354
EKSISTENSI MASYARAKAT ADAT DI KABUPATEN BANJAR
Ningrum Ambarsari1, Adwin Tista2
Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan MAB
Jl. Adhyaksa No.2, Sungai Miai, Kec. Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan Email: [email protected], [email protected]
Abstract: Banjar Customary Law is the original law that applies to the Banjar people, which is unwritten; even so, the Customary Law has been accommodated in several writings and documents, as stated in the 1835 Sultan Adam Law and the Book of Sabilal Muhtadinby Sheikh Muhammad Arsyad Al-Banjary. The existence of adat in the Banjar community, which colors daily life, is still seen in the traditional ceremonies of marriage, mewaris, baantar jujuran, and mandi-mandi. At the same time, land law matters in the Banjar. However, traditional nuances still influence it, it has led to personal/individual ownership based on hereditary inheritance. from the previous generation. This type of research is empirical, with field data as the primary data source, such as the results of interviews and observations. Empirical research is used to analyse law which is seen as patterned social behavior in people's lives that constantly interact and relate to social aspects. This research also uses legislation as secondary legal material. In this study, the authors used a qualitative approach, namely a method of analyzing research results that produced analytical descriptive data, namely data stated in writing or orally, and actual behavior, which was researched and studied as a whole.
Keywords : Existence, Customary Law, land
Abstrak : Hukum Adat Banjar merupakan hukum asli yang berlaku pada masyarakat Banjar, yang sifatnya tidak tertulis, sekalipun demikian Hukum Adat itu telah terakomodir dalam beberapa tulisan dan dokumen- dokumen, seperti yang tertuang dalam Undang-undang Sultan Adam Tahun 1835 dan dalam Kitab Sabilal Muhtadin karangan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary. Eksistensi Adat pada masyarakat Banjar yang mewarnai kehidupan sehari-hari masih terlihat pada upacara adat perkawinan, mewaris, baantar jujuran, mandi-mandi sedangkan untuk urusan hukum tanah pada Banjar meskipun masih dipengaruhi nuansa adat tetapi sudah mengarah ke kemilikan personal/individu berdasarkan warisan turun temurun dari generasi sebelumnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian empiris, yaitu penelitian dengan adanya data-data lapangan sebagai sumber data utama, seperti hasil wawancara dan observasi. Penelitian empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai perilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakatan.Penelitian ini juga menggunakan perundang-undangan sebagai sebagai bahan hukum sekunder. Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif yaitu suatu cara analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data yang dinyatakan secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
Kata Kunci : Eksistensi, Hukum Adat, tanah
PENDAHULUAN
Perkembangan yang sangat menarik dalam sejarah hukum di tanah Banjar terjadi ketika pada masa pemerintahan Raja Banjar ke 18, yaitu Sultan Adam Al-Watsiq Billah (1785-1857 M.) yang berkuasa dari tahun 1825 hingga 1857 M., beliau telah menetapkan undang-undang untuk pemerintahan kerajaan dan rakyatnya. Undang-undang Sultan Adam ditetapkan pada tahun 1835 M., undang-undang ini menunjukkan proses perkembangan hukum Islam dalam Kerajaan Banjar, khususnya yang mengatur masalah-masalah politik.
Hal ini dikarenakan undang-undang ini berlandaskan asas-asas keislamaman yang kental
355 pada masa itu. Sultan Adam dikenal sebagai sultan yang keras dalam menjalankan ibadah dan dihormati oleh rakyat. Beliau juga salah seorang sultan yang sangat memperhatikan perkembangan Islam, beliau merupakan salah satu murid dari ulama terkenal dari tanah Banjar, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ada beberapa versi yang menyebutkan tentang naskah undang-undang Sultan Adam tersebut tentang jumlah perkara (pasal) dalam undang-undang Sultan Adam ini, ada yang mengatkan 31 perkara (versi Martapura), ada juga yang mengatakan 38 perkara (versi Amuntai).Undang-undang Sultan Adam ini terdiri atas dua bagian besar, yaitu (1) pendahuluan atau mukaddimah, dan (2) batang tubuh atau isi dari undang-undang tersebut yang berisi 31 perkara (pasal). yang isinya dapat dikelompokkan dalam 6 kategori. Pertama, masalah-masalah agama dan peribadatan, kedua, masalah hukum tata pemerintahan, ketiga, masalah hukum perkawinan, keempat, masalah hukum acara peradilan, kelima, masalah hukum tanah, dan keenam, masalah peraturan peralihan.1
Berkaitan dengan masalah Hukum Tanah, banyak bidang-bidang tanah di Kabupaten Banjar banyak yang overlapping (tumpang tindih), karena terjadi dualisme hukum. Hal ini karena Sebagian masyarakat suku Banjar masih berpegang teguh pada aturan adat dan Sebagian lagi sudah mengunakan aturan hukum tanah nasional yaitu yang berdasar pada UUPA. Terkait dengan kepemilikan tanah , pakar berpendapat bahwa :
“Hak Milik atas tanah menurut teori Hukum Pertanahan Adat (Beschikkingsrecht) pun sama dengan teori hukum tanah Romawi (jus terra). Lahirnya Hak Milik atas tanah dimulai karena adanya hubungan dan kedudukan orang dalam persekutuan hidup atau masyarakat hukum adat (rechts gemeenschappen)” 2
Hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal mempertahankan hidup tempat berlindung yang sifatnya magis- religius. Masyarakat yang hidup di dalam hak ulayat berhak mengerjakan tanah itu, dimana setiap anggota masyarakat dapat memperoleh bagian tanah dengan batasan-batasan tertentu3
Menurut Van Vollenhoven (dalam Bushar, 1988) ciri-ciri hak ulayat itu adalah sebagai berikut: (a) Tiap anggota dalam persekutuan hukum (etnik, sub etnik, atau fam)
1 https://www.qureta.com/post/undang-undang-sultan-adam-dalam-kerajaan-banjar,diakses pada 23.50/14 Januari 2022
2 A. Suriyaman Mustari Pide & Sri Susyanti Nur; 2009, Dasar-Dasar Hukum Adat, Pustaka Pelita , Makassar.
3 Rizal, Syamsul. 2003. Kebijaksanaan Agraria Sebelum dan Sesudah Keluarnya UUPA. Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata, Universitas Sumatera Utara. Medan.
356 mempunyai wewenang dengan bebas untuk mengerjakan tanah yang belum digarap, misalnya dengan membuka tanah untuk mendirikan tempat tinggal baru; (b) Bagi orang di luar anggota persekutuan hukum, untuk mengerjakan tanah harus dengan izin persekutuan hukum (dewan pimpinan adat);(c) Anggota-anggota persekutuan hukum dalam mengerjakan tanah ulayat itu mempunyai hak yang sama, tapi untuk bukan anggota selalu diwajibkan membayar suatu retribusi (uang adat, sewa lunas, sewa hutang, bunga pasir dan lain-lain) ataupun menyampaikan suatu persembahan (ulutaon, pemohon); (d) Persekutuan hukum sedikit banyak masih mempunyai campur tangan dalam hal tanah yang sudah dibuka dan ditanami oleh seseorang; (e) Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam ulayatnya; (f) Persekutuan hukum tidak dapat memindah tangankan hak penguasaan kepada orang lain; (g) Hak ulayat menurut hukum adat ada di tangan suku/masyarakat hukum/desa4
Dan tanah-tanah yang ada di desa di wilayah bisa dikatakan sebagai tanah masyarakat adat karena milik suku Banjar dan diwariskan secara turun temurun yang tentu saja berkaitan dengan eksistensi adat. Kasus tanah adat mncul ke permukaan sejak dikeluarkannya Peraturan Bupati Banjar No.2 tahun 2018 tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran tanah Sistematis Lengkap di Kabupaten Banjar yang lebih dikenal dengan istilah PTSL.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah eksistensi Hukum Tanah Adat pada masyarakat di Kabupaten Banjar Provinsi di Kalimantan Selatan saat ini?
2. Bagaimanakah penyelesaian dalam hal kepemilikan Tanah apabila terjadi overlapping di Kabupaten Banjar?
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian empiris, yaitu penelitian dengan adanya data- data lapangan sebagai sumber data utama, seperti hasil wawancara dan observasi.
Penelitian empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai perilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan
4 Bushar, Muhammad. 1988. Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta.
357 berhubungan dalam aspek kemasyarakatan 5.
Penelitian empiris ini juga menggunakan perundang-undangan sebagai sebagai bahan hukum sekunder. Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif yaitu suatu cara analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data yang dinyatakan secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh6.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Eksistensi Hukum Adat pada masyarakat di Kabupaten Banjar
Eksistensi Hukum Adat berdiri kokoh pada fondasi yang kuat, yakni terdapat Dasar Teoritik dan Yuridis. Dasar ini yang melegitimasi keberlakuan Hukum Adat. Jauh sebelum Hukum Modern masuk ke wilayah Indonesia, sudah ada sebuah tatanan yang telah lama mengatur kehidupan masyarakat Indonesia yang terdiri dari suku-suku yang tersebar dihampir seantero Bumi Indonesia, yakni Hukum Adat. Landasan teoritik yang sampai hari ini melegitimasi pemberlakuan Hukum Adat dari segi konseptual yakni dari pemikiran Carl Von Savigny, beliau merupakan pelopor dalam pemikiran Hukum lebih khususnya tentang Sejarah Hukum. Baginya Hukum itu adalah “semangat dari suatu bangsa” menurut seorang pelopor dalam mazhab Hukum sejarah yakni Carl Von Savigny, baginya Hukum itu lahir dari Hukum kebiasaan (custom). Hukum kebiasaan merupakan sebuah termanifestasi dalam hukum positif. 7
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa. Hukum itu hadir sebagai ekspresi jiwa suatu bangsa (volgkeist) tentang apa yang dianggap benar dan adil . jiwa suatu bangsa itu berbeda-beda bagi tiap bangsa. Jiwa bangsa itu berbeda-beda pula dalam perjalanan waktu.
Pencerminan adanya jiwa yang berbeda-beda ini dapat dilihat dari budaya tiap bangsa yang berbeda-beda pula.Jiwa bangsa ini yang kemudian menjadi faktor penentu kepatuhan masyarakat terhadap Hukum itu sendiri, manifestasi dari jiwa dalam konsep ini ialah Nilai- Nilai yang dianut di masyarakat, yang akan bermetamorfosis menjadi Norma tertulis. Hal ini berarti apabila merujuk pada prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Savigny di atas, maka Teori sejarah hukum secara tegas telah diuraikan dalam Pasal 18B; Negara mengakui
5 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h, 43.
6 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 192.
7 Muhammad Erwin ,2011; Filsafat Hukum, Refleksi Kritir Terhadap Hukum; Rajawali Pers, Jakarta hal.268
358 dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Secara implisit pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat seirama pula dengan teori sejarah Hukum. Artinya bahwa dalam konteks hukum positif Indonesia teori sejarah hukum juga mendapat tempat. Konsekuensi logis daripada pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat ini ialah adanya legitimasi untuk melaksanakan ketentuan- ketentuan hukum adat dalam masyarakat hukum adat dengan syarat selama seusia dengan perkembangan masyarakat dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.
Pemberlakuan serta berjalannya Hukum Adat didukung juga oleh elemen-elemen di dalamnya, Dalam sistem Hukum Adat elemen-Elemen yang terdapat dalam ialah Pranata Sosial, dimana keharmonisan dalam kehidupan masyarakat Adat terjadi karena pranata- pranata sosial yang ada berjalan sebagaimana mestinya. Dasar konseptual maupun yuridis pemberlakuan Hukum Adat merupakan faktor pendukung akan eksistensi Hukum Adat, kemudian keberadaan pranata sosial yang terdiri dari beberapa unsur yang telah disebutkan pada pembahasa sebelumnya menjadi pendukung pelaksanaan Hukum Adat.
Seirama dengan konsep Savigny yang diuraikan di atas maka hukum adat adalah hukum yang paling dekat dengan masyarakat. Kesemuanya hal ini merupakan faktor-faktor eksternal yang mendukung eksistensi Hukum Adat, namun ada hal yang jauh lebih esensial dari faktor eksternal, Hal yang dimaksud ialah faktor Internal, bersumber dari masyarakat Itu sendiri yakni keyakinan masyarakat terhadap Nilai-Nilai yang tertuang dalam Hukum Adat itu sendiri.
Berawal dari diakuinya eksistensi adat oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada Pasal 18 B (1) Juncto Undang-Undang No.5 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada pasal 3 dan 5 Juncto Peraturan Bupati Banjar No.2 tahun 2018 tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran tanah Sistematis Lengkap di Kabupaten Banjar berarti dimungkinkan pada masyarakat adat Banjar menjadikan Undang-Undang Sultan Adam sebagai referensi dalam mengatasi permasalahan hukum tanah adat sebagai hak ulayat.
Tetapi tentu saja hal ini akan menimbulkan pluralisme (kemajemukan hukum) pada hukum tanah dan akan bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya. Bentuk hukum penguasaan tanah
359 pada masyarakat adat dikenal dengan ”hak ulayat”. Ini merupakan istilah yang digunakan secara formal, walaupun sesungguhnya pada setiap etnik istilah yang digunakan berbeda- beda. Dalam bahasa hukum maupun ilmiah, istilah ”tanah ulayat” selalu digunakan untuk menyebut tanah-tanah yang dikuasai menurut hukum adat pada suatu etnik tertentu.Secara umum, hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indoensia dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu: ”hak ulayat” dan ”hak pakai”. Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut.
Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama. 8
Hampir sama dengan di atas, berlakunya hak ulayat ini menurut sistematika Ter Haar (1985) adalah sebagai berikut: Pertama, Anggota masyarakat hukum bersama-sama dapat mengambil manfaat atas tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya. Kedua, Anggota masyarakat hukum untuk keperluan sendiri berhak berburu, mengumpulkan hasil hutan yang kemudian dimiliki dengan hak milik bahkan berhak memiliki beberapa pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu dipelihara olehnya.
Ketiga, Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan kepala suku atau kepala masyarakat hukum. Hubungan hukum antara orang yang mem- buka tanah dengan tanah tersebut makin lama makin kuat, apabila tanah tersebut terus menerus dipelihara/digarap dan akhirnya da- pat menjadi hak milik si pembuka. Sekalipun demikian, hak ulayat masyarakat hukum tetap ada walaupun melemah. Sebaliknya apabila tanah yang dibuka itu tidak diurus atau diterlantarkan, maka tanah akan kembali menjadi tanah masyarakat hukum. Selain itu, transaksi-transaksi penting mengenai tanah harus dengan persetujuan kepala suku. Keempat, Berdasarkan kesepakatan masyarakat hukum setempat, dapat ditetapkan bagian-bagian wilayah yang dapat digunakan un-tuk tempat permukiman,
8 Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim 2005, Sendi-sendi Hukum Agraria, Ghalia,Jakarta hal. 25
360 makam, pengem-balaan umum, dan lain-lain. Kelima, Anggota suku lain tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat, kecuali de-ngan seizin pimpinan suku atau masyara- kat hukum, dan dengan memberi sema-cam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih dahulu.
Izin tersebut bersifat sementara, misal nya untuk selama musim panen, namun suku lain tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah tersebut. Sifat istimewa hak ulayat terletak pada daya berlakunya secara timbal balik hak-hak itu terhadap orang lain. Karena pengelolaan tanah makin memperkuat hubu- ngan perseorangan dengan sebidang tanah.
Bila hubungan perorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan terus menerus, maka pulihlah hak masyarakat hukum atas tanah itu dan tanah tersebut kembali menjadi hak ulayat.Keenam, apabila ada anggota suku bangsa lain ditemukan meninggal dunia atau dibunuh di suatu wilayah yang dikuasai satu suku bangsa, maka suku atau masyarakat hukum di wilayah bersangkutan bertanggung jawab untuk mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda.9
Tanah-tanah yang posisinya seperti ini (tanah adat) banyak ditemui di desa Keliling Benteng Ilir Kec, Sungai Tabuk di Kabupaten Banjar. Bisa dikatakan tanah tersebut sudah dikuasai secara turun-temurun dan tidak mempuyai status kepemilikan. Mereka hanya menggunakan untuk memakai tanah tersebut untuk mencukupi kebutuhan ekonominya.
Dan tidak pernah terpikirkan untuk menjadikan lahan milik mereka untuk mempunyai kepastian hukum, banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunya adalah ketidaktahuan status tanah tersebut, batas-batasnya dan pengetahuan yang minim tentang kepemilikan tanah, karena tingkat pendidikan yang seadanya.
Kalau dicermati pemikiran mereka terhadap tanah kepemilikan dianggap secara komunal seperti tanah adat pada umumnya, dimana tetua adat memberikan hak kepada anggota persekutuan untuk mengelola dan memakai tanah tersebut untuk keperluan anggota komunitasnya, dan bila ada pihak luar yang ingin menggelola tanah masyarakat adat maka harus ada izin dari tetua dan akan kembali kepada masyarakat adat bila masa pengelolaan telah selesai.
9 Bushar Muhammad, Loc.cit
361 (1)
(2) (3)
Berdasarkan wawancara dengan tokoh masyarakat Banjar, (Hj. Gusti Dinar) pada pada 10 Juli 2022 (2) bahwa eksistensi masyarakat adat senyatanya terlihat pada sistem kekerabatan, gelar-gelar kebangsawanan, upacara perkawinan, baantar jujuran, mandi-mandi, mewaris. Budaya Banjar ini akan terus hidup sepanjang masyarakat Banjar ada, sedangkan terkait dengan kepemilikan tanah masyarakat Banjar menggunakan aturan Pemerintah untuk penyelesaian sengketa pertanahan.
362 Sedangkan wawancara dengan Gt. Alfath (tokoh pemuda) mengatakan hal yang serupa yaitu untuk hal-hal yang sifatnya kemasyarakatan eksistensinya masih hidup sampai sekarang, karena hal tersebut merupakan budaya turun temurun yang tidak bisa ditinggalkan sebagai warga Banua. Berkaitan dengan masalah tanah yang ada pada masyarakat di kabupaten Banjar lebih memilih meyelesaikan lewat jalur hukum, agar terjamin kepastian hukumnya.
Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa eksistensi keberadaan masyarakat adat tersebut pada saat ini terlihat dari kepatuhan terhadap adat dan Budaya Banjar. Adat yang masih dapat dilihat sampai sekarang adalah yag dijumpai pada acara-acara Perkawinan, baantar jujuran, mawaris, mandi-mandi, dan kebiasaan kebiasaan yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
Dan untuk hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan tanah maka mereka menyelesaikan dengan hukum Positif dalam hal ini Undang-undang No.5 tahun 1960 yang lebih dikenal dengan UUPA, sedangkan adat yang masih dapat dilihat sampai sekarang adalah yang dijumpai pada acara-acara Perkawinan, baantar jujuran, mawaris, mandi- mandi, dan kebiasaan kebiasaan yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
Di Indonesia eksistensi pengakuan Adat hanya ada jika dalam masyarakat adat tersebut masih murni adat dan budayanya , belum berbaur karena proses asimilasi.
Terhadap yang demikian hukum tanah yang ada di Indonesia berasumsi bahwa Ketika masyarakat adat eksistensinya sudah mulai berkurang maka hak masyarakat adat (hak ulayat) hanya diakui sebagian, tetapi terkait asal usul tanah ditetapkan sebagai tanah adat, untuk memudahkan administrasi terkait asal-usul tanah dalam kepemilikan individu.
Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi overlapping (tumpeng tindih) dalam kepemilikan tanah. Agar tercipta keharmonisan di lingkungan masyarakat adat Banjar walaupun kepemilikan sudah tidak secara komunal seperti pada masa kesultanan Banjar pada masa kerajaan Banjar pemerintahan Raja Banjar ke 18, yaitu Sultan Adam Al-Watsiq Billah (1785-1857 M.) yang berkuasa dari tahun 1825 hingga 1857 M.
B. Penyelesaian dalam hal kepemilikan Tanah apabila terjadi Overlapping di Kabupaten Banjar
Banyaknya kepemilikan tanah yang Overlapping di wilayah Kabupaten Banjar mulai marak sejak dikeluarkannya Peraturan Bupati Banjar No.2 tahun 2018 tentang
363 Pembiayaan Persiapan Pendaftaran tanah Sistematis Lengkap di Kabupaten Banjar yang lebih dikenal dengan istilah PTSL. Perbup ini bertujuan untuk mendata tanah-tanah adat yang ada di kabupaten Banjar, sehingga jelas mana yang merupakan tanah adat dan mana yang merupakan tanah Negara. Hal untuk memudahkan pemerintah Derah untuk memaksimalkan pengelolaan tanah-tanah yang ada di Kabupaten Banjar.
Pada program PTSL pemerintah ini banyak ditemukan kasus overlapping. Contoh kasus pergeseran patok, hal ini karena berdasarkan GPS pada peta pertanahan berubah karena ada pihak lain yang mendaftarkan tanahnya dan ukurannya melewati bidang tanah tetangganya akibatnya terjadi pergeseran patok bidang tanah tetangganya masuk ke bagian tanah yang didaftarkan. Adapula yang mengakui bidang tanah orang lain ini baru diketahui ketika si pemilik mendaftarkan tanahnya dan bidang tanah tersebut tidak dapat diklaim karena sudah terdaftar atas nama orang lain.
Kebanyakan tanah-tanah yang overlapping ini kebanyakan tanah adat, yang pewarisannya turun-temurun. Dikarenakan kepemilikan yang turun temurun maka tanpa pengurusan administrasi ahliwaris berpikiran tanah tersebut akan kekal dimiliki, akibat kelalaian tersebut ketika pihak lain sudah mendaftarkan bidang tanah tersebut maka kepemilikan serta merta akan hilang, karena sudah diklaim oleh pihak lain, dan hanya tanah yang terdaftar dengan status tanah negara yang diakui.
Untuk penyelesaian kasus overlapping tersebut biasanya masyarakat adat Banjar akan menyelesaikan melalui dewan adat yang dipimpin oleh tetua adat atau tokoh adat sampai terjadi kesepakatan dalam menyelesaikan kasus tersebut, dan apabila tidak tercapai kata sepakat maka akan ditempuh jalur pengadilan untuk memperoleh kepastian hukum terhadap tanah yang dihaki.
PENUTUP A. Kesimpulan
1. Eksistensi keberadaan masyarakat adat tersebut pada saat ini terlihat dari kepatuhan terhadap adat dan Budaya Banjar. Adat yang masih dapat dilihat sampai sekarang adalah yag dijumpai pada acara-acara Perkawinan, baantar jujuran, mawaris, mandi-mandi, dan kebiasaan kebiasaan yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Dan untuk hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan tanah maka mereka menyelesaikan dengan hukum Positif dalam hal ini Undang-undang No.5 tahun 1960 yang lebih dikenal dengan UUPA, sedangkan adat yang masih dapat dilihat sampai sekarang adalah yang dijumpai pada
364 acara-acara Perkawinan, baantar jujuran, mawaris, mandi-mandi, dan kebiasaan kebiasaan yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
2. Untuk penyelesaian kasus overlapping tersebut biasanya masyarakat adat Banjar akan menyelesaikan melalui dewan adat yang dipimpin oleh tetua adat atau tokoh adat sampai terjadi kesepakatan dalam menyelesaikan kasus tersebut, dan apabila tidak tercapai kata sepakat maka akan ditempuh jalur pengadilan untuk memperoleh kepastian hukum terhadap tanah yang dihaki.
B. Saran
1. Pengakuan eksistensi masyarakat adat yang menjunjung nilai-nilai keadilan agar sebaiknya dipertahankan eksistensinya. Agar generasi muda tidak kehilangan ruh dari budaya adat Banjar.
2. Pemerintah sebaiknya menindak pihak yang cikal bakal melakukan overlapping.
Kepemilikan tanah yang Overlapping di wilayah Kabupaten Banjar mulai marak sejak dikeluarkannya Peraturan Bupati Banjar No.2 tahun 2018 tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran tanah Sistematis Lengkap di Kabupaten Banjar yang lebih dikenal dengan istilah PTSl.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sunggono,2003, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
Bushar Muhammad, 2006 Cet.13, Asas – Asas Hukum Adat (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, , Cet. 13\
Muhammad Erwin ,2011; Filsafat Hukum, Refleksi Kritir Terhadap Hukum; Rajawali Pers, Jakarta
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Peraturan Bupati Banjar No.2 tahun 2018 tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran tanah Sistematis Lengkap di Kabupaten Banjar https://www.qureta.com/post/undang- undang-sultan-adam-dalam-kerajaan banjar,diakses pada 23.50/14 Januari 2022 Suriyaman Mustari Pide & Sri Susyanti Nur; 2009, Dasar-Dasar Hukum Adat, Pustaka Pelita
, Makassar
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang No.5 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
365 Van Vollenhoven, . dalam Yanis Maladi 2009, Het Adatrech van Nederland – Indie: Tweede
Deel, Cetakan Kedua, Leiden,
Wignjodipoera, Soerojo.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat., Jakarta.,PT. Gunung Agung.