• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribution of Ground Temperature in the Geothermal Manifestation Area of Lompio, Donggala Regency, Central Sulawesi Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Distribution of Ground Temperature in the Geothermal Manifestation Area of Lompio, Donggala Regency, Central Sulawesi Province"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1819-796X (p-ISSN); 2541-1713 (e-ISSN)

232

Distribusi Temperatur Tanah Pada Area Manifestasi Panas Bumi Lompio, Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah

Sitti Rugayya1,*), Badaruddin2), Asrafil3)

1) Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tadulako

2) Program Studi Teknik Geofisika, Fakultas MIPA, Universitas Tadulako

3) Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Tadulako

*Email korespodensi : rugayya2512@gmail.com

DOI: https://doi.org/10.20527/flux.v20i3.12173

Submitted: 13rd December 2021.; Accepted: 16th September, 2023.

ABSTRAK− Distribusi potensi panas bumi non-vulkanik banyak ditemukan di Pulau Sulawesi, yang salah satunya terletak di Desa Lompio, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Studi potensi panas bumi di desa tersebut penting dilakukan guna mempelajari sistem panas bumi yang bekerja.

Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola distribusi sebaran temperatur di kedalaman tanah dangkal sebagai masnifestasi sistem panas bumi bawah permukaan dan kaitannya dengan kemunculan manifestasi panas bumi di permukaan. Penerapan metode dalam penelitian ini meliputi observasi lapangan dan pengukuran temperatur tanah secara langsung di daerah studi menggunakan Termometer. Hasilnya diperoleh bahwa pola distribusi sebaran temperatur tanah pada zona temperatur tinggi berasosiasi dengan keberadaan titik manifestasi panas bumi di permukaan (mata air panas). Asosiasi temperatur dan manifestasi, dimungkinkan karena keberadaan mata air panas merupakan indikasi zona lemah keluarnya fluida hidrotermal dari sistem panas bumi yang berkorelasi dengan struktur geologi di daerah studi.

KATA KUNCI : Lompio; non-volkanik; panas bumi; temperatur

ABSTRACTThe distribution of non-volcanic geothermal energy is widely found on the island of Sulawesi, one of which is in Lompio Village, Sirenja District, Donggala Regency, Central Sulawesi Province. It is important to study the geothermal potential in the village in order to learn how the geothermal system works. This study aims to identify the distribution pattern of temperature distribution in shallow soil depths as a manifestation of the geothermal system below the surface and its relation to geothermal manifestations that appear on the surface. This research was carried out through a series of field observations and direct soil temperature measurements in the study area using thermometer. The results show that the distribution pattern of land temperature distribution in the high temperature zone is associated with the presence of geothermal manifestation points on the surface (hot springs). The association of temperature and manifestation is possible because the presence of hot springs is an indication of a weak zone for the release of hydrothermal fluid from the geothermal system which is correlated with the geological structure in the research area.

KEYWORD : geothermal; Lompio; non-volcanic; temperature

PENDAHULUAN

Sistem panas bumi yang petensial tersebar di Indonesia, tidak hanya terkait dengan aktivitas vulaknisme atau gunungapi seperti biasanya, melainkan juga berkaitan dengan sistem panas bumi non-vulkanik. Distribusi panas bumi non-vulkanik cukup meluas di wilayah Pulau Sulawesi, terutama di bagian Selatan dan Tengah(Risdianto et al., 2015).

Salah satu contohnya terdapat di Desa Lompio,

Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Potensi geotermal dapat diidentifikasi melalui perbedaan suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tanah sekitarnya, disebabkan oleh perpindahan panas melalui konduksi dari lapisan bawah permukaan ke lapisan permukaan, dan perpindahan panas konveksi karena interaksi antara air dan sumber panas tertentu (Gristina, Isa, & Muksin, 2018).

(2)

Panas bumi non-vulkanik merupakan sistem panas bumi yang tidak terkait dengan aktivitas vulkanisme kuarter. Sistem ini ditemukan dalam lingkungan sedimen, plutonik, dan metamorf yang berkaitan dengan proses tektonik. Manifestasi dari sistem panas bumi non-vulkanik ini sering kali ditandai dengan kehadiran mata air panas (Risdianto et al., 2015). Menurut Nicholson (1993), panas dalam sistem ini bisa berasal dari batuan dasar yang masih memancarkan panas, atau dari pemanasan yang disebabkan oleh sirkulasi air tanah dalam yang dipengaruhi oleh lipatan geologi atau patahan (sesar).

Selain itu, panas juga dapat menjadi hasil sisa dari pendinginan batuan beku pluton. Sistem panas bumi non-vulkanik ini mampu menghasilkan fluida dengan berbagai rentang suhu, mulai dari tinggi hingga rendah.

Setiap sistem panas bumi biasanya memiliki karakteristik khusus yang mencakup aspek geologi, sifat fisika fluida, sifat kimia fluida, serta sifat fisika dan kimia batuan. Sifat fisika dari manifestasi termasuk temperatur(suhu), pH, konduktivitas panas, dan laju aliran fluida. Sifat kimia fluida melibatkan komposisi senyawa kimia yang dapat larut dalam air atau uap, dan juga gas yang terdapat dalam manifestasi. Gas tersebut bisa menjadi produk dari reaksi yang terjadi antara berbagai komponen gas dengan oksigen (dalam reaksi oksidasi-reduksi) atau bisa dihasilkan melalui interaksi antara fluida panas dengan mineral-mineral tertentu yang ada di dalam batuan(Giggenbach & Goguel, 1988). Adanya konsentrasi energi panas bumi dalam suatu sistem umumnya dapat diidentifikasi melalui adanya anomali panas di permukaan, yang biasanya ditunjukkan oleh tingginya gradien temperatur. (Suoth, Santoso,

& Maryanto, 2012).

Suhu di bawah permukaan bumi bervariasi tergantung pada berbagai faktor, salah satunya adalah adanya anomali panas bumi(Mustofa, 2011). Pengukuran temperatur bawah permukaan sering dilakukan untuk tujuan tertentu, termasuk keperluan pertanian dan untuk melakukan survei awal dalam mengidentifikasi anomali panas bumi yang

menjadi petunjuk dalam survei potensi panas bumi di wilayah-wilayah tertentu(Royana, 2013). Pemahaman yang akurat mengenai sebaran temperatur dalam sistem panas bumi pada suatu daerah sangat penting untuk mengidentifikasi keberadaan sumber panas bumi tersebut. Untuk mengidentifikasi sumber panas bumi, diperlukan metode yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi keberadaan sumber panas bumi.

Gambar 1. Model konseptual Panas Bumi Lompio hasil Penyelidikan Badan Geologi (Sundhoro, 2005; Suhato & Bakrun, 2005)

Potensi panas bumi di daerah Lompio telah menjadi subjek penelitian oleh Badan Geologi, yang mencakup aspek geologi, geofisika, dan geokimia, dan menghasilkan gambaran model konseptual sistem panas bumi Lompio yang ditunjukkan pada Gambar 1. Untuk pengembangan lebih lanjut, informasi lapangan yang lebih rinci sangat diperlukan, termasuk analisis aliran fluida panas. Dalam sistem panas bumi (geothermal system), panas berasal dari dalam bumi (heat source) dan mengalir ke tempat penampungan panas hingga mencapai permukaan bumi (heat sink) (Ridwan, 2013). Hal ini sangat penting untuk memahami bagaimana sistem panas bumi beroperasi di wilayah Lompio. Dalam konteks ini, perlu memperhatikan bagaimana panas bergerak melalui zona material yang

(3)

memiliki tingkat permeabilitas tinggi, informasi ini sangat vital untuk perencanaan eksploitasi potensi panas bumi di Lompio.

Seiring lapangan panas bumi tersebut belum dimanfaatkan dan masih memerlukan penelitian eksplorasi yang lebih mendalam.

Berdasarkan informasi di atas, studi mengenai distribusi pola sebaran temperatur tanah di wilayah manifestasi geotermal (mata air panas) di Desa Lompio menjadi sangat menarik. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran lebih mendalam tentang sistem panas bumi di Lompio, termasuk hubungan antara sumber panas, reservoir, batuan penyangga, dan batuan konduktif. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pola distribusi temperatur di lapisan tanah dangkal sebagai manifestasi sistem panas bumi yang berada di bawah permukaan, serta bagaimana hal tersebut berkaitan dengan manifestasi panas bumi yang muncul di permukaan.

Penelitian semacam ini diharapkan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang karakteristik sistem panas bumi di wilayah tersebut dan dapat menjadi landasan yang kuat untuk potensi pemanfaatan energi panas bumi di Desa Lompio kedepannya.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, akuisisi data dilakukan melalui survei lapangan dan pengukuran suhu/temperatur tanah dengan menggunakan metode termal. Metode termal digunakan dalam pengamatan pola aliran temperatur bawah permukaan, yang kemudian diinterpretasikan dalam bentuk peta distribusi temperatur di bawah permukaan. Selain keunggulan tersebut, metode termal juga lebih ekonomis jika dibandingkan dengan metode pengukuran temperatur lainnya(Hadi & Refrizon, 2005).

Menurut Gupta dan Roy (2007), metode termal memungkinkan pengukuran temperatur hingga kedalaman sekitar 1 meter.

Pengukuran menggunakan metode termal dalam studi ini dilakukan di area seluas

±100 hektar dengan bantuan alat hand auger,

yang selain membantu dalam pembuatan lubang tanah, juga memungkinkan pengambilan data fisik tanah. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer. Sebelum melakukan pengukuran, dilakukan orientasi lapangan untuk menentukan koordinat lokasi manifestasi panas bumi, seperti mata air panas.

Selanjutnya, perencanaan stasiun titik pengamatan dilakukan. Distribusi suhu di bawah permukaan diidentifikasi dengan mengukur suhu pada kedalaman 1meter dari permukaan tanah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan orientasi lapangan, ditentukan stasiun titik pengamatan pengukuran suhu tanah berjumlah 100 titik pengamatan secara grid dengan interval antar Stasiun Titik Amat (STA) 100 meter dengan 10 lintasan dengan 10 titik tiap lintasan pada area studi seluas ±100 Ha yang ditunjukkan pada Gambar 2. Setiap STA akan dilakukan pemboran dengan menggunakan hand auger dengan kedalaman rata-rata mencapai 1 m, untuk kemudian mengukur temperatur dasar lubang dari setiap STA dengan asumsi temperatur yang diukur merupakan temperatur tanah yang tidak dipengaruhi oleh temperatur atmosfer saat pengukuran.

Hasil analisis pola sebaran berdasarkan nilai-nilai temparatur yang diperoleh dari tiap titik pengukuran dibuat dalam bentuk peta pola distribusi sebaran temperatur tanah yang direpresentasikan dengan gradasi warna yang mewakili nilai yang berbeda-beda di area penelitian. Dapat dilihat bahwa sebaran temperatur di area penelitian menunjukkan gradasi nilai minimum (hijau) hingga maksimum (merah). Pola distribusi sebaran temperatur tanah menunjukkan nilai tinggi berkorelasi dengan keberadaan mata air panas sebagai salah satu manifestasi panas bumi yang digambarkan pada Gambar 2.

Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa pola sebaran temperatur di area penelitian menunjukkan nilai dari sedang ke tinggi secara

(4)

Gambar 2. Peta distribusi STA dan Pola Sebaran Temperatur Tanah

Gambar 3 Grafik distribusi temperature tanah hasil pengukuran pada setiap STA

dominan yang direpresentasikan oleh gradasi warna kuning ke merah. Adapun nilai temperatur tanah rendah yang diwakili oleh warna hijau, nampak tidak dominan, muncul pada beberapa area dalam lokasi penelitian.

Nilai temperatur tanah pada daerah panas bumi akan mengalami penurunan nilai dengan semakin menjauhnya dari daerah manifestasi panas bumi dan akan kembali meningkat nilai

temperaturnya ketika berdekatan dengan manifestasi panas bumi(Karyanto & Haerudin.

2013).

Hasil pengukuran dalam setiap lubang bor pada STA diperoleh distribusi temperatur tanah yang menunjukkan nilai minimum pengukuran temperatur tanah adalah 24,4°C dan maksimum 33,1°C dengan rata-rata temperatur tanah 29,0°C yang ditunjukkan

(5)

oleh Gambar 3, kecuali pada 3 titik amat tambahan (di luar STA yang sudah ditentukan), berada di lokasi manifestasi mata air panas, dengan nilai temperatur tanah masing-masing 52,8°C; 68,5°C; dan 70,8°C.

Pengamatan yang dilakukan di setiap titik bor pada STA menunjukkan material penyusun lapisan di daerah studi memiliki karakteristik fisik yang berbeda-beda. Secara umum terdapat 3 (tiga) karakteristik fisik tanah yakni tanah berpasir kering, tanah berpasir basah dan tanah lempung basah/berair yang ditunjukkan pada Gambar 4. Perbedaan keadaan tanah tersebut memberikan respon terhadap konduktivitas termal pada suatu material di dalam tanah, sehingga diperoleh keadaan nilai harga temperatur tanah yang berbeda-beda untuk tiap STA. Hal ini dikarenakan nilai konduktivitas berbanding lurus dengan konduktivitas termal (Donovan, Karyanto, Haerudin, & Dewanto. 2018).

Keadaan tanah yang basah atau berair di dekat manifestasi panas bumi juga ikut andil dalam menaikkan temperatur tanah. Beberapa titik pengukuran, dimana tanah mengandung air seperti pada STA 54, STA 55, dan STA 24 yang ditunjukkan pada Gambar 4 yang basah berada pada zona temperatur sedang sampai tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa lapisan tanah tersebut memiliki sifat konduktor yang baik bagi panas bumi sehingga teridentifikasi memiliki suhu yang lebih tinggi disbanding titik amat lainnya.

Berbeda pada tanah yang relatif kering (seperti pada STA 73) berada pada zona temperatur yang rendah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh air dalam tanah yang berasosiasi dengan panas yang bersumber dari panas bumi sehingga ikut memberikan panas pada tanah. Daerah dengan temperatur tanah rendah diindikasikan sebagai bagian batuan atau tanah penudung dari sistem panas bumi yang berfungsi sebagai lapisan impermeable yang sulit ditembus oleh fluida panas bumi.

Beberapa titik pengukuran yang jauh dari manifestasi mata air panas, juga menunjukkan nilai temperatur tanah yang tinggi seperti pada

STA 34 dan STA 24. Hal ini diindikasikan adanya pengaruh aliran air dari sumber mata air panas yang mengalir berada di sekitar titik pengukuran. Sebagian air tersebut diduga terinfiltrasi pada lapisan tanah di sekitarnya yang secara tekstur berukuran pasir halus, yang memiliki permeabilitas lebih baik dari material tanah yang memiliki campuran lempung (Sembiring, Iswan, & Jafri, 2016).

Namun untuk material lempung bercampur pasir yang jenuh akan air yang berasal dari manifestasi panas bumi akan memberikan nilai pengukuran temperatur yang tinggi.

Gambar 4 Keadaan tanah pada lubang pengukuran

(6)

Penelitian terdahulu di lokasi penelitian telah mengungkapkan bahwa potensi panas- bumi tidak terkait dengan vulkanik, tetapi non-vulkanik (Risdianto et.al., 2015).

Manifestasi panas bumi yang muncul, diantaranya mata air panas, kolam air panas, dan sebagian tanah hangat. Hal ini berbeda sekali dengan wilayah dengan jenis panas bumi vulkanik yakni ditemukan berbagai macam jenis manifestasi panas bumi dengan tingkat ukuran temperatur yang lebih tinggi.

Misalnya saja pada manifestasi sistem panas bumi pada Gunung Colo yang juga ada di wilayah administrasi Sulawesi Tengah (Asrafil, et.al., 2021) yang memiliki berbagai manifestasi seperti fumarola, solfatara, tanah panas/hangat, alterasi hidrotermal, kolam air panas, mata air panas dan geyser.

Keberadaan manifestasi panasbumi berupa mata air panas disebabkan adanya zona lemah di bawah permukaan berupa rekahan batuan sehingga fluida hidrotermal naik ke permukaan (Risdianto et al., 2015). Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan mata air panas yang muncul di permukaan berdekatan dengan struktur sesar yang ada di daerah Lompio berupa sesar mapane dan sesar Lompio yang ditunjukkan pada Gambar 2.

Penyelidikan metode gayaberat yang pernah dilakukan di lokasi studi menginterpretasikan bahwa zona panas bumi lompio berasosiasi dengan struktur geologi (Dendi et.al.,. 2005).

Struktur geologi menjadi aspek dominan yang mengontorol kemunculan manifestasi mata air panas lompio (Asrafil, et.al., 2022).

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis yang dilakukan pada studi daerah panas bumi Lompio, dapat disimpulkan bahwa pola distribusi sebaran temperatur tanah di daerah studi menunjukkan zona temperatur tinggi berasosiasi dengan lokasi keberadaan manifestasi panas bumi berupa mata air panas.

Distribusi sebaran temperatur tanah berkorelasi dengan sistem panas bumi di daerah penelitian, dimana temperatur tanah yang tinggi berasosiasi dengan keberadaan manifestasi mata air panas yang merupakan

zona lemah keluarnya fluida hidrotermal dari sistem panas bumi yang berkorelasi dengan struktur geologi di daerah penelitian.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Tadulako yang membantu pembiayaan penelitian melalui dana DIPA Fakultas MIPA 2021 dengan skema penelitian pembinaan.

DAFTAR PUSTAKA

Asrafil. A., Hilmansyah. T., Botjing. M.U., &

Yuliastri. E. (2021). Mineralization Study of Volcanic Rocks in Colo Volcano Tojo Una-Una Central Celebes. Jurnal Geomine, 8(3), 171.

Asrafil, A., Mukaddas, A., Listianti, A., &

Jamil, W. P. R. (2022). Investigasi Kontrol Struktur Geologi Pada Manifestasi Geotermal Di Daerah Lompio, Donggala, Sulawesi Tengah. Jurnal GEOSAPTA, 8(1), 67-72.

Dendi S.K. Liliek. Hasan. & Sumarna. (2005) Penyelidikan Gaya Berat Daerah Panas Bumi Daerah Lompio, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan Subdit Panas Bumi, Badan Geologi, Bandung. 26-1 – 26-9.

Donovan. R., Karyanto. K., Haerudin. N., &

Dewanto. O. (2018). Studi Sifat Termal Batuan Daerah Lapangan Panas Bumi Way Ratai Berdasarkan Pengukuran Metode Konduktivitas Termal. Jurnal Geofisika Eksplorasi, 4(3), 103-119.

Giggenbach. W.F., & Goguel. R. L. (1988).

Methods for the collection and analysis of geothermal and volcanic water and gas samples. Chemistry Division, Department of Scientific and Industrial Research.

Gristina. N., Isa. M., & Muksin. (2018). Pola Distribusi Termal Geotermal Jaboi, Sabang dengan Pendekatan Numerik 2D. Journal of Aceh Physics Society, 7(3), 144-151.

Gupta. H. K., & Roy. S. (2006). Geothermal energy: an alternative resource for the 21st century. Elsevier.

(7)

Hadi. A. I., & Refrizon. R. (2005). Distribusi Sumber Panas Bumi Berdasarkan Survai Gradien Suhu Dekat Permukaan Gunungapi Hulu Lais. GRADIEN: Jurnal Ilmiah MIPA, 1(2), 64-68.

Karyanto & Haerudin. N. (2013). Interpretasi Kualitatif Suhu Permukaan Di Potensi Panasbumi Way Ratai Lampung.

Prosiding Seminar Nasional Sains &

Teknologi V, Lembaga Penelitian Universitas Lampung, Lampung. 280–287.

Mustofa. (2011). Meteorologi dan klimatologi, Pontianak; Jurusan STKIP PGRI.

Nicholson, K. (1993). Geothermal systems. In Geothermal Fluids (pp. 1-18). Springer, Berlin, Heidelberg.

Ridwan, K. (2013). Geothermal Capital Overview.

Jakarta : Mineral and Industrial Institute.

Risdianto, D., Permana, A.P., Wibowo, A.E.A., Sugiato, A., & Hermawan., D. (2015).

Sistem Panas Bumi Non-Vulkanik di Sulawesi. Bandung: Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi.

Royana. R. (2013). Panduan Kelestarian Ekosistem untuk Pemanfaatan Panas Bumi.

WWF-Indonesia.

Sembiring, N., Iswan, I., & Jafri, M. (2016).

Studi Perbandingan Uji Pemadatan Standar dan Uji Pemadatan Modified Terhadap Nilai Koefisien Permeabilitas Tanah Lempung Berpasir. Jurnal Rekayasa Sipil dan Desain, 4(3), 371-380.

Suhanto, E., dan Bakrun, 2005, Penyelidikan Geolistrik Tahanan Jenis di Daerah Panas Bumi Pincara, Kabupaten Masamba, Sulawesi Selatan. Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan Subdit Panas Bumi., Badan Geologi, Bandung. Hal. 24-1 – 24- 7.

Sundhoro, H., 2005, Geologi Panas Bumi Daerah Lompio, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan Subdit Panas Bumi., Badan Geologi, Bandung. Hal. 22-1 – 22- 10.

Suoth, V. A., Santoso, D. R., & Maryanto, S.

(2013). Pengembangan Array sensor Suhu dan Sistem Akusisi Data Berbasis Mikrokontroler untuk Pengukuran Suhu Bawah Permukaan. Jurnal MIPA, 2(1), 66- 72.

Referensi

Dokumen terkait