Kota pintar adalah produk dari masyarakat informasi, ketika informasi adalah bentuk utama untuk menjalin hubungan bagi orang-orang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dengan stakeholder untuk mendapatkan data terkait komunalisme warga di lokasi Jakarta Smart City. Studi sebelumnya telah mempresentasikan debat teoretis tentang peran dan implikasi kota pintar dalam kepercayaan warga negara terhadap pemerintah melalui kemampuan teknologi.
Artikel ini menawarkan optimisme terhadap smart city sebagai wujud beroperasinya networked society dalam bentuk komunitas melalui komunitas virtual. Kajian ini menunjukkan bagaimana kebijakan smart city yang difasilitasi negara memberikan ruang bagi informasi yang dihasilkan warga sehingga mampu membangun komunitas di antara warga kota. Komunitas di perkotaan sebenarnya dapat dibangun melalui mekanisme jaringan masyarakat yang disediakan infrastruktur pemerintah berupa smart city.
This article aims to describe the implications of smart cities for the emergence of urban communality. This article offers an optimistic view of smart city as the way in which the networked society manifests itself through a form of communality within a virtual community. In fact, urban community could be built within the networked society mechanism brought into smart city form by government infrastructure.
THE HOAXES OF ILLEGAL FOREIGN WORKERS FROM CHINA: MORAL PANICS AND CULTURE OF FEAR
COMMODIFICATION OF PRIVACY AND PSEUDO-DEMOCRACY IN DIGITAL CULTURE
RADIO JOURNALISM IN DIGITAL ERA: TRANSFORMATION AND CHALLANGE
DIGITAL TECHNOLOGY AND ECONOMIC INEQUALITY IN INDONESIA
BEYOND PROSUMPTION: PROSUMPTION PRACTICE OF CONTENT WRITERS IN NEWS AGGREGATOR PLATFORM UC NEWS
PROBLEMATIC OF FEMININITY CONSTRUCTION IN VIRTUAL PUBLIC SPHERE
Keywords: Radio, technology, new media, journalism, traditional media, public opinion, spiral of silence DDC: 390.9. Expressing femininity captured on social media like the WA group. Previously, the state played an important role, which eventually decreased according to the position of power in the state, now there are others, such as from HTI. HTI's increasingly "new" definition of women's participation, occurring in the virtual public sphere, contests the definition of women's gender and position in society.
The virtual public sphere represents a challenging new area of the women's movement that needs to be thoroughly re-examined.
RINGKASAN DISERTASI
REKOGNISI ADAT DALAM PENGEMBANGAN MERAUKE INTEGRATED FOOD AND ENERGY ESTATE DI PAPUA, INDONESIA
TINJAUAN BUKU
ISLAMISM AND THE POLITICS OF CITIZENSHIP IN INDONESIA
KONSTRUKSI FEMININITAS DAN PROBLEMATIKA EKSPRESI RUANG PUBLIK VIRTUAL
PENDAHULUAN
HETEROGENDER DI INDONESIA Berdasarkan paparan teoretis tersebut, kita me-
Gerakan ini terbantu oleh perkembangan dunia internasional yang memahami bahwa posisi perempuan terbelakang. Konsep feminitas digunakan oleh Carla Jones (2010) yang menunjukkan bahwa pada masa pasca kemerdekaan, konstruksi feminitas Barat telah menjadi norma dan standar yang muncul. Penekanan saat ini adalah "Prinsip keluarga menjalin metafora bangsa sebagai sebuah keluarga ke dalam program negara untuk keluarga, menjadikan manajemen internal sebagai pusat kolektif yang berkembang dengan lancar."
Pelatihan ini dapat memberikan standar perilaku yang perlu dikembangkan oleh perempuan agar dapat menyesuaikan diri dan tidak mempermalukan dirinya sendiri. Posisi penting ini kemudian berubah dan, sebagaimana dijelaskan oleh Saskia Wieringa (1999), terjadi penghancuran ideologis gerakan perempuan dengan mengaitkan Gerwani dengan isu komunisme di Indonesia. Lebih jauh lagi, figur perempuan seperti Kartini direduksi menjadi pertunjukan untuk memperingati hari lahirnya dan tidak mengangkat isu-isu penting yang diperjuangkannya atau yang diperjuangkan perempuan.
Akhirnya Orde Baru mengembangkan posisi perempuan yang lebih submisif dalam keluarga dengan menekankan peran keibuan. Marsinah adalah tokoh perempuan biasa dan dia adalah seorang buruh yang harus kehilangan nyawanya saat memperjuangkan haknya. Pada era Orde Reformasi di bawah Presiden Jokowi, Susi Pudjiastuti diangkat menjadi Menteri Kelautan.
Dalam foto-foto yang beredar di internet, dia merupakan representasi dari wonder women di Indonesia. Dalam hubungannya dengan laki-laki, ia berani berkompetisi dan tidak takut menunjukkan jati dirinya, misalnya dalam olah raga air. Keberadaan perda semacam ini tidak melihat konteks situasi masyarakat saat ini dan hanya mengandalkan pandangan heteronormativitas perempuan yang tidak sesuai dengan realitas.
Menteri Susi sebagai Wonder Woman Konstruksi perempuan pada masa Orde Reformasi memang memusingkan, ada contoh ulama yang menikahkan anaknya yang masih kecil. Di saat perkawinan anak masih menjadi masalah, ada juga masalah perempuan dalam kasus buruh migran, yang menunjukkan kurangnya perlindungan bagi mereka.
Karakter Gerakan Perempuan di Indonesia
Pengalaman tahun 2018 lalu dihubungkan dengan masa kini dan pertanyaan tentang gerakan perempuan untuk masa depan, sehingga dapat kita lihat bahwa ketiga hal tersebut masih berpengaruh hingga saat ini. Konstruksi sosial gender berperan dalam perkembangan gerakan perempuan, dan keterhubungannya dengan persoalan sejarah cukup jelas. Namun, ada organisasi perempuan yang sejak awal sadar akan adanya perbedaan perspektif dan bergerak berdasarkan ideologi untuk membantu perempuan.
IMAJINASI TENTANG PEREMPUAN
BERUBAHKAH?
Pemikiran yang dikembangkan Felix Siauw merupakan imajinasi tentang perempuan yang berkembang di sisi kelompok sosial yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka yang mengembangkan gagasan tentang kesetaraan gender. Keempat posisi tersebut merupakan hasil dari membaca pesan-pesan yang dilayangkan untuk merespon isu kesetaraan gender melalui undang-undang kesetaraan gender yang sedang ramai dibicarakan di masyarakat. RUU tersebut mengkritik tradisi Islam terkait poligami, kekerasan terhadap perempuan, perempuan menerima warisan kurang dari laki-laki, dan kesetaraan gender.
Secara umum, kesetaraan gender dipahami sebagai pemberian akses yang sama bagi laki-laki dan perempuan, namun interpretasinya memiliki dasar pemaknaan yang berbeda. Dalam Islam, peran laki-laki dan perempuan ditentukan dan mengikuti pembagian menjadi publik dan privat. Posisi laki-laki dan perempuan saling melengkapi karena saling membantu dan memiliki fungsi yang berbeda, seperti halnya barisan laki-laki di depan dan barisan perempuan di belakang.
Dari pandangan tersebut Indonesia tidak perlu memikirkan kesetaraan, justru kesetaraan dipandang sebagai upaya yang merusak tatanan yang ada dan mengakibatkan angka perceraian yang tinggi. Dalam Islam, wanita bisa sama bahagianya dengan pria, tidak perlu ada pertanyaan yang menyesatkan tentang kesetaraan. Laki-laki bisa bekerja agar perempuan bisa melakukannya, laki-laki bisa berpolitik agar perempuan bisa, laki-laki bisa bersenang-senang mencintai, perempuan juga.
Sistem Tagut menggantikan aturan Tuhan dengan aturan manusia dan kesetaraan gender, mengakibatkan hancurnya tatanan kehidupan. Jenis kelamin perempuan diperlakukan berbeda, masyarakat menganut agama Katolik, dan kemudian memperlakukan perempuan sebagai warga negara kelas dua, lebih rendah dari laki-laki. Kesetaraan gender menyamakan laki-laki dan perempuan meskipun keduanya berbeda dan memiliki jalannya masing-masing.
Pria dan wanita harus memiliki akses yang sama ke properti, pekerjaan dan semua kebebasan lainnya. Tidak perlu ada kesetaraan gender karena Tuhan lebih tahu tentang lintasan balap untuk kebaikan bagi perempuan dan laki-laki, bukan orang yang tahu.
KEBUTUHAN DAN KEPENTINGAN PEREMPUAN
Pandangan ini menunjukkan makna yang beredar di dunia maya dan ruang publik di Indonesia. Pemaparan ini merupakan antitesis terhadap wacana dominan yang beredar dan isinya sangat berbeda dengan realitas terkait isu-isu sosial, khususnya terkait perempuan. Pandangan seperti ini merupakan bagian dari perebutan wacana yang terjadi di masyarakat, mempengaruhi konstruksi gender yang sedang berkembang.
Adanya HTI dibalik makna ini merupakan pandangan yang dipandang sebagai antitesis dari makna yang ada. Masalah perkawinan anak yang sudah dibicarakan sejak Konferensi Perempuan Indonesia Pertama tahun 1928 belum juga selesai, kini muncul pernyataan sikap yang muncul akibat penelantaran masyarakat. Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla membuat komitmen politik dengan mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU) tentang Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak;
Menteri Kesehatan Republik Indonesia menerbitkan Keputusan Menteri tentang Gerakan Nasional Penghapusan Perkawinan Anak sebagai Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu; Menteri Agama Republik Indonesia agar mengeluarkan kebijakan untuk mengakhiri perkawinan anak, melakukan penyadaran melalui kursus pranikah dan memastikan bahwa pejabat KUA dan lembaga di bawah naungannya tidak melegalkan praktik perkawinan anak; Menteri Pendidikan Republik Indonesia untuk memastikan bahwa wajib belajar 12 tahun dilaksanakan di semua daerah dan memasukkan kesehatan reproduksi dan seksualitas dalam proses pendidikan formal dan pendidikan sosial;
Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia untuk melaksanakan rekomendasi Komite CEDAW PBB untuk mengubah UU Perkawinan No. 1 untuk ditinjau. Menteri Ketenagakerjaan RI meratifikasi perlindungan pekerja perempuan korban perkawinan anak, khususnya pekerja rumah tangga dan migran (PRT) melalui Konvensi ILO 189, percepatan review UU 39 No. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia meninjau ulang dan membatalkan peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan dan minoritas yang selama ini menghambat proses penyadaran hak-hak perempuan;
Badan Pusat Statistik (BPS) harus menyediakan data terpilah perkawinan anak di bawah usia 18 tahun; Masyarakat sipil agar sadar akan masalah perkawinan anak, berorganisasi dalam kelompok penekan dan kelompok kontrol untuk mencegah perkawinan anak;
PENUTUP
Perkembangan serupa juga terjadi pada perempuan dewasa yang melakukan berbagai aktivitas, misalnya sosialisasi perempuan di ruang publik untuk menjadi ibu. Konstruksi perempuan berdasarkan kepentingan perempuan dipantau oleh sejumlah lembaga, seperti Komnas Perempuan, Jurnal Perempuan, LSM Perempuan, Kajian Gender, dan KPPPA. Dasar yang digunakan untuk melihat posisi kesetaraan gender berbeda dengan kesetaraan gender yang diusung oleh gerakan perempuan.
Gerakan perempuan juga menghadapi persoalan karena selain berbagai isu yang diusungnya, gerakan ini juga mengalami persoalan kesenjangan jaringan. Lebih dari itu, kegiatan gerakan perempuan adalah kegiatan “mengangkat” dimana kegiatan perempuan dilakukan dan diarahkan dari dan oleh perempuan. Hal ini belum disadari oleh gerakan perempuan karena gerakan perempuan dipaksa untuk fokus pada kepentingan perempuan.
Oleh karena itu, terjadi pergulatan antara wacana kepentingan perempuan yang harus berhadapan dengan konstruksi sosial seperti pemahaman Felix Siauw, dan posisi yang diajukan oleh gerakan perempuan. Masyarakat tidak melihatnya sebagai perbedaan makna karena perbedaan interpretasi, dan tidak melihat persoalan perempuan dari perspektif kepentingan perempuan. Dalam situasi ini, kepemimpinan perempuan harus melihat hal-hal yang lebih luas dari kepentingan perempuan yang diangkat dan diimplementasikan oleh gerakan perempuan.
Gerakan perempuan perlu memahami bahwa situs virtual adalah tempat untuk mengkonstruksi peran dan posisi perempuan. Ruang publik virtual menyasar individu dengan konstruksi yang secara jelas menunjukkan peran perempuan berdasarkan konteks heteronormativitas. Feminitas yang berkembang harus memunculkan citra yang mampu mengkritisi konstruksi heterogen dengan tokoh-tokoh seperti Menteri Susi yang memiliki karakter berbeda sebagai perempuan sukses.
Muncul figur atau individu di ruang publik virtual yang memainkan peran konstruktif terhadap peran perempuan. Tokoh-tokoh ini populer dan memiliki banyak pengikut sehingga merupakan tantangan baru bagi gerakan perempuan.
PUSTAKA ACUAN
Lawan Indonesia, Kompendium Hukum Islam dan Ilegal Draft Kompendium Hukum Islam dalam Kebijakan Hukum Indonesia.