• Tidak ada hasil yang ditemukan

h. 200 – 206 E-ISSN: 2775 - 5649

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "h. 200 – 206 E-ISSN: 2775 - 5649"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Lisensi Creative Commons Atribusi-NonCommercial 4.0 Internasional

Dilema Dispensasi Kawin Pasca Dinaikkanya Batasan Usia Perkawinan

Dyah Auliah Rachma Ruslan

Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Indonesia.

: dyahauliahrachma@gmail.com : 10.47268/pamali.v2i2.1212

Info Artikel Abstract

Keywords:

Marriage Dispensation; Age Limit; Marriage.

Introduction: The regulations governing marriage in Indonesia have determined the minimum age for a person to enter into a marriage. The increase in the age limit for marriage resulted in an increase in the number of requests for dispensation for marriage in court and almost all of them were granted by the court. This certainly hampered the government's efforts to reduce the number of underage marriages which are seen as having many negative impacts.

Purposes of the Research: To see the effectiveness of the regulation regarding the age limit for entering into marriage which was raised to 19 (nineteen) for men and women which is associated with the high demand for dispensation from marriage in court..

Methods of the Research: The research method used is normative legal research. The main subject of the study is law which is conceptualized as a norm or rule that applies in society and becomes a reference for everyone's behavior.

Results of the Research: The rules governing the age limit for marriage, which is 19 (nineteen) years for men and women, are still not effective. This can be seen by the many requests for dispensation from marriage that have been filed in court and almost all of them have been granted. There are still many people who do not understand the negative impacts of underage marriages, which means that there are still many requests for dispensation from marriage. Courts should be able to pay attention in more detail and selectively regarding the aspects that are considered in granting approval for marriage dispensation.

Abstrak Kata Kunci:

Dispensasi Kawin; Batas Usia; Perkawinan.

Latar Belakang: Regulasi yang mengatur perkawinan di Indonesia telah menentukan batas minimal usia seseorang untuk melangsungkan perkawinan. Dinaikkanya batasan usia untuk melangsungkan perkawinan mengakibatkan jumlah permintaan dispensasi kawin di pengadilan meningkat dan hampir seluruhnya dikabulkan oleh pengadilan hal ini tentunya menghambat upaya pemerintah untuk dapat menekan jumlah perkawinan di bawah umur yang dipandang mempunyai banyak dampak negatif.

Tujuan Penelitian: Melihat efektivitas dari aturan tentang batasan usia untuk melangsungkan perkawinan yang dinaikkan menjadi 19 (sembilan belas) bagi laki-laki dan perempuan yang dikaitkan dengan tingginya permintaan dispensasi kawin di pengadilan.

Metode Penelitian: Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang belaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang.

Hasil Penelitian: Aturan yang mengatur mengenai batasan umur untuk melangsungkan perkawinan yaitu 19 (sembilan belas ) tahun untuk laki- laki dan perempuan masih belum berlaku efektif. Hal ini dapat dilihat

Volume 2 Nomor 2, September 2022: h. 200 – 206 E-ISSN: 2775 - 5649

(2)

dengan masih banyaknya permintaan dispensasi kawin yang diajukan di pengadilan dan hampir semuanya dikabulkan. Masih banyaknya masyarakat yang kurang memahami dampak negatif dari perkawinan di bawah umur membuat masih banyaknya jumlah permintaan disepensasi kawin. Pengadilan seharusnya mampu memperhatikan secara lebih detail dan selektif mengenai aspek-aspek yang menjadi pertimbangan untuk memberikan persetujuan dispensasi kawin.

1. Pendahuluan

Manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa merupakan makhluk sosial yang saling bergantung satu sama lainnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Kebutuhan biologis merupakan salah satu bentuk kebutuhan manusia. Salah satu cara manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya ialah dengan melangsungkan perkawinan. Menurut Mustofa Hasan “ perkawinan ialah akad yang meghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan karena ikatan suami isteri dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.”1

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) menjelaskan bahwa perkawinan ialah ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Regulasi yang mengatur perkawinan di Indonesia telah menentukan batas minimal usia seseorang untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan telah matang secara jiwa dan raga. Sebab selain untuk membentuk keluarga yang bahagia tujuan lain dari sebuah perkawinan ialah memperoleh keturunan, apabila seorang belum matang jiwa dan raga tentunya akan sulit untuk dapat memelihara dan membesarkan keturunannya dengan baik. Pasca berlakunya UU Nomor 16 tahun 2019 ditentukan bahwa batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan ialah 19 (Sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan perempuan.

Dinaikkannya batas usia minimal perkawinan untuk perempuan dari 16 (enam belas) tahun menjadi 19 (sembilan belas) tahun dimaksudkan untuk menurunkan jumlah perkawinan di bawah umur. Hukum memandang seseorang yang telah berumur 19 (sembilan belas) tahun telah siap lahir dan bathin untuk membina suatu rumah tangga.

Sedangkan seseorang yang masih berusia di bawah 19 (sembilan belas) tahun dipandang masih belum mampu untuk membina rumah tangga dikarenakan belum matang secara jiwa dan raganya. Suatu rumah tangga yang dijalankan oleh pasangan yang belum dewasa atau matang secara jiwa dan raga akan rentan dengan risiko perceraian. Sehingga memang diperlukan batasan umur untuk dapat melangsungkan perkawinan. Hanya saja pada praktiknya terjadi dilema dikarenakan aturan mengenai batas minimal usia perkawinan yang dinaikkan di dalam UU Perkawinan berdampak pada meningkatnya jumlah permintaan disensasi kawin di Pengadilan. Mengingat bahwa regulasi yang mengatur

1 Mustofa Hasan.2011. Pengantar Hukum Keluarga. CV Pustaka Setia: Bandung . Hal. 9.

(3)

perkawinan di Indonesa memang memungkinkan perkawinan oleh pasangan di bawah umur namun dengan syarat adanya dispenasi kawin dari pengadilan.2

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama telah mencatat sebanyak 34 ribu permohonan dispensasi perkawinan dini dan dari jumlah tersebut sebanyak 97 persen permintaan dikabulkan dengan 60 persennya adalah pernikahan anak perempuan di bawah 18 tahun.3 Menurut hemat penulis naiknya jumlah permintaan dispensasi kawin yang hampir semuanya dikabulkan oleh pengadilan tidak sejalan dengan maksud dan tujuan dinaikkannya batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan dalam UU Perkawinan.

2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang belaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang, sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum.4 Pendekatan penelitian yang digunakan ialah pendekatan Undang – Undang (statute approach) dan Pendekatan Konseptual (conceptual approach).

Sumber bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui studi pustaka, selanjutnya bahan hukum primer dan sekunder yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Pengaturan Dispensasi Kawin di Indonesia

Saat ini terjadi banyak permasalahan hukum di bidang perkawinan, salah satunya ialah perkawinan dibawah umur. Hal ini dinilai menjadi masalah serius, karena menimbulkan kontroversi di masyarakat, tidak hanya di Indonesia namun menjadi isu internasional. Pada faktanya perkawinan semacam ini sering terjadi karena sejumlah alasan dan pandangan, diantaranya karena telah menjadi tradisi atau kebiasaan masyarakat yang kurang baik.5 Selain itu ada beberapa keluarga atau orang tua kadang merasa bahwa melepas seorang anak terutama perempuan untuk menikah mengurangi beban tanggung

2 Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) mengatur bahwa “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.”

3 Diakses melalui https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-peradilan-agama/berita- daerah/signifikannya-perkara-dispensasi-kawin-terus-meningkat-di-masa-pandemi-covid-19 pada hari Kamis 10 November 2022 pukul 10.00 WIT.

4 Soerjono Soekanto. Et.al.2007.Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:Raja Grafindo Persada.Hal.13.

5 Imam Syafi‟i. Et.al 2020. Penetapan Dispensasi Nikah Oleh Hakim (Studi Komparatif Hukum Islam Dan Hukum Positif). Jurnal Mabahits Vol. 01 No.02 2020. Hal. 16.

(4)

jawab dalam hal ekonomi keluarga karena pada nantinya anak tersebut akan beralih menjadi tanggung jawab keluarga laki-laki atau suami yang menikahinya.6

Permintaan dispensasi kawin di pengadilan dilatar belakangi banyak faktor salah satunya ialah pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan. Hal tersebut dikarenakan kehamilan tidak terduga merupakan masalah yang serius dan tidak dapat dicarikan alasan untuk menolak permohonan dispensasi kawin. Hakim juga mempertimbangkan aspek kemaslahatan, yang mana akan lebih banyak didapat apabila permohonan dispensasi kawin dengan alasana kehamilan tidak terduga dikabulkan. Alasannya yaitu adalah demi kekepentingan si anak itu sendiri. Apabila hakim menolak untuk mengabulkan permohonan, dikhawatirkan psikologis anak terutama pihak perempuan akan terganggu.7

Adanya pembatasan umur untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana yang diatur di dalam UU Perkawinan ternyata tidak menjamin negara mampu mengatasi permasalahan tingginya angka perkawinan di bawah umur. Hal ini dikarenakan masih ada peluang untuk dapat melangsungkan perkawinan di bawah umur yaitu dengan meminta dispensasi kawin ke Pengadilan. Pasal 1 angka 5 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin mengatur bahwa “dispensasi kawin adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami isteri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.” Untuk mengajukan permohonan dispensasi kawin orang tua/wali dari calon mempelai terlebih dahulu harus mengajukan permohonan ke pengadilan dengan melengkapi persyaratan administrasi.8

Di dalam persidangan hakim harus menyampaikan beberapa nasihat kepada orang tua/wali dan calon mempelai terkait risiko perkawinan. Hakim juga harus mendengarkan keterangan dari anak yang dimintakan dispensasi kawin, calon suami/isteri yang dimintakan dispensasi kawin, orang tua/wali anak yang dimohonkan dispensasi kawin dan orang tua/wali calon suami/isteri. Pasal 1 angka 5 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin menentukan bahwa:

Dalam pemeriksaan, hakim memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dengan:

a. mempelajari secara teliti dan cermat permohonan pemohon;

b. memeriksa kedudukan hukum pemohon;

c. menggali latar belakang dan alasan perkawinan anak;

d. menggali informasi terkait ada tidaknya halangan perkawinan;

6 Sonny Dewi Judiasih,.et.all.2019. Sustainable Development Goals and Elimination of Children Marriage Practice in Indonesia. Jurnal Notariil Vol 4 No 1, 2019, Hal.58.

7 Sonny Dewi Judiasih. Et.Al. 2020. Kontradiksi Antara Dispensasi Kawin Dengan Upaya Meminimalisir Perkawinan Bawah Umur Di Indonesia. Acta Diurnal Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum Unpad. Volume 3, Nomor 2, Juni 2020. Hal.214.

8 Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.

(5)

e. menggali informasi terkait dengan pemahaman dan persetujuan anak untuk dikawinkan;

f. memperhatikan perbedaan usia antara anak dan calon suami/isteri;

g. mendengar keterangan pemohon, anak,calon suami/isteri, dan orang tua/wali calon suami/isteri;

h. mempertimbangkan kondisi psikologis, sosiologis, budaya, pendidikan, kesehatan, ekonomi anak dan orang tua, berdasarkan rekomendasi dari psikolog, dokter/bidan, pekerja sosial profesional, tenaga kesejahteraan sosial, pusat pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak (p2tp2a) atau komisi perlindungan anak indonesia daerah (kpai/kpad);

i. mempertimbangkan ada atau tidaknya unsur paksaan psikis, fisik, seksual dan/ atau ekonomi; dan

j. memastikan komitmen orang tua untuk ikut bertanggungjawab terkait masalah ekonomi, sosial, kesehatan dan pendidikan anak.

Selain itu Hakim dalam penetapan permohonan dispensasi kawin harus mempertimbangkan perlindungan dan kepentingan terbaik bagi calon mempelai yang dimintakan dispensasi kawin. Berdasarkan ketentuan ini maka dapat dikatakan hakim bisa saja memberikan dispensasi kawin kepada calon mempelai yang masih di bawah umur dengan beberapa pertimbangan yang mendasar dan dikaitkan dengan risiko perkawinan di bawah umur yang dapat terjadi.

3.2 Dilema Dispensasi Kawin Pasca Dinaikkanya Batasan Usia Untuk Melangsungkan Perkawinan

Meningkatnya jumlah permintaan dispensasi kawin pasca dinaikkannya batasan umur perkawinan menjadi polemik tersendiri, sebab apabila pemberian dispensasi meningkat maka dapat dikatakan bahwa ketentuan di dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak berlaku efektif. Sebab tujuan dari dinaikkanya batasan usia minimal untuk melangsungkan perkawinan ialah agar dapat menekan jumlah perkawinan di bawah umur.

Achmad ali menyatakan bahwa:9

Untuk mengukur suatu undang-undang berlaku secara efektif ialah dengan menggunakan beberapa indikator antara lain:

a. pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan;

b. cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut;

c. institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di dalam masyarakatnya; dan

d. bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat)

9 Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta:Kencana Prenada Media Group.Hal.375- 378.

(6)

a) Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan;

Pada umumnya masyarakat telah mengetahui bahwa untuk melangsungkan perkawinan ada batasan umur yang diberikan oleh negara yaitu 19 (sembilan belas) tahun untuk laki- laki dan perempuan. Hanya saja menurut penulis sebagian masyarakat kurang memahami maksud dan tujuan negara memberikan batasan umur seseorang yang akan melangsungkan perkawinan. Padahal seharusnya masyarakat memahami bahwa negara memberikan batasan usia minimal seseorang menikah di usia 19 (sembilan belas) tahun dikarenakan pada umur tersebut seseorang dianggap telah mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya termasuk di dalam membina suatu rumah tangga. Sebab jika suatu perkawinan dilangsungkan oleh calon mempelai yang belum cakap maka risiko akan terjadinya perceraian akan semakin besar. Selain itu tingginya angka moralitas akibat melahirkan diusia yang masih belia juga menjadi salah satu pertimbangan adanya batasan usia minimal untuk melangsungkan perkawinan. Di dunia medis usia ideal perkawinan adalah disesuaikan dengan kesehatan reproduksi perempuan, kesiapan mental baginya dan keselamatan sang ibu dan calon anak, yakni usia 20 tahun ke atas.10 Kurang pahamnya masyarakat mengenai maksud dan tujuan dari dinaikannya batasan usia minimal perkawinan ini menjadi salah satu faktor masih tingginya permintaan dispensasi kawin di pengadilan.

b) Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut;

Masih kurangnya pemahaman masyarakat terkait penetapan batasan usia minimal untuk melangsungkan perkawinan seharusnya membuat pemerintah lebih gencar untuk melakukan sosialisai-sosialisi mengenai dampak negatif dari perkawinan di bawah umur.

Karena melalui cara ini masyarakat dapat memahami dan mengerti akan bahaya dari perkawinan di bawah umur. Melihat masih banyaknya permintaan dispensasi kawin di berbagai daerah sehingga menurut penulis sampai saat ini sosialisasi mengenai dampak perkawinan di usia dini masih belum dilaksanakan secara maksimal.

c) Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di dalam masyarakatnya;

Peran dari institusi yang terkait dengan aturan ini juga menjadi salah satu faktor penentu agar pemerintah dapat menekan jumlah perkawinan di usia muda/ di bawah umur.

Pengadilan sebagai salah satu lembaga yang diberikan kewenangan untuk memberikan dispensasi kawin seharusnya mampu lebih selektif lagi dalam memberikan persetujuan terhadap permintaan dispensasi kawin tersebut.

d) Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat)

Aturan yang mengatu mengenai batasan usia minimal untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur di dalam UU Perkawinan memang dikatakan tidak lahir secara tergesa- gesa hanya saja sampai saat ini memang masih diperlukan usaha yang lebih maksimal dari semua pihak yang terkait agar tujuan dari dinaikkanya batas minimal perkawinan yaitu menenkan jumlah perkawinan di bawah umur dapat tercapai.

10 Tsamrotun Kholilah. Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Ahli Medis Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 Ayat 1 dan 2 UU No. 1 Tahun 1974 (skripsi tidak diterbitkan) Hal. 60 sebagaiman dikutip oleh Imam Syafi‟i. Et.al 2020. Penetapan Dispensasi Nikah Oleh Hakim (Studi Komparatif Hukum Islam Dan Hukum Positif). Jurnal Mabahits Vol. 01 No.02 2020 hal 24.

(7)

4. Kesimpulan

Aturan yang mengatur mengenai batasan umur untuk melangsungkan perkawinan yaitu 19 (sembilan belas ) tahun untuk laki-laki dan perempuan masih belum berlaku efektif. Hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya permintaan dispensasi kawin yang dikabulkan di pengadilan. Pengadilan seharusnya mampu memperhatikan secara lebih detail dan selektif mengenai aspek-aspek yang menjadi pertimbangan untuk memberikan persetujuan dispensasi kawin.

Referensi

Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta:Kencana Prenada Media Group

Imam Syafi‟i. Et.al 2020. Penetapan Dispensasi Nikah Oleh Hakim (Studi Komparatif Hukum Islam Dan Hukum Positif). Jurnal Mabahits Vol. 01 No.02 2020.

Mustofa Hasan. 2011. Pengantar Hukum Keluarga. CV Pustaka Setia: Bandung .

Soerjono Soekanto. et.al.2007.Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Sonny Dewi Judiasih,.et.all.2019. Sustainable Development Goals and Elimination of Children Marriage Practice in Indonesia. Jurnal Notariil Vol 4 No 1, 2019

Sonny Dewi Judiasih. et.Al. 2020. Kontradiksi Antara Dispensasi Kawin Dengan Upaya Meminimalisir Perkawinan Bawah Umur Di Indonesia. Acta Diurnal Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum Unpad. Volume 3, Nomor 2, Juni 2020

Tsamrotun Kholilah.Skripsi.Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Ahli Medis Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 Ayat 1 dan 2 UU No. 1 Tahun 1974.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin

Website Mahkamah Agung Republik Indonesia Badan Peradilan Agama https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-peradilan-agama/berita-

daerah/signifikannya-perkara-dispensasi-kawin-terus-meningkat-di-masa-pandemi-covid-1.

Referensi

Dokumen terkait

This paper analyzes the performance of both schemes in WSNs when an event is detected and the packet arrival rate of the network increases using packet delivery ratio(PDR),

Pada penelitian ini didapati direct experience of nature pada ketiga kafe dicapai dengan penerapan material kaca dan orientasi hadap bukaan guna memperoleh pencahayaan dan