• Tidak ada hasil yang ditemukan

EUFEMISME DAN DISFEMISME DALAM NOVEL “KORUPSI”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "EUFEMISME DAN DISFEMISME DALAM NOVEL “KORUPSI” "

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

198

EUFEMISME DAN DISFEMISME DALAM NOVEL “KORUPSI”

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Vioni Saputri, Syahrul Ramadhan, Yasnur Asri

Universitas Negeri Padang

Jalan Belibis, Air Tawar Barat, Padang, Sumatera Barat Surel: vioni.saputri_@student.unp.ac.id

Informasi Artikel:

Dikirim: 15 Mei 2019; Direvisi: 20 Juli 2019; Diterima: 24 Juli 2019 DOI: 10.26858/retorika.v12i2.9149

RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra dan Pengajarannya berada di bawah lisensi Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.

ISSN: 2614-2716 (cetak), ISSN: 2301-4768 (daring) http://ojs.unm.ac.id/retorika

Abstract: Eufimism and Disphemism in "Corruption" Novel by Pramoedya Ananta Toer.

The purpose of this study is to explain the form and function of the use of euphemism and disfemism in the novel "Corruption" by Pramoedya Ananta Toer. This type of research includes descriptive research. The data collection technique used is the note-reading technique. Data analysis used agih and equivalent methods. The validity of the data is obtained through intrarater and interrater. The results of this study are classifications of euphemism and disfemism. The classification is classified into words, phrases and sentences. In addition, the background to the use of euphemism and disfemism is the form in the novel "Corruption" in this study.

Keywords: euphemism, dysfemism, novel Novel

Abstrak: Eufemisme dan Disfemisme dalam Novel “Korupsi” Karya Pramoedya Ananta Toer. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan bentuk dan fungsi dari penggunaan eufemisme dan disfemisme dalam novel “Korupsi” karya Pramoedya Ananta Toer. Jenis penelitian termasuk penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik membaca catat. Analisis data yang digunakan metode agih dan padan. Keabsahan data diperoleh melalui intrarater dan interrater. Hasil penelitian ini adalah klasifikasi dari eufemisme dan disfemisme.

Klasifikasi tersebut digolongkan menjadi kata, frasa dan kalimat. Selain itu, latar belakang penggunaan eufemisme dan disfemisme merupakan wujud yang ada dalam novel “Korupsi” ini dalam kajian ini.

Kata Kunci: eufemisme, disfemisme, novel

(2)

199 Karya sastra merupakan ungkapan pribadi manusia berupa ide, gagasan, pengalaman, pemi- kiran, ataupun keyakinan dalam bentuk suatu gambaran kehidupan yang dapat dilukiskan da- lam bentuk tulisan. Sebuah karya sastra tercipta berdasarkan imajinasi pengarang (Istiqomah, 2014:2). Kenyataan atau kebenaran dalam karya sastra tidak mungkin disamakan dengan kenya- taan atau kebenaran di sekitar (Suharianto, da- lam Istiqomah, 2014:2). Novel menjadi bagian dari karya sastra yang hingga kini masih digand- rungi oleh penikmat dan pembaca.

Dalam novel, bahasa yang digunakan ten- tunya sebagai penyampai informasi kepada pe- nikmat maupun pembacanya. Tentu bahasa yang disampaikan dapat diterima oleh pembaca. Na- mun demikian, dalam penggunaan bahasa se- buah novel dapat melambangkan hal-hal seperti penggunaan unsur eufemisme dan disfemisme.

Eufemisme dan disfemisme ini merupakan bagian dari gaya bahasa. Dalam sebuah karya sastra, tentunya ada disampaikan ungkapan ter- sebut. Bentuk yang disampaikan dari majas ini tidak terlepas dari sebuah bahasa. Majas tersebut dapat menghormati pembaca bahkan juga dapat menyindir. Namun demikian, konteksnya dise- suaikan dengan kondisi dan tidak langsung ter- tuju secara langsung kepada pihak-pihak yang disindir.

Menurut Tarigan (2009:125–126), Hojati (2012: 553), Sutana (2012: 82), Laili (2016: 29), Sunarni (2017: 121), Norashikin, dkk (2017: 90), Almoayidi (2018: 3), dan Ojebuyi (2018:3) eufemisme adalah suatu peng- gunaan bahasa yang merupakan ungkapan-ung- kapan halus untuk menggantikan ungkapan-ung- kapan kasar atau kesat. Kurniawati (2011: 51), Khasan, dkk (2014: 2), Juwita (2018: 34), dan Pascarina (2018: 3) menjelaskan bahwa disfe- misme adalah gaya bahasa yang digunakan un- tuk memperkasar agar terkesan negatif bagi mit- ra tutur. Jadi, dapat disimpulkan bahwa eufe- misme adalah perubahan makna dalam bahasa (penghalusan makna), sedangkan disfemisme adalah pengasaran makna.

Ditinjau dari latar belakang penggunaan- nya, eufemisme dan disfemisme memiliki berba- gai latar belakang (Allan dalam Kurniawati, 2011:52). Latar belakang penggunaan eufemis- me (1) menghindari penggunaan kata-kata yang dapat menimbulkan kepanikan atau ketakutan, (2) tidak menyinggung, menghina, atau meren- dahkan seseorang, (3) mengurangi atau tidak

menyinggung hal-hal yang menyakitkan atau tragedi, (4) berdiplomasi atau bertujuan retoris, (5) menggantikan kata-kata yang dilarang, tabu, vulgar atau bercitra negatif, (6) merahasiakan se- suatu, (7) menghormati atau menghargai orang lain, dan (8) menyindir atau mengkritik. Selan- jutnya, disfemisme latar belakang penggunaan- nya ada sepuluh, yaitu (1) menyatakan hal yang tabu, tidak senonoh, asusila, (2) menunjukkan rasa tidak suka atau tidak setuju terhadap sese- orang atau sesuatu, (3) penggambaran yang ne- gatif tentang seseorang atau sesuatu, (4) meng- ungkapkan kemarahan atau kejengkelan, (5) me- ngumpat atau memaki, (6) menunjukkan rasa ti- dak hormat atau merendahkan seseorang, (7) mengolok-olok, mencela, atau menghina, (8) melebih-lebihkan sesuatu, (9) menghujat atau mengkritik, dan (10) menunjukkan sesuatu hal yang bernilai rendah.

Dalam novel “Korupsi” karya Pramoedya Ananta Toer, ditemukan unsur eufemisme dan disfemisme guna menyampaikan pesan kepada pembaca secara sopan dan mengungkapkan kri- tisi untuk seseorang mengenai realitas secara langsung. Pramoedya Ananta Toer merupakan pengarang dengan ciri khas tulisan yang meng- uraikan persoalan biografi, persoalan sejarah, dan kebanyakan bertendensi pada kemanusiaan, dan nilai-nilai humanis. Dari karya-karya terse- but banyak penghargaan yang diraih oleh sosok Pramoedya Ananta Toer, dimulai pada tahun 1988 hingga tahun 2000 beliau mengantongi se- banyak sebelas penghargaan.

Eufemisme dan disfemisme ini merupakan bagian dari majas. Perlu diungkapkannya dalam novel ini karena melibatkan kepada bentuk yang ditemukan, yaitu bentuk kata, frasa, serta kalimat yang sekiranya telah tertera dan sesuai dengan kajian topik tersebut. Penelitian ini penting dila- kukan karena untuk menambah wawasan dalam membedakan ungkapan yang pantas atau tidak- nya dan juga berpengaruh terhadap pengarang.

Adanya eufemisme dan disfemisme ini memban- tu pengarang menyampaikan isi pemikirannya yang akan dituangkan dalam tulisannya sesuai dengan situasi yang sedang berlangsung tanpa maksud menyinggung secara menohok pada pi- hak-pihak tertentu. Lewat eufemisme dan disfe- misme inilah penyampaian gagasan dapat digu- nakan sesuai konteksnya. Tujuan dan maksud penulis dapat tersampaikan denga tepat.

Penelitian tentang eufemisme maupun dis- femisme telah banyak dilakukan, yakni pada pe-

(3)

nelitian Khalidi dan Ernawita (2016) dengan judul “Unsur-unsur Eufemisme dalam Novel Ja- lan Retak Karya A. Samad Said” bahwa terdapat 35 unsur eufemisme yang dijumpai dalam novel retak. Selanjutnya, penelitian dari Meilasari, dkk. (2016) dengan judul “Analisis Terjemahan Ungkapan Eufemisme dan Disfemisme pada Teks Berita Online BBC” bahwa ditemukan eks- presi eufemisme dan disfemisme dalam 20 teks berita BBC dan terjemahannya.

Sebuah penelitian cenderung diperlukan kebaruan. Namun demikian, dalam penelitian ini, biasanya hanya berfokus pada surat kabar.

Terdapat juga dapat novel, tetapi tidak banyak ditemukan dan juga hanya berfokus terhadap satu topik yang akan dikaji. Berbeda dengan pe- nelitian ini, penulis memfokuskan pada dua to- pik, yakni eufemisme dan disfemisme. Objek yang dipilih penulis, yaitu novel “Korupsi” kar- ya Pramoedya Ananta Toer karena novel terse- but belum dijadikan objek sebuah penelitian sas- tra. Pandangan penulis pun memilih novel “Ko- rupsi” ini, dikarenakan penggunaan bahasa yang disampaikan pengarang lewat novel ini sesuai dengan topik yang peneliti kaji.

Novel “Korupsi” ini dipilih berdasarkan pertimbangan peneliti, yakni profil pengarang yang cenderung mengangkat cerita berdasarkan nilai-nilai humanisme. Dalam kehidupan berma- syarakat penggunaan ungkapan eufemisme dan disfemisme telah banyak dilakukan. Kajian ini menurut penulis cocok karena sesuai konteks- nya. Alasan penulis juga memilih novel ini dika- renakan pembicaraan yang dikupas dalam novel ini tidak pernah hilang dari dahulu hingga seka- rang. Berdasarkan alasan tersebut penulis ber- maksud agar dapat menunjukkan Pramoedya ini penulis yang selalu menuangkan gagasannya le- wat karya-karya bersifat humanis yang disesuai- kan dengan situasi yang sedang berlangsung saat itu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui klasifikasi eufemisme dan disfe- misme yang disampaikan dalam novel “Korupsi”

ini.

METODE

Penelitian mengenai eufemisme dan disfe- misme dalam novel “Korupsi” karya Pramoedya Ananta Toer termasuk penelitian deskriptif kua- litatif. Data diperoleh dari novel “Korupsi”.

Sumber data penelitian ini berupa wacana novel

“Korupsi”. Fokus penelitian ini adalah bentuk dan latar belakang dari penggunaan eufemisme dan disfemisme dalam novel “Korupsi” karya Pramoedya Ananta Toer.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca dan tek- nik catat. Kedua teknik ini menjadi satu kesatuan yang saling bergantian dilakukan. Metode ana- lisis data menggunakan metode padan dan agih.

Metode padan merupakan cara yang digunakan untuk menganalisis data yang alat penentunya di luar dan terlepas dari bahasa yang bersangkutan.

Metode padan yang digunakan adalah teknik padan referensial, yakni bersifat mental dari pe- neliti yang digunakan berupa kata kerja, benda, dan sebagainya. Metode agih adalah metode yang alat penentunya justru bagian dari bahasa itu sendiri. Metode agih yang digunakan adalah (1) teknik sisip, yakni dengan melesapkan unsur, (2) teknik lesap, yakni dengan menyisipkan un- sur tertentu di unsur lingual yang ada, dan (3) teknik ganti, yakni menggartikan unsur lingual yang bersangkutan.

Keabsahan data diperoleh melalui dua hal yang dilakukan, yaitu intrarater dan interrater.

Intrarater dilakukan bersama dengan peneliti untuk mencermati dan meneliti kembali data yang diperoleh dan meneliti kembali data-data yang telah dianalisis. Interrater dilakukan de- ngan mendiskusikan hasil penelitian bersama ex- pert judgment, yaitu Prof. Dr. Syahrul, R., M.Pd.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan objek dari kajian eufemisme dan disfemisme. Dalam novel ini pengarang ba- nyak menggunakan ungkapan tersebut bermak- sud untuk memperhalus bahasa bahkan menyin- dir tokoh-tokoh yang ada pada masa itu. Penggu- naan eufemisme dan disfemisme ini dikaji dalam dua kelompok, yakni bentuk dan latar belakang penggunaan dari eufemisme dan disfemisme.

Eufemisme dalam Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer

Bentuk eufemisme yang ditemukan da- lam novel Korupsi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) eufemisme berupa kata, (2) eufemisme berupa frasa, dan (3) eufemisme berupa kalimat.

(4)

Tabel 1. Bentuk Eufemisme dalam Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer

Kate

-gori Jenis Rin-

cian Jum-

lah Persen-tase Kata Kata

dasar

12 25 15,24%

Kata komp- leks

11

Kata ulang

2

Frasa 64 39,02 %

Kali-

mat 75 45,73%

Total 164

Dari bentuk eufemisme yang telah diurai- kan dalam tabel, ditemukan 164 bentuk eufe- misme terdiri dari 25 bentuk kata dengan persen- tase 15,24%, frasa 64 bentuk dengan presentase 39,02%, dan kalimat 75 bentuk dengan persen- tase 45,73%. Bentuk eufemisme pada segi kali- mat ditemukan paling banyak dalam novel Ko- rupsi karya Pramoedya Ananta Toer.

Eufemisme digunakan dengan maksud ti- dak menyinggung pihak-pihak tertentu. Penga- rang menggunakan ungkapan eufemisme sesuai dengan konteks kalimatnya, selain ungkapan yang disampaikan lebih halus bahasa juga terli- hat padu karena penyampaiannya lebih sesuai.

Berikut ini bentuk eufemisme dan penjelasan- nya.

1) Tiap dinding dan tiap benda di kamar serasa merasa ikut menggigilkan kata yang itu-itu juga: korupsi! korupsi!

Ungkapan menggigilkan kata dikelom- pokkan eufemisme. Jika diartikan gigil bersino- nim gemetar karena kedingingan, demam, keta- kutan. Kata menggigilkan merupakan bentuk da- ri gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk suatu kesatuan dinamakan konfiks. Kata menggi- gilkan dibentuk dari prefiks meng- ditambahkan dengan kata gigil sehingga menjadi menggigil.

Sesudah itu barulah ditambah dengan sufiks kan menjadi menggigilkan.

Kata menggigil umumnya digunakan pada orang sakit, namun juga digunakan dalam konteks ketakutan. Pengarang telah mengguna- kan frasa yang tepat dalam kalimat. Jika kata yang digunakan sesuai sinonim maka makna yng

disampaikan tidak padu dan kalimat yang diha- silkan terdengar rancu. Contohnya, Tiap dinding dan tiap benda di kamar serasa merasa ikut ketakutan kata yang itu-itu juga: korupsi! Ko- rupsi! Dari contoh tersebut, kalimat yang disam- paikan menjadi tidak nyambung walaupun menggunakan sinonim dari kata sebelumnya.

Untuk itulah digunakan kata menggigilkan agar kalimat lebih sinkron dan bahasa yang disam- paikan lebih menarik.

2) Suasana yang mencekik meliputi se- luruh dapur di mana kami makan.

Penggunaan kalimat di atas dikategorikan ke dalam ungkapan eufemisme. Kata mencekik memiliki sinonim memegang dan mencekam leher, mematikan, serta menindas. Kata mence- kik dibentuk dari prefiks me- yang bila dipa- sangkan dengan bentuk dasar berfonem awal d, t, c, dan j akan mengalami morfofonemis men- jadi men-. Kata me- bertemu kata dasar tindas dengan awalan t yang menjadikan kalimat ter- sebut dibentuk, dari kata men- ditambah kata dasar cekik menjadi mencekik.

Penggunaan kata cekik biasanya disan- dingkan dengan kekerasan. Namun, kalimat di atas kerap kali ditemukan di dalam sebuah tu- lisan ataupun novel. Pengarang menggunakan kata mencekik bermaksud tidak langsung kepada maksudnya. Kata mencekik telah dianggap se- suai dalam kalimat tersebut. Jika digunakan si- nonim maka makna yang disampaikan terlihat lebih menakutkan seperti contoh suasana yang mematikan, meliputi seluruh dapur tempat kami makan. Kata tersebut dapat digunakan, namun konteksnya terlihat lebih keras dan kasar. Digu- nakan kata mencekik agar makna tersampaikan tidak tampak namun langsung tertuju kepada pembaca. Penggunaan kata mencekik lebih sin- kron dan padu dibandingkan sinonim bila digu- nakan.

Berdasarkan bentuk eufemisme tersebut, juga terdapat penggunaan eufemisme berdasar- kan latar belakangnya. Akan diuraikan eufemis- me tersebut sebagai berikut.

Pertama, eufemisme ditafsirkan untuk menghindari kata-kata yang dapat menimbulkan kepanikan atau ketakutan.

3) Dan kekecilan hatiku tak bisa diubah sekalipun telah empat lima kali ku-- ulang-ulang manteraku.

(5)

Kuulang-ulang manteraku merupakan bentuk eufemisme menghindari kepanikan. Hal tersebut kerap terjadi, contohnya ketika mengha- dapi sesuatu seperti berbicara di depan khalayak ramai tentunya sebelum itu akan berdoa dengan mulut komat-kamit untuk menghindari ketakutan ataupun kecemasan sebelum tampil. Sama hal- nya dengan kalimat diatas, maksud kuulang- ulang manteraku untuk menghindari ketakutan dengan melantunkan sesuatu dapat berupa doa ataupun komat-kamit semacamnya.

Kedua, eufemisme ditafsirkan memperha- lus ucapan agar tidak menyinggung, menghina, atau merendahkan seseorang.

4) Order aku cabut kembali.

Cabut dapat diartikan sebagai tarik, ataupun ambil. Kata cabut tidak ada unsur untuk menyinggung, menghina, bahkan merendahkan.

Namun, kata cabut sebagai ungkapan biasa yang digunakan pengarang. Jika menggunakan sinonim tarik atau ambil makna langsung ter- sampaikan dan unsur eufemisme tidak akan muncul.

Ketiga, eufemisme untuk mengurangi atau tidak menyinggung hal-hal yang menyakitkan atau tragedi.

5) Susu perlu bagi orang Indonesia, me- reka kekurangan lemak.

Ungkapan mereka kekurangan lemak bermaksud menyampaikan yang sebenarnya. Ka- rena daerah Indonesia bagian Timur banyak se- kali anak-anak dengan gizi buruk. Walaupun sedikit menyinggung namun bukan hal yang me- nyakitkan dan ini sebagai bentuk informasi yang perlu diutarakan kepada pemerintah bahwa hal- hal seperti itu perlu sekali untuk diperhatikan.

Keempat, eufemisme untuk berdiplo- masi atau bertujuan retoris.

6) Penjara itu tak kenal ampun, dingin dan garang sebagai gedungnya.

Kata penjara sudah diketahui sebagai tem- pat yang tidak bagus. Pembicaraan dalam novel ini berupa Korupsi yang nanti akan ada hu- bungannya dengan penjara. Terkait dengan kata penjara memiliki sinonim bui, sel, lembaga per- masyarakatan. Penggunaan penjara merupa-kan bentuk eufemisme dan terdengar lebih halus daripada sinonimnya.

Kelima, eufemisme untuk menggantikan kata-kata yang dilarang, tabu, vulgar atau bercit- ra negatif.

7) Kalau korupsi suatu perbuatan jahat, bukankah kejahatan itu akan hilang lenyap karena jasaku padanya?

Kata korupsi bentuk penghalusan untuk menggantikan kata mencuri, penyelewengan a- tau penyalahgunaan uang negara. Jika menggu- nakan sinonim kalimat tersebut tidak akan padu dan tidak ada unsur eufemisme. Kata korupsi biasanya disandingkan dengan koruptor yakni pelaku. Koruptor biasanya disebut dengan tikus, karena kebiasaan tikus suka mencuri. Namun hal tersebut merupakan ungkapan kasar yang dimak- sudkan disfemisme. Karena itulah kata korupsi menjadi kata yang telah dalam pengunaan kali- mat tersebut.

Keenam, eufemisme ditafsirkan untuk me- rahasiakan sesuatu.

8) Nanti habis kantor kuangkat sebagian dari harta terpendam itu, langsir ke pasar Senen dan menjualnya di tempat toko kertas tangan kedua.

Harta terpendam itu yang dimaksudkan pengarang yaitu kertas-kertas yang dicuri untuk dijual. Pengarang menyampaikan dengan ung- kapan harta terpendam itu, bermaksud meraha- siakan bentuk harta tersebut. Ungkapan jika menggunakan maksud aslinya tidak akan terlihat bentuk eufemismenya.

Ketujuh, eufemisme ditafsirkan untuk menghormati orang lain.

9) Kuharapkan dengan huruf pangkal itu mereka mendapatkan kejayaan se- bagaimana halku dahulu.

Ungkapan mereka mendapatkan kejaya- an digunakan untuk memperhalus kata. Ung- kapan tersebut digunakan untuk menghormati, karena ayahnya bernama Bakir dan memberikan nama keempat anaknya dengan awalan B ber- maksud menghargai agar anak-anaknya menda- patkan kejayaan sama seperti dirinya seketika dulu. Kalimat tersebut disampaikan pengarang menggunakan unsur eufemisme bermaksud menghaluskan kata.

Kedelapan, eufemisme ditafsirkan untuk menyindir atau mengkritik dengan halus.

(6)

10) Ah, dahulu menjadi pegawai negeri adalah suatu kehormatan.

Ungkapan kehormatan bentuk kata yang halus dan ketika disandingkan seperti kalimat di atas bermaksud menyindir. Kalimat tersebut me- nyatakan bahwa dahulu saja menjadi pegawai negeri suatu kehormatan, karena kehidupan to- koh Bakir yang morat-marit dijelaskan bahwa kehidupan pegawai negeri itu susah. Hingga ki- ni, pegawai negeri merupakan pekerjaan yang banyak peminatnya. Namun, oknum-oknum yang tidak puas akan gaji yang mereka terima selalu kurang, maka bualan seperti itu kerap kali terlontarkan hingga perilaku seperti korupsi banyak terjadi.

Disfemisme dalam Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer

Bentuk eufemisme yang ditemukan dalam novel Korupsi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) disfemisme berupa kata, (2) disfemisme berupa frasa, dan (3) disfemisme berupa kalimat.

Bentuk disfemisme secara keseluruhan yang ditemukan dalam novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer berjumlah 166 bentuk terdiri dari kata 42 bentuk dengan persentase 25,30%, frasa 80 bentuk dengan presentase 48,19%, dan kalimat 44 bentuk dengan persen- tase 26,50%. Dari ketiga bentuk eufemisme segi frasa paling banyak dimuat pengarang dalam tu- lisannya.

Ungkapan disfemisme lebih banyak digu- nakan pengarang dibandingkan eufemisme. Pe- ngarang menggunakan disfemisme berusaha un- tuk menyindir tokoh-tokoh yang ada dalam no- vel sesuai dengan realitas yang terjadi pada za- man itu berdasarkan profil pengarang yang me- nguraikan persoalan biografi, persoalan sejarah, dan kebanyakan bertendensi pada kemanusiaan, dan nilai-nilai humanis. Adapun bentuk dari dis- femisme yang ditemukan dalam novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer sebagai berikut.

1) Ia sungguh-sungguh pembantu yang tahu pekerjaannya.

Pembantu merupakan bentuk yang kasar atau disfemisme. Kata pembantu ini merupakan bentuk kata kompleks. Terjadi dari penambahan prefiks awalan pe- bila dipasangkan dengan ben- tuk dasar berfonem p, b, dan f akan menga-lami morfofonemis menjadi pem-. Terbentuklah kata

pembantu dari penggabungan prefiks pem- di- tambah kata dasar bantu menjadi pembantu.

Tabel 2. Bentuk Disfemisme dalam Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer Kate-

gori Jenis Rin-

cian Jum-

lah Persen- tase Kata Kata

dasar 35 42 25,30%

Kata komp- leks

4

Kata ulang 3

Frasa 80 48,19%

Kalimat 44 26,50%

Total 166

Sinonim dari kata pembantu di dalam KBBI ialah orang upahan. Istilah pembantu se- belumnya disebut sebagai budak, namun ter- dengar kasar dan beralih menjadi pembantu. Se- sudah itu kata pembantu dianggap menjadi kasar dan diganti menjadi asisten rumah tangga. Ben- tuk kata dari asisten rumah tangga terdengar le- bih sopan dan halus namun tidak sesuai konteks dari kalimat diatas sampaikan.

Pengarang telah tepat menempatkan kata pembantu dalam kalimat tersebut. Jika diguna- kan sinonim akan sumbang kalimatnya menjadi Ia sungguh-sungguh orang upahan yang tahu pekerjaannya, jika digunakan kata budak sa- ngatlah kasar penyampaiannya, dan jika kata a- sisten rumah tangga yang digunakan maka tidak akan sesuai dengan konteks kalimatnya. Kata pembantu sesuai disampaikan di zaman itu, ka- rena novel ini diterbitkan pada tahun 1954, kata pembantu terdengar sopan dan sesuai. Berbeda di zaman sekarang yang telah mengganti men- jadi asisten rumah tangga.

2) Minta sama bini?

Ungkapan tersebut dikelompokkan ke da- lam disfemisme. Kata bini bersinonim perempu- an yang menjadi pasangan sah dari seorang laki-laki atau istri. Ungkapan bini banyak disam- paikan pengarang di dalam novel Korupsi ini da- ripada istri. Dalam novel, penggunaan kata istri cenderung kalimat yang akan disampaikan lebih halus. Novel Korupsi lebih banyak ditemukan disfemisme dibandingkan eufemisme, tidak he-

(7)

ran jika penggunaan kata bini banyak ditemukan.

Selain kata bini, istilah kawin juga banyak di- temukan dalam novel Korupsi.

Kata bini disampaikan memiliki makna kasar. Dipengaruhi tahun terbitnya novel, yaitu 1954, pada zaman itu penggunaan kata bini di- anggap biasa. Namun di zaman sekarang cende- rung kasar, dan kata bini mengalami pergeseran makna membaik menjadi istri. Tetapi dalam no- vel kata istri juga ada disinggung, namun ketika menggunakan kata istri kalimat yang disampai- kan justru tidak menyinggung dan kasar sedikit pun. Kata bini di sini juga merupakan bentuk sindiran dalam novel karena konteksnya disfe- misme, jika digunakan kata istri maka kalimat di atas berubah menjadi eufemisme, yaitu bentuk sopan atau halusnya dalam sebuah kalimat.

Dari bentuk eufemisme tersebut penggu- naan disfemisme berdasarkan latar belakangnya terdapat 10 dalam novel Korupsi karya Pramoedya Anantar toer. Adapun latar belakang penggunaannya sebagai berikut.

Pertama,disfemisme ditafsirkan untuk menyatakan hal yang tabu, tidak senonoh, atau asusila.

3) Dan untuk menghabisi tetek-bengek itu segera kulontarkan:

Ungkapan tetek bengek di dalam KBBI berarti masalah yang kecil atau remeh. Namun jika diartikan per kata akan berbeda. Ungkapan tersebut merupakan bentuk disfemisme. Biasa- nya digunakan dalam konteks yang tidak bagus dan bersifat menyinggung. Kata tersebut sering dikaitkan dengan hal tabu dan tidak senonoh.

Kedua, disfemisme ditafsirkan untuk me- nunjukkan rasa tidak suka, tidak setuju terhadap seseorang atau sesuatu.

4) Kami butuh uang untuk mengusir wa- rung di depan.

Kata mengusir dalam kalimat tersebut merupakan disfemisme menunjukkan rasa tidak suka. Bakir yang ingin memiliki rumahnya se- utuhnya berniat untuk mengusir taoke yang me- nyewa tempatnya. Kata mengusir konteksnya lebih keras dan kasar, maka dari itu kata meng- usir dikategorikan kedalam disfemisme.

Ketiga, disfemisme ditafsirkan untuk memberikan penggambaran negatif tentang se- seorang.

5) Sirad selalu lemah lembut itu kini me- rupakan setan garang bagiku, ia meru- pakan bahaya, ia merupakan kucing kalau aku kelak jadi tikus.

Ungkapan pada kalimat tersebut meng- ibaratkan kepada tokoh hewan. Sirad sebagai ku- cing dan Bakir sebagai tikus. Dapat diartikan bahwa kucing sebagai pihak yang membantu se- perti aparat, sedangkan tikus sebagai koruptor.

Pengibaratan pada tokoh hewan merupakan ben- tuk kasar atau disfemisme yang disampaikan da- lam novel ini.

Keempat, disfemisme ditafsirkan untuk mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan.

6) Bukankah aku telah rampas kekua- saan itu dan mempergunakannya sen- diri sejak kini?

Pada kalimat tersebut ungkapan rampas kekuasaan itu merupakan bentuk kejengkelan yang dialami Bakir. Kata rampas memiliki arti ambil dengan paksa. Bakir yang telah lama mengalami kemelaratan dalam hidupnya merasa marah dan jengkel hingga merampas kekuasaan yang telah dipergunakan yang digambarkan pengarang dalam novel. Kata rampas cenderung bersifat kasar dan dapat dikategorikan kedalam disfemisme.

Kelima, disfemisme ditafsirkan untuk me- ngumpat atau memaki.

7) Persetan mereka!

Kalimat yang disampaikan pengarang merupakan bentuk disfemisme. Disfemisme yang disampaikan disampaikan Bakir yang se- dang mengumpat tentang kekuasaan serta opas rekannya di kantor. Disertai dengan tanda seru menggambarkan bahwa keadaan dari tokoh Bakir sangatlah kesal, hingga mengumpat seperti itu. Kata persetan bersinonim jahanam. Dari kalimat tersebut sudah dapat dikatgorikan ke da- lam disfemisme.

Keenam, disfemisme ditafsirkan untuk menunjukkan rasa tidak hormat atau merendah- kan seseorang.

8) Kita dapat menggaji babu, barangkali dua atau tiga.

Penggunaan kata babu dalam konteknya tidak hormat dan merendahkan seseorang. Babu diartikan sebagai pelayan, pembantu, budak, pe-

(8)

nata laksana rumah tangga atau asisten rumah tangga. Kata babu mencolok seperti menghina, karena penulisan novel ini di tahun 1954, peng- gunaan kata itu masih banyak digunakan. Kata babu dapat dikelompokkan menjadi disfemisme, dan jika menggunakan sinonim yang tetap ma- suk kedalam kelompok disfemisme pada kata budak.

Ketujuh, disfemisme ditafsirkan untuk mengolok-olok, mencela, menghina.

9) Persetan di opas jahanam itu.

Bentuk ungkapan tersebut sangat kasar.

Persetan diartikan sebagai jahanam. Jika diguna- kan sinonimnya akan muncul dua kata jahanam dan kalimat yang dihasilkan tidak sinkron. Pe- nempatan kalimat telah sesuai, dan kata tersebut dapat dikelompokkan menjadi disfemisme yang memiliki unsur mengolok-olok.

Kedelapan, disfemisme ditafsirkan untuk melebih-lebihkan.

10) Tua-tua tak tahu diri, terdengar gerutu yang mengancam.

Tua-tua tak tahu diri, bentuk disfemis- me yang melebih-lebihkan. Dikatakan melebih- lebihkan, karena Bakir digambarkan memiliki si- kap yang tidak sesuai dengan umurnya. Di sini pengarang melebih-lebihkan watak dan perilaku Bakir, selain melakukan korupsi juga meng- inginkan istri yang cantik dan muda.

Kesembilan, disfemisme ditafsirkan untuk menghujat atau mengkritik.

11) Ah, waktu ini aku kepingin semua makhluk di dunia ini bodoh-bodoh seperti kerbau yang bisa dituntun kian kemari semau hatiku.

Kalimat ditebalkan merupakan bentuk disfemisme yang menghujat semua semua ma- nusia menjadi bodoh seperti kerbau yang dapat diperintah dan diatur sesuka hati. Penggunan ka- ta bodoh dan pengibaratan hewan yakni kerbau merupakan bentuk disfemisme. Karena pengiba- ratan terhadap hewan termasuk bentuk yang kasar, terlebih pada kerbau yang sering digam- barkan bahwa kerbau memiliki otak yang dungu dan mudah saja untuk diperintah-perintah.

Kesepuluh, disfemisme ditafsirkan untuk menunjukkan sesuatu hal yang bernilai rendah.

12) Kalau diri tak punya milik, diri men- jadi budak.

Sama dengan kata babu yang telah diba- has, kata budak merupakan bentuk disfe-misme menunjukkan hal yang bernilai rendah. Budak dipandang rendah karena bekerja sebagai pesu- ruh atau membantu-bantu majikan menyelsai- kan segala urusan. Namun konteks penyampaian dalam kalimat tersebut sangatlah kasar, dan da- pat dikategorikan sebagai bentuk disfemisme.

Pembahasan

Berdasarkan analisis topik eufemisme dan disfemisme tersebut menghasilkan rincian yang mendetail pada bagian kata, frasa, dan kalimat maupun latar belakang penggunaan dalam novel

“Korupsi” tersebut. Disampaikan bahwa topik disfemisme cenderung banyak ditemukan diban- dingkan dengan eufemisme dengan perbedaan yang sedikit.

Eufemisme disampaikan pengarang dalam novel Korupsi. Eufemisme merupakan kata atau ungkapan ringan atau tidak langsung yang di- ganti dengan yang dianggap terlalu keras atau tumpul ketika merujuk pada sesuatu yang tidak menyenangkan atau memalukan (kamus Oxford dalam Killing, 2016:69). Penggunaan bahasa yang halus agar tidak menyinggung pihak mana- pun. Berbeda halnya dengan disfemisme meru- pakan usaha untuk mengganti kata yang makna- nya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar (Chaer dalam Khasan 2014: 2)

Dalam penelitian ini cenderung, jarang menganalisis novel Pramoedya menurut penulis.

Topik ini berkesinambungan akan novel “Korup- si”. Eufemisme dan disfemisme banyak ditemu- kan dalam novel Korupsi. Ungkapan tersebut di- ungkapkan dalam setiap bab. Sesuai dengan ciri pengarang Pramoedya Ananta Toer yang lebih menguraikan persoalan biografi, sejarah, dan berhubungan pada kemanusiaan dan nilai huma- nis tentunya ditemukan ungkapan eufemisme dan disfemisme sebagai bentuk yang diungkap- kan pengarang kepada pembaca dalam novelnya.

Keunikan eufemisme dan disfemisme ini akan gaya bahasa yang disampaikan beragam.

Tingkat halus dan tidak sopannya pun berbeda- beda, terlebih objek kajiannya novel “Korupsi”.

Banyak ditemukan dari dua topik tersebut, dan ternyata ungkapan yang Pramoedya tuangkan ternyata kerap digunakan dalam ragam bahasa

(9)

sehari-hari. Walaupun kajian ini hanya berupa ungkapan sopan dan sebaliknya, dapat memberi- kan dampak besar khususnya bagi teoretik, pe- nikmat dan pengajaran bahasa.

Implikasi yang didapatkan secara teoretik dapat memperluas pengetahuan mengenai ung- kapan baik yang sesuai digunakan. Dilihat dari segi penikmat dan pembaca, dapat menambah wawasan akan informasi yang disampaikan pe- ngarang. Dari novel “Korupsi” ini disampaikan kronologi kasus tersebut berlangsung dan ber- tahan hingga sekarang hingga meruak ke mana- mana. Selain penikmat dan pembaca mendapat- kan hiburan, juga didapatkan informasi yang lebih meluas. Bagi pengajaran implikasi yang di- dapatkan adalah sebagai bahan kajian dalam membuat sebuah karya sastra dengan hal-hal dasar yang telah ada, tetapi dalam konteksnya tidak merugikan. Merugikan di sini maksudnya, eufemisme dan disfemisme ini merupakan ung- kapan yang digunakan dalam hal menyampaikan maksud namun tidak langsung ke objeknya. Ja- di, jika salah dalam mengungkapkan karya sastra bukan hanya tidak terbit karya tersebut, bahkan menjadi bumerang yang menjerumuskan. Seperti kasus yang sedang gencar saat ini mengenai

“ikan asin”. Maka dari itu, bagi pengajaran seba- gai pengungkap gagasan dan pemikiran akan karya sastra yang akan dihasilkan.

Penelitian ini melengkapi pada kajian ben- tuk dan latar belakang penggunaan dari eufemis- me dan disfemisme. Dalam penelitian sebelum- nya, Khasan (2014) dengan objek penelitian berita utama surat kabar joglo semar memfokus- kan pada pemakaian disfemisme. Hasilnya ada tiga, yakni (1) bentuk disfemisme yang ditemu- kan berupa bentuk kata dan frasa, (2) alasan penggunaan bentuk disfemisme, dan (3) dampak dari penggunaan disfemisme.

Penelitian kedua adalah Meilasari (2016) mengkaji analisis terjemahan ungkapan eufimisme dan disfemisme teks berita online BBC. Pada penelitian ini ditemukan kecende- rungan penggunaan disfemisme. Segi penerje- mahannya mempertahankan nilai rasa dan domi- nan ada penerjemahannya. Teknik penerjemahan yang dipilih dalam penelitian ini sebagian ber- dampak positif.

Penelitian terakhir adalah Khalidi (2017) objek penelitian novel Jalan Retak karya A.

Samad Said. Penelitian ini berfokus pada unsur eufemisme dalam novel. Hasil yang ditemukan terdapat 35 unsur eufemisme dalam novel. Fak-

tor utama penggunaan unsur eufemisme dise- babkan keadaan dan status usia. Dalam peneli- tian ini tidak hanya kesantunan berbahasa yang diperhatikan, tetapi asas kesejahteraan hidup da- lam sebuah masyarakat penuturnya.

Penelitian ini memiliki keterkaitan jika di- sejajarkan dengan tiga penelitian sebelumnya.

Membahas mengenai eufemisme dan disfemis- me bahkan terdapat juga objek yang sama, yakni novel. Dari penelitian ini dibuktikan dari bentuk klasifikasi seperti kata, frasa, kalimat, dan latar belakang dalam novel. Namun, peneliti memfo- kuskan kepada hal yang lebih banyak dijumpai dalam novel dalam penelitian ini dan juga novel yang dipilih merupakan novel yang telah sesuai dengan objek kajian yang peneliti kaji saaat ini.

Untuk itu, kebaruan dari penelitian ini me- rangkup dari pembahasan yang ada dalam tiga penelitian sebelumnya, serta novel yang digu- nakan belum pernah diteliti.

SIMPULAN

Karya sastra merupakan bentuk penyam- paian yang dapat dihasilkan dari imajinasi dan tertuang dalam lisan maupun tulisan. Novel se- bagai suatu karya sastra sebagai bentuk penyam- paian pikiran seseorang yang dituangkan dalam tulisan. Novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer merupakan bentuk objek yang dipilih ka- rena banyak mengandung ungkapan eufemisme dan disfemisme. Pramoedya yang cenderung mengangkat cerita berdasarkan persoalan biog- rafi, persoalan sejarah, dan keba-nyakan berten- densi pada kemanusiaan, dan nilai-nilai humanis menjadi alasan kuat untuk dalam penentuan ob- jek eufemisme dan disfemisme. Dalam novel Korupsi ini ditemukan sebanyak 164 bentuk eu- femisme berdasarkan kategori bentuk kata, frasa, dan kalimat serta bentuk disfemisme ditemukan sebanyak 166 bentuk berdasarkan kategori ben- tuk kata, frasa, dan kalimat. Selain bentuk eufe- misme dan disfemisme ditemukan juga penggu- naan latar belakang eufismisme dan disfemisme.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada reviewers yang telah memberikan komentar, kritik serta saran terhadap perbaikan naskah ini. Tanggapan yang diberikan memban- tu penulis meningkatkan kualitas artikel ini.

(10)

DAFTAR RUJUKAN

Almoayidi, K.A. 2018. Euphemism as a Com- municate Tool: A Descriptive Study of Hijazi and Southren Region Dialects Spoken in Saudi Arabia. Open Journal of Modern Linguistics, 8: 1-8. doi:10.4236/ojml.2018. 81001

Hojati, A. 2012. A Study of Euphemisms in the Con- text of English-speaking Media. International Journal of Linguistics, 4(4):552–562. doi:10.

5296/ijl.v4i4.2933

Juwita & Agus. 2018. Penginovasian Bentuk Disfe- misme pada Berita Online dan Relevansinya pada Bahan Ajar Bahasa Indonesia di SMP.

Jurnal Pendikan Bahasa dan Sastra, 7(2): 33- 45.

Khasan, dkk. 2014. Pemakaian Disfemisme dalam Berita Utama Surat Kabar Joglo Semar.

Basastra. 2(3): 1-12.

Kurniawati, H. 2011. Eufemisme dan Disfemisme dalam Spiegel Online. Litera. 10(1): 51-63.

Laili, E. N. 2016. Eufemisme dalam Wacana Ling- kungan Sebagai Piranti Manifestasi Mani- pulasi Realitas: Perspektif Ekolinguistik Kri- tis. Jurnal Linguistik Terapan, 6(1): 26-36.

Meilasari, P. dkk. 2016. Analisis Terjemahan Ung- kapan Eufemisme dan Disfemisme pada Teks Berita Online BBC. Journal of Linguistics.

1(2): 336-358.

Norashikin, dkk. 2017. Unsur Eufemisme dalam No- vel Jalan Retak Karya A. Samad Said. Journal of Business and Social Development, 5(1): 88- 101.

Ojebuyi & Abiodun. 2018. Nigerian Newspapers’

Use of Euphemism in Selection and Presen- tation of News Photographs of Terror Acts.

Sage Open. 1-14. doi: 10.1177/2158244018- 763954

Pascarina, H. 2018. Disfemisme dan Terjemahannya pada Teks Berita BBC Online, Leksema.

3(1): 1-10.

Sunarni, N. & Jonjon J. 2017. Eufemisme dalam Bahasa Jepang. Prosodi. 11(2): 119-126.

Sutana, D. 2012. Eufemisme Sebagai Tindak Komu- nikasi yang Berada dalam Bahasa Jawa.

Madah, 3(1): 81-90.

Referensi

Dokumen terkait