarat-syarat mufassir mulai dari era klasik hingga modern. Untuk menemukan kolerasi antara syarat-syarat bagi mufassir pada era klasik, pertengahan dan kontemporer. Sehingga dapat mengetahui bagaimana relevansi disetiap masanya terhadap perkembangan kajian tafsir, serta memancing ghiroh para ulama untuk lebih intens dalam menjawab permasalahan umat dengan mempertimbangkan kebutuhan zaman yang terus meningkat demi mempertahakan stabilitas keilmuan Islam.

(25)

9

Penulis berharap keilmuan dibidang tafsir tidak berhenti hanya pada level mengetahui ilmu-ilmu Al-Qur‟an tanpa adanya perkembangan dalam pengaplikasian Al-Qur‟an dalam menjawab tantangan zaman utamanya dalam bidang tafsir. Melalui pertanyaan-pertanyaan diatas, maka penulis memfokuskan pada pembahasan: Bagaimana diskurus perkembangan syarat- syarat mufassir dalam literatur kitab ‘Ulumul Qur’an periode klasik hingga modern ?

D. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penulisan karya tulis ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai tugas akhir strata satu untuk menempuh gelar sarjana. Adapun Tujuan khusus penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui dinamika perkembangan syarat-syarat mufassir melalui kajian literatur kitab ‘Ulumul Qur’an klasik hingga modern.

E. Tinjauan Pustaka

Kajian Pustaka ini dilakukan agar tidak terjadi pengulangan terhadap objek yang sama. Sepanjang penelitian yang telah dilakukan, belum ditemukan penelitian yang secara spesifik membahas mengenai Diskursus syarat-syarat mufassir klasik hingga modern. Juga belum ditemukan skripsi atau tesis yang fokus membahas penelitian tersebut di Insitut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta. Berikut akan ditampilkan beberapa penelitian yang terkait yang kami temukan ditempat lain:

1. Jurnal yang berjudul Kaidah Kualifikasi Intelektual Mufasir Dan Urgensinya karya Al furqon (2011).19 Jurnal ini menjelaskan tentang syarat-syarat mufassir menurut beberapa tokoh. Terdapat lima tokoh yang sempat disinggung di dalam jurnal ini, seperti Jum‟ah Ali Abdu

19 Al Furqon, “Kaidah Kualifikasi Intelektual Mufasir Dan Urgensinya”, dalam Mutawâtir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis,Vol.1, No.2 Desember 2011, h.217-227

(26)

al Qadir, Quraish Shihab, Ibnu Taimiyah, Abu A‟ala al Mandudi dan Muhammad Husain Adz-Dzahabi. Akan tetapi jurnal ini menyebutkan syarat-syarat mufassir secara acak tanpa memperhatikan runtutan masa. Sehingga tidak terlihat dengan jelas perbedaan perkembangan antar tokoh disetiap masanya.

Disisi lain jurnal ini memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap materi yang akan penulis kaji, sebab terdapat beberapa pendapat tokoh yang sudah dibahas, sehingga membantu mengurangi beban penulis dalam menggali informasi terkait pendapat tokoh-tokoh tentang syarat-syarat bagi mufassir.

2. Buku yang berjudul Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an karya Dr.H.Abdul Mustaqim (2016). Buku ini membahas tentang dinamika sejarah penafsiran Al-Qur‟an yang mengkombinasikan dan mendialogkan pendekatan historis-periodik dengan pendekatan filosofis-konseptual dalam memotret perkembangan aliran-aliran tafsir dari era klasik, pertengahan sampai modern-kontemporer.20

Buku ini juga sangat berkontribusi pada penelitian kami, sebab penulis dapat mengetahui kondisi masyarakat masa klasik hingga modern dan dapat membaca peta konsep pola pikir ulama ketika itu, sehingga berimbas kepada penetapan syarat-syarat bagi para mufassir.

Sebab hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi masyarakat dan latar belakang seseorang mempengaruhi pola pikirnya.

3. Jurnal yang berjudul Qawa’id al Tafsir Hubungannya dengan Bahasa Arab Karya Jabal Nur (2013). Di dalam Jurnal ini menjelaskan tentang pentingnya adanya syarat-syarat bagi mufassir utamanya pengetahuan tentang Qaw â’id at Tafsîr dan bahasa Arab

20 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Idea Press,2016), Cet.2, h.195-197

(27)

11

agar penafsiran Al-Qur‟an mendekati makna yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.

Jurnal ini tidak membahas secara fokus terkait pendapat para ulama tentang syarat-syarat bagi mufassir. Penyebutan syarat-syarat mufassir hanya sekedar sebagai penekanan bahwa syarat-syarat yang dikemukakan oleh para ulama wajib dimiliki sebagai seorang mufassir, utamanya ilmu Qaw â’id at Tafsîr dan bahasa Arab. Akan tetapi Jurnal ini juga berkontribusi kepada penulis terkait referensi-referensi yang digunakan, dapat menjadi tambahan rujukan bagi penulis.

F. Metodologi Penelitian

Untuk memperoleh sebuah kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka penelitian dalam skripsi ini menggunakan metodologi sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Data-data yang digunakan bersumber dari kepustakaan (Library research) yakni keseluruhan data dan bahan yang digunakan merupakan data atau bahan pustaka yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat. Penelitian ini juga bersifat deskriptif- analitis, yang akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam rumusan masalah, berdasarkan pembacaan dan interpretasi terhadap data- data yang berhubungan dengan tema yang akan diteliti. Sedangkan bahan pustaka yang dijadikan objek penelitian adalah buku-buku, jurnal atau tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan tema.

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan histories- sosisologis. Pendekatan historis dipakai untuk memperoleh pengetahuan

(28)

data-data sejarah baik yang bersumber langsung integral dari literatur yang dijadikan objek penelitian, maupun objek luar yang diteliti.

Pendekatan historis dimaksudkan juga untuk mengemukakan asal usul dan latar bekang objek yang diteliti, dinamika perkembangan, fungsi, pengaruh dan hubungannya dengan kondisi sekitar. Dan untuk menemukan informasi apa yang melatar belakangi perbedaan syarat bagi mufassir disetiap periode. Sedangkan pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui kondisi sosio kultur para mufassir yakni kondisi masyarakat dan kecenderungan masyarakat pada setiap masanya.

Adapun langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai berikut:

pertama, penulis akan menginventaris data dan menyeleksinya. Kedua, penulis dengan cermat mengkaji data tersebut secara komprehensif kemudian mengabstraksikan melalui pendekatan yang telah penulis jelaskan diatas.

3. Sumber Data

Adapun data-data yang disiapkan dalam penelitian ini adalah yang bersumber dari literatur yaitu mengadakan riset pustaka (library research) yang bertujuan untuk mengumpulkan data informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan.

Ada dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, seperti data primer dan data sekunder, yaitu sebagai berikut:

a. Data primer

Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Sumber data primer dalam penulisan skripsi ini adalah kitab Muqadimah fî Ushûl at-Tafsîr karya Ibn Taymîyah, kitab Mabâhits fi ’Ulumi Al-Qur’an karya Manna al Qhaththan, kitab al Itqon fi ‘Ulumi Al-Qur’an karya Jalaluddin

„Abdul ar Rahman ibnu Abi Bakar as Suyuti, kitab Al Burhân fi ‘Ulumi

(29)

13

Al-Qur’an karya Imam Az Zarkasyi dan kitab Tafsir Mufassirûn karya Muhammad Husain Adz Dzahabi.

b. Data sekunder

Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dari catatan pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti laporan atau catatan historis yang telah dipublikasikan dan tidak dipublikasikan.

Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah tafsir-tafsir yang dijadikan rujukan yakni buku Kaidah Tafsir karya M.Quraish Shihab, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur‟an karya Abdul Mustaqim,

Ulûmul Qur’an karya Ayatullah Muhammad Baqir Hakim, Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani Manâhilul ‘Irfan fi ‘Ulûm Al- Qur’an, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an di Indonesia karya Nashruddin Baidan, Studi Islam Komperhensif karya Abudin Nata dan buku-buku yang berkaitan dengan sejarah tafsir klasik hingga modern.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan Observasi tidak langsung, melalui pengamatan dan pencatatan yang tampak pada objek penelitian yang pelaksanaannya tidak langsung di tempat peristiwa atau saat kejadian.21 Dan menggunakan metode dokumentasi terhadap data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud adalah Kitab-kitab kaidah tafsir dan Sejarah Tafsir, khususnya bab yang menjelaskan tentang syarat- syarat mufassir. Sedangkan data sekunder merupakan bahan-bahan kepustakaan yang memiliki kaitan lansung maupun tidak langsung dengan data primer.

21M. Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir,(Yogyakarta: Teras, 2005), cet.1, h.172

(30)

G. Teknik dan Sistematika Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku

“Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi yang disusun oleh TIM Institut Ilmu Al Qur‟an Jakarta- yang diterbitkan oleh IIQ Pers- tahun 2017.

Secara keseluruhan, Untuk mempermudah penulisan, peneliti membagi pembahasan skripsi ini ke dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang menyajikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi Tinjauan umum tentang syarat-syarat mufassir.

Uraian ini meliputi Pengertian tafsir dan mufassir, Sejarah muculnya syarat-syarat mufassir, Urgensi syarat-syarat mufassir, Klasifikasi Syarat- Syarat mufassir yang diantaranya Syarat Syar’iyyah dan Akhlaqiyah, Syarat ‘Aqliyyah, Syarat Ilmiyyah, Syarat li Anwa’i at Tafsir.

Pada Bab ketiga penulis akan berusaha mengelompokkan kecenderungan syarat-syarat bagi mufassir disetiap periodenya. Mulai dari periode klasik yang dimulai dari ulama Mutaqaddimin, ulama muta’akhhirin dan ulama modern atau kontemporer yang meliputi Profil Tokoh-tokoh ‘Ulum Al-Qur’an pada masanya, Kondisi Keilmuan Masyarakat pada masanya, Kriteria mufassir disetiap periodenya.

Bab keempat adalah analisis syarat-syarat mufassir yang meliputi perkembangan syarat-syarat mufassir dalam literatur kitab ‘Ulumul Qur’an klasik hingga modern

Bab kelima merupakan penutup yang berisikan kesimpulan saran- saran bagi kajian selanjutnya

(31)

15 BAB II

TINJAUAN UMUM SYARAT-SYARAT MUFASSIR A. Pengertian Tafsir dan Mufassir

Tafsir menurut etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata fassara-yufassiru-tafsîran mengikuti wazan taf‟il yang berarti (

إُْي إْبإِي إَ تلا إإَو إُحا إَض إْي إِلا

)

“menjelaskan”.1 Dan isim fâil dari kata diatas adalah mufassirun yang berarti orang yang menjelaskan. Adapun lafad dengan makna yang serupa di dalam Al-Qur‟an, yaitu :

إ



















“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya (penjelasan dan perinciannya).” (QS.

Al-Furqan [25]: 33).

Di dalam kamus Lisân al-„Arâb menyatakan bahwa kata fassara adalah bentuk muta‟addi dari kata kerja fasara-yafsiru-fasran atau fasara-yafsuru- fasran yang berarti al-bayân wa kasyfu al-mughattha‟ (menjelaskan dan menyingkap yang tertutup). Sedangkan isim fâ‟il dari kedua akar kata tersebut adalah fâsirûn yang berarti orang yang membuka suatu hal yang tertutup. Dengan demikian tafsir berarti kasyfu al murad „an al lafzh al musykil (menyingkap maksud dari kata yang sulit)2. Selain itu, kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru

( إُر إْس إَفلا )

yang berarti (

إِف إْش إَك إْلا إإَو إِة إَبإَن إِلا

)

1 Rosihon anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2005), h.141

2 Abi Fadhal Jamal ad Din Muhammad ibn Mukarram ibn Mansyur, Lisan al „Arâb, (Riyadh: Dar „alam al kutub,2003), Juz 6, h.361

(32)

“menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.3

Adapun secara istilah, para ulama mengemukakan beragam definisi mengenai tafsir yang saling melengkapi antara satu definisi dengan definisi lainnya. Imam Az-Zarkasyi dalam kitabnya, Al-Burhân fî „Ulûm Al-Qurân, mendefinisikan tafsir dengan:

إِعإْل إْفُ يإٌم إَهإُم إإِب إِهإإ إِكإَت إِاللإُبا إإَ ت إَع إُُلََّ َُمُاإ إَلا إإَع إَنإى إَل إِبإِّيإِه إَُم إ إلم إَصإ إٍدإ إُاللإى لل إإَع إَل إإَو إِهي إَسإلل إَمإ إَوإَ بإَي إإَمإَع إُنا إِنا إِهي إ

إَو إْسا إْخإ إِت إُجا َر إْح إإَأ إَك إِما إَو إِهإ إِهِمَكِح إ إ

“Ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallâhu „alaihi wa sallam, menjelaskan maknanya, serta menguraikan hukum dan hikmahnya.4

Sementara itu, Imam Jalaluddin As-Suyûty mendefinisikan tafsir dengan:

إِعإْل إٌمإ إَ يإْب إَح إإَع إُث إُمإَر إْنإ إِدا إ إِالل إإَ ت إَع إَلا إَقإْد إِبإ إِرإ إلطلا إَقا إَبلا إِةإ إَش إِرإليإِة إَ فإ, إُهإَو إَش إ إٌلإ إِما إُك إِل إِّلإ إَمإَ يا إَ تإَوإ إُف لق إَلإْيإِه إإَع إإَ ف إْهإٌم إ

إَمُا إَن إْع إَوإإَ ب إَي إُنا إُمُا إ إَرإِدا .إ إ

“Ilmu yang membahas maksud Allah ta„ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.”5

Definisi tafsir lainnya dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqany: “Ilmu yang membahas perihal Al-Quran Al-Karim dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta„ala berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”

Secara terminologi, menurut „Abd al-Adzîm az-Zarqâni tafsir ialah ilmu untuk memahami Al-Qur‟an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

3Muhammad Husain Adz-Dzahabi, „Ilmu At-Tafsir. (Kairo: Dâr Al-Ma‟ârif,1987), Vol.1, h.5

4 Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman.. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu (KSA: Maktabah At-Taubah, 1419 H) h.8. Dinukil dari Al-Burhân juz I, h.13

5 Muhammad Husain Adz-Dzahabi. „Ilmu At-Tafsir, h.6,.

(33)

17

SAW, dengan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya. Sedangkan menurut Abu Hayyân al-Andalusi (1256- 1344 M.), sebagaimana yang dikutip oleh Yunahar Ilyas dalam buku Kuliyah Ulumul Qur‟an, mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan lafadz Al-Qur‟ân, dan tentang arti atau makna dari lafad-lafad tersebut, baik kata perkata maupun dalam kalimat yang utuh serta hal-hal yang melengkapi.6

Husain bin Ali bin Husain al-Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih panjang:

إُمُا إِّس إَف إُرإ إُهإَو إإَم إْنإ إَلإُهإ إَأإْه إِلإلي إَتإلم إٌةإ إَ يإْعإ إٌةإ إُف ِر إإَِب إُمإا إَرإَدا إ إِالل إإَ ت إَع إَلا إَك إِبإ إَل إِمإِه إُمُا إ إَ تإَعإلب إِدإ إِبإِت إَوإِتإِه إَل إَقإ, إْدإَر إ إلطلا إَقا إِة إ,

إَوإَر إَضا إإَ ن إَسإُه إْف إإَع إَىإ ل إَمإََ

إِج إِها إُمُا إ إَف إِرإْي إِس إَن إَمإ, إَعإ إَمإْعإ

ِرإَفإِت إَُج إِهإ إَكإإ إًل

ِثإْ يإَر إًةإ إْنإ إِم إَ تإْف إِْيإ إِس إَت إإِك إِبا إ إِالل إَوإ, إَمإَرا إَس إ

إل تلا إْف إْ يإَرإ إِس إَعإَم إِلإّي إِبإًا إَ تإْعإِل إْيإٍم إْوإ إإَأ إَْتإِلإْي إٍف .

“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta„ala dalam Al-Qur‟an sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.”7

Setelah begitu banyak definisi-definisi tentang Tafsir dan mufassir, penulis mencoba berpendapat bahwa tafsir merupakan suatu bentuk aktifitas seorang mufassir yang berusaha memahami dan memberi pemahaman kepada masyarakat umum tentang makna ayat Al-Qur‟an dengan segenap pengetahuannya tentang kaidah-kaidah penafsiran dan didukung oleh ilmu pengetahuan lain baik berbentuk tulisan atau sebuah kajian. Sedangkan mufassir nama atau sebutan bagi orang yang menulis tafsir tersebut.

6 Yunahar Ilyas, Kuliyah Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2014), Cet.III, h.270

7 Husain bin Ali bin Husain al-Harby. Qawâ„id at-Tarjîh „Inda al-Mufassirîn;

Dirâsah Nadzâriyyah Tathbîqiyyah, (Riyadh: Dâr al-Qâsim,1996), Juz 1. h.29.

(34)

Jadi dapat disimpulkan bahwa Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang bertujuan supaya umat atau masyarakat sekitar mengetahui apa makna-makna isi kandungan Al-Qur‟an atau suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam suatu ayat Al-Qur‟an agar dapat diaplikasikan sebagai dasar utama penetapan hukum.

Syarat adalah sesuatu yang harus dikerjakan agar sesuatu yang dikerjakan menjadi sah hukumnya. Sedangkan Pengertian syarat mufassir adalah jalur serta rel sahnya seseorang menafsirkan Al-Qur‟an. syarat amat sangat urgen bagi siapa pun yang ingin menafsirkan sebuah ayat apalagi menafsirkan Al-Qur‟an secara keseluruhan. Setiap disiplin ilmu pengetahuan membutuhkan sebuah syarat sebagai penunjang utama dalam langkah menuju objektif.

Seorang mufassir Al-Qur‟an perlu memiliki kualifikasi (syarat-syarat) dan berbagai bidang ilmu pengetahuan secara mendalam. Untuk menjadi mufassir yang diakui, maka harus memiliki kemampuan dalam segala bidang.

Para ahli telah memformulasikan tentang syarat-syarat dasar yang diperlukan bagi seorang mufassir.

Orang yang dapat menafsirkan Al-Qur‟an hanya orang yang memiliki keahlian dan menguasai ilmu tafsir (Ilmu pengetahuan tentang Al-Qur‟an), sedangkan orang yang belum banyak mengerti tentang ayat dan tata cara menafsirkan Al-Qur‟an dan tidak menguasai ilmu tafsir tidak diperbolehkan menfsirkan Al-Qur‟an, hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kitab suci ditafsirkan hanya sesuai dengan hawa nafsu atau keinginan mufassir, sehingga tidak sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allah.

(35)

19

B. Sejarah Munculnya Syarat-syarat Mufassir

Sejarah penetapan syarat-syarat mufassir tidak lepas dari sejarah kodifikasi „Ulûm Al-Qurân. Dalam perkembangannya seiring dengan munculnya kitab-kitab tafsir yan menjadi kedok oknum-oknum yang memiliki maksud yang terselubung, dengan hanya bermodalkan kepandaian dalam mengarang, mereka mulai sembarangan dalam menafsirkan Al-Qur‟an.

Para ulama mulai memikirkan tentang bagaimana masa depan penafsiran jika tidak dibuat aturan-aturan dalam menafsirkan. Agar tidak keluar dari koridor maksud Al-Qur‟an.

Masa sahabat menjadi cikal bakal lahirnya „ulumul Qur‟an, namun ilmu tersebut belum dikaji secara ilmiah apalagi dibukukan dalam sebuah kitab. Hal ini antara lain disebabkan oleh kondisi real mereka yang pada waktu itu belum atau tidak membutuhkan kajian ini untuk dibukukan, sebab sebagian besar mereka dapat memahami kandungan ayat Al-Qur‟an secara baik sehingga tidak diperlukan pembahasan tentang ilmu-ilmu yang kan digunakan dalam menafsirkan Al-Qur‟an akan tetapi mereka mampu langsung menerapkannya.

Diantara bukti yang mendukung bahwa ilmu ini telah ada dimasa itu.

Misalkan pernyataan yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi saw. Seperti penegasan Ibn Abbâs sebagaimana dikutip adz Dzahabi bahwa ada tafsir yang dapat diketahui oleh lama seperti merinci pengertian yang global, megkhususkan pengertian yang umum dan lain-lain, dan ada pula tafsir yang hanya Allah yang tahu.

Pendapat Ibnu Abbâs itu oleh para tabi‟in yang datang kemudian dipertegas lagi seperti tampak dalam penegasan Mujahid, sebagaimana dikutip Khalil bahwa tidak halal bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhirat bahwa ia berkata tentag sesuatu dari kitab Allah tanpa

(36)

mengerti bahasa Al-Qur‟an karena sering dijumpai satu kata mempunyai banyak arti, kalau karena pengetahuannya dangkal tentang kata maka makna yang lain terabaikan.

Generasi tabi‟ tabi‟in juga cenderung bersikap seperti dua generasi sebelum mereka. Imam Malik misalnya, seperti yang dikutip Bint al Syathi‟, menyatakan bahwa “siapa saja yang berani menafsirkan Al-Qur‟an tanpa mengerti bahasa Arab, berarti ia berupaya membelenggu dirinya sendiri.”

Kecuali fakta yang dikemukakan itu, Imam Syafi‟i ketika ditanya oleh khalifah Harun al Rasyid tentang „Ulumul Qur‟an (Ilmu tafsir) beliau menjawab dengan rinci sebagimana dikutip az Zarqâni bahwa “sesungguhnya Ilmu-ilmu Al-Qur‟an banyak sekali khalifah, apakah tuan menanyakan muhkam dan mutasyabih atau taqdim dan ta‟khir, (Imam Syafi‟i menyebutkan satu persatu topik-topik yang dibahas dalam ilmu tafsir) yang membuat khalifah dan par hadirin terkagum-kagum olehnya”.

Berdasarkan fakta-fakta yang dikutipkan sudah jelas sekali bahwa ilmu tafsir sudah eksis sejak permulaan lahirnya penafsiran Al-Qur‟an oleh para sahabat Nabi kemudian dilanjutkan oleh para tabi‟in dan tabi‟ tabi‟in terus berlanjut sampai sekarang.

Pada abad ke-3 H para ulama mulai menulis beragam tema yang terkait dengan Al-Qur‟an. Seperti Ali ibn al Madini (w.234 H) guru Imam Bukhari, menulis tentang Asbâb an Nuzûl, Abu „Ubaid al-Qasim ibn Salam (w.224H), menulis tentang Ilmu nasikh wa al-mansûkh. Kemudia diikuti oleh M.Ayub Adh-Dhiris (294 H), beliau menulis „Ilmu Makki wa al Madani. Dan Muhammad bin Khallaf Al-Marzuban (309H/921M) menulis Al-Hawi fi

„Ulûm Al-Qur‟ân.8 Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa ulama

8 Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), Cet.III, h.32

(37)

21

ketika itu mengharuskan para mufassir mengetahui ilmu-ilmu yang beliau tulis.

Pada abad ke-4 H mulai bermunculan kitab-kitab yang membahas ilmu- ilmu tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh, seperti kitab „Aja‟ib „ulum Al- Qur‟an karya Abu Bakar Qasim al-Anbari (w.328H/940 M), Al Mukhtazan fi

„ulum Al-Qur‟an karya Abu al Hasan al Asy‟ari, al Istighna‟ fi „Ulum Al- Qur‟an karya Muhammad ibn „ali al Afdawi (w.388H/998M). 9

Pada abad ke-5, Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa‟id yang populer dengan sebutan al Hufiy (w.330H) menulis kitab al Burhan fi „Ulum Al-Qur‟an yang terdiri dari 30 jilid, akan tetapi sampai saat ini hanya ditemukan 15 jilid saja. Inilah kitab pertama yang secara khusus membahas cabang ilmu Al-Qur‟an.10

Pada abad ke-6 H Ibn al Jauzi (597H) menulis kitab Funûn al Afnan fi

„Aja‟ib „Ulum Al-Qur‟an dan al Mujtaba‟ fi „Ulum Tata‟allaq bi Al-Qur‟an.

Pada abad ke-7, Alamuddin as Sakhawiy (641 H) menyusun sebuah kitab yang berjudul Jamal al Qurra‟. Abu Syamah (665 H) menyusun kitab al Mursyid al Wajiz fi Mâ Yata‟allaq bi Al-Qur‟an al „Azîz. Akan tetapi kitab tersebut masih memiliki ruang lingkup yang kecil dibandingkan dengan karya-karya sesudahnya.11

Pada abad ke-8 H muncul Imam Badr ad Din Muhammad Ibn Abdillah az Zarkasyi (745-794 H) menulis kitab Al Burhân Fi Ulumi Al-Qur‟an. Inilah kitab yang kedua yang disusun secara komperhensif tentang „Ulumul Qur‟an.

Kemudian abad ke-9 H muncul al Hafidz Jalal ad Din Abd Ar rahman As

9Quraish Shihab Dkk, Sejarah dan „Ulum Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2008), Cet.4, h.45-46

10 Yunahar Ilyas, Kuliyah Ulumul Qur‟an, h.8. Lihat juga di terjemahan kitab

Manahilul „Irfan fi „Ulum Al-Qur‟an karya Muhammad Abdul Azhim az-Zarqani, (Jakarta:Gaya Media Pratama,2001), h.27

11 Muhammad Abdul Azhim al-Zarqani, Manahilul „Irfan fi „Ulum Al-Qur‟an, (Jakarta:Gaya Media Pratama,2001), h.28

(38)

Suyûti (849-911 H) menulis kitab at Tahbir fi Ulum Al-Qur‟an kitab ini membahas 102 masalah „Ulumul Qur‟an. Akan tetapi rupanya imam As Suyûti belum puas sehingga beliau menyusun kembali sebuah kitab yang lebih mendalam dan sistematis yaitu al Itqan fi „ulum Al-Qur‟an. Kitab karya as Suyûti ini dinilai oleh apar ulama sebagai puncak karya tentang „Ulumul Qur‟an. Sebab setelah imam As Suyûti wafat, berhenti pulalah perkembangan „Ulumul Qur‟an.

Barulah pada abad ke-14 H, mereka berlomba-lomba menulis tentang

„Ulmul Qur‟an kembali. Berikut bebrapa karya yang berhasil dibukukan:

1. Syeikh Thâhir bin Shalih al Jazairi (w.1338 H), pada tahun 1335 selesai menyusun kitab at Tibyan fi „ulum Al-Qur‟an.

2. Jamâluddin Al-Qasimiy (w.1332H) yang menyusun kitab Mahâsin at Ta‟wil. Juz pertama dalam kitab ini dikhusukan membahas tentang

„Ulumul Qur‟an

3. Muhammad „Abd al Azhim az Zarqani (w.1367 H), yang menyusun kitab Manâhil al Irfan fi Ulum Al-Qur‟an dalam 2 jilid.

4. Muhammad „Ali Salamah (w.1982 M) yang menyusun kitab Manhaj Al Furqan fi Ulum Al-Qur‟an

5. Syeikh Tanthawi Jauhari (w.1358 H) menyusun kitab Al-Qur‟an wa

„ulum „Ashriyyah

6. Sayyid Quthub (w.1386 H) menyusun kitab at Tashwir al Fani fi Al- Qur‟an

7. Syekh Muhammad Husain Adz Dzahabi (w.1397 H/1977 M) menulis kitab at Tafsir wa al Mufassirûn

8. Manna Khalil al Qaththan (w.1420 H) menulis kitab Mabâhits fi Ulum Al- Qur‟an

(39)

23

9. Muhammad Ali As Shabuni (w.1400 H) menulis kitab At Tibyan fi

„Ulum Al Qur‟an.12

Perlu diketahui bahwa tidak semua ulama membahas secara khusus tentang syarat bagi mufassir seperti menuliskan bab syarat-syarat bagi mufassir. Jadi kitab-kitab ‟ulumul Qur‟an yang penulis sebutkan di atas, hanya beberapa kitab saja yang membahas tentang syarat bagi mufassir.

C. Urgensi Syarat-syarat Mufassir

Al-Qur‟ân adalah kitab pedoman hidup (the way of life). Bahasa Al- Qur‟an yang mengandung banyak penafsiran harus diuraikan dengan benar secara metodologis, agar dapat dipahami dan dijadikan pedoman bagi umat Islam. Membaca dan memahami Al-Qur‟an atau menafsirkan kandungan ayat Al-Qur‟an adalah sebuah perintah Allah bagi semua manusia, akan tetapi tidak semua orang diperbolehkan melakukannya.

Menjadi seorang mufassir tentu tidaklah mudah, diperlukan beberapa keahlian khusus yang harus dimiliki dan dipahami oleh seorang mufassir.

Dalam hal penafsiran Al-Qur‟an, mufassir dituntut untuk menafsirkan Al- Qur‟an sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh para ulama untuk meminimalisir kesalahan arti dan maksud Al-Qur‟an. Selain itu dalam penyampaiannya tidak semerta-merta seperti hanya menyampaikan pendapat tanpa adanya aturan-aturan dalam mengutarakan pendapat. Maka haruslah tepat dan tidak mengandung unsur-unsur keburukan di dalamnya.

Peran syarat dalam suatu hal sangatlah penting karena Al-Qur‟an merupakan Kitab pedoman umat Islam dengan menyandang kata “suci” tidak boleh sembarang orang menafsirkan jika tidak memenuhi persyaratanya karena dampaknya akan sangat fatal jika terjadi kesalahan mengingat esensi

12 Yunahar Ilyas, Kuliyah Ulumul Qur‟an, h.9-10

(40)

Al-Qur‟an adalah sebagai pedoman hidup umat Islam agar selamat didunia dan akhirat.

Dalam menafsirkan Al-Qur‟an, terdapat beberapa kualifikasi atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah penafsiran (mal praktek) akibat tidak adanya ilmu yang mumpuni yang dikuasai mufassir. Disamping itu adab atau etika seorang mufassir juga diperhitungkan dalam menafsirkan Al-Qur‟an dan hal tersebut menjadi salah satu syarat bagi seorang mufassir.

Sebagian ulama, misalnya seperti Imam as Suyûti dalam bukunya al Al Itqân fi „Ulum Al- Qur‟an, mengajukan lima belas disiplin ilmu sebagai syarat yang harus ada pada diri penafsir selain keyakinan dan tujuannya yang benar, yaitu penguasaan bahasa Arab, nahwu, sharrâf, isytiqâq, ma‟ânî, bayân, dan badî‟, ilmu qirâ‟ât, ushûluddîn, usul fiqh, asbâb an-nuzûl, nâsikh dan mansûkh, fiqh, hadis yang menjelaskan kata-kata yang disebut secara global (mujmal) dan tidak jelas (mubhâm), dan ilmu pemberian Allah kepada orang yang mengamalkan ilmunya (ilmu mawhibah).13

Sebenarnya syarat-syarat di atas tidak cukup untuk memahami Al- Qur‟a secara utuh, akan tetapi minimal sudah sepantasnya ada pada diri penafsir mengingat kandungan Al-Qur‟an mencakup banyak hal, baik berupa akidah, syari‟ah, akhlak, informasi tentang umat terdahulu, dan informasi tentang masa depan. Penafsir ibarat seorang pejalan kaki pada malam hari yang membutuhkan alat penerang agar sampai di tempat tujuan, dan ilmu- ilmu tersebut adalah alat penuntun mereka dalam berusaha memperoleh penafsiran sebagaimana yang dikehendaki Allah. Oleh karena itu, tidak semua orang bisa menafsirkan Al-Qur‟an selain karena tidak memiliki ilmu yang memadai.

13 Imam Jalâluddin As Suyûti, Samudera „Ulumul Qur‟an, h.248

(41)

25

Pembahasan di atas menimbulkan tanda tanya, bagaimana dampak negatif jika salah satu ilmu di atas tidak terpenuhi pada diri seorang penafsir.

Menurut penulis bisa berdampak sangat fatal sehingga dapat menurunkan kualitas tafsirnya. Dapat diambil contoh urgensi dari sebagian ilmu-ilmu tersebut, yaitu penguasaan terhadap asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) dan nâsikh dan mansûkh (konsep abrogasi ayat). Contoh pertama bagi urgensi asbâb al-nuzûl, „Utsman ibn Madh‟un dan „Amru ibn Ma‟diyakrib berpendapat bahwa meminum khamr hukumnya boleh dengan dalih ayat 93 surat al-Mâ‟idah. Seandainya mereka mengetahui sebab turunnya ayat tersebut, niscaya mereka tidak akan berpendapat begitu, karena ayat tersebut turun pada saat khamr diharamkan orang-orang bertanya-tanya, “Bagaimana dengan mereka yang berperang di jalan Allah dan meninggal, sementara mereka meminum khamr yang mana ia merupakan perbuatan keji?” Lalu turunlah ayat tersebut.

Contoh kedua, problem penerjemahan dan penafsiran ayat 26 surat al- Nur. Terjemahan Al-Quran edisi bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh CV.

al-Shifa` Semarang dengan judul Al-Quran dan Terjemahnya 14 dan terjemahan Al-Qur‟an edisi bahasa Inggris yang diterbitkan oleh Kompleks Percetakan Al-Qur‟an Raja Fahd Madinah dengan judul The Holy Qur‟an English translation of the meanings and Commentary15 kurang tepat dalam

14 ((يمركإقزروإةرفغمإملهإنولوقيإاممإنوؤبرمإكئلوأإتابيطللإنوبيطلاوإيبيطللإتابيطلاوإتاثيبخللإنوثيبلخاوإيثيبخللإتاثيبلخا)) Al-Quran dan Terjemahnya (Semarang: CV

Gambar

TABEL II
TABEL III

Referensi

Dokumen terkait