ABSTRAKSI
Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Tanaman Pangan dan Perkebunan Melalui Hilirisasi Komoditas di Wilayah Pantai Barat
Provinsi Sulawesi Tengah
MA Djirimu1, Alimudin Laapo2, Abdul Syawal3
1, 3) Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Tadulako 2) Fakultas Pertanian Universitas Tadulako
Penelitian ini bertujuan menganalisis komoditi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan unggulan di wilayah Pantai Barat Provinsi Sulawesi Tengah yang dapat mendorong pemulihan ekonomi daerah melalui integrasi subsistem agribisnis dalam mendukung agroindustri yang berorientasi ekspor. Data primer dan sekunder dianalisis menggunakan metode perbandingan eksponensial, Borda, Tipologi Klassen, dan Analytical Hierarchy Process. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima dan masing-masing enam komoditas unggulan pangan, hortikultura dan perkebunan.
Produk Olahan Pertanian Unggulan pada wilayah Pantai Barat Provinsi Sulawesi Tengah adalah Gula Aren, Minyak Kelapa Dalam, Bawang Goreng, Olahan Makanan Kue Pia, Kripik Pisang, Coklat, Tahu/tempe, Aneka Kripik Lainnya (nangka), Produk Berbahan Baku Kelapa (arang-sabuk- kopra).
Keywords: Hilirisasi, agribisnis, Tipologi Klassen, AHP JEL Classification: Q13, Q14, Q17, Q18
I. LATAR BELAKANG
Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mampu menghasilkan beragam komoditi pertanian dalam arti luas (pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) yang sangat beragam. Hal ini ditunjang oleh potensi geografi berupa daratan dan perairan laut dengan luas 61.841,29 km2. Berdasarkan potensi sebaran wilayah pertanian, hampir seluruh 12 kabupaten memproduksi seluruh jenis komoditi pertanian tersebut, kecuali Kabupaten Banggai Laut terutama tanaman pangan padi.
Namun demikian, pada kurun waktu tiga tahun terakhir (2017-2019), dalam hal produksi tanaman, beberapa komoditi pertanian utama mengalami penurunan produksi seperti padi dari 1.015.368,19 ton Gabah Kering Giling (GKG) menjadi 844.904,3 ton GKG, komoditi kacang-kacangan terutama kedelai 26.573 ton pada Tahun 2018 menurun menjadi 5.336 ton di Tahun 2019, bawang merah dari 86.507 ton menjadi 65.078 ton, kakao dari 134.323,0 ton menjadi 127.669,3 ton, dan kelapa sawit dari 400.103 ton menjadi 165.907,6 ton. Sementara produksi tanaman yang relatif stabil pada tiga tahun terakhir adalah cabai, yang mengalami peningkatan produksi yakni jagung dari 131.123,0 ton Tahun 2017 (BPS, 2018) menjadi 564.404,0 ton pada Tahun 2019 (BPS, 2020). Struktur perekonomian Sulawesi Tengah menurut Lapangan Usaha (LU) pada semester I/2020 masih didominasi empat LU utama yaitu pertanian, kehutanan dan perikanan yakni 27,07 persen. Demikian di beberapa kabupaten wilayah barat Sulawesi Tengah, sektor pertanian masih menjadi kontributor utama perekonomian, seperti di Kabupaten Sigi (Suryantini et al., 2015; Pribadi et al., 2019).
Jika ditinjau dari sisi perkembangan kontribusi ekonomi dari sektor pertanian di Provinsi Sulawesi Tengah, terjadi penurunan distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dari 31,28 persen di Tahun 2015 menjadi 28,98 persen di Tahun 2017 dan 25,87 persen di Tahun 2019. Terkait dengan perekonomian Sulawesi Tengah di masa pandemi covid19 di Tahun 2020, pada semester I/2020 tercatat tumbuh positif sebesar 2,36 persen. Pertumbuhan kumulatif tertinggi terjadi pada LU industri pengolahan sebesar 18,59 persen, pertambangan dan penggalian tumbuh sebesar 10,10 persen.
LU lainnya memiliki andil kontraksi 2,18 persen yang meliputi antara lain LU transportasi dan pergudangan minus 1,08 persen, pertanian, kehutanan, dan Perikanan minus 0,49 persen serta konstruksi minus 0,31 persen. Terjadinya penurunan laju pertumbuhan ekonomi dari 6,54 persen menjadi 4,91 persen pada triwulan I Tahun 2019 dan 2020 menunjukkan perlambatan ekonomi termasuk sektor pertanian (BPS, 2020). Ini disebabkan menurunnya daya beli masyarakat dan produktivitas tanaman, fluktuasi/rendahnya harga komoditi pertanian, serta kurangnya diversifikasi produk.
Jika dikaji secara spesifik, walaupun kontribusi ekonomi sektor pertanian di Sulawesi Tengah masih yang terbesar, penurunan produksi beberapa komoditi pertanian pada lima tahun terakhir juga diikuti oleh penurunan distribusi PDRB LU Industri Pengolahan khususnya yang terkait langsung dengan pertanian, seperti industri makanan minuman, industri kayu-bambu-rotan, industri kimia-obat tradisional, dan industri karet. Jika distribusi PDRB keempat industri pengolahan pertanian tersebut ditotalkan, maka terjadi penurunan dari 5,03 persen Tahun 2015 menjadi 4,74 persen Tahun 2019. Industri pengolahan pertanian yang mengalami
penurunan dan juga memiliki peran (kontribusi) yang besar (98,01 persen) Tahun 2015 dan 79,95 persen di Tahun 2019) pada industri pertanian adalah industri makanan-minuman, dan industri kayu dan anyaman bambu-rotan (Gambar 1).
20150 2016 2017 2018 2019
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4
Gambar 1. Distribusi PDRB Industri Pengolahan Hasil Pertanian
Distribusi PDRB
Sumber: BPS Provinsi Sulteng Tahun 2020, data diolah
Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pertanian di Sulawesi Tengah masih terkonsentrasi pada sub sistem hulu atau umumnya ditujukan untuk memproduksi komoditi pertanian, dan masih rendahnya pembangunan sub sistem hilir terutama agroindustri. Ini menunjukkan bahwa misi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah terkait pembangunan bidang ekonomi yang diarahkan pada pengembangan agribisnis dan agroindustri dengan didukung oleh peningkatan kualitas/kapasitas sumberdaya manusia belum sepenuhnya tercapai (Bappeda, 2011). Jika dalam sistem agribisnis yang meliputi tiga sub sistem yakni sub sistem hulu sebagai penyedia sarana produksi, sub sistem produksi (on farm) sebagai penghasil komoditi pertanian, dan sub sistem hilir sebagai pendistribusi dan pemrosesan hasil pertanian (agroindustri), maka pembangunan agribisnis di
Provinsi Sulawesi Tengah cenderung ke pembangunan sub sistem hulu dan sub sistem produksi. Sementara sub sistem distribusi atau pemasaran, terutama agroindustri tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan dalam rencana pembangunan daerah. Kinerja pembangunan agribisnis yang juga masih rendah diperlihatkan oleh nilai ekspor produk pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan dari Sulawesi Tengah. Kontribusi ekspor komoditas pertanian Sulawesi Tengah hanya 0,79 persen dari total ekspor senilai USD 595,87 juta. Di lain pihak Pemerintah Pusat melalui Kementerian Perindustrian mendorong industri nasional mengembangkan hilirisasi produk pertanian dalam mewujudkan kedaulatan pangan yang tertuang di Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Renstra kementerian.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa ternyata kontribusi PDRB yang besar dan tingginya produktivitas tanaman pertanian belum mampu mendorong kenaikan pendapatan dan kesejahteraan petani secara signifikan. Kondisi ini perlu penanganan yang lebih serius dari pemerintah agar sektor pertanian tetap menjadi harapan para petani termasuk generasi muda. Rendahnya pendapatan petani dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, seperti modal usahatani, pengetahuan, ketrampilan tentang agribisnis, dan lain sebagainya termasuk rendahnya nilai tambah produk pertanian yang dihasilkan oleh petani. Perbaikan atau peningkatan nilai tambah produk pertanian dapat dilakukan melalui hilirisasi pertanian (Mulyono, 2017).
Berdasarkan uraian permasalahan sebelumnya, tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis komoditi tanaman pangan dan perkebunan unggulan di wilayah Pantai Barat Provinsi Sulawesi Tengah yang dapat mendorong pemulihan
ekonomi daerah melalui integrasi subsistem agribisnis dalam mendukung agroindustri yang berorientasi ekspor. Tujuan umum tersebut selanjutnya diuraikan ke beberapa tujuan khusus yakni: (1) Memetakan perkembangan kegiatan hilirisasi sistem komoditas padi, jagung dan cabai merah serta mengidentifikasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi; (2) (3) Menganalisis rantai nilai yang mencakup penghitungan nilai tambah, identifikasi cost driver, dan evaluasi keunggulan kompetititif sistem rantai nilai komoditas padi, jagung dan cabai merah; dan (4) Merumuskan strategi kebijakan revitalisasi hilirisasi sistem komoditas padi, jagung dan cabai merah dalam upaya memenuhi kebutuhan domestik dan memanfaatkan peluang pasar ekspor.
II. STUDI PUSTAKA
A. Konsep Hilirisasi Komoditi Pertanian
Pengalaman pembangunan ekonomi masa lalu yang ditekankan pada pertumbuhan (growth) ternyata telah menimbulkan berbagai ketimpangan (disparity), yang berujung pada kesenjangan sosial (social gap) yang besar.
Pendekatan sektoral yang diharapkan dapat membentuk keterkaitan (linkage) ternyata telah menumbuhkan ”ego sektoral” yang juga menyebabkan ketimpangan sektoral dan ketimpangan wilayah. Selain itu, ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran (marketing pipe) dari arus komoditas primer dari perdesaan. Nilai tambah komoditas primer yang diperoleh dari petani akan dapat ditingkatkan jika dilakukan perubahan bentuk guna mengurangi penurunan harga akibat sifat komoditi pertanian yang mudah rusak melalui pengolahan hasil (agroindustri atau hilirisasi) baik setengah jadi maupun barang jadi.
Melalui hilirisasi, para pelaku agribisnis akan mendapatkan nilai tambah dan jaminan pasar yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Industri hulu agro yang perlu dikembangkan pada tahap pertama RPJPN, antara lain industri oleofood atau produk turunan yang berasal dari minyak nabati, industri oleokimia yang bisa diproses lebih jauh menjadi alternatif sumber energi, serta industri kemurgi yaitu industri yang menerapan ilmu kimia pada pengusahaan lahan pertanian untuk menghasilkan produk yang bukan bahan makanan, misalnya kacang kedelai untuk pembuatan plastik. Sedangkan, untuk industri pangan sebagai sektor andalan dalam negeri, pemerintah mendorong pengembangannya, antara lain melalui industri pengolahan ikan, industri pengolahan susu, industri bahan penyegar, industri pengolahan minyak nabati, industri pengolahan buah-buahan dan sayuran, serta industri gula berbasis tebu.
Konsep yang diintroduksi dalam hilirisasi pertanian ini adalah konsep GUNA, yaitu guna bentuk, guna tempat, guna waktu dan guna milik. Melalui guna bentuk, produk pertanian harus diubah bentuknya guna diperoleh nilai tambah terhadap produk tersebut. Dengan adanya perubahan bentuk tersebut, tingkat harga yang diperoleh pasti akan menjadi lebih tinggi dan dapat dinikmati juga oleh petani atau kelompok petani. Perubahan bentuk inilah sangat membutuhkan industri perdesaan yang tepat guna dan mudah dikelola oleh petani atau kelompok petani.
Demikian juga halnya dengan guna waktu, proses hilirisasi pertanian membutuhkan adanya industri penyimpanan selain pengolahan produk. Penundaan waktu dalam penjualan produk pertanian dapat dilakukan jika tingkat harga saat itu masih rendah. Oleh karena itu, tempat-tempat penyimpanan produk melalui industri sangat penting dibangun di perdesaan sehingga produk pertanian dapat
tersimpan secara baik dan tidak menjadi rusak, akibat sifatnya yang perishable. Hal ini dapat dilakukan dengan mengupayakan pengembangan agroindustri untuk meningkatkan kualitas dan keamanan produk, meningkatkan kemampuan manajerial dan keterampilan para pengelola dan pekerja, melakukan strategi pemasaran dengan cara pengembangan dan diversifikasi produk, meningkatkan promosi, meningkatkan jasa pelayanan dan informasi, dan meningkatkan teknik- teknik baru secara terus-menerus (Amalina and Asmara, 2009).
Dampak lain yang ditimbulkan dalam pembangunan hilirisasi pertanian di perdesaan adalah menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga masyarakat.
Kesempatan kerja di perdesaan memberikan jaminan menurunkan angka pengangguran dan mencegah adanya urbanisasi. Selain itu, perekonomian di perdesaan juga akan semakin lancar dan bertumbuh secara baik. Ini berarti bahwa konsep hilirisasi dapat diimplementasikan secara langsung di tingkat petani atau kelompok petani atau pelaku bisnis pertanian lainnya, guna memberikan jaminan adanya peningkatan pendapatan.
Pengembangan hilirisasi pertanian tidak saja ditujukan dalam rangka peningkatan jumlah pangan dan jenis produk pangan di pasar, tetapi juga untuk meningkatkan ekonomi perdesaan. Selama ini sudah banyak kegiatan hilirisasi yang berbasis pertanian, seperti perkebunan, pangan dan peternakan, tetapi bahan bakunya sebagian besar masih merupakan barang impor. Kondisi seperti ini merupakan salah satu penyebab belum berkembangnya industri pertanian yang mampu menopang jutaan tenaga kerja produktif di pedesaan. Oleh karena itu, upaya revitalisasi kegiatan hilirisasi sistem komoditas pertanian untuk
menumbuhkan industri pertanian yang mampu mendorong dan menggerakkan perekonomian di pedesaan sangat diperlukan.
B. Agroindustri dan Nilai Tambah
Defenisi agroindustri dapat dijabarkan sebagai kegiatan industri yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang, dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Apabila dilihat dari sistem agribisnis, agroindustri merupakan bagian (subsistem) agribisnis yang memproses dan mentransformasikan bahan-bahan hasil pertanian (bahan makanan, kayu, dan serat) menjadi barang setengah jadi yang langsung dapat dikonsumsi (atau disebut dengan agroindustri hilir) dan barang atau bahan hasil produksi industri yang digunakan dalam proses produksi seperti traktor, pupuk, pestisida, mesin pertanian dan lainnya (atau disebut dengan agroindustri hulu) (Kusnandar, Mardikanto and Wibowo, 2010). Agroindustri merupakan kegiatan yang meningkatkan nilai tambah, menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau dimakan, meningkatkan daya simpan, dan menambah pendapatan dan keuntungan produsen.
Sifat kegiatannya mampu menciptakan lapangan pekerjaan, memperbaiki pemerataan pendapatan dan mempunyai kapasitas yang cukup besar untuk menarik pembangunan sektor pertanian. Industri yang paling potensial dikembangkan adalah industri yang berbahan baku produk pertanian karena mencakup hidup banyak masyarakat Indonesia itu sendiri bukan industri lain yang sebagian besar bahan bakunya diimpor dari luar negeri (Tarigan, 2007).
Nilai tambah berarti menambahkan nilai pada produk mentah dengan mengubah bentuk setidaknya ke tahap produksi berikutnya. Secara sederhana dicontohkan dengan seekor anak sapi yang digembalakan di padang rumput
gandum atau menempatkannya di lokasi penggemukan sapi dengan pemberian pakan intensif. Nilai komoditi juga dapat ditambahkan melalui pememprosesan produk dari bahan baku atau setengah jadi menjadi produk yang siap dikonsumsi (Anderson and Hanselka, 2009). Definisi nilai tambah menurut Wurgler (2000), Nilai tambah menggambarkan sebagai nilai pengiriman barang-barang memproduksi (keluaran) kurang ongkos barang-barang intermediate/antara dan memerlukan jasa (tetapi belum termasuk bekerja keras), dengan penyesuaian.
C. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Hilirisasi pertanian secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu proses pengelolaan produk pertanian melalui industri yang dikenal dengan sebutan agroindustri. Industri pertanian atau agroindustri harus dibangun secara terintegrasi baik vertikal maupun horisontal, serta bersinergi dengan subsistem agribisnis lainnya, seperti subsistem penyediaan sarana produksi dan Alsintan, subsistem pemasaran dan subsistem budidaya serta subsistem penunjang. Ini berarti bahwa agroindustri yang tangguh dapat terwujud jika didukung oleh subsistem lain terutama kontinuitas ketersediaan bahan baku industri agro dan ditunjang oleh prasarana pendukung industri seperti ketersediaan sumberdaya energi, air bersih, komunikasi, transportasi, teknologi, dan kebijakan pemerintah sebagai bentuk kemudahan dalam investasi. Ini berarti bahwa produk agroindustri unggulan harus didukung oleh komoditi pertanian unggulan yang senantiasa mendukung penyediaan bahan baku (sisi produksi/penawaran) dan ketersediaan pasar produk dengan harga yang kompetitif (sisi permintaan). Sebaliknya, agar industri dapat mendukung perekonomian di daerah dengan dominasi sektor pertanian, hendaknya pilihan jenis industri yang akan didorong disesuaikan dengan potensi produk yang
dihasilkan dari sektor pertanian atau mendukung sektor pertanian (Amalina and Asmara, 2009).
Beberapa komoditi pertanian unggulan di Provinsi Sulawesi Tengah yakni kakao, kelapa, jagung, rumput laut, padi sawah, sapi, dan cengkeh, sedangkan produk unggulan pertanian adalah bawang goreng (Mappatoba et al., 2011).
Selanjutnya pada Tahun 2016, Bank Indonesia kembali mengevaluasi komposisi komoditi unggulan pertanian di Sulawesi Tengah sehingga diperoleh komposisi dari prioritas pertama yakni penangkapan ikan di laut, padi sawah, sapi potong, kakao, pisang, cabe rawit, budidaya ikan/udang di tambak, kelapa, dan durian (Prima-Kelola, 2016). Di beberapa kabupaten di wilayah pantai barat Sulawesi Tengah seperti Kabupaten Sigi, Kota Palu, Kabupaten Donggala, Tolitoli dan Buol, secara umum memiliki komoditi unggulan yang hampir sama dengan unggulan provinsi (kecuali dalam urutan prioritas unggulan misalnya cengkeh menjadi urutan pertama di Kabupaten Tolitoli).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk menentukan komoditas dan perubahan komoditas unggulan daerah dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ) dan analisis Shift Share (SS). Analisis LQ dan Shift Share menghasilkan bahwa sektor pertanian, kehutanan dan perikanan memiliki keunggulan kompetitif dan pertumbuhan perekonomian Kabupaten Sigi (Suryantini et al., 2015). Sementara itu, sub sektor tanaman pangan di Kabupaten Parigi Moutong merupakan sub sektor pertanian unggulan yang menjadi prioritas utama dalam pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Parigi Moutong karena sub sektor ini mempunyai kontribusi yang besar terhadap sektor pertanian dan pertumbuhan sub sektor tanaman pangan yang positif, serta merupakan sub sektor
yang terspesialisasi dan mempunyai keunggulan kompetitif di tingkat kabupaten maupun provinsi, dan menjadi sub sektor andalan dengan kontribusi dan pertumbuhan yang lebih besar dari Provinsi Sulawesi Tengah (Wibawa et al., 2018). Prioritas pengembangan komoditas unggulan juga dapat dikembangkan menjadi produk biofarmaka seperti pengembangan komoditas jahe dan kunyit di Provinsi Sumatera Utara (Bangun, 2019). Ini berarti bahwa produk olahan pertanian unggulan tidak hanya didukung ketersediaan bahan baku primer, namun juga harus mampu memberikan nilai tambah (value added) bagi usaha pengolahan dan kesejahteraan pelaku usaha.
Ini menunjukkan bahwa penggunaan metode LQ dan SS dalam menentukan komoditas unggulan memiliki kelemahan dan keterbatasan dalam aspek yang dikaji yakni hanya mengkaji sisi penawaran sehingga dalam analisisnya menggunakan data produksi dan luas lahan setiap komoditas dari sub sektor pertanian. Di lain pihak keunggulan sebuah komoditas dan produk pertanian seharusnya juga ditentukan oleh permintaan akan komoditas tersebut sehingga keberadaan (produksi) suatu komoditi pertanian dapat bermanfaat dan memberikan tingkat kepuasan yang tinggi bagi masyarakat konsumen. Guna mengakomodir aspek permintaan komoditas pertanian dalam penentuan komoditi, produk dan jenis usaha unggulan (KPJu) pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah, maka diperlukan metode lain dalam pengambilan keputusan guna memilih alternatif kebijakan dengan menggunakan kriteria majemuk (Multi-Criteria Decision Making, MCDM).
Beberapa metode MCDM yang telah digunakan oleh Bank Indonesia dalam menentukan KPJu unggulan yakni Metode Perbandingan Eksponensial (MPE), Metode Borda, Metode Bayes, analisis SWOT dan penggunaan metode Analytical
Hierarchy Process (AHP) dalam penentuan bobot (tingkat kepentingan) kriteria unggulan (Marimin, 2004). Hasil penggunaan metode MCDM bagi komoditi unggulan UMKM bermanfaat bagi pemerintah dalam menentukan program dan kegiatan pengembangan agroindustri, dan bagi perbankan dan perkreditan dalam menentukan jenis usaha mana yang dapat mendapat fasilitas bantuan permodalan (Nasir et al., 2018). Penelitian tentang penentuan komoditas unggulan dengan menggunakan metode MPE telah dilakukan di Kabupaten Grobogan (Susanto, 2014). Penentuan komoditas dan produk olahan pertanian unggulan akan lebih memiliki nilai guna bagi pelaku bisnis jika diikuti dengan informasi nilai tambah yang diperoleh dari olahan produk tersebut. Beberapa hasil penelitian tentang nilai tambah produk pertanian di wilayah Sulawesi Tengah dengan menggunakan beberapa metode analisis seperti metode Hayami (Sudiyono, 2001) dan metode Tarigan (Tarigan, 2007). Beberapa penelitian yang menggunakan metode Hayami adalah nilai tambah pengolahan kelapa menjadi kopra (Hasnun, Made and Alimuddin, 2015; Lawalata and Imimpia, 2020), nilai tambah pengolahan pisang (Utami, Utama and Asriani, 2020), dan nilai tambah pengolahan jagung (Witjaksono, 2017) serta untuk pengolahan kopi (Aklimawati, 2017). Sementara penggunaan metode Tarigan dilakukan pada pengolahan pisang di Kabupaten Donggala (Angriani, Laapo and Howara, 2014).
III. DATA DAN METODOLOGI A. Lokasi, Responden dan Pengambilan Data
Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purporsive berdasarkan pendekatan geografis wilayah pantai barat Provinsi Sulawesi Tengah yakni Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, Tolitoli dan Kabupaten Buol. Jenis
data adalah data primer yang didapatkan secara langsung dari nara sumber dan sekunder yang didapatkan dari sumber sekunder. Data yang dikumpulkan bersumber dari data primer dan sekunder, dengan narasumber utama: camat atau sekcam atau seksi pembangunan/perekonomian, mantri tani dan mantri statistik, serta tokoh masyarakat (disarankan dan bukan narasumber utama), sementara narasumber kabupaten yakni kepala dinas, bagian program dan bidang tanaman pangan dan perkebunan. Cara pengumpulan data dilakukan dengan metode indepth interview.
B. Metode Analisis
Data primer dan sekunder yang digunakan dianalisis dengan metode perbandingan eksponensial (MPE), metode Borda, Tipologi Klassen, dan review hasil analisis nilai tambah produk pertanian. Beberapa langkah atau prosedur analisis dalam kajian ini adalah:
1. Pengumpulan data dilakukan melalui in-depth interview terhadap stakeholders kunci untuk memperoleh pendapat para narasumber sebagai informasi dalam penentuan nilai (skor) kepentingan dari tujuan pengembangan dan kriteria komoditas dan produk pertanian unggulan.
2. Menentukan jenis komoditi/produk/jenis usaha dan kriteria unggulan pada sub sektor tanaman pangan dan perkebunan. Menentukan skor setiap kriteria dari calon komoditi dan produk olahan pertanian unggulan berdasarkan penilaian kondisi riil (nyata) lalu ditransformasikan ke skala Likert (skor 1-5 dari kurang keberadaannya sampai sangat tersedia keberadaannya).
3. Pemberian nilai bobot kriteria untuk semua kegiatan pengumpulan data di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota dengan nilai antara 1-4 dari kriteria yang
tidak penting sampai sangat penting melalui metode paired comparison, lalu menggunakan analisis distribusi frekuensi relatif menghasilkan nilai bobot antara 0 – 1. Menentukan bobot (tingkat kepentingan) kriteria dengan cara lain yakni menggunakan pembobotan analytical Hierarchy Process (AHP) atau pembobotan melalui Focus Group Discussion (FGD).
4. Setelah skor dan bobot telah diperoleh lalu dianalisis menggunakan metode MPE untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan komoditas dan produk unggulan di tingkat kecamatan, dengan menggunakan beberapa kriteria (Marimin, 2004). Kriteria tersebut yakni jumlah unit rumah tangga/usaha/luasan, jangkauan terhadap pasar, ketersediaan bahan baku/sarana produksi/sarana usaha, dan kontribusi terhadap ekonomi masyarakat di tingkat kecamatan.
5. Formulasi matematik MPE adalah sebagai berikut :
... (1) Di mana:
TNi= Total Nilai alternatif KPJu ke-i
RK = nilai skor keberadaan relatif kriteria keputusan ke j pada pilihan jenis KPJu keputusan i
TKKj= derajat kepentingan kriteria keputusan ke j, TKKj>0, bulat.
m = jumlah pilihan keputusan j = jumlah kriteria keputusan
6. Selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan metode Borda untuk menentukan calon KPJu unggulan di kabupaten/kota setelah diperoleh KPJu unggulan per sektor di tiap kecamatan. Metode ini menggabungkan lima KPJu unggulan dari tingkat kecamatan untuk dinilai yang menghasilkan total skor
m
Total nilai (TNi)= (RKij)TKKj
j=1
Borda. Total skor Borda digunakan untuk menentukan sepuluh besar KPJu per sektor yang merupakan calon KPJu unggulan tiap kabupaten. Formulasi matematik metode Borda disajikan sebagai berikut:
... (2)
Di mana :
Ba-z = Skor fungsi borda pada alternatif ke A - Z m = Banyaknya alternatif
Pj = Jumlah informan yang memberikan skor peringkat pada alternatif
ke j
IV. HASIL ANALISIS
A. Komoditi Pertanian Unggulan Tingkat Kabupaten
Hasil analisis berjenjang dari metode Modified AHP untuk KPJu unggulan lintas sektor pada 5 kabupaten/kota disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisis Ranking dan Skor Terbobot lima Komoditi Unggulan Pertanian pada 5 (Lima) Kabupaten/Kota di Pantai Barat Provinsi Sulawesi
Tengah Kota Palu
No Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan
1 Jagung Cabei Kelapa
2 Padi Bawang merah Kakao
3 Kacang tanah Mangga Kemiri
4 Ubi kayu Tomat Cengkeh
5 Ubi jalar Lengkuas Jambu mete
Kabupaten Donggala
No Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan
1 Padi Pisang Kakao
2 Jagung Cabei Kelapa
3 Kacang tanah Jahe Cengkeh
4 Kacang hijau Durian Kelapa sawit
5 Kedelai Mangga Kopi
Kabupaten Sigi
No Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan Ba-z = (m-1) P1 + (m-2)P2 + ...(m-n)Pj
1 Padi Alpukat Kakao
2 Jagung Cabei Kopi
3 Kacang tanah Tomat Kelapa
4 Kacang hijau Pisang Cengkeh
5 Ubi kayu Bawang merah Kemiri
Kabupaten Tolitoli
No Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan
1 Padi Cabei Cengkeh
2 Jagung Pisang Kakao
3 Kacang tanah Bawang merah Kelapa
4 Kacang hijau Jahe Pala
5 Ubi kayu Durian Kopi
Kabupaten Buol
No Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan
1 Jagung Cabei Kakao
2 Padi sawah Mangga Kelapa
3 Sagu Durian Cengkeh
4 Ubi kayu Pisang Kelapa sawit
5 Kacang tanah Tomat Kopi
Sumber: Data Primer yang Diolah Tahun 2020.
Tabel 1 menunjukkan bahwa komoditas padi merupakan komoditi unggulan di 4 kabupaten. Namun komoditas ini memiliki keterbatasan dalam produk turunan (olahan), mengingat merupakan komoditas pangan strategis yang ditujukan untuk pemenuhan pangan utama masyarakat sehingga pengolahan bukan skala prioritas.
Menurut Sarasutha et al.(2004), implikasi kebijakan yang diperlukan di masa datang untuk mendukung usahatani padi berbasis agribisnis adalah meningkatkan jumlah peralatan dan mesin pertanian untuk usahatani padi seperti traktor, alat perontok (thresher), dan penggilingan gabah atau rice milling unit (RMU) yang dikelola oleh swasta yang mendapat pinjaman atau kredit lunak. Sementara komoditas jagung, ubi-ubian dan kacang tanah umumnya diolah untuk varian olahan yang terbatas seperti kripik dan dikonsumsi langsung. Untuk tanaman hortikultura, komoditas yang sering diolah untuk makanan yang tahan lama oleh masyarakat yakni pisang menjadi kripik pisang, pisang sale dan aneka kue lainnya.
Demikian pula bawang merah di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala
umumnya diolah menjadi bawang goreng yang memiliki jangkauan pasar yang cukup luas sehingga produk ini merupakan produk yang pemasarannya lintas wilayah. Produk olahan tanaman perkebunan yang juga memiliki potensi pasar yang luas adalah minyak kelapa, gula aren, kopi dan olahan coklat. Terkait dengan kakao, pada saat ini diperkirakan sekitar 84 persen produksi kakao nasional diekspor dalam bentuk biji kakao mentah sedangkan sisanya sebesar 16 persen diolah di dalam negeri dalam bentuk cocoa powder dan cocoa butter di mana produk ini memiliki nilai jual yang tinggi. Pemerintah harus berupaya menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui dukungan harmonisasi kebijakan hulu-hilir, yaitu antara aspek budidaya kakao (hulu) dan aspek industri pengolahan kakao (hilir) (Mulyono, 2017).
Jika produk olahan perkebunan ini dikelola secara baik, penggunaan teknologi yang menciptakan efisiensi biaya, maka potensi memberikan nilai tambah cukup terbuka. Potensi komoditas dan produk unggulan lintas wilayah dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan karena memberikan kontribusi pendapatan yang besar bagi para pelaku usaha, yang didukung oleh ketersediaan komoditas dan bahan baku yang memadai (R et al., 2017). Sub sektor pertanian yang merupakan sektor basis di Kabupaten Poso tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, dan kehutanan, sedangkan peternakan dan perikanan merupakan sub sektor non basis. Selain itu dijelaskan sektor pertanian, khususnya sub-sub sektor basisnya berperan penting dalam ekonomi regional sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi masyarakat Kabupaten Poso (Mamodol, 2018).
B. Produk Agroindustri Unggulan
Agroindustri merupakan kegiatan pemanfaatan hasil pertanian menjadi produk olahan yang bernilai ekonomi, sekaligus menjadi suatu tahapan pembangunan pertanian berkelanjutan. Agroindustri menjadi subsistem yang melengkapi rangkaian sistem agribisnis dengan fokus kegiatan berbasis pada pengolahan sumberdaya hasil pertanian dan peningkatan nilai tambah komoditas.
Berdasarkan peringkat komoditas unggulan berdasarkan Tabel 1 selanjutnya dilakukan analisis menggunakan metode Borda diperoleh lima komoditas unggulan setiap sub sektor tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan pada kabupaten/kota wilayah pantai barat Provinsi Sulawesi Tengah seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisis Ranking dan Skor Terbobot Lima Komoditi Unggulan Menurut Sub Pertanian Pangan, Hortikultura dan Perkebunan di Pantai Barat
Provinsi Sulawesi Tengah
Peringkat Jenis Tanaman Skor Borda
A. Tanaman Pangan
1 Padi 33
2 Jagung 32
3 Kacang Tanah 23
4 Ubi Kayu 14
5 Kacang hijau 12
B. Tanaman Hortikultura
1 Cabei 38
2 Pisang 25
3 Bawang merah/mangga 17
4 Tomat 15
5 Durian 15
C. Tanaman Perkebunan
1 Kakao 33
2 Kelapa 29
3 Cengkeh 25
4 Kopi 15
5 Kemiri/kelapa sawit 8
Sumber: Data Primer dan Sekunder yang Diolah, 2020.
Keberlanjutan agroindustri dengan menggunakan tiga kriteria keberlanjutan usaha, yaitu: rasio nilai tambah, pangsa tenaga kerja, dan tingkat keuntungan
didapatkan hasil bahwa produk sale pisang dan keripik pisang rasa manis dan rasa asin, memiliki tingkat keberlanjutan usaha yang tinggi dan baik untuk dikembangkan ke depannya (Utami, Utama and Asriani, 2020). Pengembangan infrastruktur dan kelembagaan melalui pembangunan sarana dan prasarana penunjang dan pengembangan kemitraan antara petani dengan pemerintah dan industri (Bangun, 2019).
Tabel 3. Produk Olahan Pertanian Unggulan pada 5 (Lima) Kabupaten/Kota di Pantai Barat Provinsi Sulawesi Tengah
No. Jenis Produk Olahan Hasil
Pertanian Peringkat
Unggulan Nilai
MPE Sebaran Wilayah
Produk Potensi Nilai
Tambah (Rp/kg)
1 Gula aren 1 640 Sigi, Donggala,
Tolitoli, Buol 705,98)
2 Minyak kelapa dalam 2 290 Sigi, Donggala,
Tolitoli, Buol 3251)
3 Bawang goreng 3 234 Palu, Sigi, Donggala 37.574,332)
4 Olahan makanan (Kue Pia) 4 221 Sigi, Donggala,
Tolitoli, Buol 76,091.673)
5 Kripik pisang 5 188 Sigi, Donggala,
Tolitoli, Buol 9.4624)
6 Coklat 6 162 Palu -
7 Tahu/tempe 7 106 Palu, Donggala,
Tolitoli 10.337,725)
8 Aneka kripik lainnya
(nangka) 8 97 Sigi, Donggala,
Tolitoli, Buol 33.1696)
9 Produk berbahan baku
kelapa (arang-sabuk-kopra) 8 97 Tolitoli, Buol,
Donggala 9567)
Sumber: Data Primer dan Sekunder yang Diolah, 2020.
Keterangan: 1) (Nublina, Sofyan and Rahmaddiansyah, 2016) ; 2) (Ningsih, Kassa and Howara, 2013); 3) (Ahyadi and Lamusa, 2015); 4) (Angriani, Laapo and Howara, 2014); 5) (Wiyono and Baksh, 2015); 6) (Nurmedika, Marhawati and Alam, 2013); 7) (Hasnun, Made and Alimuddin, 2015); 8) (Prasetyo, D, A.W and S, 2019);
C. Potensi Nilai Tambah Pengolahan Hasil Pertanian
Pentingnya peningkatan nilai tambah dari pengolahan hasil pertanian seperti jagung di mana petani masih berada dalam posisi tawar yang terendah jika dijual dalam bentuk gelondongan yang ditunjukkan dengan nilai margin pemasaran yang rendah bila dibandingkan dengan pengolah jagung dan pedagang pakan ternak ayam potong (Witjaksono, 2017). Walaupun beberapa nilai perdagangan internasional Indonesia mengalami surplus namun beberapa komoditi memiliki
tingkat kompetisi perdagangan yang rendah disebabkan oleh daya saing produk makanan Indonesia yang rendah. Menurut Firmansyah et al., (2017), beberapa kebijakan yang dapat direkomendasikan dalam meningkatkan daya saing yakni pertama, diversifikasi guna meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditi pertanian di pasar internasiona, kedua, peningkatan quality control dan pemecahan masalah standarisasi produk untuk kemudahan masuk pasar internasional.
V. KESIMPULAN
Sesuai uraian pada bab sebelumnya, maka dapatlah disimpulkan sebagai berikut:
a. Padi, Jagung, Kacang Tanah, Ubi Kayu, Kacang Hijau merupakan lima komoditas tanaman pangan unggulan di wilayah pantai barat Provinsi Sulawesi Tengah;
b. Cabei, Pisang, Bawang Merah/Mangga, Tomat, dan Durian merupakan komoditas tanaman Hortikultura unggulan di wilayah pantai barat Provinsi Sulawesi Tengah;
c. Sedangkan tanaman perkebunan meliputi kakao, kelapa, cengkeh, kopi, kemiri/kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan unggulan di wilayah pantai barat Provinsi Sulawesi;
d. Produk Olahan Pertanian Unggulan pada lima Kabupaten/Kota di Pantai Barat Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan ranking produk unggulan dan nilai MPE adalah Gula Aren, Minyak Kelapa Dalam, Bawang Goreng, Olahan Makanan (Kue Pia), Kripik Pisang, Coklat, Tahu/tempe, Aneka Kripik Lainnya (nangka), Produk Berbahan Baku Kelapa (arang-sabuk-kopra).
VI. REKOMENDASI
Hasil studi ini menyarankan kepada Pemerintah kabupaten/kota di pesisir pantai barat Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah sebagai berikut:
a. Menetapkan strategi bersama dan terpadu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang pada pembangunan tanaman pangan pada lima komoditas yaitu padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu dan kacang hijau yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Periode 2025- 2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021- 2025;
b. Menetapkan strategi bersama dan terpadu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang pada penyediaan hortikultura seperti cabei, pisang, bawang merah/mangga, tomat, dan durian merupakan komoditas tanaman Hortikultura di wilayah pantai barat Provinsi Sulawesi Tengah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Periode 2025-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021-2025;
c. Menetapkan strategi peningkatan nilai tambah berupa hilirisasi produk olahan pertanian unggulan pada lima kabupaten/kota di Pantai Barat Provinsi Sulawesi Tengah yaitu Gula Aren, Minyak Kelapa Dalam, Bawang Goreng, Olahan Makanan (Kue Pia), Kripik Pisang, Coklat, Tahu/tempe, Aneka Kripik Lainnya (nangka), Produk Berbahan Baku Kelapa (arang-sabuk-kopra) yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Periode 2025-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021-2025;
d. Meningkatkan jumlah peralatan dan mesin pengolahan petani guna meningkatkan hasil tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan yang dikelola oleh Organisasi Perangkat Daerah tanpa membebani petani untuk mendapatkan peralatan dan mesin;
e. Pemerintah sebaiknya menyediakan sarana untuk pengembangan hasil komoditas tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan agar hasilnya dapat dikembangkan lagi dan dapat memasuki pasar internasional dengan kualitas unggul. Selain itu, pemerintah daerah sebaiknya melakukan digitalisasi tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan yang dimulai dari aktualisasi data berbasis Drone Participatory Rural Approach (DPRA), digital farming sampai dengan pemasaran digital;
f. Menyarankan pada lima pemerintah kabupaten/kota dan provinsi melakukan co-sharing pemberian asuransi lahan dan tanaman pangan, asuransi lahan dan tumbuhan hortikultura, asuransi lahan dan tumbuhan perkebunan, serta menjamin jiwa kepala keluarga melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (BPJS-TK);
g. Sebaiknya, strategi pembangunan sub sektor tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan pada lima kabupaten/kota di pesisir pantai barat Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemerintah Provinsi Sulteng dilakukan transformasi dari pembangunan bersifat uncorporated menjadi pembangunan incorporated.
DAFTAR PUSTAKA
Ahyadi and Lamusa, A. (2015) ‘Analisis Nilai Tambah Kue Pia Pada Industri Rumah’, Analisis Nilai Tambah Kue Pia Pada Industri Rumah Tangga Karya “an-
Nur” Di Kota Palu, 3(6), pp. 739–747.
Aklimawati, L. (2017) ‘Value-added Product on Coffee Marketing in Pasuruan District’, Pelita Perkebunan (a Coffee and Cocoa Research Journal), 33(3), p. 211.
doi: 10.22302/iccri.jur.pelitaperkebunan.v33i3.296.
Amalina, D. H. and Asmara, A. (2009) ‘Industri pengolahan di indonesia (klasifikasi 14 propinsi berdasarkan tabel IO propinsi tahun 2000)’, Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian, 3(2), pp. 69–80.
Anderson, D. P. and Hanselka, D. (2009) ‘Adding Value to Agricultural Products’, pp. 1–4.
Angriani, U., Laapo, A. and Howara, D. (2014) ‘ANALISIS NILAI TAMBAH KERIPIK PISANG PADA INDUSTRI CAHAYA INDI DI DESA TANAMEA KECAMATAN BANAWA SELATAN KABUPATEN DONGGALA Analysis of Value Added Banana Chips on Cahya Indi in Tanamea Village South Banawa Subdsrict Donggala Regency’, J. Agroland, 21(2), pp. 115–121.
Bangun, R. H. (2019) ‘Identifikasi Komoditas Unggulan Untuk Peningkatan Daya Saing Biofarmaka Di Sumatera Utara’, Jurnal Agrica, 12(1), p. 25. doi:
10.31289/agrica.v12i1.2219.
Bappeda (2011) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2011-2016. Kota Palu: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah.
BPS (2018) Provinsi Sulawesi Tengah dalam Angka 2018. Edited by Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik. Kota Palu: BPS Provinsi Sulawesi Tengah.
BPS (2020) Provinsi Sulawesi Tengah dalam Angka 2020. Edited by Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik. Kota Palu: BPS-Statistics of Sulawesi Tengah Province.
Firmansyah, F. et al. (2017) ‘Export Performance and Competitiveness of Indonesian Food Commodities’, Jejak, 10(2), pp. 289–301. doi:
10.15294/jejak.v10i2.11294.
Hasnun, N., Made, A. and Alimuddin, L. (2015) ‘Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Kelapa Menjadi Kopra Di Desa Bolubung Kecamatan Bulagi Utara Kabupaten Banggai Kepulauan’, Agrotekbis, 3(4), pp. 532–542.
Kusnandar, K., Mardikanto, T. and Wibowo, A. (2010) Manajemen Agroindustri Kajian Teori dan Model Kelembagaan Agroindustri Skala Kecil Pedesaan.
Surakarta. UNS Press.
Lawalata, M. and Imimpia, R. (2020) ‘ANALISIS NILAI TAMBAH DAN
PEMASARAN PRODUK AGROINDUSTRI KELAPA (Cocos nucifera L.) PADA PERUSAHAAN WOOTAY COCONUT’, Jurnal Agrica, 13(1), pp. 66–79. doi:
10.31289/agrica.v13i1.3513.
Mamodol, M. R. (2018) ‘Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Pembangunan Ekonomi Kabupaten Poso’, Jurnal Riset Unkrit, 3(2), pp. 1–10. doi:
10.31227/osf.io/sjhab.
Mappatoba, M. et al. (2011) Penelitian Pengembangan Komoditas Unggulan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Provinsi Sulawesi Tengah. Palu:
Bank Indonesia Kerjasama dengan Universitas Tadulako.
Marimin (2004) Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Jakarta: Grasindo.
Mulyono, D. (2017) ‘Harmonisasi Kebijakan Hulu-Hilir Dalam Pengembangan
Budidaya Dan Industri Pengolahan Kakao Nasional’, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 7(2), p. 185. doi: 10.22212/jekp.v7i2.417.
Nasir, M. et al. (2018) ‘Produk Unggulan dan Implementasinya di kabupaten Aceh Utara’, Sereal Untuk, 51(1), pp. 131–140.
Ningsih, D. C. ., Kassa, S. and Howara, D. (2013) ‘Analysis of added value of fried onions from local onion in Palu City.’, E-J. Agrotekbis 1(4): 353 – 360, 1(4), pp.
353–360.
Nublina, D., Sofyan, S. and Rahmaddiansyah, R. (2016) ‘Analisis Nilai Tambah Buah Kelapa Dan Kelayakan Usaha Minyak Goreng Kelapa Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen’, JIM Pertanian Unsyiah, 1(1), pp. 596–606.
Nurmedika, N., Marhawati, M. and Alam, M. N. (2013) ‘Keripik Nangka Pada Industri Rumah Tangga Tiara Di Kota Palu’, Agrotekbis, 1(3), pp. 267–273.
Prasetyo, D, B., A.W, M. and S, M. (2019) ‘Analysis of Added Value of Coconut Nira in Coconut Brown Sugar Agroindustry (Case In Red Sugar Agroindustry of Karangrejo Village, Garum District, Blitar)’, Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), pp. 1689–1699.
Pribadi, A., Laapo, A. and Asih, D. N. (2019) ‘Kontribusi Sub SketorPertanian Dalam Perekonomian di Kabupaten Sigi’, 26(April), pp. 69–75.
Prima-Kelola (2016) Penelitian Pengembangan Komoditas Unggulan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Provinsi Sulawesi Tengah. Bogor:
Kerjasama Bank Indonesia dengan Institut Pertanian Bogor.
R, H. Y. et al. (2017) ‘Strategi Pengembangan Produk Unggulan Lintas Wilayah untuk Mendukung Sistem Inovasi Daerah di Kabupaten Magetan, Ponorogo, dan Pacitan’, Cakrawala, 11(1), pp. 113–129. Available at:
http://cakrawalajournal.org/index.php/cakrawala/article/view/10/10.
Sarasutha, I. G. P. et al. (2004) ‘Usahatani padi berbasis agribisnis di sentra produksi kabupaten banggai, sulawesi tengah’, Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 7(01), pp. 1–17.
Sudiyono (2001) Pemasaran Pertanian. Yogyakarta: Unismuh Malang Press.
Suryantini, N. A., Antara, M. and Kassa, S. (2015) ‘Analisis Sektor Unggulan Terhadap Perekonomian Di Kabupaten Sigi’, Jurnal Agroland, 26(1), pp. 21–29.
Susanto, H. (2014) ‘Kajian Komoditas Unggulan, Andalan Dan Potensial Di Kabupaten Grobogan’, Journal of Rural and Development, V(1), pp. 63–80.
Tarigan, R. (2007) Ekonomi Regional. Jakarta: Bumi Aksara.
Utami, A., Utama, S. P. and Asriani, P. S. (2020) ‘Nilai Tambah dan Keberlanjutan Usaha Pengolahan Pisang di Kecamatan Curup Tengah Kabupaten Rejang Lebong (Studi Kasus Pisang Sari Gizi Kamiso Karto)’, AGRISEP, 19(1), pp. 191–206. doi:
10.31186/jagrisep.19.1.191-206.
Wibawa, G. L., Kalaba, Y. and Laapo, A. (2018) ‘Penentuan Prioritas
Pembangunan Sub Sektor Pertanian Terhadap Sektor Pertanian Di Kabupaten Parigi Moutong’, J. Agroland, 25(April), pp. 30–40.
Witjaksono, J. (2017) ‘The Assessment of Value Chain and Value Added Analysis of Maize (Case Study in Konawe District, Southeast Sulawesi Province)’, Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 22(3), pp. 156–162. doi: 10.18343/jipi.22.3.156.
Wiyono, T. and Baksh, R. (2015) ‘Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Usaha Tahu pada Industri Rumah Tangga “Wajianto” di Desa Ogurandu Kecamatan Bolano Lambunu Kabupaten Parigi Moutong’, Agrotekbis, 3(3), pp. 421–426.