• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Efektivitas Penggunaan Prostaglandin F2α dalam Menginduksi Birahi pada Sapi Bali Anestrus Post Partus dengan Berat Badan Berbeda

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of Efektivitas Penggunaan Prostaglandin F2α dalam Menginduksi Birahi pada Sapi Bali Anestrus Post Partus dengan Berat Badan Berbeda"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

102

Efektivitas Penggunaan Prostaglandin F2α dalam Menginduksi Birahi pada Sapi Bali Anestrus Post Partus dengan Berat Badan Berbeda

(Studi Kasus Pada Kawasan Pengembangan Sapi Bali di Kepulauan Nusa Penida)

I Putu Agus Kertawirawan1*, Ni Luh Gede Budiari1, Made Rahayu Kusumadewi2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

2Balai Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak Denpasar

*Corresponding author: agus_kwirawan@yahoo.com

Abstrak

Birahi post partus merupakan salah satu ukuran dalam menilai tingkat produktivitas ternak sapi.

Dalam keadaan tertentu birahi post partus pada sapi Bali akan berlangsung panjang sehingga menurunkan tingkat produktivitas. Prostaglandin dikenal sebaga agen luteolitik yang banyak digunakan di dalam upaya menginduksi birahi pada sapi anestrus post partus. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas prostaglandin F2α dalam menginduksi birahi dengan tingkat berat badan berbeda. Penelitian menggunakan 42 ekor induk sapi Bali anestrus post partus > 3 bulan yang dibagi kedalam 3 kelompok berdasarkan interval berat badan yaitu ; P1 kelompok induk dengan berat badan <250 kg, P2 kelompok induk dengan berat badan antara 250-275 kg dan P3 kelompok induk dengan berat badan > 275 kg. Seluruh ternak dilakukan penyuntikan preparat hormon Prostagladin F2α (Lutalyse™-UpJohn) dengan dosis 5 ml/ekor. Ternak yang menunjukkan birahi pasca injeksi dilakukan inseminasi untuk mengukur tingkat kebuntingannya. Parameter yang diamati adalah persentase dan intensitas birahi serta angka kebuntingan pada masing-masing kelompok perlakuan. Data yang diperoleh dicatat dan dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa seluruh ternak pada kelompok perlakuan memperlihatkan gejala birahi dengan intensitas birahi yang berbeda. Intensitas birahi pada kelompok P1: 42,86%

jelas dan 57.14 % sedang, pada kelompok P2 : intensitas birahi 71,43% jelas dan 28.57% sedang, sedangkan pada kelompok P3 : intensitas birahi 85.71% jelas dan 14,29% sedang. Tingkat kebuntingan tertinggi diperoleh pada kelompok sapi dengan berat badan tertinggi (P3) diikuti oleh kelompok P2 dan P1 dengan persentase kebuntingan berturut-turut 85.71%, 71.43% dan 42,86%.

Hasil ini menunjukan bahwa penggunaan prostaglandin F2α cukup efektif dalam menginduksi birahi pada sapi Bali anestrus post partus, dengan intensitas birahi dan angka kebuntingan lebih baik pada sapi yang memiliki berat badan yang lebih tinggi.

Kata Kunci: Sapi Bali, Prostaglandin F2α, Berat badan, Birahi, Kebuntingan

Abstract

Anestrus post partum is one measure to assessing the productivity level of cattle. In certain circumstances oestrus postpartum in Bali cattle can last a long time, so it reducing productivity levels. Prostaglandins are known as luteolytic agents commonly used to inducing heat in cattle anestrus postpartum. This study was conducted to determine the effectiveness of prostaglandin F2α to inducing heat with different of body weight levels. The study used 42 of Bali cattle anestrus postpartum > 3 months which were divided into 3 groups based on body weight intervals, namely;

P1 cattles group with body weight <250 kg, P2 cattles group with body weight between 250 kg -275 kg and P3 cattles group with body weight > 275 kg. All cattles were injected with Prostagladin F2α hormone (Lutalyse ™-UpJohn) at a dose of 5 ml / cattle. Cattle showing heat after injection are inseminated to measure their level of pregnancy. The parameters observed were the percentage and intensity of heat as well as the pregnancy rate in each treatment group. The data obtained were recorded and analyzed descriptively quantitatively. The results obtained indicate that all cattles in

(2)

103 the treatment group showed symptoms of heat with different intensity. The intensity of heat in the P1 group: 42.86% clear and 57.14% moderate, in the P2 group: 71.43% clear and 28.57% moderate, while in the P3 group: 85.71% clear and 14.29% moderate heat intensity. The highest pregnancy rate was obtained in the group of cattle with the highest body weight (P3) followed by groups P2 and P1 with the percentage of pregnancy respectively 85.71%, 71.43% and 42.86%. These results indicate that the use of prostaglandin F2α is quite effective to inducing heat in Bali cattle anestrus postpartum, with intensity of heat and pregnancy rates better in cattles with higher body weight.

Keywords: Bali cattle, Prostaglandin F2α, Body weight, Heat, Pregnancy

PENDAHULUAN

Berahi post partus merupakan salah satu tolak ukur dalam menentukan tingkat produktivitas sapi karena terkait dengan jarak beranak (interval calving). Jarak beranak yang panjang tentunya akan merugikan peternak karena masa pemeliharaan menjadi lebih panjang. Meskipun sapi Bali dikenal memiliki tingkat fertilitas yang tinggi, namun menurut Saili et al., (2009) tidak menjamin mampu menghasilkan jarak beranak yang pendek (1-1,5 tahun) karena sangat tergantung dari manajemen ternak yang diterapkan pada daerah tertentu.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan lamanya masa kawin kembali pasca melahirkan baik dari faktor ternak maupun manajemen budidaya yang kurang baik oleh peternak. Kecukupan nutrisi pre dan post partus menjadi penyebab yang banyak mempengaruhi kualitas birahi pada sapi pasca melahirkan, seperti hipofungsi, silent heat, maupun ketidakcermatan peternak dalam mendeteksi birahi dapat menyebabkan perkawinan sapi menjadi lebih panjang. Peternak seringkali terlambat mengetahui waktu terjadinya birahi, sehingga terlambat mengawinkan. Kondisi seperti ini sering ditemukan di lapangan karena siklus birahi antar individu sapi sangat bervariasi.

Pada kasus silent heat, proses ovulasi berjalan secara normal dan bersifat subur, tetapi tidak disertai dengan gejala birahi atau tidak ada birahi sama sekali. Silent heat sering dijumpai pada hewan betina yang masih dara, hewan betina yang mendapat ransum dibawah kebutuhan normal Nurhayati, dkk (2008). Lebih lanjut Susilawati (2013), menyatakan

bahwa pakan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi cepat lambatnya kemunculan birahi.

Prostaglandin F2α merupakan agen luteolitik yang sudah secara luas digunakan untuk menginduksi estrus pada sapi. Pemayun (2007) menjelaskan bahwa Prostaglandin F2α merupakan hormon yang dapat berfungsi sebagai pengontrol siklus birahi, birahi, transportasi ovum, transportasi spermatozoa dan kelahiran. Upaya manipulasi birahi pada ternak sapi yang mengalami anestrus post partus banyak dilakukan di lapangan dengan

(3)

104 hasil yang bervariasi, meskipun banyak penelitian yang menyatakan bahwa tingginya efektivitas penggunaan Prostaglandin F2α dalam menimbulkan birahi pada sapi potong dan sapi perah (Ahola et al.2009) dan pada sapi sapi Holstein serta sapi potong sebagaimana laporan Hyland et al., (1979) dan Skarzynski et al., (2009).

Meskipun telah banyak laporan keberhasilan terkait dengan penggunaan Prostaglandin F2α namun efektivitasnya pada sapi Bali dengan performa berat badan yang berbeda perlu dilakukan. Hasil ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi stakeholder di lapangan dalam penggunaan Prostaglandin F2α untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dirancang melalui metode penelitian. Penelitian dilakukan di lokasi pengembangan sapi Bali di kecamatan Nusa Penida, kabupaten Klungkung-Bali dari bulan Januari 2018 - Desember 2018. Penelitian menggunakan 42 ekor induk sapi Bali yang belum kawin lebih dari 3 bulan setelah melahirkan dengan kondisi tidak mengalami hipofungsi yang diketahui melalui palpasi rektal sebelum ditentukan sebagai target sampel. Sampel dikelompokkan kedalam 3 kelompok perlakuan berdasarkan berat badan yaitu : P1 : kelompok induk dengan berat badan < 250 kg, P2 : kelompok induk dengan berat badan 250 kg - 275 kg dan P3 : kelompok induk dengan berat badan > 275 kg.

Seluruh ternak dilakukan penyuntikan preparat hormon Prostagladin F2α (Lutalyse™-UpJohn) dengan dosis 5 ml/ekor. Ternak yang pada penyuntikan pertama tidak mengalami estrus dilakukan pengulangan pada hari ke-11. Ternak yang menunjukkan gejala birahi pasca injeksi dilakukan inseminasi (IB) untuk mengukur tingkat kebuntingan.

Parameter yang diamati dari penelitian ini adalah persentase dan intensitas birahi serta angka kebuntingan pada masing-masing kelompok perlakuan. Data yang diperoleh dicatat dan dianalisis secara deskriptif kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Birahi dan Intensitas Birahi

Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa 42 sampel diperoleh dari 5 desa di kecamatan Nusa Penida yaitu desa Batukandik sebanyak 4 sampel, desa Kutampi Kaler 5 sampel, desa Bunga Mekar sebanyak 7 sampel, desa Batumadeg 8 sampel, dan desa Ped sebanyak 18 sampel. Seluruh sampel yang digunakan mewakili kelompok yang diklasifikasikan kedalam tiga perlakuan yaitu P1, kg P2, dan P3.

(4)

105 Tabel 1. Persentase birahi sapi Bali pasca penyuntikan preparat Prostaglandin F2α

Perlakuan n % Birahi

Penyuntikan I Penyuntikan II

P1 14 28,6 71,4

P2 14 57,1 42,9

P3 14 50 50

Total 42 45,23 54,76

Keterangan :

P1 : kelompok induk dengan berat badan < 250 P2 : kelompok induk dengan berat badan 250-275 kg P3 : kelompok induk dengan berat badan > 275 kg.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap birahi sebagaimana tersaji pada tabel.2 terlihat bahwa seluruh ternak yang diberikan penyuntikan Prostaglandin F2α 100% mengalami birahi dimana 45,23% birahi pada penyuntikan pertama dan 54,76% birahi pada penyuntikan ke dua. Respon birahi yang tinggi ini disebabkan oleh status siklus birahi yang telah berada pada fase luteal. Sejalan dengan pendapat Handayani et al., (2012) menyatakan bahwa hormon Prostaglandin F2α hanya efektif diberikan pada sapi dengan fase luteal.

Tabel 2. Hasil pengamatan berahi, intensitas birahi dan kebuntingan pasca penyuntikan Prostaglandin F2α dan Inseminasi (IB).

Perlakuan n %

Birahi

% Intensitas birahi % Bunting Jelas

Skor 3

Sedang Skor 2

Rendah Skor 1

P1 14 100 42,86 57,14 0 42.86

P2 14 100 71,43 28,57 0 71.43

P3 14 100 85,71 14,29 0 85.71

Total 42 100

Keterangan :

Penentuan skor intensitas birahi berdasarkan metode yang digunakan oleh Saili, et,.al (2009) Skor 3 : Lendir tampak jelas, keadaan vulva (bengkak, basah, dan merah) jelas, nafsu makan

menurun gelisah serta terlihat gejala menaiki dan diam bila dinaiki.

Skor 2 : Lendir tampak, keadaan vulva (bengkak, basah, dan merah) jelas, nafsu makan tampak menurun

Skor 1 : Lendir kurang, keadaan vulva (bengkak, basah, dan merah) kurang jelas, nafsu makan tidak tampak menurun dan kurang gelisah serta tidak terlihat gejala menaiki atau diam bila dinaiki

Tingginya respon birahi yang diperoleh dari penyuntikan Prostaglandin F2α dalam penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Toelehere dkk, (1990) yang menyatakan bahwa preparat Prostaglandin F2α terbukti efektif dapat menimbulkan respon estrus sebesar 92,3% pada sapi Bali dengan laju kebuntingan mencapai 70%. Tingginya respon birahi juga disebabkan karena seluruh sampel dipastikan tidak mengalami hipofungsi dan memiliki corpus luteum fungsional. Seperti diketahui bahwa fungsi Prostaglandin F2α

(5)

106 adalah meregresi korpus luteum sehingga pemberiannya hanya efektif jika dilakukan pada fase luteal di saat korpus luteum telah berfungsi (Burhanudin et al., 1992).

Perbedaan kualitas birahi yang muncul diindikasikan akibat adanya perbedaan kemampuan sekresi hormon-hormon birahi secara maksimal dari tiap individu. Semakin tinggi hormon estrogen yang diproduksi maka semakin tinggi kualitas birahi yang akan muncul. Hormon estradiol merangsang terjadinya pembengkakan dan perubahan warna kemerahan pada kelamin bagian luar, dan terjadinya peningkatan sekresi vagina sehingga pada beberapa spesies terdapat lendir yang keluar pada vulva (Frandson, et al., 2003).

Tsiliganni, et al., (2011) lendir servik diproduksi oleh sel-sel sekresi yang terdapat pada endoservik, kualitas dan kuantitas lendir servik sangat dipengaruhi oleh kondisi hormon yang disekeresikan pada saat birahi, dan menurut Hafizuddin dkk, (2012) sirkulasi hormon dalam tubuh sangat mempengaruhi proses pertumbuhan folikel, ovulasi, dan pembentukan CL.

Perbedaan kualitas birahi pada sapi dapat disebabkan oleh faktor individu yang berhubungan dengan kondisi hormonal terutama kondisi hormon estrogen dalam merangsang aktivitas birahi. Penampilan gejala berahi yang kurang jelas dikarenakan oleh asupan pakan yang kurang memenuhi kebutuhan sehingga mengganggu sintesa dan regulasi hormon-hormon reproduksi yang sangat berperan dalam penampilan gejala berahi (Kune dan Najamudin, 2002). Lebih lanjut Partodihardjo, (1980) menjelaskan bahwa intensitas berahi dipengaruhi oleh hormon-hormon reproduksi, sehingga secara tidak langsung angka intensitas berahi (AIB) sangat dipengaruhi oleh status nutrisi ternak itu sendiri.

Peranan pakan dalam menjamin berlangsungnya suatu siklus normal yang paling utama adalah berhubungan dengan lonjakan produksi LH yang diikuti dengan ovulasi.

Status pakan yang kurang baik yang tergambarkan dengan performa tubuh yang jelek akan memperpanjang waktu birahi pasca melahirkan yang ditandai dengan panjangnya calving interval sebagai akibat tidak terjadinya lonjakan LH, gagalnya implantasi sebagai akibat dari kurang baiknya fungsi Corpus Luteum (CL) yang ditandai dengan terjadinya short oestrus (McCOol, 1992).

Kebuntingan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap kebuntingan sapi Bali yang diinduksi menggunakan Prostaglandin F2α dan dikawinkan melalui inseminasi buatan (IB) diperoleh hasil antara 42,86% hingga 85,71%, dimana hasil tertinggi diperoleh pada sapi

(6)

107 dengan bobot tertinggi (P3). Hasil tersebut sejalan dengan persentase intensitas birahi yang dihasilkan pasca penyuntikan preparat Prostaglandin F2α dimana semakin baik kualitas esrus yang dihasilkan, persentase kebuntingan juga semakin tinggi sebagaimana pendapat Bernardi et al., (2015) yang menyatakan bahwa tanda-tanda birahi pada sapi betina sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan IB.

Persentase kebuntingan pada penelitian ini lebih tinggi dari penelitian Kune dan Solihati (2007) pada sapi Bali Timor yang di IB pasca sinkronisasi menggunakan

Prostaglandin F2α

yaitu rata sebesar 68,75%, dan lebih baik dari beberapa hasil penelitian sebelumnya seperti Armadianto (1991) sebesar 60,67 %, Mandonza (1992) sebesar 60,00%, Nesimnasi (1994) sebesar 47,64 %, Doke (1996) sebesar 62,28 %, Johanes (1996) sebesar 69,30 %.dan Kune, dkk. (2000) sebesar 41,00 %.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penggunaan Prostaglandin F2α efektif dalam menginduksi birahi pada sapi Bali anestrus post partus, dengan intensitas birahi dan angka kebuntingan lebih baik pada sapi yang memiliki berat badan yang lebih tinggi. Untuk mengoptimalkan hasil dari penggunaan Prostaglandin F2α pada sapi bali anestrus post partum diharapkan sapi tidak dalam kondisi hipofungsi dan memiliki performa tubuh yang baik dengan berat badan > 250 kg.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih diucapkan kepada Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung, seluruh peneliti, penyuluh dan litkayasa BPTP Bali yang terlibat dalam penelitian ini, serta petugas Inseminasi Buatan (IB) se kecamatan Nusa Penida yang telah membantu seluruh proses pelaksanaan penelitian di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahola JK, Seidel Jr GE, & Whitteir JC. (2009). Use Gonadotropin Releasing Hormone at Fixed Time Artificial Insemination at Eighty or Ninety Seven Hours Post Prostaglandin F2 Alfa in Beef Cows Administered the Long Term Melengestrol Acerate Select Synch. The Professional Animal Scientist (25): 256-261.

Armadianto, H. (1991). Penentuan Dosis Efektif PGF2alfa Secara Intrauterin terhadap Sinkronisasi Estrus dan Angka Kebuntinganpada Sapi Bali di Besipae, TTS. Skripsi Fapet Undana, Kupang.

Bernardi S., A. Rinaudo, & P. Marini. (2015). Cervical Mucus Characteristics and Hormonal Status at Insemination of Holstein Cows. Iranian Journal of Veterinary Reserach. 17(1): 45-49.

Burhanuddin, M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, I.G.M.A.K. Dewi, I.G.Ng. Jelantik & P. Kune.

(1992). Efektivitas PGF2αDan Hormon Gonadotropin Terhadap Kegiatan

(7)

108 Reproduksi Ternak Sapi Bali di Besipa E‖. Buletin Penelitian Universitas Nusa Cendana. Edisi Khusus Ilmu Ternak. Timor Tengah Selatan. Kupang,

Doke, S. (1996). Pengaruh Berbagai Pengencer Semen Beku terhadap Angka Kebuntingan.

Skripsi Fapet Undana, Kupang.

Frandson, R.D., W.L. Wike, & A.D. Fails. (2013). Anatomy and Physiology of Farm Animal. 7th ed. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.

Hafizuddin, T.N. Siregar & M. Akmal. (2012). Hormon dan Perannya Dalam Dinamika Folikuler Pada Hewan Domestik. JESBIO, 1 (1): 21-24.

Handayani, U. F., H. Madi, & Siswanto. (2012). Respon Kecepatan Timbulnya Birahi pada Berbagai Paritas Sapi Bali Setelah Dua Kali Pemberian Prostaglandin F2α (PGF2α).

Jurnal dosen Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.

Hyland, J.H. & F. Bristol. (1979). Synchronization of Oestrus and Timed Insemination of Mares. J Reprod. Fertil. Suppl.(27):251-255.

Johanes, F. (1996). Angka Kebuntingan Hasil IB pada Sapi Bali dengan Semen Beku Sapi Brangus dalam Berbagai Bahan Pengencer. Skripsi Fapet Undana. Kupang.

Kune, P. T. MataHine & Soni Doke. (2000). Produksi dan Pemanfaatan Semen Cair Pejantan Unggul dalam Meningkatkan Produktivitas Sapi Bali melalui Teknologi Inseminasi Buatan di Kabupaten Timor Tengah Utara. Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Undana, Kupang.

Kune, P. & Najamudin. (2002). Respon Estrus Sapi Potong Akibat Pemberian Progesteron, Prostaglandin PGF2α dan Estradiol Benzoat dalam Kegiatan Sinkronisasi Estrus.

Jurnal Agroland. 9(4): 380 – 384.

Kune, P & Solihati, N. (2007). Tampilan Berahi dan Tingkat Kesuburan Sapi Bali Timor yang Diinseminasi. Jurnal Ilmu Ternak, Juni 2007, Vol.7 No.1 hal 1-5.

Mandonsa, Y. (1992). Pengaruh Intensitas Estrus terhadap Angka Kebuntingan Sapi Bali yang Diinseminasi di Desa Naiola TTU. Skripsi Fapet Undana, Kupang.

McCOol, C. (1992). Buffalo and Bali Cattle - Exploiting Their Reproductive Behaviour and Physiology. Tropical Animal HealthProduction 24: 165 .

Nesimnasi, N. (1994). Pengaruh Lama Penyimpanan Semen Cair terhadap Angka Kebuntingan pada Sapi Bali di Besipae TTS. Skripsi Fapet Undana, Kupang.

Partodihardjo, S. (1980). Ilmu Reproduksi Hewan. Hal. 241. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya.

Pemayun, T.G. (2007). Kadar Prostaglandin F2α Pada Cairan Vesikula Seminalis dan Produk Sel Monolayer Vesikula Seminalis Sapi Bali. Jurnal Veteriner. 8(4): 167 – 172.

Saili, T., B. Ali.., S. A. Achmad, R. Muh, & A. Rahim. (2009). Sinkronisasi Birahi Melalui Hormon Agen Luteolitik untuk Meningkatkan Efisiensi Reproduksi Sapi Bali dan PO di Sulawesi Tenggara. Jurnal Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari.

Diakses September 2020.

(8)

109 Skarzynski, D.J., M.J. Siemieniuch, W. Pilaeski, I.W. Potocka, M.M. Bah, M. Majewska,

& J.J. Jaroszewski. (2009). In Vitro Assessment of Progesterone and Prostaglandin E2 Production by the Corpus Luteum in Cattle Following Pharmacological Synchronization of Estrus. J. Reproduct. Developm. 55(2):170-176.

Susilawati, T. (2013) Pedoman Inseminasi Buatan . UB press,

Toelihere, M.R., I.G.Ng. Jelantik & P. Kune. (1990). Perbandingan performans produksi sapi Bali dan hasil persilangannya dengan Frisian Holstein di Besipae, Timor Tengah Selatan. Laporan Penelitian Fapet Undana, Kupang.

Tsiliganni, T., G.S. Amiridis, E. Dovolou, L. Menegatos, S. Chadio, D. Rizos, & A.G.

Adan. (2011). Association Between Physical Properties of Cervical Mucus and Ovulation Rate in Superovulated Cows. Canadian Journal Of Veterinary Research.

75: 248 – 253.

Referensi

Dokumen terkait

The data used as a process in mining and testing is in the form of master data sample and academic data for the 2014-2017 generation of Information and Communication

Approval for Liquid containing 95 - 100% isoflurane HSR001978 Page 3 of 3 Appendix: Controls applying to HSR001978 Hazardous substances and new organisms HSNO default controls