TEORI PERENCANAAN TAKE HOME EXAM (PAPER) UAS
NAMA : FEBY ALITA TRYA SANDI NIM : 24/547477/PTK/16161 JUMLAH KATA : 1.984
MAGISTER PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA, 2024
DINAMIKA KEKUASAAAN DAN MARGINALISASI MASYARAKAT ADAT DI PULAU REMPANG DALAM SUDUT PANDANG FOUCAULDIAN
1. Latar Belakang
Pulau Rempang, bersama dengan Pulau galang dan Pulau batam membentuk wilayah yang dikenal sebagai kota batam. Kota ini terletak di Provinsi Kepulauan Riau dan telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam beberapa dekade terakhir. Salah satu faktor yang berperan adalah lokasi Pulau Rempang yang strategis, berdekatan dengan Singapura dan Malaysia serta menjadi bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) batam.
Melihat ke belakang, Pulau Rempang cukup kaya akan sejarah. Selama masa kolonial, pulau ini dihuni oleh berbagai suku dan komunitas etnis yang beragam. Banyak peninggalan- peninggalan sejarah seperti candi dan bangunan bersejarah yang terdapat di pulau ini. Selain itu, menilik dari aspek alam, Pulau Rempang memiliki banyak kekayaan alam diantaranya pantai- pantai yang indah, hutan mangrove dan berbagai kegiatan wisata yang dapat dijumpai disana.
Berstatus sebagai bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus batam menjadikan pembangunan infrastruktur di Pulau Rempang mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Pelabuhan dan fasilitas industri telah berkembang pesat dan telah menyediakan banyak lapangan kerja hingga peluang ekonomi bagi penduduk setempat.
Dengan berbagai potensi yang dimiliki Pulau Rempang, tentu saja akan menarik banyak investor baik dalam maupun luar negeri untuk berinvestasi dipulau tersebut. Namun seiring perkembangannya, terjadi konflik atas kepemilikan tanah. Hal ini terjadi dikarenakan sistem kepemilikan yang khusus di Provinsi Kepulauan Riau dimana, hak pengelolaan Kota Batam diperoleh langsung oleh Presiden yang diatur dalam Perpres Nomor 41 Tahun 1973 yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang berada di Kota Batam adalah berbentuk Hak Pengelolaan yang dilimpahkan kepada Badan Penguasaan, sehingga status tanah batam secara kasar dimiliki oleh Pemerintah daerah dan negara. Masyarakat tidak diberi kepemilikan atas tanah yang didiami namun diberikan hak guna dan perizinan tinggal. Sementara, Pulau Rempang merupakan pulau yang banyak ditinggali oleh masyarakat adat sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu dan merasa memiliki tanah tersebut sebagai warisan leluhur.
Pada tahun 2023, pemerintah daerah berkerja sama dengan pihak ketiga atau investor luar memiliki rencana besar untuk mengubah wajah Pulau Rempang, melalui kegiatan yang dinamai
Rempang Eco city yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura.
Kegiatan ini direncanakan akan membutuhkan lahan yang luas dan karena kebutuhan tersebut pemerintah daerah Bersama pengembang berencana melakukan penggusuran terhadap lahan yang telah di tetapkan. Namun, lahan yang direncanakan merupakan lahan yang telah ditinggali oleh masyarakat adat, sehingga masyarakat adat menolak rencana tersebut.
Disinilah konflik dimulai ketika masyarakat adat menolak relokasi paksa dari tanah dan rumah mereka. Masyarakat setempat telah mengklaim hak kepemilikan sebagian besar pulau tersebut selama bertahun-tahun, sementara pemerintah daerah juga memiliki klaim atas wilayah tersebut. Masyarakat adat ini merasa bahwa kehadiran pengembang dan kegiatan yang direncanakan tersebut mengambil alih lahan warisan budaya milik mereka dan khawatir akan merusak budaya dan tradisi serta mata pencaharian mereka, dan ketakutan akan naik nya biaya hidup menjadi pemicu ketegangan yang semakin meningkat.
Dalam pandangan Foucalt, konflik ini menunjukkan bagaimana negara menggunakan mekanisme kekuasaan untuk mendominasi ruang dan kehidupan masyarakat adat. Dalam konteks ini, pembangunan diperlakukan sebagai strategi kontrol melalui pengaturan ulang tata ruang, yang sering kali mengorbankan masyarakat lokal tanpa mempertimbangkan sejarah atau keberlanjutan budaya mereka.
2. Tinjauan Pustaka Teori Power-Relation
Michel Foucault mendefinisikan kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak hanya dimiliki oleh individual atau institusi, tetapi juga tersebar melalui hubungan sosial. Kekuasaan bersifat produktif, menciptakan norma, pengetahuan, dan praktik sosial yang memengaruhi perilaku individu maupun kelompok. Beberapa ciri yang mencerminkan konsep power-relation menurut Foucault:
1. Kekuasaan sebagai Relasi, bukan kepemilikan
Dalam konteks perencanaan, ini berarti bahwa kuasa ada dalam interaksi antara perencana, masyarakat, dan aktor lainnya. Kekuasaan bersifat menyebar.
2. Kekuasaan sebagai Produksi Pengetahuan dan Wacana
Dalam perencanaan, wacana resmi seperti zonasi, regulasi, dan konsep pembangunan berkelanjutan sering digunakan untuk melegitimasi keputusan tertentu. Teori ini menyoroti
bahwa wacana tersebut sering mendefinisikan apa yang dianggap “benar” atau “rasional,”
mengesampingkan alternatif pandangan atau kebutuhan kelompok tertentu.
3. Kuasa yang Produktif dan Represif
Dalam perencanaan, ini terlihat dalam cara kebijakan tertentu memproduksi tata ruang, perilaku masyarakat, dan bahkan cara berpikir tentang kota dan lingkungan.
4. Resistensi sebagai bagian dari kekuasaan
Dalam perencanaan, resistensi muncul dari kelompok-kelompok yang termarjinalisasi atau mereka yang menolak narasi resmi.
Dalam karya-karyanya, Foucault menolak pandangan tradisional yang melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang hanya bekerja secara vertikal (dari atas ke bawah), dan sebaliknya menunjukkan bahwa kekuasaan bersifat lebih kompleks, menyebar, dan selalu dihadapkan pada resistensi.
Konsep power-relation Foucault menjadi alat penting untuk menganalisis bagaimana kebijakan publik dan praktik sosial sering kali membentuk atau mendistorsi kehidupan masyarakat, termasuk dalam kasus seperti konflik lahan Pulau Rempang.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konflik kekuasaan yang terjadi di Pulau Rempang dan pendekataan perencanaan dari permasalahan tersebut dengan menggunakan metode penelitian melalui studi literatur dan menggunakan pendekatan Power-relation yang dikenal sebagai Foucauldian theories dimana teori ini dilandasi oleh ide-ide Michael Foucault dan mulai diperkenalkan dalam bukunya Discipline and Punish (1975). Teori ini memandang perencanaan sebagai proses yang tidak netral, melainkan dipengaruhi oleh struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Kekuasaan bukan sekedar alat yang dimiliki oleh individu atau institusi untuk mendominasi, tetapi lebih sebagai jaringan hubungan yang tersebar diseluruh masyarakat.
4. Gambaran Umum wilayah
Rempang merupakan sebuah pulau yang terletak di wilayah pemerintahan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Rempang berada sekitar 3 km disebelah Tenggara Pulau Batam dan terhubung langsung dengan jembatan Barelang V dengan Pulau Galang yang berada di bagian selatannya. Pulau ini memiliki luas wilayah 16.583 hektar yang terdiri dari dua kelurahan Rempang Cate dan Sembulang. Menurut BPS, jumlah penduduk yang menempati Pulau Rempang saat ini mencapai sekitar 7.935 jiwa yang tersebar di seluruh pulau.
Pulau Rempang, sebuah perbukitan yang dihiasi dengan kekayaan warisan budaya.
Kehidupan masyarakat adat Pulau Rempang yang merefleksikan kekayaan budaya Indonesia, dengan melibatkan berbagai kelompok etnis seperti suku melayu dan suku laut, serta beberapa kelompok lain yang ikut berkontribusi dalam membentuk mozaik budaya yang unik di pulau ini.
Terdapat sekitar 16 kampung tua alias masyarakat adat melayu tua, suku orang laut, dan suku orang darat yang diyakini telah menghuni wilayah tersebut sejak puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya. Setiap kampung adat di Pulau Rempang adalah saksi bisu dari sejarah panjang masyarakatnya. Setiap kampung memiliki identitasnya sendiri dalam hal tradisi, adat istiadat, dan kehidupan sehari-hari.
5. Pembahasan
a. Konflik Sengketa Lahan
Konflik sengketa lahan yang terjadi antara pemerintah daerah dan masyarakat adat di Pulau Rempang menjadi pangkal ketegangan diantara pihak-pihak dengan kepentingan yang berbeda.
Dalam situasi konkret ini, terdapat pertentangan antara masyarakat adat setempat, pemerintah, dan perusahaan swasta.
Pemerintah dan pengembang sebagai pihak ketiga yakni PT. Makmur Elok Graha memposisikan Rempang Eco City sebagai proyek yang akan membawa “kesejahteraan nasional”
melalui peningkatan investasi dan daya saing ekonomi. Narasi ini dikukuhkan melalui kebijakan formal seperti peraturan pengadaan tanah dan retorika Pembangunan berkelanjutan. Namun, narasi ini sering kali mengabaikan aspek keberlanjutan sosial dan budaya masyarakat adat setempat.
Rempang Eco City tersebut direncanakan mencakup sekitar 45% dari total luas Pulau Rempang. Diprediksi akan menarik investasi senilai Rp 381 triliun dan menciptakan puluhan ribu lapangan kerja. Namun, pelaksanaannya melibatkan relokasi sekitar 7.500 penduduk, termasuk masyarakat adat melayu dan suku laut, dan beberapa suku lainnya yang ada dipulau tersebut.
Awalnya, terkait kepemilikannya, sebenarnya Pulau Rempang adalah milik Pemerintah Kota Batam, yang kemudian oleh Menko Polhukam sebelumnya yakni Mahfud MD, dalam sebuah pernyataan, Pulau Rempang adalah milik negara yang hak pengelolaannya telah diberikan kepada sebuah Perusahaan. Namun, masyarakat adat setempat telah mengklaim hak kepemilikan sebagian besar pulau selama bertahun-tahun, karena merasa bahwa mereka telah lebih dulu mendiami pulau tersebut sejak lebih dari 200 tahun atau sejak abad ke-19.
Masyarakat adat Pulau Rempang menolak proyek ini dengan mengajukan klaim historis atas tanah tempat tinggal mereka, melakukan protes dan menyebarkan informasi melalui media sosial. Namun, puncak konflik terjadi pada September 2023 ketika pemerintah tidak mengindahkan protes yang dilayangkan masyarakat adat dan masuk ke Kawasan permukiman dengan tujuan memasang tanda area yang akan digusur. Terjadi bentrokan antara penduduk asli Masyarakat Rempang dengan aparat keamanan pemerintah sebab masyarakat menolak digusur paksa dan perebutan hak masyarakat yang diambil oleh kuasa pemerintah untuk dibangunnya kawasan industri, pariwisata dan jasa tersebut. Resistensi ini merupakan bentuk relasi kekuasaan yang melawan dominasi narasi Pembangunan. Dengan membangun wacana tandingan tentang hak adat dan keberlanjutan budaya, Masyarakat local mencoba menantang legitimasi pemerintah.
Sebenarnya, tantangan utama dalam pembangunan ini muncul dari minimnya dialog antara pemerintah dan masyarakat lokal. Proses pengambilan keputusan cenderung mengabaikan prinsip
“free, prior, and informed consent”. Hal ini memperburuk ketegangan dan menyebabkan bentrokan fisik. Pemerintah daerah yang lebih condong kepada pengembang menjadikan ketegangan semakin meningkat.
b. Pendekatan Perencanaan
Pemerintah memiliki peran penting dalam menentukan kewenangan seperti apa yang dapat menjadi jalan tengah antara berbagai pihak yang terlibat. Karena disamping hukum konstitusional, Indonesia sebagai negara multikultural memiliki hukum adat dan hukum agama sebagian bagian dari masyarakat. Pengakuan akan adanya hukum adat, Masyarakat adat, dan tanah adat menjadi krusial untuk menemui titik terang dari konflik Rempang ini. Pemerintah perlu menemukan jalan terbaik dari konflik yang terjadi dengan memperhatikan dan memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat.
Penyelesaian konflik terkait perkembangan Rempang Eco City ini menunjukkan proses yang kompleks dengan berbagai dinamika, melibatkan pemerintah, masyarakat adat, serta pihak- pihak lain yang berkepentingan. Berikut adalah langkah-langkah penyelesaian yang telah dilakukan, berdasarkan sumber terbaru:
Relokasi dan kompensasi : penggusuran terhadap masyarakat tetap terjadi dan dilakukan namun, pemerintah daerah berusaha semampunya untuk menyediakan lahan relokasi sementara dengan beberapa kompensasi yang diberikan.
Pengurangan luas lahan : dari total 16.583 hektar lahan yang direncanakan, hanya 8.000 hektar yang akan dikelola oleh pengembang, dengan 2.300 hektar difokuskan pada Pembangunan tahap awal kegiatan.
Namun, menilik dari respon masyarakat, sebagian masyarakat menerima tawaran relokasi dengan kompensasi, tetapi masih ada kelompok yang menolak karena menganggap hak mereka atas tanah leluhur terabaikan. Mereka juga menuntut pengakuan terhadap kearifan lokal yang telah berlangsung lama di wilayah tersebut.
c. Teori Power-Relation dan Perspektif Perencana
Memandang dari teori hubungan kekuasaan Foucauldian, konflik ini menunjukkan bagaimana negara menggunakan mekanisme kekuasaan untuk mendominasi ruang dan kehidupan masyarakat adat. Dalam konteks ini, Pembangunan diperlakukan sebagai strategi kontrol melalui pengaturan ulang tata ruang, yang sering kali mengorbankan masyarakat lokal tanpa mempertimbangkan sejarah atau keberlanjutan budaya mereka.
Beberapa penyelesaian yang diuraikan diatas menggambarkan praktik kekuasaan yang kompleks seperti pemerintah memanfaatkan legitimasi kebijakan nasional untuk mengubah struktur ruang dan akses masyarakat terhadap sumber daya, kegiatan Pembangunan ini diiringi dengan narasi pembangunan strategis, tetapi ada ketimpangan dalam partisipasi mayarakat yang seharusnya mendapat informasi dan perlindungan hak secara lebih utuh, serta penolakan masyarakat menunjukkan resistensi terhadap dominasi kekuasaan yang terkesan lebih condong pada kepentingan ekonomi di banding pelestarian sosial-budaya.
Dalam persepsi perencana, konflik sengketa Pulau Rempang sebenarnya terletak pada kurang matang nya strategi perencanaan yang dilakukan, seperti kurang melibatkan masyarakat adat dan pemimpin lokal dalam diskusi awal perencanaan untuk menciptakan hubungan kerjasama dan rasa kepemilikan terhadap proyek pembangunan tersebut. Dalam konteks perencanaan, sebenarnya penting bagi pemerintah untuk menyeimbangkan ambisi pembangunan dengan hak- hak sosial masyarakat adat. Memastikan partisipasi aktif komunitas dalam perencanaan proyek serta menyediakan kompensasi yang adil adalah langkah penting untuk mengurangi konflik yang terjadi di Pulau Rempang. Selain itu, pemerintah daerah perlu mempertimbangkan dengan seksama terkait keterlibatan pihak ketiga dalam Pembangunan, karena keberpihakan pemerintah daerah melaui narasi “kepentingan nasional” ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat dan hanya mengira mereka dirugikan sementara proyek ini hanya akan menguntungkan pengembang.
Dalam hal ini, perencana harus bertindak sebagai fasilitator yang menjembatani berbagai kepentingan, menciptakan ruang dialog, dan memastikan bahwa semua kelompok memiliki suara dalam proses pembangunan.
Konflik sengketa lahan dan distorsi kekuasaan di Pulau Rempang memberikan pelajaran penting tentang bagaimana kekuasaan bekerja dalam proses pembangunan, terutama pada proyek besar yang melibatkan lahan adat. Perencana dan pemerintah sepatutnya mengedepankan kepentingan masyarakat dari pada fokus pada keuntungan. Penyelesaian yang berkelanjutan diperlukan dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis keadilan.
6. Kesimpulan dan Saran
Konflik sengketa lahan di Pulau Rempang mencerminkan dinamika relasi kekuasaan yang kompleks antara pemerintah, masyarakat lokal, dan aktor lainnya. Pendekatan power-relation Foucauldian memberikan Gambaran konflik pembangunan seperti di Pulau Rempang, dimana proyek pembangunan sering kali menggunakan kekuasaan untuk mendominasi masyarakat lokal, tetapi resistensi menunjukkan dinamika kekuasaan yang kompleks. Analisis ini menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih inklusif dan dialogis dalam perencanaan pembangunan guna mengurangi konflik dan melindungi hak masyarakat adat.
Pendekatan Foucault juga menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya bersifat represif tetapi juga membentuk wacana dan praktik sosial. Pada kasus Pulau Rempang, dapat ditarik kesimpulan bahwa perencanaan pembangunan harus memperhatikan dimensi sosial dan budaya dalam proyek Pembangunan agar konflik serupa dapat diminimalisasi dan demi kelangsungan masa depan.
Referensi
Sari, Tri Putri. 2023. Konflik Sengketa Tanah dan Implementasi Hukum Adat Di Pulau Rempang.
Journal Of Social Science Research. Vol. 4 Nomor 1. https://j- innovative.org/index.php/Innovative
Sejarah, Penyebab dan Dampak dari Konflik Pulau Rempang Halaman 1 - Kompasiana.com akses 30-11-24
Kronologi Peristiwa dan Akar Konflik Pulau Rempang: Investasi Vs Masyarakat - Kompasiana.com akses 30-11-24
Menilik Konflik Rempang dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak-Hak Masyarakat Adat - Universitas Gadjah Mada akses 1-12-24
Soal Rempang, Presiden Jokowi: Selesaikan dengan Baik, Kedepankan Kepentingan Masyarakat akses 2-12-24
Komnas HAM Ungkap 5 Hasil Koordinasi dengan Pemerintah Persoalan Pulau Rempang akses 2- 12-24
Deretan Cara Pemerintah Selesaikan Konflik di Pulau Rempang | tempo.co akses 2-12-24