• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Gambaran Perkembangan Identitas Moral pada Remaja di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of Gambaran Perkembangan Identitas Moral pada Remaja di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

Gambaran Perkembangan Identitas Moral pada Remaja di Pondok Pesantren Annuqayah

Guluk-Guluk Sumenep

Nuzulul Khair

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah nuzululkhair88@gmail.com

Nur Aina Arifah

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah nurainaarifah88@gmail.com

Rozinah

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah iingrozinahnya@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan gambaran perkembangan identitas moral remaja yang tinggal di pesantren, mengungkap faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan moral, serta sekaligus mengeksplorasi faktor yang paling dominan. Nilai- nilai religius dan peran pesantren juga diungkap dalam penelitian.

Riset ini menggunakan metode studi kasus dan menggunakan teori moral Kohlberg sebagai pisau analisis. Subjek penelitian terdiri dari empat orang santri, semuanya dengan latar belakang yang berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat subjek berada pada tahap perkembangan moral yang berbeda, subjek pertama dan kedua mencapai tingkat perkembangan moral konvensional tahap 4.

Sementara subjek ketiga dan keempat sama-sama berada pada tingkat pasca-konvensional, subjek ketiga berada pada tahap 5 dan subjek keempat berada pada tahap 6. Perbedaan tersebut bisa diamati dari perbedaan faktor pada masing-masing subjek, yaitu perbedaan status modelling dari orang tua, konflik kognitif dengan teman sebaya, dan interaksi dengan lingkungan pesantren. Modelling dari orang tua dianggap faktor yang paling dominan memengaruhi perkembangan moral keempat subjek. Hasil penelitian ini juga menunjukkan temuan bahwa lingkungan pesantren memiliki peran penting dalam mengembangkan pondasi moral yang sebelumnya didapatkan oleh remaja dari orang tua.

Kata Kunci: Identitas Moral, Remaja, Pondok Pesantren

(2)

Pendahuluan

Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi dimensi moral pada manusia. Dalam Al-Qur’an (3:101), terdapat penjelasan yang intinya menegaskan bahwa umat Islam adalah sebaik-baiknya umat, yang dikeluarkan dalam kehidupan manusia untuk tujuan moral.1 Keberadaan moral dapat ditilik ke belakang bersamaan dengan kehidupan semua orang dalam masyarakat beradab. Moral menyangkut kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik atau buruk, benar atau salah, tepat atau tidak tepat.

Persoalan moral senantiasa dituntut terus bisa diatasi seiring dengan dinamika dan tantangan kehidupan manusia yang kian kompleks. Persoalan moral tidak mengenal usia berapa pun, namun persoalan moral seringkali banyak ditemui saat seseorang menginjak usia remaja.2

Moral merupakan suatu kebutuhan penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman menentukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang sering terjadi.3 Konflik peran ini seringkali dialami oleh remaja karena mereka berada pada fase transisi. Pada fase ini emosi remaja cenderung labil dan

1 Musa Asy’ari, Dinamika Kajian Keislaman di Indonesia: Isu dan Tantangan, Dalam Islam dan Realitas Sosial, Amir Mahmud (Ed) (Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005), hlm. 43

2 Carl Rogers, Psychology of Adolesence (New Jersey: Prentice-Hall, 1977), page. 22.

3 Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 206.

(3)

tidak jarang melakukan tindakan-tindakan yang berisiko, bahkan tidak jarang bersifat amoral. Menurut Hurlock, perilaku yang dimunculkan oleh remaja banyak didasari oleh perubahan fisik dan emosi. 4 Perubahan fisik umumnya menyangkut mulai berfungsinya organ-organ reproduksi yang beriringan dengan perubahan mental yang bersifat universal meliputi, emosi yang cenderung meninggi, perubahan peran, minat, panutan atau terkait dengan nilai-nilai yang dijadikan pedoman berperilaku.

Perubahan yang paling mencolok pada kaum remaja, yaitu bagaimana mereka memberikan reaksi terhadap dunia luar yang biasanya cenderung spontanitas tanpa berpikir jangka panjang.

Oleh sebab itu, remaja harus bisa mengoptimalkan tugas perkembangan mereka. Secara umum, tugas perkembangan masa remaja terpusat pada upaya meminimalisir sifat kekanak-kanakan dan melakukan persiapan untuk memasuki fase dewasa.5 Secara lebih khusus, tugas perkembangan masa remaja adalah mencapai identitas diri melalui berbagai ekplorasi, baik terhadap diri sendiri ataupun lingkungan. Jadi, proses pencarian identitas diri yang mantap merupakan hal yang urgen bagi remaja, terutama terkait dengan perkembangan psikososialnya. Kegagalan dalam pembentukan identitas diri, tidak jarang menggiring remaja pada perilaku-perilaku menyimpang.

4 Elizabeth B. Hurlock, Development Psychology (Mc Graw-Hill Inc, Inggris, 1980), page. 50.

5 Elizabeth B. Hurlock, Development Psychology..., page. 55.

(4)

Telah banyak ditemukan kasus-kasus penyimpangan moral yang dialami olah kalangan remaja. Pada tahun 2017 misalnya, cenderung banyak terjadi kemorosotan moral pada remaja di berbagai daerah di Indonesia termasuk juga di Sumenep.

Fenomena yang akhir-akhir ini sering terjadi salah satunya, kasus video mesum yang dilakukan oleh remaja di Samarinda dan melibatkan lebih dari satu remaja.6 Bisa jadi, kasus video mesum ini lebih banyak jumlahnya dari yang terungkap ke permukaan.

Ibarat fenomena gunung es, apabila ada satu kasus yang terungkap, ada sekitar 10 kasus yang biasanya sedang mengendap.

Selanjutnya, fenomena remaja yang meninggal dunia karena terlibat dalam aksi tawuran pelajar di Tangerang.7 Peristiwa ini melengkapi catatan kelam terkait perilaku tawuran yang seringkali dilakukan oleh kalangan pelajar yang pada umumnya masih berusia remaja. Selain peristiwa tawuran yang terjadi di tahun 2018 ini, pada tahun 2012 Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukkan angka yang memprihatinkan, yaitu sebanyak 82 pelajar tewas sepanjang tahun 2012 karena terlibat dalam aksi tawuran.8 Selain itu, peristiwa yang miris juga

6 Medan.tribunnews.com, “Kasus Video Mesum Remaja Samarinda, Sudah Ada Tersangka Baru, 7 Desember 2017. Diakses pada 20 Agustus 2019.

7 Detik.news, “Pelajar yang Terluka Akibat Tawuran di Tangerang Meninggal Dunia, 13 Agustus 2018. Diakses pada 20 Agustus 2019.

8 Kompas.com, “82 Pelajar Tewas Sia-sia karena Tawuran, 21 Desember 2012. Diakses pada 20 Agustus 2019.

(5)

dilakukan oleh remaja di Sumenep dengan melakukan pesta miras di kamar kos.9

Dari berbagai kasus penyimpangan moral yang disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa remaja Indonesia berada dalam situasi kemorosotan moral yang akut. Ditambah lagi, kemajuan zaman yang modern ditandai dengan semakin canggihnya sistem teknologi informasi diyakini tidak hanya membawa dampak yang positif pada kaum remaja, tetapi juga banyak membawa ekses negatif pada perilaku remaja. Pada tataran yang lebih luas, arus globalisasi membuat remaja menjadi pribadi yang terasing dari dirinya dan lingkungannya. Jika tidak ada upaya kolektif yang dilakukan oleh kaum remaja untuk menemukan identitas dirinya melalui pencarian dan penghayatan terhadap nilai-nilai moral, maka apa yang ditegaskan oleh Hurlock bahwa remaja dihantui oleh penyimpangan moral, seperti tawuran, penyalahgunaan narkoba, penyimpangan seksual, akan terus terjadi.10 Terlebih lagi, berbagai krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia terutama yang diakibatkan oleh banyaknya kasus korupsi menjadikan remaja mengalami krisis figur yang bisa dicontoh di dalam menegakkan nilai-nilai moral dalam kehidupan mereka.

Bagi remaja, nilai-nilai agama atau religiusitas memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, agama memberikan

9 Portalindonesia.co.id, Pesta Miras di Kamar Kos, Empat Remaja di Sumenep Ditangkap Polisi, 05 Oktober 2017. Diakses 20 Agustus 2019.

10 Elizabeth B. Hurlock, Development Psychology..., page. 55.

(6)

sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya.11 Di samping itu, agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama dengan seperangkat nilainya yang luhur, memberikan perlindungan rasa aman, pengendalian diri, terutama bagi kalangan remaja yang sedang berusaha menemukan identitas dirinya.

Terdapat suatu penelitian yang ditulis oleh Iredho Fani Reza, yang berjudul hubungan antara religiusitas dengan moralitas pada Remaja,12 menunjukkan hasil bahwa religiusitas dapat memengaruhi setiap aspek dalam kehidupan individu, baik psikis maupun fisik. Hasil penelitian ini menunjukkan pula bahwa ada keterkaitan yang siginifikan antara religiusitas dengan perkembangan moral pada remaja. Penelitian lain yang dilakukan oleh Solvia Karena Taregan dan Ade Rahmawati Siregar, yang berjudul gambaran penalaran moral pada remaja yang tinggal di daerah konflik,13 menghasilkan temuan bahwa perkembangan moral pada remaja di daerah konflik lebih banyak bersifat konformitas.

11 Adam & Gullotta, Adolescent of Experiences, (California:

Wadsworth, Inc., Belmont), 1983, page. 34

12 Iredho Fani Reza, “Hubungan antara Religiusitas dengan Moralitas pada Remaja”, Jurnal Humanitas, Volume X, Nomor 02 Agustus, 2013.

13 Solvia Karena Taregan dan Ade Rahmawati Siregar, “Gambaran Penalaran Moral pada Remaja yang Tinggal di Daerah Konflik”, Jurnal Psikologia, Volume 08, Nomor 02, 2013.

(7)

Berdasarkan riset-riset di atas, peran agama dan lokasi tempat tinggal memengaruhi terhadap perkembangan moral pada remaja. Sesuai dengan analisa Kiai Sahal Mahfudh, manusia mempunyai naluri menjaga kelangsungan hidupnya. Sikap etis atau amoral yang diperbuat manusia sering dipengaruhi oleh naluri tersebut. Bahkan manusia mempertaruhkan kebaikan dan keburukannya demi mempertahankan naluri kelangsungan hidupnya. Manusia selalu mengalami perubahan, seiring dengan perubahan sosial. Suatu kondisi sosio-historis tertentu, dapat melahirkan psiko-sosial yang disebut karakter. Karakter ini seringkali tidak berdiri sendiri, tetap ia mendapatkan rangsangan dari seluruh struktur sosial, politik, ekonomi di sekelilingnya.14

Sebaliknya, sistem sosial yang otoriter dengan peraturan represif, misalnya, mudah merangsang sikap agresif dalam diri manusia. Di samping itu, struktur yang menekan juga akan mengakibatkan kebosanan. Kebosanan biasanya akan memunculkan sikap yang apatis, yang ada gilirannya akan mematikan kreativitas dan produktivitas. Akibat lebih jauh adalah di dalam kehidupan mahasiswa berkembang, aktivitas yang kontrapoduktif semata-mata sebagai kompensasi membebaskan diri dari kebosanan, dengan melancarkan berbagai bentuk penyimpangan, sikap amoral, dan tidak etis.

14 Sahal Mahfud, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 2004), hlm. 175.

(8)

Dengan demikian, menjadi menarik untuk meneliti kehidupan remaja yang tinggal atau nyantri di Pondok Pesantren Annuqayah yang menjadikan moral sebagai dimensi yang dianggap penting untuk diperkuat oleh kalangan santri. Secara lebih spesifik, Pondok Pesantren Annuqayah merupakan pesantren yang berdiri tahun 1887, terletak di Desa Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep yang sejak awal berdiri sampai saat ini secara istiqamah menggembleng para santri dengan pemantapan nilai-nilai moral. Para santri tidak hanya dibekali dengan ilmu agama, tetapi juga digembleng dengan penguatan moral yang ditopang oleh figur positif para kiai sekaligus menjadi teladan para santri.

Penanaman moral yang dilandasi oleh nilai-nilai agama, menjadikan Pondok Pesantren Annuqayah terus menjadi panutan masyarakat sekitar di dalam berperilaku. Berdasarkan riset pendahuluan yang peneliti lakukan, semua problem moral yang ditemui oleh pihak Pondok Pesantren, dianggap tantangan yang mesti diselesaikan dengan serius. Artinya, baik muatan, pendekatan, dan metode pembelajaran moral pun senantiasa disesuaiakan. Sebagaimana dikemukakan oleh salah satu tokoh psikologi, Carl Rogers, suatu generasi tidak dapat sekadar menyampaikan seperangkat nilai yang siap pakai kepada generasi penerusnya. Setiap tahapan sejarah baru membawa perkembangan-perkembangan baru yang menuntut reorientasi perangkat nilai dan moral, agar senantiasa bekerja bagi

(9)

masyarakatnya.15 Ringkasnya, kerangka moral yang ditanamkan pada para santri dibungkus oleh muatan religiusitas sebagai alat pengendali perilaku.

Hal tersebut di atas didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa problem-problem sosial yang diselesaikan menggunakan nilai-nilai keagamaan akan memengaruhi cara penyesuaian psikososial remaja ke arah yang lebih baik dan lebih konstruktif. 16 Seiring dengan penilaian kontekstual di atas, penelitian tentang perkembangan identitas moral yang dilandasi dengan nilai-nilai agama menjadi menarik untuk diangkat. Dari sini peneliti tertarik untuk mengetahui perkembangan identitas moral para remaja yang tinggal di Pondok Pesantren Annuqayah.

Termasuk juga, penelitian ini berfokus pada faktor atau peran lingkungan lembaga keagamaan (pesantren) yang memiliki kontak langsung dengan remaja, terhadap perkembangan identitas moral mereka.

Kerangka teori berisi definisi dan konsep-konsep yang relevan berkenaan dengan masalah yang disoroti dalam sebuah penelitian. 17 Kerangka teori merupakan instrumen dalam menyusun pemahaman terhadap realitas yang dipenuhi dengan

15 Carl Rogers, Psychology of Adolesence, (New Jersey: Prentice- Hall), 1977, page. 22.

16 Christian Zwingmann, “Positive And Negative Religious Coping In German Breast Cancer Patients”, Journal Of Behavioral Medicine, 29 (Februari: 2006), 61

17 Jalaluddin Rakhmat, “Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis Statistik” (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. XIV, 2009), hlm. 6.

(10)

gejala-gejala. Oleh karena itu, kerangka teori dalam sebuah penelitian adalah pijakan dalam melihat objek penelitian dan merupakan pisau analisa untuk membedah dan menjelaskan objek penelitian.18 Dalam penelitian ini, kerangka teori dibutuhkan untuk menjelaskan konsep perkembangan identitas moral remaja yang tinggal di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.

Perkembangan Moral

Istilah moral atau etik mempunyai hubungan erat dengan arti asalnya. Istilah moral berasal dari kata Latin: moralis, dan istilah ethics berasal dari bahasa Yunani: ethos. Keduanya berarti:

“kebiasaan atau cara hidup”. Istilah-istilah tersebut kadang- kadang dipakai sebagai sinonim. Sekarang, biasanya orang condong untuk memakai “morality” untuk menunjukkan tingkah laku itu sendiri, sedang ethics menunjuk kepada penyelidikan tentang tingkah laku.19

Dalam moralitas dan etika terdapat beberapa permasalahan.

Pertama, terdapat penyelidikan yang dinamakan etika deskriptif (descriptive ethics). Di sini peneliti mengkaji tingkah laku pribadi- pribadi atau personality morality: tingkah laku kelompok atau sosial morality; menganalisa berbagai macam aspek dari tingkah

18Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, cet. 26, 2017), hlm. 213.

19 Haruld H. Tikus (dkk), Persoalan-persoalan Filsafat, alih bahasa oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 140.

(11)

laku manusia (baca: remaja) dari tingkah laku secara motif, niat dan tindakan-tindakan terbuka. Hal ini berbeda dengan pendekatan etika normatif (normative ethics) yang mendasarkan penyelidikannya atas prinsip-prinsip yang harus dipakai di dalam berhubungan dengan orang lain atau berinteraksi dengan lingkungan.

Kematangan moral sangat penting artinya bagi perkembangan hidup manusia sebagai anggota masyarakat.

Perkembangan moral yang berkembang dengan baik pada tahap- tahap perkembangan moralnya, akan menghasilkan individu yang kematangan moralnya tinggi. Remaja yang memiliki kematangan moral rendah akan lebih sulit untuk mengadakan penyesuaian sosial dengan masyarakat disekitarnya. Hal ini berkaitan dengan kematangan moral remaja yang dalam perkembangan moralnya mengalami hambatan, misalnya karena disebabkan oleh pola pengasuhan orang tua yang kurang tepat.

Lawrence Kohlberg, seorang profesor pendidikan dan psikologi sosial dari Universitas Harvard berdasarkan penelitiannya, menyatakan bahwa proses perkembangan moral dan perilaku pada setiap manusia tidak pernah selesai, sejak dari dalam kandungan sampai akhir hayat. Kohlberg tidak memusatkan perhatian pada perilaku moral, artinya apa yang dilakukan oleh seorang individu tidak menjadi pusat pengamatannya. Dikatakannya bahwa mengamati perilaku tidak menunjukkan banyak mengenai kematangan moral. Seorang

(12)

dewasa dengan seorang anak kecil barangkali perilakunya sama, tetapi seandainya kematangan moral mereka berbeda, tidak akan tercermin dalam perilaku mereka.20

Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan, dari pada sekadar arti suatu tindakan, sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk.

Kohlberg juga tidak memusatkan perhatian pada pernyataan (statement) orang tentang apakah tindakan tertentu itu benar atau salah. Alasannya, seorang dewasa dengan seorang anak kecil mungkin akan menjawab sesuatu yang sama, maka di sini tidak tampak adanya perbedaan antara keduanya. Apa yang berbeda dalam kematangan moral adalah pada penalaran yang diberikannya terhadap sesuatu hal yang benar atau salah.

Kohlberg, mengembangkan tahap-tahap perkembangan moral adalah sebagai berikut: (1) tingkat pra-konvensional. Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia menafsirkan baik atau buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, tukar menukar kebaikan). (2) Tingkat konvensional.

20 Kohlberg, “Cognitive-Development Theory and the Practice of Collective Moral Education”, dalam M. Collins dan M. Gottesman (ed.), Group Care: The Educational Path of Youth Aliyah, Gordon and Breach, New York, 1971; bnd. Cognitive-Developmental Approach to Moral Education, The Humanist, November-Desember, 1972; Ronald Duska dan Mariellen Whelan, Perkembangan Moral, Perkenalan dengan Piaget dan Kohlberg, (Yogyakarta:

Kanisius, 1982), hlm. 60.

(13)

Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Kalau pada tingkat pra-konvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu.

Selanjutnya, (3) tingkat pasca - konvensional atau tingkat otonom. Pada tingkat ini, orang bertindak sebagai subyek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan yang muncul pada tahap ini adalah rasa bersalah dan yang menjadi ukuran keputusan moral adalah hati nurani.21 Tindakan yang benar pada tahap terakhir ini cenderung ditafsirkan sebagai tindakan yang sesuai dengan kesepakatan umum.

Secara lebih spesifik, berikut ini merupakan tahap perkembangan moral menurut Kohlberg:22

21 Kohlberg (terjemahan), Tahap-tahap Perkembangan Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 32.

22 Desmita, Psikologi Perkembangan…, halaman. 152.

(14)

Tabel 1

Tahap Perkembangan Moral (Kohlberg)

Tingkat Tahap

1. Prakonvensional

(Mengenal moralitas berdasarkan dampak yang dihasilkan, orientasi mendapatkan hadiah atau hukuman)

1. Kepatuhan dan Hukuman Pada tahapan ini, figur otoritas menjadi pertimbangan tentang baik dan buruk

2. Hedonistik-instrumental Kebutuhan dan kepuasan menjadi tolok ukur utama apakah suatu perbuatan dinilai baik atau buruk 2. Konvensional

(Pemenuhan terhadap ekspektasi dari otoritas menjadi tolok ukur utama perbuatan baik)

3. Kecenderungan pada Anak yang Baik

Apresiasi dari orang lain, menjadi tolok ukur utama perbuatan yang dinilai baik

4. Kecenderungan pada Keteraturan dan Otoritas Penghormatan terhadap

(15)

otoritas menjadi pertimbangan utama perbuatan yang dinilai baik

3. Pasca-Konvensional

(Melakukan perbuatan baik karena pertimbangan kata hati)

5. Kecenderungan pada Kontrol Sosial

Keselarasan dengan norma sosial menjadi barometer perbuatan yang dinilai baik

6. Kecenderungan Hati Nurani

Kata hati dan prinsip- prinsip etika universal menjadi tolok ukur utama perbuatan yang dinilai baik

Perkembangan Moral Remaja

Remaja berasal dari kata adolescence yang bermakna remaja. Kata adolescence biasanya dimaknai sebagai pribadi yang mengarah pada perkembangan masa dewasa. Secara kognitif, remaja berorientasi pada fase kehidupan yang memiliki kapasitas untuk menggunakan pengetahuan secara efisien. Dengan

(16)

kemampuan ini, remaja kemudian memiliki kemampuan untuk menggunakan penalaran dengan baik, khususnya berkaitan dengan membuat pertimbangan-pertimbangan dan pengambilan keputusan. Salah satu fenomena kognitif yang juga berkembang pada remaja, yaitu perkembangan moral. Menurut Kohlberg, perkembangan moral remaja pada umumnya berada pada tahap konvensional.23 Pada tahap ini, remaja sudah mulai mengenal konsep-konsep tentang moralitas seperti kedisiplinan, kesopanan, kejujuran, dan sebagainya. Berdasarkan teori Kohlberg, idealnya remaja sudah memiliki kemampuan untuk bisa menentukan prinsip-prinsip moral berdasarkan pertimbangannya sendiri, berdasarkan penalarannya sendiri.

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi terhadap perkembangan moral remaja menurut Brabeck, yaitu:

a. Melalui proses memodel orang lain. Seorang remaja akan meningkatkan tingkat moralnya melalui sharing dengan model yang tingkat moralnya lebih tinggi, sehingga remaja akan mengadopsi nilai-nilai moral dari model yang dijadikan rekan dalam berdiskusi tentang moral.

b. Perkembangan moral pada remaja juga bisa dipengaruhi oleh adanya konflik kognitif. Konflik kognitif bisa dialamai, saat remaja mendiskusikan tema

23 Desmita, Psikologi Perkembangan…,halaman.206

(17)

moral tertentu dengan teman sebayanya. Pada dasarnya, setiap orang dalam menentukan pilihan membutuhkan konsistensi internal, termasuk pilihan keputusan moral.

Dalam arti, remaja akan cenderung untuk menghindar dari ketidaknyamanan psikologis. Pada tataran perilaku, menurut Festinger apabila seseorang melakukan sesuatu yang bertentang dengan keyakinannya maka kecenderungan orang tersebut akan merubah keyakinannya agar tidak mengalami disonansi kognitif.24 c. Relasi dan interaksi dengan teman sebaya.

d. Kualitas interaksi dengan orang tua. Misalnya, jika orang tua memberikan peluang bagi remaja untuk mendiskusikan tentang tema moral, maka bisa meningkatkan penalaran moral remaja.25

Makna Moralitas di Pesantren

Dialektika kehidupan yang mengarah pada pembentukan moral dan akhlak bisa dilihat pada pola pendidikan dan pengajaran yang terdapat di pesantren, yang mana sampai dewasa ini pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan yang mampu membidani lahirnya generasi-generasi cemerlang yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, namun juga moral dan

24 West & Turner. Introduction Communication Theory, Analysis and Application (New York: McGraw Hill, 2004) page, 50.

25 J.W. Santrock, Remaja (Jakarta: Erlangga, 2007) hlm. 54

(18)

spiritual. Dalam realitas sosial, pesantren juga menjadi basis kepercayaan masyarakat untuk menghasilkan peserta didik (santri) yang memiliki akhlak mulia. Hal tersebut, tidak terlepas dari pertautan yang sinergis antar elemen yang ada di lingkungan pesantren, yaitu pondok sebagai tempat bermukim (asrama), masjid sebagai tempat beribadah, santri sebagai penuntut ilmu, pengajaran kitab, dan kiai sebagai tempat menimba ilmu dan meraih keteladanan.26

Menurut Halstead, pola pendidikan moral dan akhlak yang ditanamkan di pesantren sebenarnya juga terdapat pada sekolah- sekolah formal. Namun, yang membedakan antara pesantren dengan lembaga pendidikan yang lain dalam hal penanaman nilai moral adalah pada penekanan kualitas karakter yang harus dimiliki oleh setiap santri, termasuk tata krama sopan santun, menjadi pijakan santri dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Lebih jauh, terdapat tiga nilai luhur yang selalu diterapkan dalam pendidikan moral di pesantren, yaitu akhlak, budi pekerti, dan kualitas untuk menjadi pribadi yang baik.27 Nilai-nilai inilah yang kemudian dikembangkan oleh santri dan menjadi kebiasaan yang dilakukan selama belajar dan tinggal di pesantren. Oleh karena itu,

26 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 45

27 Saeful Anam (dkk), “The Moral Education and Internalization of Humanitarian Values in Pesantren”, Journal for the Education of Gifted Young, Volume 07, nomor 04, 2019.

(19)

nilai-nilai luhur yang terdapat dalam tradisi pesantren tidak berdiri sendiri, melainkan bersifat dialogis.28

Berkenaan dengan proses peningkatan kualitas moral santri di pesantren, jika dilihat dari pandangan Al-Ghazali, sebagai perbaikan dari akhlak. Akhlak merupakan salah satu manifestasi dari keimanan seseorang, dalam artian menumbuh-kembangkan sifat-sifat terpuji (mahmudah) dan sekaligus menghilangkan sifat- sifat tercela (mazmumah) pada diri seseorang. Cara-cara perbaikan akhlak menurut Al-Ghazali seperti yang diungkapkan oleh Hanna Djumhana Bastaman yaitu: Pertama, metode tata syari’at. Metode ini berupa pembenahan diri, yakni membiasakan diri dalam kehidupan sehari-hari untuk berusaha semampunya melakukan kebajikan dan hal-hal yang bermanfaat sesuai dengan ketentuan syari’at, aturan-aturan negara, dan norma-norma kehidupan masyarakat. Di samping itu berusaha pula untuk diri menjauhi hal-hal yang dilarang syara’ dan aturan-aturan yang berlaku.

28 Unsur dialogis yang dimaksud salah satunya bisa dilihat dari perencanaan bangunan pesantren, yaitu terdapat plaza (tanah lapang) yang biasanya dimanfaatkan sebagai masjid, dengan rumah kiai di sebelah utaranya dan tempat (kombong) santri di sebelah selatannya. Pola ini menggambarkan sosok kiai yang telah mencapai kesempurnaan pengertian tentang Tuhan (wasilun), dan para santri yang menjadi perambah jalan (salikun) untuk mencapai kesempurnaan sebagaimana kiai di masa depan. Pergulatan antara kesempurnaan pengertian tentang Tuhan (wasilun) dan para santri yang masih merambah jalan (salikun) menunjukkan adanya perubahan-perubahan watak yang terjadi. Lebih jauh, lihat di Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah Nusantara; 25 Kolom Sejarah Gus Dur (Yogyakarta: LKIS, 2011), hlm. 47.

(20)

Kedua, metode pengembangan diri. Metode ini berlandaskan pada kesadaran diri atas keunggulan dan kelemahan pribadi yang kemudian membidani lahirnya niat untuk menjadi lebih baik dan meniadakan keburukan. Pada tataran praktis, juga ada habituasi dengan memodel hal-hal positif dari figur. Jika hal ini bisa dilakukan secara konsisten oleh para santri yang bermukim di pesantren, maka tanpa disadari berkembang dalam diri seseorang kebiasaan-kebiasaan yang terpuji. Ketiga, metode kesufian. Metode ini bernuansa spiritual-religius dan diorientasikan bagi peningkatan kualitas pribadi yang mendekati manusia yang sempurna. Pelatihan disiplin diri ini menurut Al- Ghazali ditempuh melalui dua jalur, yakni al-mujahadah dan al- riyadhah. Al-mujahadah, artinya usaha yang diiringi dengan kesungguhan untuk menghilangkan pelbagai hal yang menghambat (kemegahan, kekayaan, taklid, dan kemaksiatan), sementara al-riyadhah merupakan latihan mendekatkan diri pada Tuhan dengan meningkatkan frekuensi dan kualitas ibadah.29

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pesantren bukan sebatas lembaga yang melakukan transfer ilmu pengetahuan, sebab pesantren memaknai pendidikan sebagai upaya untuk mempromosikan nilai-nilai moral yang mendasar untuk perbaikan kualitas pribadi ke arah yang lebih baik. Pesantren juga menciptakan komunitas untuk

29 Hanna Djumhana Bastaman. Integrasi Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 89.

(21)

memperbaiki kesalahan-kesalahan, dengan memberikan waktu atau peluang pada setiap insan pesantren (khususnya santri) untuk bertindak sesuai dengan kaidah moral. Selain itu, pesantren juga melibatkan keluarga dan anggota masyarakat untuk membangun karakter positif para santri dan melakukan evalusi yang berkelanjutan terhadap iklim dan kondisi moral yang dialami oleh para santri.

Metode Penelitian

Untuk mengungkap dan mengeksplorasi perkembangan identitas moral pada remaja, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif-naturalistik. Pendekatan ini dipilih dengan tujuan agar membantu dalam memahami proses dan dinamika perkembangan moral remaja yang tinggal di Pondok Pesantren dalam perspektif penalaran moral. Dengan pendekatan ini pula, peneliti bisa menggali data dari sudut pandang pemaknaan subjek terhadap realitas yang sedang dialami, atau menggunakan konsep verstehen milik Weber. Konsep verstehen berangkat dari prinsip bahwa pemahaman mengenai dunia sosial dilandasi dengan kesadaran seseorang dalam melihat realitas.

Jenis penelitian yang dipakai peneliti dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Studi kasus menurut Stake merupakan strategi penelitian kualitatif di mana di dalamnya peneliti meneliti secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh

(22)

waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan beberapa prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.30 Oleh sebab itu, penelitian ini bersifat intersubjektif, hal ini mengacu pada kenyataan bahwa individu membangun pemahaman dan penafsiran terhadap realitas yang dialami berdasarkan interaksi dengan orang lain dan dengan lingkungan.

Sumber data penelitian ini meliputi sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah santri Pondok Pesantren Annuqayah yang berjumlah 4 orang. Mereka dikodekan dengan LB (Subjek 1), LR (Subjek 2), MS (Subjek 3), KN (Subjek 4).

Empat subjek penelitian ini adalah sumber data utama atau informan kunci. Dalam mendapatkan subjek penelitian, peneliti menggunakan teknik purpositf. Adapun karakteristik yang lebih spesifik, informan kunci adalah santri Pondok Pesantren Annuqayah yang telah mencapai usia remaja (12-21 tahun) dan telah bermukim di Pondok Pesantren minimal 2 tahun waktu penelitian ini dilaksanakan. Sumber data sekunder dalam penelitian ini meliputi lingkungan tempat tinggal dan teman sebaya.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tiga teknis yaitu: wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data

30 Satori dan Komariah, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 45

(23)

dikumpulkan melalu pengamatan langsung dari interaksi antara santri dan lingkungan tempat tinggal (pesantren) dalam situasi yang wajar atau apa adanya. Hal ini merupakan ciri dari pendekatan kualitatif-naturalistik. Data juga dihasilkan hasil wawancara, baik terhadap informan kunci maupun terhadap informan tahu sehingga data yang didapatkan lebih komprehensif.

Setelah dikumpulan, data kemudian dianalisis. Langkah pertama adalah memeriksa keseluruhan data yang tersedia, kemudian direduksi untuk meringkas data, lalu membuat kategorisasi dan tahapan yang terakhir adalah menarik kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan

Perkembangan Identitas Moral Remaja di Pesantren

Untuk mempermudah mendapatkan gambaran tentang perkembangan identitas moral remaja yang tinggal di pesantren, maka pada bagian ini membahas secara spesifik tentang pencapaian identitas moral pada masing-masing subjek penelitian, di samping juga pembahasan bagaimana subjek penelitian memandang perilaku moral mereka masing-masing. Berdasarkan hasil penelitian, keempat subjek memiliki pencapaian moral yang berbeda-beda meskipun sama-sama tinggal di pesantren. Hal ini, tidak terlepas dari perbedaan latar kehidupan masing-masing subjek. Terdapat norma subjektif yang turut memengaruhi perbedaan pencapaian identitas moral mereka. Menurut Ajzen, norma subjektif bisa memengaruhi terhadap perilaku moral dan

(24)

kontrol terhadap perilaku moral pada seseorang.31 Sebuah sikap yang menunjukkan tingkatan di mana individu memiliki evaluasi yang baik dan tidak baik terkait perilaku tertentu.

Pertama, terdapat dua subjek yang berada pada tingkat pencapaian moral konvensional, yaitu subjek LB dan MS. LB dan MS sama-sama berada pada tingkat moral konvensional level 4.

Perspektif tentang moral konvensional menurut Kohlberg, pada umumnya dicirikan dengan adanya penerimaan aturan sosial tentang benar dan salah32. Pada tingkat ini, remaja mulai mengidentifikasi standar moral dari figur yang diteladani dan disegani. Hal tersebut ditemukan di dalam penelitian ini, melalui keterangan yang disampaikan oleh kedua subjek mengatakan bahwa mereka menerima terhadap aturan moral yang ditetapkan oleh orang tua dan pesantren dan terus berupaya untuk meninggalkan hal-hal yang oleh pihak pesantren dan orang tua dianggap sebagai pelanggaran moral.

Misalnya, bagi subjek LB yang sudah tinggal di Pondok Pesantren Annuqayah sejak kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah, mengatakan bahwa pada awalnya belum bisa memilah dan memilih perbuatan baik dan buruk dan hanya berperilaku sesuai kaidah moral agar bisa dikatakan anak baik oleh orang lain.

Namun, seiring dengan bertambahnya pemahaman tentang moral

31 Dharmmesta, “Theory of Planned Behaviour dalam Penelitian Sikap, Niat dan Perilaku Konsumen”. KELOLA Gadjah Mada University Business Review. Vol 06, Nomor 18, 1998.

32 Desmita, Psikologi Perkembangan…, halaman, 146.

(25)

selama tinggal di pesantren, LB melakukan tindakan moral tidak lagi berdasarkan adanya harapan dari orang lain (orang tua dan pengurus pesantren) sehingga dinilai baik, melainkan karena faktor kesadaran tentang pentingnya mematuhi peraturan yang ditetapkan di pesantren dan untuk mengurangi perasaan bersalah (guilty feeling). Oleh sebab itu, hingga saat ini subjek LB berusaha untuk tidak melanggar terhadap peraturan yang ditetapkan di pesantren demi kenyamanan dirinya dan lingkungan.

Pengalaman yang dialami oleh LB di atas, jika dilihat dari teori penalaran moral Kohlberg, perkembangan pencapaian identitas moral dari yang awalnya level konvensional tahap 3 (orientasi good boy) beralih ke level konvensional tahap 4 (memelihara tatanan sosial). Menurut pengakuan LB, adanya peraturan dan sanksi yang diterapkan di pesantren memberikan peluang dan rangsangan untuk memperbaiki diri. Peraturan yang pada awalnya hanya dipandang sebagai instruksi, lama-kelamaan melahirkan refleksi dan sudut pandang yang baru. Hal senada disampaikan oleh MS, yang mengatakan pengurus pesantren dan teman sebaya menjadi rekan dalam penyelesaian problem dan dilema moral yang dihadapi. Penanaman nilai moral yang tidak lagi intens didapatkan dari orang tua, kemudian mendapatkan kompensasinya di lingkungan pesantren. Terlebih lagi, MS merasa kurang memiliki pendirian yang teguh, sehingga menganggap penting adanya peraturan di pesantren dan model dalam berperilaku.

(26)

Adanya perkembangan pencapaian identitas moral pada subjek LB, merupakan realitas objektif bahwa lingkungan sosial memberikan peranan penting terhadap perkembangan moral.

Menurut Santrock, perkembangan moral adalah perkembangan yang berhubungan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang semestinya dilakukan oleh individu saat berinteraksi dengan individu yang lain.33 Indikator perkembangan moral dalam konteks penelitian ini tentu terkait dengan, misalnya adanya kesadaran dari subjek LB dan MS bahwa peraturan merupakan hal perlu ditaati. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan pengurus dan teman sebaya) di pesantren, kemudian menambah modalitas pengetahuan tentang moral. Modalitas pengetahuan tentang moral, merupakan akumulasi dari internalisasi terhadap pengetahuan moral yang didapatkan sehari-hari di lingkungan pesantren.

Kedua, terdapat dua subjek penelitian yang berada pada tingkat pasca-konvensional. Subjek LR berada pada tingkat pasca- konvensional tahap 5: Gagasan kontrak sosial dan hak individu menyebabkan LR mulai bisa mempertimbangkan moral berdasarkan pandangannya sendiri. Pada tahap ini, ia mulai memperhitungkan perbedaan nilai, pendapat, dan keyakinan orang lain. LR memiliki nilai-nilai pribadi yang diinternalisasi dari orang tua khususnya dari ibu, karena ia merasa lebih dekat

33 Santrock, Child Development (Boston: McGraw Hill Companies, 1998), page 60.

(27)

dengan sosok ibu. Terkadang, ia merasa tertekan dengan cara ibunya dalam menanamkan moral, namun pada akhirnya ia menyadari maksud baik di balik hal tersebut. Subjek LR juga bisa menerima peraturan di pesantren, tetapi ia tidak segan untuk bertanya terkait peraturan-peraturan yang tidak dipahami agar bisa memetik hikmah jika melakukan kesalahan dan bekal untuk muhasabah. Perasaan ingin berbakti pada ibu dan keinginan untuk muhasabah merupakan bagian dari hak individu yang lazim dalam kehidupan masyarakat.

Perkembangan identitas moral subjek KN relatif sama dengan subjek LR dan keduanya sama-sama berada pada tingkat pasca-konvensional, walaupun dengan pernyataan yang berbeda pada saat wawancara, tetapi memiliki substansi yang sama, yakni sama-sama mengembangkan pemahaman tentang prinsip-prinsip moralitas. Sebuah pemahaman yang didorong (driving force) oleh pertimbangan sendiri. Namun, yang membedakan adalah subjek KN ada kecenderungan yang lebih altruis, ia melakukan tindakan moral dengan menghargai perasaan dan kepentingan orang lain.

Sehingga, dalam teori penalaran moral Kohlberg, tahap perkembangan moral KN mulai mengarah pada tingkat pasca- konvensional tahap 6: Didasarkan pada prinsip-prinsip etika universal dan penalaran abstrak. Pada tahap ini, ia mengikuti prinsip-prinsip keadilan dan pertimbangan suara hatinya, meskipun tidak benar-benar matang.

(28)

Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Identitas Moral Remaja di Pesantren

Penjelasan di atas memberikan gambaran tentang perkembangan identitas moral remaja yang tinggal di Pondok Pesantren Annuqayah, yang menghasilkan temuan bahwa keempat subjek penelitian pada tahap perkembangan moral yang berbeda. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari faktor yang memengaruhi perkembangan identitas moral masing-masing subjek. Sebelum mereka memutuskan apa yang harus dilakukan, mereka memvisualisasikan kemungkinan hasil dari keputusan mereka. Uraian ini akan fokus menjabarkan temuan penelitian yang berhubungan dengan faktor-faktor spesifik yang memengaruhi perkembangan moral remaja yang tinggal di pesantren. Berdasarkan teori yang dikemukakan sebelumnya, beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan moral remaja meliputi: modelling, konflik kognitif, sikap dan tindakan orang tua yang melibatkan internalisasi nilai-nilai moral, dan interaksi dengan rekan yang mendorong pembahasan isu-isu moral.

Pada subjek LB, faktor yang memengaruhi adalah konflik kognitif saat membicarakan masalah moral dengan teman sebayanya di pesantren. Sementara subjek MS, dipengaruhi oleh modelling dari orang tua. Menurut penuturan MS, orang tuanya selalu mengajarkan dan mencontohkan tentang akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Modelling juga didapatkan oleh MS dari para guru di pesantren, relasi dengan teman, dari pengurus

(29)

saat sosialisasi, serta dari pengasuh saat memberikan nasehat yang dikemas mauidhoh hasanah. MS juga menegaskan bahwa dari sekian faktor yang ada, faktor teman begitu memengaruhi terhadap identitas moralnya. Sedangkan pada subjek LR dan KN, modelling yang didapatkan nasehat orang tua serta interaksi dengan lingkungan yang mendukung terhadap pengembangan moral seperti: adanya peraturan yang mengarah pada kedisiplinan, adanya kontrol dari pengurus pesantren, dan interaksi dengan teman yang mendiskusikan tentang moral di pesantren.

Keragaman faktor di atas, sebagai akibat dari perbedaan latar belakang kehidupan dari tiap-tiap subjek penelitian yang akhirnya berpengaruh pula pada perbedaan sikap dan orientasi moral. Namun, dari sekian faktor yang berbeda tersebut, keempat subjek memandang bahwa faktor latar belakang keluarga, khususnya orang tua memainkan peran yang utama dalam perkembangan moral mereka. Pada satu sisi, mereka menganggap lingkungan pesantren sebagai tempat yang banyak menstimulasi terkait moralitas, namun pada sisi yang lain mereka menganggap peran orang tua sebagai pondasi yang mendasar. Temuan ini selaras dengan teori yang menyebutkan bahwa faktor orang tua berkorelasi signifikan terhadap perkembangan moral yang terdiri dari tingkat kehangatan, penerimaan, saling menghargai,

(30)

intensitas interaksi dan komunikasi, jenis dan tingkat disiplin, dan keteladanan dari orang tua.34

Kedisiplinan terhadap peraturan di pesantren, diakui oleh subjek penelitian dipengaruhi oleh pondasi kedisiplinan yang ditegakkan oleh orang tua di rumah masing-masing, khususnya disiplin dan ketepatan dalam memilih dan mengafirmasi teman.

Seperti yang ditegaskan oleh Hurlock, disiplin adalah salah satu cara orang tua untuk mengajarkan remaja perilaku moral yang disetujui oleh kelompok sosial tertentu. Disiplin memiliki efek positif ketika ditegakkan secara konsisten.35 Dengan demikian, pengaruh disiplin orang tua terhadap pembelajaran moral remaja, apabila disampaikan secara verbal dan jelas, serta diikuti dengan keteladanan akan berpengaruh pada pengendalian moral yang bersifat internal. Begitu juga yang dialami oleh subjek KN dan LR, kedisiplinan yang telah ditanamkan oleh orang tua sejak sebelum mondok, kemudian menjadi aspek yang bernilai dan berpengaruh pada tindakan moral ketika berada di pesantren.

Selanjutnya, terkait dengan peran pesantren terhadap perkembangan moral, keempat subjek penelitian menganggap bahwa peran pesantren dinilai penting untuk menguatkan pondasi moral yang telah ditanamkan oleh orang tua. Salah satu pondasi moral yang mendapatkan penguatan selama di pesantren adalah

34 Gouws, E. Kruger, N. and Burger, S. The adolescent. 2nd Ed. (Cape Town: Heinemann Printers, 2000) Page, 60.

35 Elizabeth B. Hurlock, Development Psychology..., page. 70

(31)

kepedulian (caring) antar teman sebaya. Kepeduliaan menjadi sebuah keniscayaan yang melahirkan reaksi moral bagi keempat subjek. Mekanisme tersebut menjadi seperti kepedulian sosial, sebab dilatarbelakangi perasaan senasib karena sama-sama jauh dari orang tua, saling menguatkan satu sama lain saat ada masalah, sebagaimana yang tampak dalam interaksi mereka saat bermukim di pesantren. Menurut Haidt, kepedulian merupakan sikap yang nyata dan objektif pada masing-masing individu yang terkait dengan kecenderungan berempati.36

Selain faktor pembelajaran tentang sikap kepedulian, faktor lain yang dianggap berpengaruh pada perkembangan moral subjek penelitian, yaitu lingkungan yang senantiasa menstimulasi nilai- nilai religius seperti nilai penghormatan pada orang lain, termasuk dalam konteks ini sikap ta’dzim pada kiai dan guru. Menurut Bandura, menghormati orang lain merupakan faktor yang penting dalam perkembangan moral seseorang. Selanjutnya Bandura menekankan adanya figur panutan, pengaruh lingkungan, dan keyakinan memiliki peran yang penting pada kemandirian moral individu.37 Di pesantren, subjek penelitian juga untuk tidak saling mengganggu dan belajar untuk saling menghormati satu sama lain. Ketika ada perbedaan terkait situasi moral, mereka juga belajar untuk berkompromi melalui diskusi. Guru dan pengurus

36 Jonathan Haidt, J. The righteous mind: Why good people are divided by politics and religion (New York: Pantheon Books, 2012), 60 page .

37 Albert Bandura, Self-Efficacy in Changing Societies (New York, NY: Cambridge Univ. Press, 1997), page 40.

(32)

pesantren, juga dinilai sebagai panutan penting dalam mendapatkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, dan kepedulian.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tentang gambaran perkembangan identitas moral remaja yang tinggal di pesantren di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut; pertama, pada subjek LB dan MS sama-sama berada pada tahap perkembangan moral konvensional yang dicirikan adanya kesadaran tentang pentingnya mematuhi peraturan yang ditetapkan di pesantren serta menghindari chaos yang muncul akibat pelanggaran-pelanggaran moral yang dilakukan. Pada subjek KN dan LR, keduanya sama- sama berada pada tahap moral pasca-konvensional yang dicirikan dengan adanya pertimbangan-pertimbangan prinsip yang sifatnya individual dalam membuat keputusan moral. Namun, LR berada pada tingkatan moral KN, LR berada pada tingkat pasca- konvensional tahap 5 yang dicirikan dengan orientasi kontrak sosil dan hak individul, sementara KN berada pada tingkat pasca- konvensional tahap 6 yang mulai mementingkan etika universal dan hati nurani.

Kedua, berdasarkan temuan penelitian, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan moral subjek penelitian.

Faktor modelling dari orang tua, menjadi faktor yang sama-sama memengaruhi terhadap perkembangan moral pada keempat subjek

(33)

penelitian. Selain itu, juga terdapat beberapa faktor lain yang turut memengaruhi, yaitu faktor konflik kognitif yang didapatkan dari teman sebaya, serta faktor interaksi dengan lingkungan pesantren.

Dari sekian faktor tersebut, keempat subjek sama-sama memandang faktor pondasi moral yang didapatkan dari orang tua menjadi faktor yang paling dominan terhadap adanya nilai-nila moral serta berkembangnya identitas moral.

Ketiga, peran lingkungan pesantren merupakan faktor penting dalam menguatkan dan mengembangkan pondasi moral yang didapatkan dari orang tua masing-masing subjek penelitian.

Dalam konteks ini, peran lingkungan pesantren terpolarisasi menjadi dua faktor, yang pertama yaitu faktor kepedulian (caring). Faktor kepedulian menjadi pondasi moral yang didapatkan oleh subjek penelitian melalui perasaan merasa senasib sebab sama-sama jauh dari orang tua. Perasaan senasib ini kemudian melahirkan rasa tanggung jawab atas sesama dan menghindari sikap mengganggu satu sama lain. Faktor kedua, yakni nilai-nilai religius yang didapatkan dari lingkungan pesantren yang mencakup; nilai penghormatan terhadap orang lain, terutama pada figur guru dan kiai. Selain itu, terdapat nilai- nilai religius lain yang turut memengaruhi seperti kejujuran, keadilan, dan kepedulian yang ditunjukkan oleh figur-figur positif yang ada di pesantren.

(34)

Daftar Pustaka

Anam, S (dkk). The Moral Education and Internalization of Humanitarian Values in Pesantren, Journal for the Education of Gifted Young, Volume 07, nomor 04, 2019.

Asy’ari, Musa. 2005. Dinamika Kajian Keislaman di Indonesia:

Isu dan Tantangan, Dalam Islam dan Realitas Sosial, Amir Mahmud (Ed). Jakarta: Edu Indonesia Sinergi.

Bandura A. (Ed.). 1995. Self-Efficacy in Changing Societies. New York, NY: Cambridge Univ. Press.

Dharmmesta, B. S. 1998. Theory of Planned Behaviour dalam Penelitian Sikap. Niat dan Perilaku Konsumen. KELOLA Gadjah Mada University Business Review. Th. VII. No. 18.

h. 90.

Bastaman, D.H. 2005. Integrasi Psikologi dengan Islam.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budiningsih. Analisis Karakteristik Siswa Kaitannya dengan Tahap-tahap Penalaran moralnya. Jurnal Teknonik, Edisi No.

9 (V), 2001.

Budiningsih, C. Asri. 2004. Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa Dan Budayanya. Yogyakarta: PT Rineka Cipta.

Creswell. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage Publication.

Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

(35)

Dhofier, Z. 1982. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.

Duska, Ronald & Whelan Mariellen (terjemahan), 1982.

Perkembangan Moral, Perkenalan dengan Piaget dan Kohlberg. Yogyakarta: Kanisius.

Gouws, E. Kruger, N. and Burger, S. 2000. The adolescent. 2nd Ed. Cape Town: Heinemann Printers.

H. Tikus, Haruld (dkk). 1984. Persoalan-persoalan Filsafat, alih bahasa oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang.

Haidt, J. 2012. The righteous mind: Why good people are divided by politics and religion. New York: Pantheon Books.

Hurlock, B.E. 1980. Development Psychology. England: Mc Graw-Hill Inc.

Kohlberg (terjemahan). 1995. Tahap-tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Mahfudh, Sahal. 2004. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKIS.

Narwoko, J. Dwi, & Suyanto Bagong (ed.). 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Rakhmat, Jalaluddin. 2009. Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis Statistik Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Reza, I.F, Hubungan antara Religiusitas dengan Moralitas pada Remaja. Jurnal Humanitas, Volume X, Nomor 02 Agustus, 2013.

(36)

Rogers, Carl. 1977. Psychology of Adolesence. New Jersey:

Prentice-Hall.

Satori, D., & Komariah, A. 2010. Metode Penelitian Kualitatif.

Bandung: Alfabeta.

Santrock, J.W. 1998. Child Development. Boston: McGraw Hill Companies.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Taregan, K.S dan Siregar, A.R. Gambaran Penalaran Moral pada Remaja yang Tinggal di Daerah Konflik. Jurnal Psikologia, Volume 08, Nomor 02, 2013.

Wahid, A. 2011. Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gusdur, Yogyakarta: LKIS.

West, R. & Turner, L.H. 2004. Introduction Communication Theory, Analysis and Application, New York: McGraw Hill.

Referensi Online:

Medan.tribunnews.com, “Kasus Video Mesum Remaja Samarinda, Sudah Ada Tersangka Baru, 7 Desember 2017.

Diakses pada 20 Agustus 2019.

Detik.news, “Pelajar yang Terluka Akibat Tawuran di Tangerang Meninggal Dunia, 13 Agustus 2018. Diakses pada 20 Agustus 2019.

Kompas.com, “82 Pelajar Tewas Sia-sia karena Tawuran, 21 Desember 2012. Diakses pada 20 Agustus 2019.

(37)

Portalindonesia.co.id, Pesta Miras di Kamar Kos, Empat Remaja di Sumenep Ditangkap Polisi, 05 Oktober 2017. Diakses 20 Agustus 2019.

Referensi

Dokumen terkait

• Mohon berikan penjelasan tentang tujuan pembelajaran tata bahasa Arab (ilmu nahwu) di pondok pesantren ini.. • Mohon berikan penjelasan tentang gambaran pembelajaran ilmu nahwu di