• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN - UNDARIS Repository

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "HASIL PENELITIAN - UNDARIS Repository"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

Latar Belakang Masalah…

Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian

Orisinalitas Penelitian…

Penjatuhan sanksi pidana mati terhadap tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan hak asasi manusia” Ketentuan pidana mati di Indonesia terdapat dalam KUHP dan di luar KUHP. Pidana atau pidana mati adalah pidana dengan menghilangkan hak hidup seseorang yang telah melakukan kejahatan yang diatur dengan undang-undang dan diancam dengan pidana mati. Secara filosofis, penjatuhan pidana mati terhadap pelaku kejahatan telah menjadi perdebatan sepanjang sejarah kehidupan.

Maka tidak salah jika UU PTPK telah memberikan rumusan pidana mati dalam Pasal 2 ayat Hukuman mati bukan lagi hukuman mati, melainkan hukuman khusus dan alternatif. Sedangkan ancaman pidana mati di luar KUHP yang merupakan tindak pidana khusus yaitu.

Pidana mati akan tetap digunakan dalam hukum pidana yang akan datang, terbukti dengan masih digunakannya pidana mati dalam RUU KUHP.

TINJAUAN PUSTAKA

Pidana Mati dalam Perspektif KUHP

Kejahatan merupakan pengertian hukum, berbeda dengan istilah “perbuatan buruk” atau “kejahatan” (crime atau verbrechen atau krimin) yang diartikan secara kriminologis dan psikologis. Misi hukum acara pidana adalah mencari kebenaran hakiki bagi pelaku tindak pidana untuk mendapatkan ganti rugi. Jadi seseorang dapat dipidana apabila perbuatan yang dilakukannya memenuhi syarat-syarat suatu kejahatan (strafbaarfeit).

Menurut Sudarto, pengertian komponen tindak pidana harus dibedakan dengan pengertian komponen tindak pidana sebagaimana tercantum dalam rumusan hukum. Jadi, unsur-unsur (dalam arti sempit) tindak pidana pencurian biasa adalah yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP. Menurut Simons, unsur-unsur kejahatan didasarkan pada pandangan kejahatan tersebut di atas.

Dari unsur-unsur tindak pidana, Simons membedakan unsur obyektif dan unsur subyektif strafbaarfeit, yaitu: 1) Unsur subyektif adalah: perbuatan orang;

Undang-Undang Hukum Pidana

Sedangkan tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dalam UU No. 2/PnPs/1964 yang masih berlaku hingga saat ini. atau perang jika permusuhan dilakukan atau perang dilakukan). 2, dan pasal 479, ayat 2, KUHP (tindak pidana penerbangan dan tindak pidana terhadap sarana/prasarana penerbangan).

Sejarah Pidana Mati

Dimana eksekusi hukuman mati sangat kejam pada masa itu, terutama pada masa kaisar Romawi. Yang cukup terkenal adalah zaman Nero dimana banyak orang Kristen dihukum mati dengan cara diikat pada tiang yang dibakar sampai mati. Kejahatan atau delik berat dan istilah pidana mati dalam sejarah hukum pidana merupakan dua komponen masalah yang saling berkaitan.

Hal ini tercermin dalam KUHP Indonesia yang menghukum kejahatan tertentu (kejahatan berat) dengan hukuman mati. Hukuman mati di Indonesia bukanlah hukuman yang populer karena hukuman ini jarang digunakan oleh hakim untuk memutuskan suatu perkara pidana dibandingkan dengan hukuman penjara, kurungan dan kejahatan lainnya. Dalam sejarah penerapan pidana mati di Indonesia telah terjadi penyimpangan asas koordinasi, karena hukum pidana yang digunakan di Indonesia harus sesuai atau melebihi atau sesuai dengan WvS (Wetboek van Straafrecht) yang berlaku. di Belanda.

Pada tahun 1818, hukuman mati tidak diakui di Belanda, karena lembaga hukuman mati dihapuskan oleh undang-undang tanggal 17 September dengan Staatsblad 162 tahun 1870 tentang Keputusan Menteri Modderman, yang sangat mengejutkan dalam sejarah Hukum Pidana Belanda dan dibicarakan sejak tahun 1846, alasannya karena eksekusi hukuman mati di Belanda sudah jarang dilakukan karena hukuman mati hampir selalu mendapat keringanan atau amnesti dari raja.

Perkembangan Pidana Mati di Indonesia

Terlepas dari wacana keberadaan hukuman mati di Indonesia, sampai saat ini Indonesia masih mengakui dan menganut hukuman mati dalam sistem pidana nasionalnya. Jika Anda melihat dunia internasional, banyak negara baru-baru ini menolak dan menghapus hukuman mati dalam sistem pidana mereka. Namun sebagai negara berkembang, Indonesia tetap mempertahankan pidana mati dalam sistem pidana nasionalnya dengan alasan bahwa Indonesia masih membutuhkan pidana mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan yang menimbulkan efek jera dan menimbulkan rasa takut pada masyarakat, yang dengan sendirinya mengurangi timbulnya kejahatan. di masa depan. akan datang.

Beberapa ulama yang mendukung dan ingin mempertahankan (retentionist) keberadaan hukuman mati di Indonesia antara lain. Dia membela hukuman mati di Indonesia mengatakan bahwa di Indonesia ada situasi khusus. Kami ingin hukuman mati dipertahankan dengan maksud agar tetap tersedia kapan pun kami membutuhkannya.

Dari situ, senjata seperti hukuman mati memiliki kualitas yang menakutkan yang tidak dimiliki oleh bentuk hukuman lainnya.

Pengertian dan Pelaksanaan Pidana Mati

Pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, artinya terpidana tidak mengajukan banding, tidak meminta belas kasihan, atau bahkan menerima pidana yang dijatuhkan, tetapi pidana mati tidak boleh dilaksanakan sampai ada keputusan presiden. dilakukan dengan pelaksanaannya, hal ini diatur dalam pasal 2 dan 3 UU Rahmat no. 3 Tahun 1950 LN. Apabila keputusan presiden tidak mengubah pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka pelaksanaannya diatur dalam undang-undang no.2 PNPS tahun 1964, pidana mati dilakukan oleh regu tembak d 16 undang-undang no.2 PNPS tahun 1964 dan bagi anggota peradilan militer yang dibenarkan militer diatur dalam pasal 17. 45 Faisal Salam m, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2006, hal. 63. Hal ini dilakukan dengan cara menyuntik terpidana mati sehingga tidak sadarkan diri, kemudian pavolum atau pankuronium bromida disuntikkan lagi ke pembuluh darahnya yang melumpuhkan otot dan sistem pernafasan.

Cara eksekusi ini dilakukan dengan mendudukkan terpidana dalam keadaan duduk dan diikat di kursi menyilang di dada, selangkangan, kaki dan lengan. Cara eksekusi ini dilakukan dengan cara menembak terpidana pada jarak tertentu dan dengan kaliber peluru tertentu pada bagian yang paling vital, biasanya di bagian belakang kepala atau jantung. Eksekusi ini dilakukan dengan mata terpidana tertutup dan tangan terikat serta membelakangi eksekutor atau algojo di tempat tertutup. e) Hukum Tertunda.

Cara penggantungan ini dilakukan dengan cara melilitkan tali pada leher terpidana yang sedang berdiri di atas kursi atau benda lain yang berfungsi sebagai tempat terpidana berdiri dengan mata tertutup, kaki dan tangan diikat. Metode hukuman mati ini masih banyak digunakan oleh negara-negara seperti India, Pakistan, Arab Saudi dan negara lainnya. Tujuan diselenggarakannya dan dilaksanakannya pidana mati adalah agar masyarakat mengetahui bahwa pemerintah tidak menginginkan adanya gangguan ketenteraman yang sangat ditakutkan oleh masyarakat.

Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, memastikan bahwa pribadi manusia tidak tersinggung dan tetap dihormati. Namun terkadang, sebaliknya, Pemerintah Negara Bagian mengenakan hukuman dan benar-benar menjatuhkan hukuman itu, sehingga manusia diserang oleh Pemerintah Negara Bagian. Oleh karena itu, di satu sisi kekuasaan negara membela dan melindungi seseorang dari serangan siapa pun, dan di sisi lain kekuasaan negara menyerang seseorang yang ingin dilindungi dan dipertahankannya.”47.

47 Djoko Prakoso dan Nurwachid, Survei Opini Efektifitas Hukuman Mati di Indonesia Saat Ini, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. Oleh karena itu, hukuman bukanlah tindakan balas dendam oleh korban terhadap pelaku yang menyebabkan penderitaan.

Pidana Mati dalam perspektif HAM

Persoalan dalam hal ini adalah apakah penjatuhan pidana mati segera berimplikasi pada perubahan filosofi pemidanaan di Indonesia yaitu rehabilitasi dan reintegrasi sosial pelaku tindak pidana. Jadi penerapan hukuman mati pada jenis dan kualitas kejahatan tertentu tidak serta merta mengubah filosofi pemidanaan di Indonesia. Jadi, penjatuhan pidana mati bagi pelaku korupsi yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2) UU PTPK tidak bertentangan dengan filosofi pemidanaan yang harus dicapai melalui tujuan pemidanaan.

Jaminan hak asasi manusia, khususnya hak hidup dalam penjatuhan hukuman mati bagi pelaku korupsi memang sudah lama diperdebatkan, namun tampaknya tidak akan pernah ketinggalan zaman untuk dikaji. Dengan demikian, penjatuhan pidana mati bagi koruptor yang selama ini terhalang oleh persoalan HAM dapat dipertahankan. Penjatuhan pidana mati hanya dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku korupsi apabila pemberian uang untuk keadaan tertentu adalah korupsi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK.

Jenis kejahatan yang dapat dihukum mati inilah yang harus dianggap sebagai kejahatan paling serius. Kejahatan yang diancam dengan hukuman mati adalah kejahatan yang secara langsung atau tidak langsung telah melanggar hak hidup dan hak hidup manusia. Artinya, sebagai negara pihak yang menganut sistem hukuman mati bagi korupsi, Indonesia berhak menjatuhkan hukuman mati terhadap korupsi.

Akan menjadi kesalahan bagi pihak-pihak yang sangat menentang hukuman mati ini, mereka terlalu fokus pada penekanan HAM. Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku korupsi harus dilihat sebagai upaya pemulihan kembali keharmonisan masyarakat yang sempat terganggu akibat tindak pidana tersebut. Hakim menjatuhkan hukuman mati kepada putranya yang dituduh mencuri bajak tua milik seorang warga kerajaan.

Pidana mati dalam Rancangan KUHP merupakan pidana khusus (khusus), karena dijatuhkan hanya sebagai upaya terakhir untuk melindungi masyarakat. Dengan demikian, penjatuhan hukuman mati terhadap para koruptor yang selama ini terhalang oleh persoalan hak asasi manusia, khususnya hak hidup dapat didukung.

METODE PENELITIAN

Saran

Perlu adanya kajian yang komprehensif terhadap penggunaan pidana mati dalam RUU KUHP sebagai reformasi hukum pidana Indonesia, baik dari segi adanya masa percobaan 10 tahun maupun kemungkinan untuk dimintai grasi. , serta tentang eksekusi yang dilakukan secara tertutup. Barda Nawawi Arief, 2005, Berbagai Aspek Penegakan Hukum dan Kebijakan Pembangunan, Bandung: Citra Aditya Bakti. 2010, Antologi Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Rancangan KUHP Baru), Jakarta: Kencana Prenad Djoko Prakoso Media Group, 1988, Hukum Pidana di Indonesia, Yogyakarta: Liberty E.

Reformasi Hukum Pidana: Kajian Tentang Bentuk-Bentuk Tindak Pidana, Terutama Substansi Sebagai Bentuk Pidana. Makalah yang disampaikan pada Sosialisasi Rancangan KUHP yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 1990, Proyeksi Hukum Pidana Substantif di Indonesia Masa Depan, Sambutan Guru Besar Ilmu Hukum FH UNDIP Semarang: UNDIP.

Kebijakan Pidana Kriminalisasi di Bidang Keuangan, Disertasi, Program Doktor, Fakultas Hukum Universitas Indonesia: Jakarta. Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana: Cakrawala Baru setelah Reformasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Nurdiana, Igm, Sistem Peradilan Pidana dan Beban Korupsi, Perspektif Kuat Eksistensi Terhadap Mafia Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Cyber Crime Phishing: • Perlindungan hukum bagi korban tindak pidana cyber crime phishing dapat diperoleh dari pasal 378 KUHP • Pasal 28