• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Peraturan Perundang-Undangan Kehutanan

N/A
N/A
Fariz Ikhsan

Academic year: 2023

Membagikan "Sejarah Peraturan Perundang-Undangan Kehutanan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Mata Kuliah Peraturan Kehutanan

Program Studi Pengelolaan Hutan, Sekolah Vokasi UGM

Pertemuan-2

Sejarah Peraturan

Perundang-Undangan Kehutanan

Oleh:

Wiyono T Putro

Email: wiyono.putro@ugm.ac.id HP: 08112502512

Mata Kuliah Peraturan Kehutanan

(2)

Periodesasi Sejarah Pengelolaan Hutan

Zaman Tahun

§

Zaman Kerajaan Sebelum abad ke-17

§

Zaman VOC 1602 - 1800

§

Zaman Hindia Belanja (Periode 1) 1800 - 1811

§

Zaman Inggris 1811 - 1816

§

Zaman Hindia Belanda (Periode 2) 1816 - 1942

§

Zaman Jepang 1942 - 1945

§

Zaman Orde Lama 1945 - 1966

§

Zaman Orde Baru 1966 - 1998

§

Zaman Reformasi 1998 - 2014

§

Zaman Jokowi 2014 - 2024

(3)

Peraturan Kehutanan

ZAMAN KERAJAAN

(4)

ZAMAN KERAJAAN SRIWIJAYA (Abad VII)

Prasasti Talang Tuwo (684 M)

ü

Ada perintah Raja Dapunta Hyang Srijayanas untuk melakukan penanaman berbagai jenis pepohonan dan buah-buahan serta pembuatan kolam dan bendungan untuk kesejahteraan rakyat

ü

Raja juga memerintahkan untuk melakukan penanaman tanaman

yang ramah lingkungan, seperti bambu, wuluh, dsb.

Tujuan penebangan hutan pada Zaman Kerajaan Sriwijaya:

ü

Pembuatan pemukiman dan ladang

ü

Pembuatan arang dan kayu bakar

ü

Pembuatan istana raja

ü

Pembuatan rumah penduduk dan perabotan

ü

Pembuatan kapal perang dan kapal dagang

(5)

ZAMAN KERAJAAN MATARAM KUNO (Abad VIII)

Prasasti Kaladi (909 M)

ü

Ada permohonan kepada Raja Rakai Watukara Dyah Balitung untuk membuat sawah bebas pajak (swatantra) di hutan Aranan di wilayah Samgat Bawan yang memisahkan Desa Kaladi, Gayam dan Pyapya.

ü

Alasannya, hutan tersebut menyebabkan ketakutan karena

masyarakat, pedagang, dan penangkap ikan sering diserang oleh begal yang berasal dari Mariwun

Titah Raja Tulodong (919 M)

ü

Mengatur hak-hak raja atas tanah.

ü

Tanah hutan yang diperlukan raja, ditentukan oleh raja sendiri.

ü

Tanah sawah milik rakyat yang diperlukan raja, maka raja harus

membelinya terlebih dahulu.

(6)

ZAMAN KERAJAAN MAJAPAHIT (1294 - 1478)

Menurut Prof. Boechari, pakar epigrafi.

ü Pada zaman Majapahit ada petugas khusus yang mengawasi hutan yang disebut Tuha Alas. Mereka dapat disamakan dengan Mantri Hutan. Mereka berkedudukan di desa-desa di sekitar hutan.

ü Jabatan Tuha Alas atau Juru wana sudah ada sejak zaman Mataram Kuno.

Menurut Prof. Slamet Mulyono, pakar sejarah Majapahit

Pada Undang-Undang Majapahit yang disebut Agama atau Kutara Manawa disebutkan bahwa:

ü Pada Bab 5 tentang sahasa atau paksaan, pada pasal 92 disebutkan

bahwa larangan menebang pohon sembarangan. Penebangan pohon harus seizin pemiliknya. Jika melanggar dikenakan denda empat tali, bahkan

sampai hukuman mati, serta mengembalikan pohon yang ditebang dua kali lipat.

ü Pada Bab 16 tentang kagelehan atau paksaan, pada pasal 247 disebutkan bahwa jika ada orang menebang pohon maka harus membayar dua kali lipat dan ditambah empat laksa.

(7)

ZAMAN KERAJAAN MAJAPAHIT (1294 - 1478)

Prasasti Lumpang atau Prasati Katiden II (1392)

ü

Pengumuman ditujukan kepada Pacatanda yang berkuasa di Turen dan pejabat lain di bawahnya seperti wedana, juru dan buyut.

ü

Penghargaan diberikan kepada warga Katiden yang meliputi 11 desa atas keberhasilannya dalam menjaga alang-alang (hangraksa

halalang) di Gunung Lejar supaya tidak terbakar, yaitu berupa dibebaskan dari segala macam pajak, dibebaskan dari jalang palawang, taker turun, tahil, dan tatisara.

Tujuan penebangan hutan pada Zaman Kerajaan Majapahit:

ü

Pembuatan pemukiman dan ladang

ü

Pembuatan rumah, istana, dan perabotnya

ü

Pembuatan arang, batu bata, genting, dan kayu bakar

ü

Pembuatan kapal perang dan kapal dagang

(8)

ZAMAN KERAJAAN MATARAM ISLAM (Sejak Abad XVI)

Menurut Prof. Hasanu Simon (2010) dan Nency Lee Peluso (2006) Pada zaman Kerajaan Mataram Islam, dikenal beberapa hak raja dan rakyat terhadap hutan, yaitu:

ü

Hak domein, yaitu hak yang dimiliki oleh raja untuk memiliki/menguasai dan memanfaatkan hutan.

ü

Hak ulayat, yaitu hak yang dimiliki oleh rakyat dalam memanfaatkan sumber daya hutan, khususnya kayu jati.

ü

Wewengkon, yaitu hak rakyat suatu desa untuk mengelola sekaligus memanfaatkan hutan yang masuk wilayah desanya (hak ulayat).

Tujuan penebangan hutan pada Zaman Kerajaan Mataram Islam:

ü

Pembuatan pemukiman dan ladang

ü

Pembuatan rumah, istana, masjid, dan perabotnya

ü

Pembuatan arang, batu bata, genting, batu gamping, dan kayu bakar.

ü

Pembuatan kapal perang dan kapal dagang

Sumber: Departemen Kehutanan, 1986a; Peluso, 2006; Simon, 2006;2008;2010; Warto, 2001

(9)

Peraturan Kehutanan

ZAMAN VOC

(10)

ZAMAN VOC - Kompeni (1602 – 1799)

V O C = Vereenigde Oost Indiche Compagnie = Kompeni atau Serikat Dagang Hindia Timur

ü Pada zaman VOC secara dejure hutan menjadi domein atau milik Raja/Sultan.

ü Pada zaman VOC eksploitasi kayu jati di Jawa dilakukan secara besar- besaran (timber extraction) untuk memenuhi kebutuhan bangsa

Belanda, terutama untuk bahan pembutan kapal.

ü Pada tahun 1677 VOC mengadakan perjanjian dengan Raja Mataram untuk membangun pusat industri kapal di Rembang dengan 36 desa

mitra untuk menyediakan tenaga blandong (penebang kayu).

ü Pada Tahun 1684 VOC mengadakan perjanjian dengan Kasultanan Cirebon untuk menebang kayu jati dan menggunakan buruh murah.

ü Pada tahun 1705 VOC mengadakan perjanjian dengan Raja Mataram yang memberikan hak istimewa kepada VOC untuk melakukan monopoli perdagangan dan eksploitasi kayu jati di wilayah Kesultanan Mataram

.

Sumber: Departemen Kehutanan, 1986a; Peluso, 2006; Simon, 2006;2008;2010; Warto, 2001

(11)

ZAMAN VOC - Kompeni (1602 – 1799)

Secara perlahan tapi pasti penguasaan atas hutan mulai bergeser dari domein Raja menjadi domein VOC.

ü

Terjadi penakhlukan hak ulayat atas sumber daya hutan yang masuk wilayah wewengkon desanya. Penebangan pohon di hutan tidak lagi menggunakan tenaga kerja warga setempat tetapi

menggunakan tenaga professional yang dinamakan blandong.

ü

VOC membentuk Blandongdiensten atau Dinas Blandong yang bertujuan untuk mengontrol kinerja para penebang kayu (blandong) dan pelaksanaan kegiatan penebangan hutan.

ü

VOC melarang penebangan kayu jati di hutan tanpa izin (sejak 1620) dan memungut cukai untuk setiap kayu yang ditebang dari hutan (sejak 1678).

ü

VOC menerapkan system partikelir (semacam HPH swasta) untuk melakukan penebangan hutan jati di Jawa. VOC membagi kawasan hutan jati menjadi persil-persil kemudian ditawarkan kepada

perusahaan swasta.

Sumber: Departemen Kehutanan, 1986a; Peluso, 2006; Simon, 2006;2008;2010; Warto, 2001

(12)

Peraturan Kehutanan

ZAMAN PENJAJAHAN

(13)

ZAMAN HINDIA BELANDA Periode I (1800 – 1811)

Herman Willem Daendels Gubernur Jenderal Hindia

Belanda (1808-1811) membuat kebijakan kehutanan sbb:

1. Semua hutan manjadi milik negara (staats domein) dan harus dikelola untuk kepentingan dan keuntungan negara.

Seluruh pengusahaan hutan oleh swasta dihapuskan.

2. Pengelolaan hutan yang semula dilakukan oleh Residen kemudian ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat yang dilakukan oleh Dienst van het Boschwezen atau Dinas Kehutanan dengan hak penguasaan atas tanah, pohon, dan tenaga kerja hutan (blandong).

3. Pembagian hutan ke dalam petak-petak (perceelen) untuk dilakukan penebangan dan penanaman

(permudaan) berdasarkan system rotasi.

4. Larangan bagi penduduk untuk menebang kayu jati, tetapi mereka bebas menebang kayu non-jati dan kayu yang telah mati.

Sumber: Departemen Kehutanan, 1986a:58-59; Peluso, 2006:67-68; Warto, 2001:72; Simon, 2010

(14)

ZAMAN PEMERINTAHAN INGGRIS (1811-1816)

Sir Thomas Stamford Raffles Gubernur Jenderal Inggris (1811-1816) membuat kebijakan kehutanan sbb:

1. Boschwezen (Dinas Kehutanan) dibubarkan.

2. Desentralisasi urusan kehutanan kepada Residen.

3. Liberalisasi perdagangan kayu jati dengan memberikan hak pengusahaan hutan kepada perusahaan swasta.

4. Membatasi produksi tebangan kayu jati (40.000 – 50.000 batang/tahun).

5. Menghidupkan kembali desa-desa partikelir yang mewajibkan penduduknya untuk menjadi blandong.

6. Penduduk desa yang bekerja sebagai blandong mendapat keringanan pajak kepala (Peraturan Kehutanan atau Besluit 27 Juni 1814).

Sumber: Departemen Kehutanan, 1986a:63-64; Peluso, 2006; Warto, 2001:77-80

(15)

ZAMAN HINDIA BELANDA Periode II (1816 – 1942)

Dimulainya periode Timber Management atau Pembangunan Hutan

ü

Pada periode ini ditandai dengan terjadinya Perang Diponegoro atau

Perang Jawa (1825 – 1830). Perang Diponegoro membuat keuangan pemerintah Hindia Belanda bangkrut.

ü

Pada periode ini Gubernur Jenderal van den Bosch mencanangkan program Cultuur Stelsel atau Tanam Paksa (1830 – 1835). Dampaknya penebangan kayu jati semakin meningkat untuk memperluas lahan

perkebunan, pembuatan kapal, rel kereta api, kayu bakar, pembangunan pabrik dan gudang (gula, kopi, tembakau, teh), barak pekerja dan rumah dinas pegawai perkebunan.

ü

Pada periode ini ditandai dengan proses pembangunan hutan timber management, yang ditunjukkan dengan:

1. Pemisahan kawasan hutan & non hutan

àDomeinverklaring (1870)

2. Teknik permudaan hutan

à

De Djati Cultuur oleh Buurman (1873-83) 3. Pembentukan organisasi territorial dan perencanaan kelestarian hutan

shg tidak over cutting à Houtvesterij oleh Bruinsma (1892 & 1898)

(16)

ZAMAN HINDIA BELANDA Periode II (1816 – 1942)

Reglemen Hutan 1865 (Tanggal 10 September 1865) 1. Hanya mengatur hutan negara.

2. Hak Desa untuk memanfaatkan hutan rimba di wilayah wengkonnya dihapuskan.

3. Eksploitasi hutan jati secara swakelola oleh pemerintah dihapuskan.

Eksploitasi hutan jati hanya dilakukan oleh usaha partikelir (swasta) yang dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu:

ü Pihak swasta diberikan konsesi penebangan hutan jati untuk kepentingan pengusaha sendiri. Pengusaha diwajibkan membayar uang sewa

(pachtschat) setiap tahun kepada Pemerintah.

ü Pihak swasta ditunjuk untuk melakukan penebangan kayu jati untuk kepentingan Negara. Pengusaha berhak menerima pembayaran dari pemerintah sebagai upah penebangan, penyaradan, dan pengangkutan yang dihitung per elo kubik (1 elo =68,8 cm). Penunjukan dilakukan

melalui tender terbuka dan penawaran dalam sampul

tertutup.

Sumber: Departemen Kehutanan, 1986a:79; Nurjaya, 2005.

(17)

ZAMAN HINDIA BELANDA Periode II (1816 – 1942)

Reglemen Hutan 1874 (Tanggal 14 April 1874)

Reglemen Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura 1874

1. Pengaturan pemisahan pengelolaan antara hutan jati dan hutan

rimba.

2. Hutan jati dikelola secara teratur dan ditata dengan pengukuran, pemetaan, dan pemancangan pal-pal batas, serta dibagi dalam wilayah distrik hutan.

3. Distrik hutan dikelola oleh Houtvester yang berada di bawah pengawasan Residen.

4. Eksploitasi hutan jati dilakukan oleh pengusaha swasta, seperti diatur dalam Reglemen 1965.

5. Pemangkuan hutan rimba yang tidak dikelola diserahkan kepada Residen di bawah perintah Binnelands Bestuur dan dibantu seorang Houtvester.

Sumber: Departemen Kehutanan, 1986a:80; Nurjaya, 2005.

(18)

ZAMAN HINDIA BELANDA Periode II (1816 – 1942)

Reglemen Hutan 1897 (tanggal 9 Februari 1897)

Reglemen Pengelolaan Hutan-Hutan Negara Jawa dan Madura 1897

1. Penegasan definisi hutan negara, yaitu : (a) semua lahan bebas dalam

domein negara yang gundul; (b) Semua lapangan yang dicadangkan untuk kepentingan memperluas hutan; (c ) tanaman hutan yang telah atau akan dibina oleh negara.

2. Hutan negara dipecah menjadi hutan jati dan hutan rimba.

3. Hutan rimba dibedakan menjadi hutan tetap dan hutan tidak tetap.

4. Pemangkuan hutan mencakup kegiatan: (a) Penataan hutan; (b) Mempertahankan dan eksploitasi hutan; (c ) Pengamanan hutan.

5. Pembentukan Kesatuan Pemangkuan Hutan jati dan hutan rimba yang disebut Distrik Hutan yang dikelola oleh Pejabat Boschwezen.

6. Pembentukan Houtversterij yang luasnya 2.500 - 10.000 ha untuk bagian Distrik Hutan yang sudah ditata tetap.

7. Eksploitasi hutan dibedakan menjadi dua: (a) Eksploitasi teratur yang sesuai Rencana Perusahaan; (b) Eksploitasi tidak teratur yang tidak ditatapkan dalam Rencana Perusahaan.

Sumber: Departemen Kehutanan, 1986a:80-81; Nurjaya, 2005.

(19)

ZAMAN HINDIA BELANDA Periode II (1816 – 1942)

Reglemen Hutan 1913 (Tanggal 30 Juli 1913)

Reglemen untuk Pemangkuan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1913

1. Pemangkuan hutan mencakup kegiatan: penataan hutan, penelitian hutan,

pemangkuan hutan alam, pengelolaan perkebunan getah Kautsjuk, dan pengamanan hutan.

2. Dibentuk Balai Penelitian Hutan (Boschproefstation) yang bertujuan untuk memecahkan masalah ilmiah dan teknis yang timbul pada pengelolaan hutan yang tidak dapat diselesaikan oleh personil kehutanan di lapangan.

3. Eksploitasi hutan jati yang sudah ditata dapat dilakukan secara teratur sesuai Rencana Perusahaan, sementara eksploitasi secara tidak teratur dapat dilakukan di hutan yang belum mempunyai Rencana Perusahaan.

4. Eksploitasi teratur dilakukan swakelola oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan.

5. Di hutan rimba tetap hanya boleh dilakukan eksploitasi apabila selaras dengan tujuan konservasinya, serta dapat dilakukan penanaman jika diperlukan.

6. Rakyat desa diizinkan menggembalakan ternak dan memungut pakan ternak di dalam hutan negara, kecuali pada bagian hutan tertentu.

7. Rakyat desa di sekitar hutan diizinkan memungut buah-buahan, rumput, alang- alang, gelagah, rotan, bamboo, membakar arang, dan kulit kayu dengan

pembatasan tertentu.

Sumber: Departemen Kehutanan, 1986a:81-83;

(20)

ZAMAN HINDIA BELANDA Periode II (1816 – 1942)

Ordonansi Hutan 1927

Peraturan Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura atau Undang-Undang Kehutanan Jawa dan Madura tahun 1927.

Undang-undang tersebut mendefinisikan kawasan hutan negara sbb:

1. Kawasan yang telah ditetapkan menjadi milik negara, yang ditumbuhi:

ü Tanaman pohon dan bamboo yang tumbuh alami

ü Tanaman pohon yang ditanam oleh Jawatan Kehutanan

ü Tanaman pohon yang tidak ditanam oleh Jawatan Kehutanan tetapi

ditanam oleh negara tetapi pengelolaannya diserahkan kepada Jawatan kehutanan

ü Tanaman pohon yang ditanam berdasarkan perintah negara ü Tanaman bukan kayu yang ditanam oleh Jawatan Kehutanan

2. Seluruh kawasan yang berada di sekitar kawasan hutan negara yang tidak digunakan untuk keperluan lain.

3. Seluruh kawasan yang dicadangkan negara untuk melestarikan atau memperluas hutan.

4. Seluruh kawasan yang termasuk di dalam kawasan hutan negara yang telah ditetapkan batasnya.

Sumber: Departemen Kehutanan, 1986a:83; Peluso, 2006:97-98; Simon, 2010:40-55

(21)

ZAMAN HINDIA BELANDA Periode II (1816 – 1942)

Ordonansi Hutan 1927

Peraturan Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura atau Undang-Undang Kehutanan Jawa dan Madura tahun 2017.

Pada pasal 5 disebutkan alasan mempertahankan hutan di pulau Jawa dan Madura, yaitu:

ü Keperluan hidrologi ü Keperluan iklim ü Keperluan ekonomi

ü Keperluan lain-lain yang bermanfaat bagi kepentingan umum

Pada pasal 6 Pengelolaan Hutan secara umum meliputi kegiatan sbb:

ü Penataan hutan ü Penyelidikan hutan

ü Pembuatan bangunan-bangunan kehutanan ü Pengelolaan hutan khusus

ü Perlindungan hutan

Sumber: Departemen Kehutanan, Simon, 2010:40-55

(22)

ZAMAN HINDIA BELANDA Periode II (1816 – 1942)

Ordonansi Hutan 1927

Peraturan Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura atau Undang-Undang Kehutanan Jawa dan Madura tahun 1927.

Hak-hak masyarakat setempat terhadap pemanfatan hutan, yaitu:

ü Hak mengambil kayu, yaitu: kayu rencek, kayu mati, pohon rebah, dan sisa kayu yang tidak dipungut Jawatan Kehutanan, sepanjang untuk keperluannya sendiri dan tidak untuk diperdagangkan, seperti untuk membuat alat-alat

pertanian, memperbaiki komponen rumah, penangkap ikan, dan kayu bakar.

ü Hak mengambil hasil hutan non kayu, yaitu: buah-buahan, akar, umbi, nira, biji, dan daun-daunan. Untuk daun jati tidak diperkenankan dipungut sebelum

berumur 10 tahun. Hasil hutan non kyau lainnya yang boleh dipungut berupa rumput, alang-alang, glagah, rotan, dan bamboo.

ü Hak menggembala ternak, mengambil rumput dan seresah dapat dilakukan oleh penduduk setempat pada kawasan hutan kecuali kawasan tersebut

dinyatakan sebagai hutan tutupan atau hutan larangan, baik ditutup sementara (tanaman muda atau penelitian) atau selamanya (hutan lindung / suaka alam).

Masyarakat dilarang membuat arang kayu, memungut kulit kayu, mengambil bunga tanah (humus), membuat api atau membakar, memungut kayu tanpa izin,

penggembalaan ternak di hutan tutupan.

Sumber: Departemen Kehutanan, Simon, 2010:40-55

(23)

ZAMAN HINDIA BELANDA Periode II (1816 – 1942)

Pemantapan Timber Management dengan diumumkannya beberapa petunjuk teknis pengelolaan hutan tanaman jati, yaitu:

ü

Pada tahun 1932 diumumkan tabel normal untuk hutan tanaman jati (Tabel WvW). Tabel ini diadopsi dari hasil penelitian Wolf Von Wulfing yang melakukan penelitian untuk program doktornya tahun 1926.

ü

Pada tahun 1935 diumumkan petunjuk teknis pembuatan tanaman pada hutan jati. Petunjuk ini mengadopsi tulisan Buurman dg judul De Djati Cultuur tahun 1883, setelah tulisan tersebut mendapat

pembenaran dari Coster yang melakukan penelitaian untuk program doktornya tahun 1932;

ü

Pada tahun 1937 diumumkan petunjuk teknis penjarangan hutan tanaman. Petunjuk ini mengadopsi hasil penelitian Hart tahun 1928;

ü

Pada tahun 1938 diumumkan petunjuk penyusunan rencana perusahaan tetap (Definitive Bedrijfs Plan). Petunjuk ini terkenal dengan sebutan Instruksi 1938 yang merupakan puncak karya Djatibedrijfs, dalam membangun hutan tanaman jati di Jawa

Sumber: Simon, 2006; 2008; 2010a; 2010b:113

(24)

ZAMAN PEMERINTAHAN JEPANG (1942-1945)

Beberapa catatan penting kondisi kehutanan zaman Jepang:

1. Jepang memberlakukan Pemerintah Militer Jepang.

2. Ordonansi Kehutanan Jawa dan Madura 1927 tetap berlaku.

3. Dibentuk Djawatan Kehutanan Baru yang dinamakan Ringyo Tyuoo Zimusyo pada tanggal 10 Juni 1942.

4. Pada tahun 1943 terjadi Jepangisasi dengan menempatkan orang- orang Jepang pada Jawatan Kehutanan, meskipun mereka tidak memiliki kompetensi di bidang kehutanan.

5. Pengelolaan hutan berjalan tanpa didukung dengan rencana pengelolaan yang baik dan SDM yang kompeten.

6. Penebangan hutan meningkat 2 kali lipat dibandingkan masa Hindia Belanda, Jika pada tahun 1939 jumlah penebangan kayu jati dan non jati hanya 1.559.920 m³ maka pada tahun 1942-1945 rata tebangan tahunannya mencapai 2.885.563 m³/tahun.

7. Penanaman hutan selama 3,5 tahun hanya 20.000 ha untuk hutan jati dan 6.000 ha untuk hutan rimba, padahal pada zaman Hindia belanda untuk kurun waktu yang sama mencapai 43.000 ha untuk hutan jati dan 27.300 ha untuk hutan rimba.

8. Banyak tanaman gagal karena dicampur dg tanaman jarak dan kapas.

Sumber: Departemen kehutanan, 1986b:1-9

(25)

Peraturan Kehutanan

ZAMAN KEMERDEKAAN

(26)

ZAMAN PEMERINTAHAN ORDE LAMA (1945 – 1966)

Beberapa catatan penting perturan kehutanan zaman Orde Lama:

ü Ditetapkan UUD 1945, pada pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

ü Pada masa perang tahun 1945 – 1949 pengelolaan hutan tidak berkembang.

ü Ditetapkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang berimplikasi pada adanya reforma agraria atas penguasaan tanah.

ü Ditetapkan Tap MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama

1961-1969. Ketetapan tersebut menggariskan bahwa sektor kehutanan harus mampu menghasilkan devisa sebesar US $ 52,5 juta. Untuk

mencapai tujuan tersebut ketetapan MPRS tersebut mengamanatkan untuk segera dibentuk Perusahaan Kehutanan Negara.

ü Ditetapkan Peraturan Pemerintah NO 17 – 31 tahun 1961 tentang pendirian Perusahaan Kehutanan Negara (Perhutani).

ü Pertama kali dibentuk Departemen Kehutanan pada tahun 1964 di bawah naungan Kabinet Dwikora.

Sumber: Departemen kehutanan, 1986b:23-79

(27)

ZAMAN PEMERINTAHAN ORDE BARU (1966 – 1998)

Beberapa Peraturan Kehutanan yg penting pada zaman Orde Baru:

ü Diterbitkan UU No. 5 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan.

ü Diterbitkan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

ü Diterbitkan UU No. 6 tahun 1968 ttg Penanaman Modal Dalam Negeri.

ü Diterbitkan PP No. 21 tahun 1970 ttg Hak Pengusahaan Hutan.

Beberapa catatan penting kondisi kehutanan zaman Orde Baru:

ü Dengan diundangkannya beberapa peraturan perudang-undangan di atas semakin mengokohkan kekuasaan negara terhadap sumber daya hutan. Pemerintah pusat mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan pihak-pihak atau investor mana yang berhak mengeksploitasi sumber daya hutan di Indonesia. Sementara peran pemerintah daerah dan hak-hak masyarakat adat thd hutan termarginalkan.

ü Pada zaman Orde Baru (1970 – 1990 an) pengelolaan hutan lebih difokuskan pada eksploitasi hutan alam di luar Jawa yang selama ini belum tersentuh.

ü Pada tahun 1990-an mulai dibangun hutan tanaman industry (HTI) di luar jawa.

ü Mulai muncul kesadaran pentingnya Social Forestry, sejak Konggres Kehutanan ke-8 di Jakarta pada tahun 1978.

(28)

ZAMAN PEMERINTAHAN REFORMASI (1998 – 2014)

Catatan penting perturan kehutanan zaman reformasi:

ü

Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan

ü

Undang-Undang No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah

ü

Maraknya Penerbitan IHPHH 100 ha oleh Bupati sebagai

implikasi berlakunya UU Otonomi Daerah, tetapi akhirnya kebijakan ini dicabut.

ü

Peraturan Menteri Kehutanan tentang program Hutan Kemasyarakatan (HKm) sejak tahun 1995.

ü

Illegal logging terjadi secara massif sejak tahun 2000.

ü

Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) secara masif oleh Perum Perhutani sejak tahun 2001

ü

Undang-Undang No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Penebangan Liar.

ü

Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) berdasarkan PP No. 6 tahun 2007 ttg Tata Hutan

ü

Peraturan Menteri Kehutanan ttg Sertifikasi Pengelolaan Hutan

Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu sejak tahun 2009.

(29)

ZAMAN PEMERINTAHAN JOKOWI (2014 – 2024)

Beberapa perturan kehutanan penting zaman Presiden Jokowi:

ü Ditetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial

ü Ditetapkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 39 tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani.

ü Ditetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.17 tahun 2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak

ü Ditetapkan Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang diantaranya merevisi pasal-pasal pada Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dianggap menghambat investasi dan penciptaan lapangan kerja.

ü Peraturan Pemerintan No. 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang No. 11 tahun 2020.

ü Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Peraturan ini

menggantikan berbagai peraturan tentang Perhutanan Sosial sebelumnya, yaitu P.83 tahun 2016.

(30)

ZAMAN PEMERINTAHAN JOKOWI (2014 – 2024)

Beberapa catatan Penting

ü

Presiden Jokowi adalah seorang rimbawan lulusan dari

kampus kerakyatan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Angkatan 1980. Pernah bekerja di sebuah perusahaan HPH di Aceh dan pengusaha mebel di Solo.

ü

Presiden Jokowi memiliki komitmen yang tinggi pada

peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Komitmen ini dibuktikan dengan program Perhutanan Sosial dengan target luasan 12,7 juta ha.

ü

Pada masa pemerintahan presiden Jokowi keberadaan masyarakat adat diakui dan hak-hak mereka atas sumber daya hutan dipulihkan dengan diterbitkannya izin

pengelolaan hutan adat melalui program perhutanan sosial.

ü

Capaian luasan program perhutanan sosial sampai awal Agustus 2022 adalah seluas 5.030.736,10 ha yang

melibatkan masyarakat di sekitar hutan sebanyak 1.113.234

KK dengan total izin sebanyak 7.650 SK.

(31)

Bahan Bacaan

§ Awang, S.A. (Ed.), 1999. Forest For People Berbasis Ekosistem. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

§ Cordes, J.W.H. 1992. Hutan Jati di Jawa: dengan alam, penyerbaran sejarah dan eksploitasinya. Malang:

Yayasan Manggala Sylva Lestari.

§ Departemen Kehutanan. 1986. Sejarah Kehutanan Indoensia I: Periode Pra Sejarah – Tahun 1942.

§ Departemen Kehutanan. 1986. Sejarah kehutanan Indoensia II – III: Periode Tahun 1942 – 1983.

§ Nurjaya. I.N. 2005. Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia. Jurnal Jurisprudence, Vol 2, Nomor 1, Maret 2005 : 25 – 35. Malang : Universitas Brawijaya

§ Peluso, N.L. 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa.

Jakarta: Konphalindo

§ Poerwokoesoemo, S. 1956. Jati Jawa (Tectona grandis Linn).

§ Purnawati, D.M.O. 2004. Hutan Jati Madiun: Silvikultur di Karesidenan Madiun 1830 – 1913.

Semarang: Intra Pustaka Utama.

§ Simon, H. 2006. Hutan Jati dan Kemakmuran: Problema dan Strategi Pemecahannya. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

§ Simon, H. 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management): Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

§ Simon, H. 2010a. Aspek Sosial Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

§ Simon, H. 2010b. Perencanaan Pembangunan Sumber Daya Hutan: Timber Management.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

§ Warto. 2001. Blandong: Kerja Wajib Eksploitasi Hutan di Rembang Abad ke-19. Surakarta: Pustaka Cakra Surakarta.

§ Website: pkps.menlhk.go.id.

(32)

Instagram/Facebook/YouTube/Twitter: wiyono putro

SEKIAN ….

Terima Kasih

Referensi

Dokumen terkait

Identification of the different types of ARTs given to caregivers was seen as an important component of the knowledge necessary to ensure that children living

Pengelolaan sumber daya hutan yang ada di Indonesia dari masa ke masa diatur dalam beberapa peraturan perundangan yaitu: 1) Undang Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3