• Tidak ada hasil yang ditemukan

FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA OBESITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "FOOD ADDICTION SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA OBESITAS "

Copied!
32
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Terdapat peningkatan jumlah kasus kecanduan makanan (FA) selama dekade terakhir, namun hanya sedikit literatur yang menjelaskan bagaimana sebenarnya kecanduan makanan dapat berkembang dan apa dampak buruknya. Selama satu dekade terakhir, kecanduan makanan menjadi topik yang banyak dibicarakan oleh para ahli ilmiah, dengan hipotesis bahwa seseorang bisa menjadi kecanduan makanan tertentu. Kecanduan makanan akan dibahas dalam referensi ini untuk mengetahui bagaimana hal tersebut dapat terjadi sehingga dampak buruk seperti obesitas dapat dihindari.

Kecanduan makanan merupakan kecanduan yang sulit diterapkan dan diperlukan banyak penelitian untuk mengatasi masalah ini (Dimitrijevic et al, 2014). Sangat diperlukan cara mengidentifikasi orang yang mengalami kecanduan makanan sejak dini, agar obesitas di kemudian hari dapat dicegah sesegera mungkin. Referensi kali ini akan membahas kecanduan makanan sebagai salah satu faktor risiko obesitas dan mengulas secara singkat cara mengatasinya.

Batasan Pembahasan

Tujuan dan Manfaat Penulisan

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Food Addiction

Penelitian Gearthardt et al (2011) menggunakan YFAS (Yale Food Addiction Scale) menunjukkan bahwa gejala yang paling umum pada orang dewasa mengalami kecanduan makanan adalah. Dalam penelitian terbaru, gejala ini terlihat pada orang gemuk yang memiliki kebiasaan makan berlebihan (Dimitrijevic, 2014). Ditemukan bahwa 40% orang yang mengalami kecanduan makanan mengalami obesitas dan hal ini menunjukkan hubungan yang sangat erat antara kebiasaan makan dengan penambahan berat badan (Lerma et al, 2016).

Dengan mengetahui kecanduan makanan ini kita dapat mencegah terjadinya kecanduan yang dapat dijadikan sebagai strategi untuk mencegah obesitas (Lerma et al, 2016 & Hebebrand et al, 2014).

Epidemiologi Food Addiction (FA)

Prevalensi obesitas berdasarkan perhitungan WHO adalah 600 juta orang di seluruh dunia dan jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat jika tidak segera diatasi (Lerma et al, 2016). Di Amerika, 1 dari 3 orang dewasa mengalami obesitas dan 1 dari 5 anak mengalami obesitas (Ziauddeen et al, 2015). Data ini secara signifikan meningkatkan risiko kondisi kronis terkait obesitas, seperti penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe 2, yang akan mempengaruhi kualitas hidup (Pursey et al, 2014).

Banyak penelitian menyatakan bahwa kecanduan makanan berperan dalam timbulnya obesitas (Lerma et al, 2014 & Schulte et al, 2016). Contohnya terjadi pada orang dewasa di Australia dan Amerika. 86% melaporkan kecanduan terhadap makanan tertentu, terutama yang mengandung makanan tinggi gula, dan 80% dari mereka percaya bahwa makanan tersebut sama adiktifnya dengan alkohol, rokok, dan kokain. Obesitas tidak hanya disebabkan oleh faktor genetik saja, namun faktor lingkungan diyakini turut berperan, seperti kebiasaan mengonsumsi makanan lezat (tasty food), yang berisiko menyebabkan kecanduan makanan (seperti makanan tinggi gula, lemak dan garam).

Kriteria Diagnosis Food addiction

Kelompok kedua (kriteria nomor 5-7) menunjukkan adanya gangguan kehidupan sosial pada individu yang mengonsumsi zat tersebut berupa: 5. Kelompok kriteria terakhir menunjukkan adanya efek farmakologis dari zat itu sendiri di dalam tubuh (kriteria nomor 10 dan 11) dalam bentuk. Terdapat gejala toleransi, yang ditandai dengan peningkatan jumlah yang dibutuhkan suatu zat untuk menghasilkan efek yang sama dan penurunan efek yang dihasilkan oleh penggunaan dosis yang sama.

Ketergantungan zat adalah sekelompok gejala kognitif, perilaku, dan psikologis yang terkait dengan penggunaan suatu zat secara terus-menerus, bahkan ketika zat tersebut menyebabkan masalah serius. Braun dkk menyatakan dalam penelitiannya bahwa kecanduan makanan menunjukkan peningkatan jumlah dan frekuensi makan. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa gejala putus obat dapat terjadi jika hewan tersebut tidak mendapatkan asupan makanan yang diinginkan.

Namun data empiris mengenai berapa banyak orang yang memerlukan waktu khusus untuk berpantang makan belum tersedia 5. Seseorang dengan kecanduan makanan lebih memilih untuk mengurangi aktivitas lain dan lebih memilih makan. Penelitian pada hewan yang terpapar makanan lezat dan tinggi gula menunjukkan bahwa meskipun disetrum, mereka terus mengonsumsi makanan tersebut.

Dari 1.200 sampel, 139 orang dikeluarkan karena melanggar aturan, yang menunjukkan bahwa orang yang menghadapi kecanduan makanan akan terus makan apa pun yang mereka inginkan, apa pun kondisi medisnya. Diagnosis kecanduan makanan dapat ditegakkan dengan setidaknya 3 atau lebih pengalaman yang disertai dengan kesusahan atau kesusahan, meskipun peneliti tidak mengukur tingkat kesusahan atau ketidaknyamanan tersebut. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa gejala kecanduan makanan antara lain makan dalam jumlah banyak dan makan dalam jangka waktu lama, tidak mengurangi jumlah makanan yang dimakan, dan mengabaikan konsekuensinya.

Gejala yang jarang dapat terjadi seperti toleransi dan menghabiskan waktu untuk membeli dan mengonsumsi makanan, gejala penarikan diri dan berkurangnya interaksi sosial dan aktivitas rekreasi (Pursey et al, 2014 & Dimitrijevic et al, 2014).

Patofisiologi Food addiction

Pada orang yang mengalami kecanduan makanan, ditemukan disregulasi pada sistem penghargaan di otak (Zaudeen et al, 2015). Meningkatnya penelitian yang dilakukan saat ini mengenai kecanduan makanan menunjukkan bahwa ada hubungan antara obat-obatan dan makanan dengan gangguan neurobiologis dan perilaku yang terjadi. Kecanduan makanan merupakan bagian dari proses impulsif dan kompulsif yang terjadi pada seseorang yang mengalami kecanduan makanan.

Tindakan impulsif seperti pikiran untuk makan pada keadaan kecanduan makanan dapat menjadi tindakan kompulsif dalam tindakan makan karena rangsangan yang terus menerus pada ventral striatum berpindah ke dorsal striatum (Stahl, 2013). Dopamin meningkat dalam penggunaan zat dan makanan enak di wilayah mesolimbik dan Nucleus accumbens (NAc). Studi neuroimaging juga menunjukkan aktivasi sel di wilayah NAc di pusat otak ketika terpapar zat dan makanan pada orang yang kecanduan dan mengalami obesitas.

Orang yang kecanduan dan obesitas menunjukkan lebih sedikit reseptor dopamin D2 di otak mereka daripada yang mereka kira. Mekanisme ini menjelaskan bahwa orang yang mengalami obesitas memerlukan aktivasi penghargaan dan perhatian yang lebih besar dibandingkan orang normal dalam merespons makanan yang enak (Lerma et al, 2016). Kecanduan makanan merupakan suatu keadaan pembelajaran dan pengondisian, dimana apabila terdapat stimulus berupa makanan yang enak maka akan terjadi peningkatan dopamin pada sistem limbik yang meliputi amigdala dan anterior cingulate.

Setelah otak mengenali makanan tersebut, akan terjadi mekanisme pembelajaran dan terjadi perubahan perilaku kecanduan untuk mencari makanan enak tersebut. Kondisi pembelajaran dan pengkondisian ini merupakan psikopatologi dari kecanduan makanan ini (Sadock & Sadock, 2015). Karena proses psikopatologisnya sama dengan penggunaan narkoba, maka kecanduan makanan juga dipengaruhi oleh faktor keturunan.

Neuron dopamin pada VTA sangat penting dalam munculnya kecanduan makanan ini, karena neuron ini menargetkan korteks dan sistem limbik, terutama nukleus accumbens.

Gambar 2 Patofisiologi food addiction yang sama dengan Mekanisme Adiksi  lainnya (Sthal, 2013)
Gambar 2 Patofisiologi food addiction yang sama dengan Mekanisme Adiksi lainnya (Sthal, 2013)

Jenis-Jenis Food Addiction

Orang menerima gula melalui rasa manis pada makanan dan akan termotivasi untuk mengonsumsi makanan manis. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa sinyal opioid endogen diaktifkan ketika gula (bukan lemak) dikonsumsi, yang merupakan mekanisme penyalahgunaan obat yang sama yang terjadi di otak manusia. Pada manusia, perilaku adiktif ini seringkali disertai dengan tekanan psikologis seperti rasa bersalah, kebiasaan, kecemasan dan depresi.

Pada individu sehat, konsumsi garam dikaitkan dengan konsumsi air dan dikeluarkan oleh ginjal melalui urin melalui mekanisme diuretiknya. Karena konsumsi garam seringkali dibarengi dengan konsumsi air putih, maka yang menjadi masalah kesehatan adalah konsumsi minuman yang mengandung kalori tinggi sehingga berbahaya bagi kesehatan. Dalam penelitian pada tikus, terbukti bahwa hubungan antara asupan gula dan sistem penghargaan otak tidak selalu terjadi, sedangkan pada manusia belum ada penelitian.

Menjaga fungsi normal tubuh memerlukan asupan lemak yang cukup dan umumnya dianjurkan mengonsumsi 20-35%. Lemak merupakan makanan lezat yang diterima oleh sel-sel saraf sensorik di mulut, sel-sel penciuman di hidung, sel-sel di saluran pencernaan, hormon-hormon dalam tubuh dan SSP. Percobaan pada tikus menunjukkan bahwa tikus yang diberi makanan mengandung lemak tinggi mengalami penurunan sensitivitas terhadap stres dan gejala penarikan akut terjadi ketika jumlah lemak yang diberikan berkurang.

Secara neurokimia di otak terjadi proses yang sama seperti konsumsi gula, dimana dopamin dilepaskan di dalam nukleus accumben yang memberikan rasa nikmat. Mengenai kecanduan lemak berbeda dengan kecanduan gula, dimana konsumsi lemak yang tinggi menyebabkan peningkatan berat badan dan peningkatan jumlah sel adiposit dalam tubuh.

Skrining Food Addiction

Skala kecanduan makanan yang paling banyak digunakan saat ini adalah Yale Food Addiction Scale (YFAS). Alat ukur ini dikembangkan pada tahun 2009 dengan kriteria model dari DSM IV-TR (APA, 2000) serupa dengan gangguan ketergantungan zat yang memiliki gejala yang sama dengan kecanduan makanan. Terdapat toleransi yang ditandai dengan jumlah konsumsi yang semakin meningkat dan dampak yang dirasakan semakin menurun.

Kuesioner YFAS terdiri dari 25 item laporan diri yang mengukur gejala kecanduan makanan seperti toleransi, penarikan diri, dan kurangnya pengendalian diri terhadap makanan. Peserta yang mempunyai 3 gejala atau lebih dan mengalami gangguan fungsi secara klinis atau kelainan yang sesuai.

Penatalakanaan Food Addiction

2 Tidak tahan apapun, sangat mudah tersinggung dan lapar dengan sedikit tenaga, mual, merasa sangat lapar. 7 Merasa lebih dari kenyang, masih bisa makan sedikit lagi, tapi badan kenyang, tapi pikiran masih bisa makan. 8 Merasa sangat kenyang, mulai terasa sakit di perut, namun bau masih ingin makan.

9 Perasaan tidak menyenangkan karena terlalu kenyang, fokus pada makanan dan istirahat lebih nyaman, berkurangnya aktivitas sosial. 10 Penuh, tidak mampu beranjak dari posisi duduk dan tidak mau lagi mencari makan. Tujuan pengobatan kecanduan makanan adalah makan saat merasa lapar pada skala antara 2-3 dan berhenti makan saat sudah mencapai skala 5-6.

Para ahli menyarankan untuk mengatasi kecanduan makanan ini, menghindari stres emosional untuk mencegah peningkatan nafsu makan dan diperlukan strategi yang lebih sehat untuk mengatasi perasaan sedih, cemas, marah dan lain sebagainya. Kenikmatan tidak hanya bisa dicapai dengan mengonsumsi coklat, pizza, burger, tapi juga bisa dicapai dengan berolahraga. Pada umumnya psikoterapi singkat (intervensi singkat) digunakan pada orang yang mengalami adiksi berat dengan masa pengobatan minimal 3 bulan.

Terapi keluarga juga dapat dilakukan untuk mendapatkan dukungan dan peringatan dari keluarga jika pasien makan berlebihan. Efek utama obat ini adalah mengurangi rasa lapar, namun karena efek samping yang serius pada manusia, obat ini ditarik dari peredaran terutama di Amerika, namun obat ini masih disetujui untuk digunakan di Eropa (Wikipedia, 2016).

Tabel  1 Skala hunger untuk mengukur rasa lapar (dikutip dari the center  for health promotion and wellness at MIT Medical, 2016)
Tabel 1 Skala hunger untuk mengukur rasa lapar (dikutip dari the center for health promotion and wellness at MIT Medical, 2016)

RINGKASAN

Gambar

Gambar 2 Patofisiologi food addiction yang sama dengan Mekanisme Adiksi  lainnya (Sthal, 2013)
Tabel  1 Skala hunger untuk mengukur rasa lapar (dikutip dari the center  for health promotion and wellness at MIT Medical, 2016)
Gambar 3 Skala hunger untuk mengukur rasa lapar (dikutip dari the center  for health promotion and wellness at MIT Medical, 2016)

Referensi

Dokumen terkait

NO NIM NAMA DOSEN PEMBIMBING KETERANGAN PEMBAGIAN DOSEN PEMBIMBING KERJA PRAKTIK TAHUN AKADEMIK 2022/2023 PRODI STATISTIKA, FAKULTAS MIPA, UII 64 20611127 DIVIA PUTRI RISTYASARI Dr..