• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksplorasi Ketahanan Wanita Dewasa yang Melawan Trauma KDRT

N/A
N/A
kodok

Academic year: 2024

Membagikan "Eksplorasi Ketahanan Wanita Dewasa yang Melawan Trauma KDRT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1209

NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial

available online http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/nusantara/index

EKSPLORASI RESILIENSI WANITA DEWASA YANG MELAMPAUI TRAUMA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

1

Bagus Pangestu, Tabah Aris Nurjaman

Prodi Psikologi, Fakultas Bisnis & Humaniora, Universitas Teknologi Yogyakarta Abstrak

Impian setiap individu, khususnya pasangan yang telah menikah, adalah memiliki rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Namun, masalah dalam rumah tangga sering terjadi, terkadang eskalasi menjadi kekerasan seperti KDRT. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan resiliensi wanita dewasa korban KDRT, dengan aspek yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte (2002). Metode kualitatif digunakan dalam penelitian ini, melibatkan tiga partisipan wanita dewasa awal berusia 20-36 tahun yang memenuhi kriteria tertentu. Data dikumpulkan melalui wawancara semi terstruktur, observasi non-partisipan, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek mampu mencapai resiliensi meskipun mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Resiliensi tercermin dalam kemampuan mengendalikan emosi, keinginan, optimisme, empati, analisis sebab masalah, efikasi diri, dan meningkatkan aspek positif dari kejadian traumatis. Ketiga subjek juga berhasil mengembangkan resiliensi di tengah kekerasan yang dialami.

Kata Kunci: dewasa, KDRT, resiliensi.

PENDAHULUAN

Dalam tingkatan yang lebih tinggi seseorang akan merasakan kehidupan yang berbeda, seseorang tidak selamanya akan hidup dengan orang tua, melainkan ia akan hidup dengan pasangannya melalui ikatan

*Correspondence Address : [email protected] DOI : 10.31604/jips.v10i3.2023.1209-1217

© 2023UM-Tapsel Press

pernikahan yang nantinya membentuk hubungan rumah tangga. Tujuan utama dari pembentukan ikatan pernikahan adalah untuk menciptakan sebuah unit keluarga atau rumah tangga yang penuh kebahagiaan serta mengarahkan kehidupan ke arah yang lebih baik.

(2)

1210 Dalam konteks agama Islam, pernikahan dianggap sebagai salah satu bentuk upacara ibadah yang diikat dengan perjanjian yang mulia dan sakral.

Pernikahan pada hakikatnya merupakan titik awal dari kehidupan baru bagi kedua calon mempelai yang terlibat.

Proses pernikahan bertujuan untuk menyatukan pasangan hidup yang baik, di mana seorang istri atau suami akan berperan sebagai pasangan yang saling mendukung. Keduanya saling membutuhkan serta saling menghargai satu sama lain, demi menciptakan suasana yang damai, harmonis, dan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat kelak (Anisyah, 2020).

Rumah tangga yang bahagia merupakan suatu impian bagi semua orang terutama pada pasangan yang telah menikah. Kebahagiaan dalam sebuah rumah tangga dapat dicapai melalui kemampuan anggota keluarga untuk menghargai satu sama lain, serta melakukan pengambilan keputusan bersama yang menciptakan hubungan yang harmonis, saling pengertian, dan menghormati kekurangan masing- masing individu. Dalam konteks kehidupan rumah tangga, penting bagi setiap anggota keluarga untuk menjalankan peran yang mereka miliki secara efektif dan efisien guna menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pencapaian kebahagiaan bersama.

Keberhasilan dalam mewujudkan kondisi ini merupakan hasil dari komunikasi yang baik, saling mendukung, dan saling menghargai antara anggota keluarga. Robert Waldinger (dalam Fatimah & Nuqul, 2018) mengatakan tiga point utama yang menentukan kebahagiaan, yakni jalinan hubungan yang dekat, kualitas suatu hubungan, serta pernikahan yang stabil dan saling mendukung

Pada zaman sekarang suatu masalah dalam rumah tangga sudah menjadi hal yang biasa, tetapi tidak jarang juga masalah yang ada didalam

rumah tangga menjadi suatu masalah yang besar, hingga menyebabkan kekerasan didalamnya seperti KDRT atau biasa disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan Undang-Undang Repbulik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 1 “kekerasan rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Penyebab adanya kekerasan dalam rumah tangga sangatlah komplek seperti hubungan rumah tangga yang tidak harmonis, kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, terjadinya perselingkuhan, serta pemikiran yang salah berkaitan dengan kekuasaan terhadap laki-laki sehingga laki-laki bisa bertindak semaunya. Syahfitri (2007) menyatakan bahwa terdapat berbagai faktor yang melatarbelakangi kekerasan dalam rumah tangga. Faktor-faktor tersebut meliputi aspek ekonomi yang menjadi salah satu pendorong utama, kehadiran pihak ketiga yang berpotensi memicu konflik dalam hubungan, pemahaman yang salah mengenai ajaran agama yang dapat mengekalkan kekerasan dalam rumah tangga, adanya role model yang tidak sesuai yang mempengaruhi perilaku individu, serta kondisi psikis yang menjadi faktor penting dalam mempengaruhi tindakan kekerasan.

Angka kekerasan dalam rumah tangga setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan, hal ini menunjukan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga menjadi sorotan utama didalam tindakan kekerasan. Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) 2020, jumlah insiden

(3)

1211 kekerasan terhadap perempuan (KtP) mencapai 299.911 kasus. Insiden ini melibatkan: (1) Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama dengan 291.677 kasus; (2) Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan dengan 8.234 kasus; dan (3) Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) yang mencatat 2.389 kasus (Komnas Perempuan, 2020). Dari jumlah tersebut, 2.134 kasus merupakan kekerasan berbasis gender, sementara 255 kasus lainnya tidak berbasis gender atau hanya memberikan informasi.

Kasus yang paling dominan terjadi dalam Ranah Personal (RP) atau yang juga dikenal sebagai Kasus Dalam Rumah Tangga/Ranah Personal (KDRT/RP), mencakup 79% (6.480 kasus) dari total insiden. Di antara kasus-kasus ini, Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menduduki peringkat pertama dengan 3.221 kasus (50%), diikuti oleh kekerasan dalam hubungan pacaran sejumlah 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Kekerasan terhadap anak perempuan menempati peringkat ketiga dengan 954 kasus (15%), sementara kasus-kasus lainnya meliputi kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Dampak dari kekerasan dalam rumah tangga menjadi suatu hal yang sangat merugikan, karena dampak yang akan dialami akan menjadi sesuatu yang berkepanjangan. Hal yang sering terjadi pada korban kekerasan rumah tangga yaitu mengalami kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Dalam konteks rumah tangga, kekerasan dapat dikategorikan menjadi empat bentuk utama, meliputi:

(1) kekerasan fisik, seperti memukul, menendang, melukai, dan bahkan membunuh; (2) kekerasan seksual, yang mencakup pelecehan seksual seperti menyentuh bagian tubuh sensitif hingga tindakan pemerkosaan, termasuk kekerasan seksual dan pemerkosaan dalam lingkungan keluarga; (3) kekerasan psikologis, contohnya adanya

perselingkuhan; dan (4) kekerasan ekonomi, yang bisa berarti penelantaran tanggung jawab dalam rumah tangga (Rofiah, 2017). Semua bentuk kekerasan tersebut merupakan pelanggaran yang dapat diadili secara hukum. Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga juga dapat melibatkan tindakan kekerasan verbal, seperti membentak dan menghina, kekerasan sosial, seperti larangan berinteraksi dengan keluarga atau tetangga, serta kekerasan spiritual, seperti melarang seseorang menjalankan ritual agama sesuai keyakinan atau mazhabnya (Rofiah, 2017).

Seseorang yang telah berumah tangga pada umumnya sudah memasuki masa dewasa awal. Pada masa dewasa awal seseorang sangat membutuhkan suatu kemampuan yang dapat membuat dirinya bangkit dari kondisi yang sangat sulit, hal tersebut bisa didapatkan dengan adanya resiliensi yang ditanamkan pada diri sendiri, karena pada dasarnya beban orang dewasa jauh lebih meningkat dibandingkan pada saat remaja. Menurut Glicken (dalam Deborah dkk., 2018), resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk pulih dari situasi yang mengganggu atau merugikan, dengan mengatasi dampak negatif yang kerap menghalangi pencapaian individu tersebut.

Menurut Hurlock (1980), masa dewasa dini berlangsung antara usia 18 hingga sekitar 40 tahun, yang ditandai dengan penurunan kemampuan reproduktif serta perubahan fisik dan psikologis. Masa ini merupakan periode adaptasi terhadap pola hidup baru dan ekspektasi sosial yang baru, di mana individu dewasa muda diharapkan mengemban peran baru seperti suami/istri, orang tua, dan pencari nafkah serta mengadopsi sikap, keinginan, dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas yang diemban.

Resiliensi seseorang mengacu kepada kemampuan dan keinginan

(4)

1212 seseorang dalam meghadapi kesulitan.

Menurut Grotberg (dalam Maslahah &

Khoirunnisa, 2020), terdapat tiga sumber keberhasilan yang dapat mendukung seseorang dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi, yaitu I Have, I Am, dan I Can. I Have merujuk pada dukungan eksternal dan sumber internal yang meningkatkan fleksibilitas individu dalam mengembangkan rasa aman dan selamat. I Am melibatkan kekuatan batin yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Sementara itu, I Can menggambarkan kemampuan individu untuk berinteraksi dengan orang lain, mengendalikan perilaku, dan menyelesaikan masalah dalam berbagai konteks kehidupan.

Menurut Reivich dan Shatte (2002) terdapat tujuh faktor utama yang berkontribusi terhadap resiliensi.

Faktor-faktor tersebut meliputi:

a. Regulasi Emosi

Regulasi emosi merujuk pada kapabilitas seseorang untuk mempertahankan ketenangan di tengah situasi yang menegangkan. Studi menunjukkan bahwa individu yang kurang mampu mengelola emosi cenderung mengalami kesulitan dalam menjalin dan mempertahankan hubungan interpersonal.

b. Pengendalian Impuls

Pengendalian impuls mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengontrol hasrat, hawa nafsu, preferensi, dan tekanan internal.

Individu dengan kontrol impuls yang buruk akan mengalami perubahan emosi secara cepat yang dapat mempengaruhi pemikiran dan perilaku mereka. Sebagai akibatnya, mereka sering menunjukkan perilaku yang mudah tersinggung, tidak sabar, impulsif, dan agresif.

c. Optimisme

Individu yang tangguh biasanya optimis, yaitu memandang masa depan dengan harapan cerah dan kebahagiaan.

Optimisme yang dimiliki seseorang menunjukkan keyakinan dalam kemampuan mereka untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi di masa mendatang.

d. Analisis Penyebab Masalah (Causal Analysis)

Analisis penyebab masalah merupakan keterampilan individu dalam mengidentifikasi secara tepat sumber permasalahan yang dihadapi. Individu yang gagal mengenali penyebab permasalahan dengan akurat cenderung terjebak dalam siklus kesalahan yang berulang.

e. Empati

Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami kondisi emosional dan psikologis orang lain.

Beberapa individu mampu menginterpretasikan isyarat nonverbal yang diberikan orang lain, seperti ekspresi wajah, nada suara, bahasa tubuh, dan merasakan apa yang dipikirkan atau dirasakan orang tersebut.

f. Efikasi Diri

Efikasi diri, atau keyakinan dalam kemampuan seseorang untuk mengatasi masalah dan meraih kesuksesan, merupakan faktor kognitif penting dalam mencapai resiliensi.

Efikasi diri mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam menghadapi permasalahan.

g. Reaching Out

Resiliensi melampaui kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan bangkit dari keadaan yang buruk, mencakup juga kemampuan untuk meraih aspek positif kehidupan setelah mengalami kesulitan.

METODE PENELITIAN

Dalam studi ini, metode penelitian kualitatif diaplikasikan untuk

(5)

1213 memahami fenomena yang dialami oleh subjek melalui pendekatan studi kasus.

Sugiyono (2016) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif merupakan metode yang digunakan dalam kondisi alami objek, di mana peneliti berfungsi sebagai instrumen utama. Metode ini kerap disebut metode naturalistik karena berlangsung dalam lingkungan alami.

Fokus penelitian ini adalah untuk menggambarkan resiliensi pada wanita dewasa korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Data dalam penelitian ini diperoleh dari subjek penelitian dan individu yang relevan. Tujuan pengumpulan data adalah untuk memperoleh informasi akurat mengenai kasus yang diteliti. Arikunto (2010) mendefinisikan subjek penelitian sebagai individu yang menjadi sasaran penelitian, dan responden sebagai individu yang diminta memberikan informasi tentang fakta atau pendapat, baik secara tertulis maupun lisan.

Subjek penelitian ditentukan melalui Teknik Purposive Sampling, yang merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2016).

Dalam studi ini, kriteria responden meliputi tiga perempuan dengan rentang usia 18-40 tahun, sejalan dengan penjelasan Hurlock (1980) yang menyatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun hingga sekitar 40 tahun, di mana perubahan fisik dan psikologis terjadi seiring dengan penurunan kemampuan reproduktif. Masa tersebut merupakan periode adaptasi terhadap pola kehidupan dan ekspektasi sosial yang baru. Selanjutnya, kriteria melibatkan responden yang memiliki usia pernikahan antara 1-5 tahun, sebagaimana diungkapkan oleh Salirawati dkk. (2013) yang menemukan bahwa persentase tertinggi responden yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah mereka yang

berada pada usia pernikahan 1-5 tahun (22,292 %). Fenomena ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa pada tahap awal pernikahan, pasangan umumnya sedang berusaha mencapai kesesuaian dan adaptasi satu sama lain, sehingga kesalahpahaman dan pertengkaran kecil sangat mungkin terjadi.

Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Peneliti melakukan wawancara langsung dengan subjek penelitian, sehingga pernyataan dari subjek menjadi sumber data utama (Sugiyono, 2016).

Analisis data menggunakan Model Miles dan Huberman, yang mencakup pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan verifikasi/kesimpulan. Analisis ini dilakukan selama dan setelah pengumpulan data (Sugiyono, 2016).

Pengujian kredibilitas data dilakukan dengan teknik Triangulasi, melibatkan triangulasi teknik, sumber, dan waktu (Sugiyono, 2016). Triangulasi digunakan untuk memeriksa keabsahan data dengan membandingkan data dari berbagai sumber, cara, dan waktu (Moleong, 2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini penulis menggunakan aspek resiliensi oleh Reivich dan Shatte (2002) Resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan, peneliti menemukan temuan hasi sebagai berikut :

1. Regulasi Emosi (Emotional Regulation)

Dalam aspek ini setiap subjek relatif sama dalam menerapkannya, dimana setiap subjek mampu untuk mengatur dan mengontrol emosinya agar tetap tenang meskipun berada dibawah tekanan. Pada subjek pertama subjek mengontrol emosinya dengan cara tidak melawan dan memilih

(6)

1214 meninggalkan suaminya yang sedang marah sampai suaminya berhenti untuk memarahinya. Sedangkan pada subjek kedua subjek mengaku lebih banyak menangis dan sabar ketika dimarahi oleh suaminya. Dan pada subjek ketiga ketika subjek mengontrol emosinya subjek lebih memilih diam dan sabar tanpa melawan ke suaminya walaupun suaminya terus menerus memarahinya karena melihat seorang anak yang masih memerlukan kasih sayang kedua orang tuanya.

Dalam hal ini, Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan bahwa regulasi emosi adalah keterampilan untuk mempertahankan ketenangan dalam situasi yang menekan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa individu yang kurang mampu mengelola emosi cenderung mengalami kesulitan dalam membentuk dan menjaga hubungan interpersonal yang baik. Sebaliknya, kemampuan yang kuat dalam mengatur emosi akan memudahkan seseorang dalam menangani respon yang muncul saat berinteraksi dengan orang lain dan dalam beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Reivich dan Shatte (2002) menyatakan bahwa individu yang resilien mampu mengontrol emosi mereka, terutama saat menghadapi tantangan atau kesulitan, untuk tetap fokus pada tujuan yang ingin dicapai.

2. Pengendalian Implus (Impuls Control)

Dalam aspek pengendalian impuls pada saat wawancara dari ketiga subjek jawabannya tidak jauh berbeda dengan subjek lainnya, dimana subjek mampu untuk mengontrol dorongan- dorongan yang ada dalam diri subjek, ketika menghadapi suaminya yang sedang marah begitupun ketika orang lain mengetahui hubungan rumah tangganya. Dalam hal ini subjek pertama didalam wawancaranya lebih memilih mencoba untuk menanyakan terlebih dahulu permasalahan yang terjadi

kepada suaminya dan tidak memperdulikan omongan dari orang lain terkait rumah tangganya, sedangkan pada subjek kedua subjek memilih untuk berfikir positif terlebih dahulu dari setiap permasalahan yang terjadi dan tidak memikirkan omongan dari orang lain. Dan pada subjek ketiga subjek lebih memilih sabar dan tidak melawan karna subjek yakin bahwasannya dibalik adanya permasalahan pasti ada kebahagiaan, dan ketika orang lain mengetahui hubungan rumah tangganya ia tidak marah, tetapi subjek akan menutupi permasalahan yang terjadi didalam nya.

Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan bahwa pengendalian impuls adalah kecakapan individu untuk mengelola dorongan, keinginan, kesukaan, dan tekanan yang berasal dari dalam dirinya. Individu yang memiliki keterbatasan dalam kemampuan pengendalian impulsnya cenderung menunjukkan perubahan emosi yang cepat dan sulit untuk mengontrol, yang pada akhirnya berdampak pada perilaku dan pemikirannya. Kondisi ini bisa ditandai dengan perilaku impulsif, mudah tersulut emosi, kurang sabar, dan agresif. Hal ini dapat mengganggu hubungan sosial individu dengan orang lain, sehingga perilaku tersebut dapat menghasilkan dampak yang negatif pada interaksi sosial. Oleh karena itu, kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat tergantung pada kemampuan regulasi emosinya.

3. Optimis (Optimisme)

Dalam aspek optimis yang mengungkap keyakinan dan kepercayaan bahwa kondisi dapat berubah menjadi lebih baik, dan keyakinan terhadap masa depan. Dalam aspek ini ketiga subjek memiliki keyakinan tidak jauh berbeda, dimana subjek memiliki keyakinan dan kepercayaan bahwa kondisi dapat

(7)

1215 berubah menjadi lebih baik. Hal ini dibuktikan dari wawancara dari setiap subjek, subjek pertama meyakini bahwasannya dari setiap masalah yang subjek hadapi, itu adalah bentuk cobaan didalam rumah tangga dan subjek yakin dari setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Sedangkan pada subjek kedua subjek memiliki keyakinan pada dirinya sendiri dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Dan pada subjek ketiga subjek memiliki keyakinan untuk selalu berfikir positif bahwasannya dari setiap permasalahan pasti ada kebahagiaan dan lama kelamaan pasti semuanya akan berubah, subjek pun optimis dengan apa yang dilakukannya karena adanya dorongan dari seorang anak.

Menurut Reivich dan Shatte (2002), individu yang memiliki sifat resilien adalah individu yang memiliki pandangan optimis terhadap masa depan. Optimisme merupakan sikap positif seseorang dalam melihat masa depannya sebagai penuh kebahagiaan dan kesuksesan. Adanya optimisme dalam diri individu juga menunjukkan keyakinan individu bahwa dirinya mampu mengatasi tantangan dan rintangan yang mungkin dihadapinya di masa depan.

4. Analisis Penyebab Masalah (Casual Analysis)

Aspek casual analysis mengungkap bagaimana subjek mampu untuk menganalisis masalah dan mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat. Dalam aspek ini ketiga subjek sudah mampu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan sehat. Pada subjek pertama subjek menyimpulkan bahwasannya penyebab adanya permasalahan karena watak suami yang keras, sehingga subjek memilih jalan untuk bercerai agar tidak terjadi permasalahan yang sama begitupun yang terjadi pada subjek kedua sama halnya seperti subjke ke

satu. Sedangkan pada subjek ketiga subjek menganggap bahwasannya permasalahan itu muncul karena kurangnya komunikasi didalam rumah tangga sehingga menyebabkan permasalahan dan kesalah pahaman diantara keduanya.

Menurut Reivich dan Shatte (2002), kemampuan individu dalam melakukan analisis kausalitas merupakan suatu hal yang penting dalam mengidentifikasi masalah yang dihadapinya dengan akurat. Individu yang tidak memiliki kemampuan tersebut cenderung akan mengulangi kesalahan yang sama. Dalam konteks ini, keberhasilan individu dalam menghadapi tantangan dan mengatasi masalah terkait dengan tingkat fleksibilitas kognitif yang dimilikinya.

Individu yang resilien mampu mengenali berbagai faktor penyebab kegagalan dan kejadian yang tidak diinginkan. Mereka tidak condong untuk menyalahkan orang lain demi menjaga harga diri atau menghindari rasa bersalah. Sebaliknya, mereka akan fokus untuk mengendalikan situasi dan menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

Hal ini memungkinkan individu untuk memanfaatkan energi mereka secara efektif dalam meraih kesuksesan.

5. Empati (Empathy)

Dalam hal ini penulis ingin mengungkapkan kemampuan subjek dalam merasakan sinyal-sinyal dari orang lain mengenai kondisi psikologis dan emosional untuk kemudian menentukan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa dari ketiga subjek memiliki rasa empati terhadap orang lain, dimana ketika subjek pertama ditanya tentang jika ada orang lain menceritakan hal yang sama atau mengalami hal yanag sama seperti yang subjek alami subjek langsung merasa kasihan dan sedih terhadap orang tersebut, lalu subjek kedua pun

(8)

1216 menunjukan reaksi yang sama yaitu merasa kasihan, sedih, dan ikut sakit walaupun itu orang lain yang mengalaminya. Sedangkan subjek ketiga lebih memilih untuk bisa menenagkannya dan memberikan semangat agar orang tersebut bisa bangkit dari permasalahan yang dihadapinya.

Menurut Reivich dan Shatte (2002), kemampuan empati berkaitan dengan bagaimana seseorang dapat membaca tanda-tanda emosional dan psikologis orang lain. Beberapa individu dapat menginterpretasikan bahasa nonverbal seperti ekspresi wajah, intonasi suara, dan bahasa tubuh, serta mampu mengetahui perasaan dan pemikiran orang lain. Kemampuan empati ini berhubungan positif dengan keterampilan sosial yang baik.

Sebaliknya, individu dengan empati rendah cenderung meniru pola perilaku individu yang kurang resilien, yaitu mengabaikan keinginan dan emosi orang lain.

6. Efikasi Diri (Self Efficacy) Dalam hal ini peneliti ingin mengungkap keyakinan subjek terhadap diri sendiri dalam menyelesaikan masalah dan mencapai kesuksesan.

Dalam hal ini subjek pertama, kedua, dan ketiga sudah memiliki keyakinan pada dirinya sehingga tidak mudah menyerah terhadap berbagai kesulitan. Pada subjek pertama subjek sudah bisa saling menguatkan diantara keduanya dengan cara saling mendukung dan memberikan semangat antara satu sama lain agar bisa merubah diri masing-masing menjadi lebih baik lagi dan tidak terjadi permasalahan yang sama. Pada subjek kedua yang tadinya hanya memilih menangis dan sabar, subjek memiliki keyakinan yaitu untuk berani melawan suaminya dengan cara berbicara baik- baik agar suami bisa berubah dan subjek juga yakin kepada tuhan dengan cara selalu berdoa. Sedangkan pada subjek

ketiga subjek yakin bahwasannya dengan adanya komunikasi yang baik, sikap terbuka, dan saling jujur diantara keduanya permasalahan yang terjadi didalam rumah tangga tidak akan terjadi lagi.

Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan bahwa efikasi diri, yang merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam memecahkan masalah dan meraih keberhasilan, sangatlah penting dalam mencapai resiliensi. Dalam konteks permasalahan, efikasi diri merupakan faktor kognitif yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Dengan memiliki keyakinan dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah, individu dapat menemukan solusi yang tepat dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan.

Oleh karena itu, efikasi diri memainkan peran yang krusial dalam mencapai ketangguhan mental.

7. Reaching Out

Reaching out mengungkap kemampuan individu untuk mencapai aspek positif didalam hidup, lalu keluar dari kondisi yang sulit dan bangkit dari keterpurukan yang menimpanya. Dalam hal ini subjek pertama untuk mengatasi kemalangan yang menimpa dirinya subjek selalu pulang dulu kerumah orangtua nya lalu ketika tenang subjek kembali lagi kerumah suaminya dan subjek pun mampu mengambil aspek postif didalam kejadian yang menimpanya sehingga bisa dijadikan motivasi untuk bangkit dari keterpurukan. Lalu subjek kedua pun bisa bangkit dari keterpurukannya dan mampu mengambil aspek-aspek positif dari kejadian tersebut untuk dijadikan pengalaman hidup kedepannya agar bisa lebih hati-hati. Sedangkan pada subjek ketiga subjek yakin dengan semua yang dilakukannya akan memberikan suatu kebahagiaan didalam hidupnya sehingga mampu bangkit dari keterpurukan yang menimpanya dan subjek pun mampu

(9)

1217 mengambil sisi positif dari setiap permasalahan yang telah dilaluinya.

Reivich dan Shatte (2002) menyatakan bahwa konstruk resiliensi tidak sekadar terbatas pada kemampuan individu dalam mengatasi kesulitan dan kegagalan hidup, melainkan juga mencakup kemampuan individu dalam memperoleh dampak positif dari pengalaman buruk yang telah dialami.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa resiliensi dimiliki oleh setiap subjek dalam penelitian ini. Kemampuan resiliensi subjek tercermin dari kemampuan mereka dalam mengendalikan emosi dan keinginan, bersikap optimis, berempati, menganalisis penyebab masalah, memiliki efikasi diri, serta meningkatkan aspek positif dari kejadian yang telah terjadi. Selain itu, ketiga subjek juga mampu mengembangkan resiliensi pada diri mereka meskipun mengalami tindakan kekerasan yang terus berulang.

Resiliensi mampu menciptakan dan mempertahankan sikap positif pada subjek, sehingga memberikan rasa percaya diri dalam mengambil tanggung jawab baru, tidak menyerah dalam menghadapi seseorang yang ingin dikenal, mencari pengalaman yang memberi tantangan untuk mempelajari diri sendiri, serta menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang lain di sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

Anisyah. (2020). Makna pernikahan dalam perspektif tasawuf. Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, 20(1), 101-113.

Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian Ssatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Deborah, S. dkk. (2018). Trauma dan resiliensi Pada wanita penyintas kekerasan dalam rumah tangga. Jurnal Ilmiah Psikologi MANASA, 7(2), 121-130.

Fatimah, M. & Nuqul, F. L. (2018).

Kebahagiaan ditinjau dari status pernikahan dan kebermaknaan hidup. Jurnal Psikologi, 14(2), 145-153.

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Komnas Perempuan. (5 Maret 2021).

Catatan Tahunan 2020: Lembar Fakta dan Poin Kunci. https://komnasperempuan.go.id/siaran- pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan- lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021.

(Diakses pada 2 Maret 2023 Pukul 21.00 WIB) Maslahah, H & Khoirunnisa, R. N.

(2020). Resiliensi pada remaja korban kekerasan dalam rumah tangga. Jurnal Penelitian Psikologi, 7(2), 102-111.

Moleong, L.J. (2014). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Reivich, K. & Shatte, A. (2002). The resilience factor: 7 keys to finding your inner strength snd overcoming life’s hurdles. Newyork:

Broadway Book.

Rofiah, N. (2017). Kekerasan dalam rumah tangga dalam perspektif Islam. Jurnal Ilmiah Sosial Dan Budaya, 2, 31-44.

Salirawati, D. dkk. (2013) Survei terhadap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) wanita karier di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Penelitian Humaniora, 18(1), 61-69.

Sugiyono. (2016). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta.

Syahfitri, I. (2007). Upaya polri Dalam mengungkap kekerasan dalam rumah tangga/KDRT: Studi di polres Lamongan [Skripsi]. FH Universitas Brawijaya Malang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Referensi

Dokumen terkait