Nama : Evan Nauval Averill Kelas : XI MIPA 4
SOAL
1. Transaksi jual beli adalah suatu syariat Islam yang sangat dibutuhkan oleh kaum muslimim, di mana mereka mendapatkan kebutuhan masing-masing dengan cara jual beli. Di antaranya adalah jual beli Al-Qur'an. Bagaimana pandangan ulama terhadap jual beli Al-Qur'an?
2. Melakukan transaksi tentunya menggunakan kata-kata di mana hal itu menunjukkan bentuk sebuah ungkapan dan bukti atas kemauan serta kerelaannya dalam melaksanakan akad transaksi itu dengan suka rela. Namun, bagaimana hukumnya melakukan transaksi dengan orang yang bisu?
3. Jual beli barang yang ribawy atau yang mengandung hokum riba tidak seperti jual beli barang- barang lainnya, sehingga agama Islam memandang perlunya syarat-syarat tertentu supaya jual beli tersebut tidak termasuk jual beli riba. Jelaskan syarat jika harta ribawy yang akan dijual belikan berbeda jenisnya dan sama jenisnya!
4. Dalam kehidupan bersosial kita dituntut ikut prihatin dan toleran dengan nasib sesama dengan memberi mereka bantuan, diantaranya dengan menghutangi seseorang yang memberikan bantuan. Akan tetapi, terkadang susah mencari orang yang jujur dan menepati janji membayar hutangnya di zaman sekarang ini. Oleh karena itu, perlunya jaminan agar uang yang kita hutangkan tidak hilang. Namun, perlu diperhatikan pula aturan dalam syariaat agar tidak terjerumus dalam transaksi riba. Berdasarkan hal tersebut, bagaimana syariat Islam mengaturnya agar tidak termasuk transaksi riba?
Jawaban
1. Allah SWT telah menghalalkan praktek jual beli yang sesuai dengan ketentuan dan syari’atNya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 275 yang artinya:” …Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…(Q.S. al-Baqarah: 275).
Rasullullah SAW bersabda: Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim). Maka berdasarkan hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan. Namun disisi lain, Rasullullah SAW juga bersabda “Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah. Oleh karena itu seseorang muslim yang melaksanakan transaksi jual beli, sebaiknya mengetahui syarat-syarat praktek jual beli berdasarkan ketentuan Al Qur’an dan Hadits, agar dapat melaksanakannya sesuai dengan syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam tindakan-tindakan yang dilarang dan diharamkan.
1) Menurut syariah, jual beli mushaf Alquran itu dibolehkan karena alasan berikut.
Pertama, hal itu berdasarkan pendapat mayoritas ahli fikih, di antaranya para ulama mazhab Malikiyah, mazhab Hanafiyah, mazhab Zhahiriyah, sebagian ulama Syafi’iyah, dan beberapa ulama seperti Hasan al-Bashri dan Ikrimah. Dalam kitab Al-Majmu’, An- Nawawi berkata, al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Marwan bin Hakam bahwa keduanya ditanya perihal ketentuan jual beli mushaf. Keduanya menjawab, "Kami tidak melihat mushaf sebagai objek komoditas tetapi apa yang engkau lakukan itu boleh dilakukan." Malik bin Anas pernah berkata, "Jual beli mushaf itu dibolehkan."
2) Kedua, dengan diperjualbelikan, dapat memberikan manfaat nyata khususnya terhadap pendidikan Alquran. Dengan kehadiran perusahaan pencetak Alquran, dan para penjualnya, banyak masyarakat bisa memiliki mushaf hingga bisa membacanya, men-tadabburi-nya, memahaminya, dan mengamalkannya. Sebaliknya, jika distribusi dan jual beli Alquran itu tidak dibolehkan, maka banyak umat Islam tidak bisa memiliki mushaf Alquran. Sehingga, Alquran yang agung tersebut tidak bisa dibaca dan tidak dipahami isinya (saddu adz- dzari’ah).
3) Ketiga, terdapat beberapa penjelasan seperti perkataan Abdullah bin Umar, “Aku ingin setiap tangan-tangan penjual mushaf itu dipotong”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi). Perkataan Ibnu Umar tersebut terkait dengan kondisi di mana jumlah mushaf sangat sedikit. Jika mushaf diperjualbelikan, maka mushaf menjadi tidak ada. Saat ini dengan mushaf diperjualbelikan, banyak kebutuhan masyarakat muslim terpenuhi.
Maka ‘illat yang ada dalam perkataan Ibnu Umar itu tidak ada. Sebagaimana kaidah.
“Suatu hukum itu ditetapkan karena ada sebabnya. Saat ada ‘illat, maka ada hukum, dan saat tidak ada ‘illat tidak ada hukum."
4) Keempat, sesungguhnya yang diperjualbelikan bukan ayat Alquran tetapi fisik Alquran yang terdiri atas kertas, jilid, dan komponen produksi lainnya yang memerlukan biaya yang tidak sedikit sebagaimana kebiasaan dan fakta. Pada saat yang sama, tidak setiap orang bisa memberikan mushaf Al-Qur’an dengan cuma-cuma. Seperti halnya ketentuan hukum sejenis dalam bab lain yaitu seperti air yang tidak boleh diperjualbelikan, tetapi menjadi boleh saat yang menjadi komoditas bukan airnya, tetapi kemasan dan biaya produksinya.
Jika jual beli Alquran dibolehkan menurut penjelasan para sahabat, tabi’in, dan mayoritas ahli fikih tersebut, maka selanjutnya jual beli mushaf harus memenuhi (a) ketentuan fikih khususnya kriteria mushaf dan harganya sebagaimana Fatwa DSN MUI Nomor 110/DSN- MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli. (b) Memenuhi akhlaqiyat (adab). Misalnya, yang bertugas di perusahaan menjilid mushaf dalam kondisi berwudhu. Saat Alquran selesai diproduksi diletakkan di tempatnya layaknya Alquran dan adab-adab lainnya yang harus diperhatikan.
Jika itu dilakukan, maka peran perusahaan, dan penjual mushaf tidak hanya bisnis semata, tetapi telah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memiliki Alquran, membacanya, men-tadabburi-nya, memahami maknanya, mengamalkannya, dan bahkan mendakwahkannya kepada pihak lain. Wallahu a’lam.
2. Pertama, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah, tunanetra boleh dan sah melakukan akad jual beli. Dia sah menjual barang dari orang lain dan sah pula membeli barang dari orang lain. Hal ini
karena orang buta bisa mengetahui benda yang ingin dijual atau dibeli dengan indra peraba, penciuman atau melalui rasa.
Bahkan menurut mereka, tunaetra tidak hanya sah melakukan transaksi jual beli, tapi juga sah melakukan akad pinjaman, gadai dan hibah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu berikut;
هتبهو هنهرو هتراجإو هؤارشو ىمأعلا عيب حصي :ةلبانحلاو ةيكلاملاو ةيفنحلا لاق
“Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah berkata, ‘Sah jual belinya orang buta, pinjamannya, gadaiannya dan hibahnya.”
Bagi mereka, ketika orang buta sudah ridha untuk melakukan akad jual beli, maka akadnya sudah dinilai sah. Hal ini karena dasar utama dari akad jual beli adalah sama-sama ridha antara penjual dan pembeli. Ini berdasarkan hadis riwayat Ibnu Majah dan al-Baihaqi dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi Saw bersabda;
ضارت نأع عيبلا امنإ
“Sesungguhnya jual beli didasarkan atas saling ridha.”
Kedua, menurut ulama Syafiiyah, orang buta tidak sah melakukan akad jual beli kecuali sebelum buta dia telah mengetahui barang yang hendak dijual atau dibeli. Bagi mereka, tunanetra tidak mengetahui barang yang hendak dijual atau dibelinya sehingga dia tidak bisa membedakan antara barang yang bagus dan jelek. Karena itu, dia tidak boleh dan tidak sah melakukan jual beli.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu berikut;
روصصصق مهليلدو ،هوصصحنو دصصيدحلاك ريصصغتي ل اصصمم ىمعلا لصصبق ًائيش ىأر دق ناك اذإ لإ هؤارشو ىمأعلا عيب حصي ل :ةيعفاشلا لاقو
ًلوهجم هل ةبسنلاب دقعلا لحم نوكيف ،ءيدرلاو ديجلا كاردإ نأع ىمأعلا
“Ulama Syafiiyah berkata, ‘Orang buta tidak sah melakukan akad jual beli kecuali dia telah melihat barangnya sebelum buta dan barang tersebut tidak akan berubah, seperti besi dan lainnya. Alasannya mereka adalah karena keterbatasan tunanetra untuk mengetahui barang yang bagus dan jelek sehingga bagi dia barang tersebut majhul atau tidak diketahui.”
Beberapa literatur penulis buka dan mendapati salah satu literatur yang ditulis oleh Syekh Wahbah al-Zuhaily dengan menempatkan kondisi mata (baca: indra penglihat) sebagai yang tidak baku bagi kelegalan muamalah jual belinya tunanetra. Dengan kata lain, asalkan keempat indra lainnya masih berfungsi normal, maka mata tidak mutlak sebagai syarat ru'yah (mengenali barang).
Artinya: "Sementara itu barang yang bisa diketahui dengan memandang, maka dengan menunjukkan sifat barang tersebut bagi tunanetra adalah sama dengan menempati derajat memandangnya orang yang bisa melihat." (al-Zuhaily, Al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu, Juz 4, Beirut: Dâru al-Ma'rifah, tt.: 580)
Kali ini penulis coba hadirkan literatur lain sebagai pembanding dari literatur yang disampaikan Syekh Wahbah itu yang menyatakan khilaf di antara bisa dan tidaknya mata sebagai faktor kelegalan itu. Setidaknya ada dua konsekuensi hukum yang berlaku. Dalam Majmu' Syarah al- Muhadzab li al-Syairazy, Imam Nawawi menyatakan bahwa:
Artinya: "Jika seorang tunanetra menjual atau membeli sesuatu yang belum dilihatnya, maka ada dua pendapat, yaitu
1) Jika kita berpendapat bahwa jual beli barang yang belum dilihat oleh orang yang bisa melihat hukumnya adalah tidak sah, maka tidak sah pula hukum jual belinya tunanetra.
2) Jika kita berpendapat bahwa jual beli barang yang belum dilihat oleh orang yang melihat sebagai sah, maka ada dua wajah hukum yang berlaku bagi muamalah jual belinya tunanetra, yaitu:
Pertama, dipandang sah sebagaimana sahnya muamalah jual belinya orang yang bisa melihat.
Sementara dalam rangka penerimaan barangnya (qabdlu) dan melakukan khiyar (opsi membatalkan transaksi bila ada cacat, red), maka dia harus mengangkat orang kedua sebagaimana orang yang melihat mengangkat orang lain untuk melakukan qabdlu dan khiyar.
Kedua, dipandang tidak sah karena jual beli barang yang belum pernah dilihat, sempurnanya hanya dengan cara melihat. Dan hal demikian ini tidak ditemukan pada potensi penyandang tunanetra.
Untuk wajah yang kedua ini), berlaku konsekuensi hukum bagi tunatetra, yaitu:
1) mengangkat wakil tidak dimungkinkan dalam urusan khiyar karena aturan khiyar sudah tetap di dalam syara' (yakni melihat dulu), dan
2) mengangkat pihak kedua untuk menggantikannya melakukan khiyar (opsi) juga tidak diperbolehkan, seperti mengangkat pengganti untuk melakukan khiyar majelis (karena
dalam khiyar majelis, disyaratkan yang bersangkutan harus melihat dulu dengan mata kepala sendiri), kecuali
3) khiyar syarat. (Jika ada opsi khiyar syarat, maka boleh mengangkat orang kedua untuk melakukan khiyar).."
(Lihat: Al-Nawawy, al-Majmû' Syarah al-Muhadzab li al-Syairazy, juz 3, Beirut: Dâr al- Kutub al-Ilmiyyah, tt.: 15-16!).
Objek bahasan dalam pendapat di atas adalah jual beli barang yang belum dilihat oleh pembeli. Dalam kasus umum, jual beli yang masuk barang belum pernah dilihat itu ada dua, yaitu bai' maushufin fi al-dzimmah (jual beli salam) dan bai' al-ghaib. Jual beli salam (pesan) berlaku syarat harga harus diketahui secara jelas, dan barang sudah ada dalam tanggungan penjual (milik penjual). Pada saat barang sudah diterima oleh pembeli, pembeli bisa melihat langsung barangnya dan sekaligus bisa menyifatinya sehingga dengan mudah ia bisa menentukan khiyar, yaitu antara melanjutkan akad atau membatalkannya. Jika ada ketentuan bahwa dalam akad jual beli salam ini harus khiyar majelis, maka setidaknya pembeli harus bisa mengenali saat awal barang ditunjukkan spesifikasinya oleh penjual. Dan ini bisa dilakukan oleh pembeli dengan catatan, pembeli sudah punya pengalaman tentang barang dengan spesifikasi tersebut. Namun, jika pembeli belum punya pengalaman, maka jual beli barang yang dipesan dengan khiyar majelis masuk kategori jual beli jahalah, karena menyimpan unsur ketidaktahuan pembeli.
Apakah akad ini sah? Dalam kasus ini sebenarnya berlaku dua pandangan, yaitu antara sah dan tidak. Sah jika kondisi pembeli masuk dalam syarat kondisi pertama, dan tidak sah bila pembeli masuk syarat kondisi kedua disebabkan unsur ketidaktahuannya (jahâlah) terhadap barang yang dibeli. Namun untuk kondisi kedua, menjadi sah bilamana khiyarnya bukan khiyar majelis, melainkan khiyar syarat.
Dengan mencermati kasus di atas, maka hal yang sama bisa berlaku bagi penyandang tunanetra. Jika penyandang tunanetra belum pernah memiliki pengalaman dengan barang, maka jual belinya bisa menjadi tidak sah disebabkan ketidaktahuannya terhadap barang, kecuali bila diterapkan khiyar syarat. Sebaliknya jual beli tersebut bisa dipandang sah, bila si pembeli pernah memiliki pengalaman dengan barang.
Syarat memiliki pengalaman pada barang ini, khusus untuk tunanetra, bisa terjadi melalui tiga kemungkinan, yaitu:
1) Pada saat memutuskan membeli barang, sang penyandang tunanetra pernah melihat dengan mata kepala sendiri terhadap barang. Dan ini memungkinkan terjadi pada penyandang yang sifatnya bukan tunanetra sejak lahir. Gambarannya, saat membeli ia belum mengalami kebutaan, dan saat barang diterima, ia mengalami kebutaan.
Kondisi jual beli seperti ini hukumnya sah karena illat pernah berpengalaman. Akan tetapi, qabdlu barangnya, tidak boleh ia terima sendiri, melainkan ia bisa menyuruh pihak kedua untuk menolongnya, kecuali jika ada khiyar syarat, maka ia tidak perlu
meminta tolong, disebabkan ia sendiri saja sudah cukup untuk memenuhi syarat qabdlu.
2) Jika sang penyandang tunanetra itu menyandangnya sejak lahir, maka khiyar yang berlaku baginya hanya khiyar syarat. Yang disoal oleh ulama adalah saat akad memutuskan jual beli. Apakah boleh sang tunanetra membeli sendiri barang yang belum pernah dilihatnya? Dalam hal ini maka seolah yang berlaku adalah jual beli barang yang ghaib. Hukumnya juga bisa sah dan bisa tidak. Bisa sah apabila disebutkan spesifikasinya dan bisa tidak sah manakala tidak diketahui spesifikasinya. Ketidaktahuan spesifikasi ini seolah menyerupai jual beli munâbadzah (jual beli spekulasi dengan jalan lempar). Jadi, poin krusialnya adalah spesifikasi barang itu, bisa diketahui oleh pembeli tunanetra sendiri atau tidak, atau oleh orang suruhannya.
3) Kondisi ketiga kemungkinan pembeli tidak tahu barang saat pembeli kecuali spesifikasinya. Namun, di saat qabdlu (penerimaan barang), ia sembuh dari kebutaan. Apakah boleh ia melakukan khiyar kembali? Menurut Syekh Wahbah al- Zuhaily, dinyatakan tidak boleh disebabkan ru'yah dengan sifat barang saat masih mengalami kebutaan menempati derajat maqam ru'yat al-bashîr (mengetahuinya orang yang bisa melihat). Namun, menurut pendapat Imamuna al-Nawawy di atas, hukumnya adalah boleh disebabkan karena sempurnanya jual beli hanya dengan ru'yatu al-bashîr.
Walhasil, sah atau tidak jual belinya penyandang tunanetra, dalam hal ini ada khilaf pendapat di kalangan ulama'. Syekh Wahbah memilih pendapat sah mengingat hushul ru'yat (tercapainya ru'yat) bisa dilakukan melalui sarana panca indra yang lain. Sementara itu, Imam al-Nawawy memandang sisi dhahir (tekstual) nash, bahwasanya jual beli tanpa ru'yatu al-bashir dihukumi sebagai dua, tergantung pada sisi mana kita memberi kelonggaran pada makna jual beli barang yang belum terlihat. Jual beli tunanetra hukumnya sah manakala kita mengikut pendapat bahwa jual beli barang belum terlihat hukumnya adalah sah. Dan bisa diputus sebagai tidak sah, bila kita menyatakan pendapat bahwa jual beli barang yang belum pernah dilihat sebagai tidak sah, kecuali ada khiyar syarat. Bila ada khiyar ini, maka hukum jual beli barang yang belum terlihat hukumnya menjadi mutlak sah. Lantas mana dari kedua pendapat ini yang maslahat bagi penyandang tunanetra? Imam al- Nawawy memberikan penegasan bahwa:
Artinya: "Jika kita memilih pendapat membolehkan, maka ada dua pandangan, (yang paling shahih) adalah tidak bolehnya transaksi jual belinya kaum tunanetra karena ketiadaan jalan untuk melihat barang. Oleh karena itu pula, transaksinya menyerupai transaksi jual beli barang ghaib, tiada khiyar baginya. (Kedua) boleh namun harus mengajak orang lain guna menjelaskan sifatnya, yang penjelasan ini
menempati maqam melihatnya tunanetra. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad." (Lihat: Al-Nawawy, al-Majmû' Syarah al-Muhadzab li al-Syairazy, Juz 3, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.: 15- 16!)
Jika melihat struktur pendapat di atas, pendapat kedua (pendapat yang membolehkan muamalah jual belinya tunanetra) bukanlah menduduki pendapat yang lemah. Pendapat itu merupakan pendapat yang shahih juga. Artinya, jika hal ini diterapkan pada praktik muamalah penyandang tunanetra, maka tetap bisa dibenarkan, asalkan kondisi lingkungannya tidak bersifat merugikan bagi tunanetra.
Bukankah tunanetra yang bekerja dengan melakukan jual beli adalah jauh lebih baik dibanding ia diam saja sembari menunggu uluran dari orang lain? Sampai di sini, maka pendapat yang kedua ini dirasa yang lebih maslahat. Wallahu a'lam bish shawab.
3. Harta ribawi yang tidak boleh dipertukarkan secara langsung apabila berbeda ukuran lantaran berbeda kualitas hanya terbatas pada benda tertentu saja.
Yang umumnya disepakati para ulama termasuk ke dalam al-mal ar-ribawi setidaknya enam jenis barang. Keenam barang itu adalah emas, perak, gandung, terigu, kurma dan garam.
Dalil sesuai yang disebutkan di dalam hadits Nabi SAW.
ُبَهّذلا
ِبَهّذلِِب
ُةّضِفلا َو
ِةّضِفلِِب لا َو
ُُِِبلِِب ُُب
َُيعّشلا َو
ِ َيِعّشلِِب
ُرْمتلا َو
ِرْمتلِِب
ُحْلِملا َو
ِحْلِملِِب الثِم
ٍلثِِب ءا َوَس
ٍءا َو َسسسبا
اداسسي
ٍدسسيب اَذإسسف
َت ْخا
ْتَفل
ِهِذَه
ُفان ْأصلا اوعيبف
َفْيَك
ْئ ِش اَذإ ْمت
َناَك اداي
ٍديب
Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).
Dari dalil di atas, maka tukar menukar sesama jenis harta dari salah satu keenam harta itu menjadi haram, kalau berbeda ukurannya.
Emas
Barter emas dengan emas hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
Perak
Barter perak dengan perak hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda.
Misalnya, perak 100 gram dengan kadar yang tinggi tidak boleh ditukar langsung dengan perak200 yang kadarnya lebih rendah. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing- masing benda itu.
Gandum
Barter gandum dengan gandum hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda.
Misalnya, 100 Kg gandum kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg gandum kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
Terigu
Demikian juga barter terigu dengan teriguhukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg terigu kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
Kurma
Barter kurma dengan kurma hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda.
Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak boleh ditukar langsung dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
Garam
Barter garam dengan dengan garam hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda.
Misalnya, 1 Kg garam tipe A tidak boleh ditukar langsung dengan 3 kg garam tipe B, kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
Secara garis besar jenis-jenis riba dibagi menjadi dua, yaitu riba tentang piutang dan riba jual beli. Jenis-jenis riba hutang piutang terbagi lagi menjadi riba Qard dan riba Jahiliyah.
Sedangkan jenis-jenis riba jual beli terbagi menjadi riba Fadhl dan riba Nasi'ah.
1) Riba Hutang Piutang
Riba hutang piutang terbagi menjadi 2 macam, yaitu riba Qard dan riba Jahiliyah.
- Riba Qard
Riba Qard yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang.
Misalnya: Putra memberikan pinjaman dana tunai pada Faozan sebasar Rp 1.000.000 dan wajib mengembalikan pokok pinjaman dengan bunga sebesar Rp 1.500.000 pada saat jatuh tempo dan kelebihan dana pengembalian ini tidak dijelaskan tujuannya untuk apa.
- Riba Jahiliyah
Riba Jahiliyah yaitu hutang yang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu bayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
Contoh: Fulan meminjam Rp 700.000 pada Fulana dengan tempo dua bulan.
Pada waktu yang ditentukan, Fulan belum bisa membayar dan meminta keringanan. Fulana menyetujuinya, tapi dengan syarat Fulan harus membayar Rp 770.000.
2) Riba Jual Beli
Riba jual beli terbagi juga menjadi 2, yaitu riba Fadhl dan riba Nasi'ah.
- Riba Fadhl
Riba Fadhl yaitu pertukaran antara barang-barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis 'barang ribawi'.
Contohnya adalah 3 kg gandum dengan kualitas baik ditukar dengan 4 kg gandum berkualitas buruk atau yang sudah berkutu.
- Riba Nasi'ah
Riba Nasi'ah yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi dengan jenis barang ribawi lainnya.
Contoh: Fahri meminjam dana kepada Juki sebesar Rp 300.000 dengan jangka waktu atau tenor selama 1 bulan, apabila pengembalian dilakukan lebih dari satu bulan, maka cicilan pembayaran ditambah sebesar Rp 3.000.
Dengan mengenali dan memahami jenis-jenis riba ini, kamu bisa lebih berhati- hati dalam menjalankan kegiatan jual beli dan menghindari perilaku riba yang menyebabkan dosa.
4. Dasar Hukum Riba
Riba adalah salah satu hal yang sangat dilarang pada agama Islam. Di dalam Al-Qur'an dan Hadist sudah ditetapkan bahwa dasar hukum riba jelas diharamkan. Berikut ini penjelasan lengkapnya.
Islam dengan tegas melarang umatnya untuk melakukan transaksi jual-beli dan hutang piutang jika di dalamnya mengandung riba. Larangan tersebut juga tertulis dalam beberapa ayat Al-Quran. Diantaranya sebagai berikut.
- Surat Al-Baqarah ayat 276
Dalam surat ini, riba adalah salah satu perbuatan yang dimusnahkan oleh Allah SWT, sebaliknya sedekah sangat disenangi. Setiap umat akan dibenci oleh Allah SWT jika terus menjadi kafir dan selalu berbuat dosa.
- Surat Al-Baqarah ayat 278
Setiap orang yang beriman, harus bertakwa kepada Allah SWT dan wajib meninggalkan sisa hasil riba yang belum digunakan.
- Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 161
Pada ayat tersebut, riba adalah kegiatan yang dilarang untuk dimanfaatkan sebagai pembiayaan kehidupan sehari-hari, karena uang tersebut diperoleh dari jalan batil.
Bahkan, Allah SWT juga telah menjanjikan siksaan pedih bagi orang-orang kafir.
1) Memahami Hukum Jual Beli dengan Baik
Riba sangat erat kaitannya dengan jual beli. Jika seseorang tidak berhati-hati dalam melakukan transaksi jual beli maka bisa saja ia akan terjerumus ke dalam perbuatan riba.
Oleh karena itu, sebelum terlibat dalam hubungan jual beli, pahamilah bagaimana peraturan-peraturan jual beli yang sesuai dengan sumber syariat Islam. Sehingga, sebisa mungkin dapat menghindar dari perbuatan riba.
2) Memahami Bahaya Riba
Cara agar tidak terjerumus ke dalam riba salah satunya dapat dilakukan dengan mengenali dan memahami secara betul tentang bahaya riba dalam Islam. Sehingga, hal
tersebut bisa menjadi motivasi untuk tidak terpengaruh dan terjerumus dalam perbuatan riba itu sendiri.
3) Milikilah Sifat Qona’ah
Memiliki sifat qona'ah dapat menghindarkan umatnya dari bahaya riba. Sifat qona'ah dapat dilakukan dengan senantiasa bersyukur atas apapun yang diberikan kepada kita.
Sifat bersyukur membantu agar terhindar dari perasaan serba kekurangan dan ingin hidup dalam kemewahan. Rasa ingin memiliki sesuatu dan mudah iri dengan apa yang dimiliki oleh orang membuat kita dengan mudah membeli barang walau dengan cara berhutang.
4) Lakukan Transaksi yang Diperbolehkan
Transaksi yang diperbolehkan dalam Islam ada beberapa jenis transaksi, di mana salah satunya adalah transaksi mudharabah. Transaksi yang satu ini diperbolehkan untuk
menghindari datangnya riba. Transaksi satu ini dapat dilakukan dengan cara kerja sama yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Salah satu pihak sebagai pemodal dan pihak lainnya sebagai orang yang menjalankan usaha. Transaksi ini dapat dilakukan dengan cara membagi hasil sesuai dengan yang disepakati.
5) Perbanyak Doa
Kiat terakhir agar tidak terjerumus ke dalam riba adalah perbanyak berdoa. Karena kita bisa terhindar dari yang haram, tentu saja dengan pertolongan Allah termasuk dalam masalah riba.