• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMAYU HAYUNING BAWANA: Melacak Spiritualitas Transendensi Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Masyarakat Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "MEMAYU HAYUNING BAWANA: Melacak Spiritualitas Transendensi Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Masyarakat Jawa"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MEMAYU HAYUNING BAWANA:

Melacak Spiritualitas Transendensi Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Masyarakat Jawa

Oleh : Sigit Sapto Nugroho, Elviandri

Mahasiswa Program Doktor UMS, DosenFakultasHukumUnmerMadiun Mahasiswa Program Doktor UMS, DosenFakultasHukumUniversitasMuhamadiyah Riau

email : [email protected]

Abstract - Java community has a spiritual concept in maintaining the harmonization of the relationship between God, human beings in the universe and the concept of “Memayu Hayuning Bawana”. This concept has meaning how to make the prosperity of the universe, beautify beauty of the universe or keep the universe well by combining the concept of physical and spiritual life of the universe. The concept Memayu Hayuning Bawana a philosophy that contains the dimensions of the character in a comprehensive manner as well as spiritual philosophy Java community in keeping the actualization of the law of natural resource management in order to harmonize the universe is maintained sustainability and continuity are always stressed harmony of man and man, man and nature, and humans with God in carrying out life and living.

Keywords: Memayu Hayuning Bawana, Spiritual Transcendence Natural Resources Law Abstrak- Masyarakat Jawa mempunyai konsep secara spiritual dalam menjaga harmonisasi hubungan antara Tuhan, Alam semesta dan manusia dalam konsep

“Memayu Hayuning Bawana”. Konsep ini memiliki makna bagaimana untuk dapat memakmurkan alam semesta, mempercantik keindahan alam semesta atau menjaga alam semesta dengan baik dengan memadukan konsep fisik dan spiritual dalam kehidupan alam semesta. Konsep memayu hayuning bawana merupakan filosofi yang mengandung dimensi karakter secara komprehensif juga sebagai filsafat spiritual masyarakat Jawa dalam menjaga aktualisasi dalam hukum pengelolaan sumber daya alam agar harmonisasi alam semesta tetap terjaga kelestarian dan keberlajutan yang selalu menekankan keselarasan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhandalam melaksanakan hidup dan kehidupan.

Kata kunci :Memayu Hayuning Bawana, Spiritual, TransendensiHukum SDA Pendahuluan

Secara normatif hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sudah ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945. Ketentuan Pasal tersebut mengandung konstruksi yuridis bahwa sumber daya alam yang ada di wilayah kedaulatan Indonesia adalah milik bangsa Indonesia. Selanjutnya pengelolaaan sumber daya alam yang diserahkan kepada Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Nugroho(1), 2017: 77).

Tetapi dalam tataran pelaksanaan (implementasi) berbagai persoalan-persoalan dalam pengelolaan sumber daya alam seringmunculsalahsatunya yang dominan

(2)

adalah menempatkan hukum Negara (perundang-undangan) sebagai satu-satunya pedoman untuk menyelesaikan permasalahan tersebut (paradigm positivistic) (Elviandri, 2017:37). Karena secara fakta yuridis ditemukan persoalan antara lain (1) ditemukan dalam implementasinya aturan hukum yang tumpang tindih berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam di daerah dengan aturan secara nasional, sehingga terjadi ketidaksinkronan aturan sehingga demi kepentingan tertentu dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan merusak kawasan konservasi.(2) Penggunaan aturan yang multi tafsir yang berorientasi pada kepentingan eksploitasi tanpa mempedulikan persoalan keadilan bagi masyarakat. (3) ketidaksadaran organ Negara telah bersikap arogan dalam memahami aturan hukum sehingga yang terjadi posisi organ Negara yang sadar atau tidak merasa lebih tinggi dari masyarakat lokal.

(4) keberadaan hak ulayat dan keberadaan masyarakat adat yang sering luput dari perhatian, dimana pengakuan keberadaan mereka dengan syarat tertentu dalam Pasal 3 UUPA dan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 merupakan cerminan politik hukum yang hegemoni dan homogenisasi.(5) secara umum hampir ada disetiap daerah terdapat kecenderungan pendekatan secara deduktif atau sebaliknya justru sangat lemah dalam penyelesaian konflik pemanfaatan sumber daya alam antara negara dengan masyarakat, akibatnya pendekatan penyelesaian masalahnya terlalu formal, sangat hitam putih dan tidak menghasilkan keadilan yang substansial (Samekto, 2015:21-22).

Dengan kata lain kegagalan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia dengan berbagai model atau pendekatan yang dilakukan oleh negara, selama ini masih banyak mengalami kendala/kegagalan dalam implementasinya. Salah satu hal yang sering terjadi adalah persoalan menyangkut keterlibatan masyarakat dalam konservasi tersebut, kadang kala diminimalisir, bahkan ditiadakan sama sekali. Hukum-hukum adat atau hukum-hukum kebiasaan yang lahir dari, dan dalam masyarakat tidak diberi kesempatan ikut dijadikan sebagai norma dalam keberhasilan dalam pengelolaan sumberdaya alam (Nugroho (2), 2017:343).

Politik pengelolaan sumber daya alam cenderung mengarah kepada “negara lebih tahu dan mengerti, bagaimana cara agar fungsi sumber daya alam dan lingkungan dapat tercapai”, melalui cara yang dipandang oleh negara lebih rasional dan logis.

Kebanyakanwilayahpengelolaan sumber daya alam di Indonesia rusak, akibat tumpang tindih kebijakan yang berakar pada inkonsistensi peraturan perundang- perundangan yang satu dengan yang lainnya, misalnya antara peraturan konservasi dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan daerah otonom (desentralisasi), kebijakan pemberian izin eksploitasisumberdayaalam, peraturanperundang-undangan di bidang kehutanan, pertambangan, dan atau minyak bumi, serta lain sebagainya.

Masyarakat adat sebenarnya mempunyai kearifan dalam hal hubungan antara sesama anggota masyarakat, serta dengan alam sekitarnya. Hubungan dengan lingkungannya di mana masyarakat hidup dan bergantung di dalamnya dipandang sebagai harmoni satu sama lainnya. Nilai hukum yang hidup dalam masyarakat

(3)

yang dapat dijadikan isi hukum biasanya berupa kearifan-kearifan lokal masyarakat setempat (Nugroho, Hilman, 2017: 68). Kearifan lokal adalah pengetahuan yang ditemukan atau diperoleh dari masyarakat lokal melalui akumulasi dari berbagai pengalaman dalam rangkaian praktik dan terintegrasi dengan pemahaman terhadap sekitar alam dan budaya bahkan dengan sang Pencipta (Tuhan).

Kearifanlokalselaludinamissesuaidenganfungsinya yang dibentuk oleh kearifan lokal dan terkait dengan situasi global (Ade Saptomo, 2013:176). Fungsi kearifan lokal, antara lain untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam, bermakna sosial, etika dan moral (Mariane, 2014, Sulaiman, Mansur, 2015:1). Pengetahuan lokal tentang ekologi dan konservasi memiliki prospek (Ryan K. Brook, Stephane M. Mc Lachlan, 2008:3501).

Nilai-nilai kearifan masyarakat adat ini kemudian dituangkan dalam konsep- konsep dasar (asas-asas), seperti bagaimana hubungan antara Tuhan, manusia dengan alam sekitarnya, hubungan antara sesama anggota masyarakat dalam persekutuan adat, dan lain sebagainya.Konsep dasar inilah yang melahirkan instrumen hukum adat untuk menjaga nilai-nilai kearifan tersebut tetap terjaga sampai saat ini.

Tuhan, manusia, dan alam merupakan pembahasan filsafat klasik yang tidak pernah ada habisnya. Negeri-negeri seperti Mesir, India, Cina, Jepang, Iran, Babilonia, Yunani, dianggap sebagai rujukan dalam mempelajari konsep tersebut. Para filosof kuno sampai filosof modern sudah banyak yang mengupas tentang hal ini. Manusia merupakan bagian dari alam semesta  (kosmos) yang telah diciptakan oleh Tuhan, dan sebagai abdi-Nya. Manusia diberikan kuasa oleh Tuhan untuk memanfaatkan, mengolah, dan menjaga potensi alam semesta yang telah diciptakan-Nya (khalifatullah).

Dengan alam pula manusia berproses dan memperoleh pengetahuan dari Tuhan. Oleh karena itu membahas hubungan antara manusia, alam, danTuhan sebagai pencipta tidak dapat dipisahkan.

Salah satu konsep kearifan local masyarakat Jawa yang sampai saat ini masih hidup dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa adalah konsep “Memayu Hayuning Bawana” dalam memaknai kehidupan di alam semesta ini terutama dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber daya alam. Untuk itu tulisan ini mencoba untuk mendeskripsikan dan melacak spiritualitas transendensi hukum pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan local masyarakat Jawa dalam konsep Memayu Hayuning Bawana.

Pembahasan

Spiritualitas Konsepsi Kosmologi : Mikrokosmos dan Makrokosmos

Berdasarkan konsep masyarakat Jawa hubungan antara Tuhan, Alam semesta dan manusia dikonsepsikan perwujudan harmoni antara alam dengan manusia yang ditekankan dalam konsepsi kosmologis adalah bahwa alam ini terdiri dari mikrokosmos dan makrokosmos (jagat kecil dan jagat besar). Makrokosmos yang

(4)

dimaksud adalah alam semesta dan manusia merupakan mikrokosmos. Antara mikrokosmos dan makrokosmos terdapat hubungan yang terjalin secara kontinuitas dan terus-menerus. Namun, kedudukan manusia tidak sejajar dengan jagat raya.

Makrokosmos memberikan pengaruh besar terhadap mikrokosmos baik yang bersifat menguntungakan ataupun merugikan bergantung pada sejauh mana manusia yang dalam hal ini atau suatu Negara sebagai penguasa mampu menciptakan keharmonisan dan keselarasan dengan jagat raya. Oleh karena itu, makmur tidaknya suatu kerajaan tergantung pada kemampuan negara dalam menciptakan keharmonisan antara dua kosmos tersebut (LailatuzzZuhriyah, 2013).

Sebagaimana pandangan masyarakat Samin dalam melihat alam semesta termasuk hutan dengan segala isinya. Dalam pandangan masyarakat Samin menyebut alam yang sedang kita tempati saat ini sebagai alam donya (alam dunia). Sedangkan alam yang akan ditempati nanti disebut alam kelanggengan. Alam dunia terdiri dari unsur- unsur tanah (lemah), air (banyu), api (geni) dan angin. Keempat unsur itu harus ada dalam keadaan seimbang, agar seimbang harus di tata. Mereka juga memahami adanya jagat gede dan jagad cilik . Alam raya atau alam semesta ini disebut sebagai jagad gede (makrokosmos). Bumi yang ditempati, langit dan matahari merupakan isi jagad gede.

Sedangkan jagat cilik (mikrokosmos) adalah diri manusia sendiri. Dalam pandangan mereka jagad cilik dan jagad gede adalah sama. Jagad cilik itu merupakan gambaran dari jagat gede (Jumari,2012: 7-16).

Menurut pandangan masyarakat Samin bumi melambangkan nama perempuan, dari kata ibu sing di mimi, dipundi-pundi, (ibu yang sangatdihormati) iso nukulke samubarang, senajan diidak-idak, dipaculi,dipiloro, tetep nguripi, oranesu, ditanduri yo bakal woh, (bisa menumbuhkanberbagai macam tanaman, meskipun dinjak-injak,dicangkuli, disakiti, tidak marah, kalauditanamami tetap memberikan hasil, tetapmemberikan penghidupan).

Bumi memberikantempat perlindungan, menumbuhkan tanaman,menyediakan air, dan menyediakan segalakehidupan lainnya. Karena itulah masyarakatSamin sangat menghormati bumi. Penghormatanmereka terhadap bumi dengan bertani, mengolahtanah sebaik-baiknya, memberikan pupuk,menanami, merawat dan memberikan perhatiansetiap hari. Ibarat merawat seorang ibu yang telahmemberikan kasih sayang dan membesarkannya.

Bumi ibarat ibu yang selalu dihormati.

Langit adalah nama atau simbol untuklaki-laki. Langit dan bumi merupakan suatupasangan, langit sebagai laki-laki dan bumisebagai perempuan. Langit berada di atas, danbumi itu di bawah. Ini menjadi simbol bagi merekabahwa laki-laki mempunyai kekuasaan yang lebihluas dibanding kaum wanita, namun laki laki jugamempunyai tugas lebih berat untuk melindungi dan menghidupi ibu bumi.

Matahari dalam bahasa jawa adalah Srengenge, berasal dari kata sreng/ono karep (berarti hasrat atau keinginan). Matahari berada di atas, di langit, matahari melambangkan hasratnya atau energi. Matahari memancarkan energi, yang disalurkan ke bumi, bumi menyimpan benih kehidupan. Adanya sinergi antara bumi dan matahari

(5)

menciptakan kehidupan di bumi. Kehidupan dibumi dapat terus berlangsung karena adanya sinergi antara unsur bumi yang diserap tumbuhan yang mampu secara langsung memanfaatkan energi matahari dalam proses fotosintesis sehingga dihasilkan bahan- bahan organik yang diperlukan untuk bahan pangan organisme lainnya.

Masyarakat Samin merealisasikan pandangan mengenai perkawinan antara langit dan bumi tersebut dalam bentuk perkawinan antara laki-laki dan perempuan (sikep rabi). Perkawinan merupakan merupakan jalan yang mulia untuk menghasilkan keturunan guna melanjutkan kehidupan berikutnya. Dalam ajaran Samin untuk menciptakan kehidupan atau keturunan yang baik, harus di awali dengan tata cara perkawinan dengan tata cara sikep rabi (pernikahan cara masyarakat Samin).

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, untuk menebarkan benih kehidupan dengan cara yang baik, agar di hasilkan keturunan yang baik pula. Dengan generasi yang baik diharapkan akan dihasilkan kualitas kehidupan yang lebih baik. Bagi masyarakat Samin membagi isi dunia ini dalam dua bentuk yaitu wong (manusia/hidup) dan sandang pangan (penghidupan). Wong, dimaknai sebagai manusia atau diri kita ini yang diberi hidup diamanahi sebagai pengelola kehidupan dibumi. Sedangkan sandang pangan, merupakan kelengkapan atau sumber penghidupan di bumi. Segala sesuatu yang bukan manusia itu disebut sebagai sandang pangan. Dalam pemahaman keilmuan sekarang, konsep tersebut dapat diibaratkan sebagai manusia dan lingkungannya, atau antara sistem sosial dan sistem biofisik (Rambo, 1983:)

Kerangka normatif dalam menentukan bentuk kongkret interaksi manusia Jawa dengan alam adalah prinsip keselarasan hidup, baik mikrokosmos maupun dalam kapasistas sebagai bagian dari makrokosmos. Tanda-tanda ketegangan dalam interaksi sosial dalam masyarakat Jawa yang mulai nampak akan segera dihilangkan dengan prinsip kerukunan untuk mencapai sebuah keselarasan. Sikap batin dalam menjaga keselarasan interaksi sosial, selalu dijaga dalam parameter yang bersifat ajeg, tidak ada gejolak, selalu mengedepankan kedamaian atau lebih dikenal dengan harmoni sosial.

Hal itu dapat berjalan karena manusia Jawa merasa bahwa individu dengan segala kepentingannya merupakan bagian integral dari sebuah komunitas (MagnisSuseno, 2004:23).

Spiritualitas Transendensi Hukum Sumber Daya Alam melalui Konsep Memayu Hayuning Bawana dalam Menjaga Keseimbangan Alam

Terpeliharanya keseimbangan antara manusia dan alam pada titik normal akan menciptakan lingkungan yang selaras. Manusia akan secara sadar mengetahui tempatnya, sehingga akan secara sadar pula dalam melakukan interaksi dengan sesama dan alam lingkungan. Sikap batin inilah yang mampu menciptakan harmonisasi kehidupan manusia dalam menjaga keutuhan alam. Manusia akan selalu merasa sebagai bagian dari rangkaian tata kehidupan yang saling bersimbiosa, saling membutuhkan, sehingga dalam memperlakukan sesama atau lingkungan akan

(6)

sangat berhati-hati dan santun .Perilaku demikian sudah dikondisikan turun temurun sedemikian rupa untuk tidak merusak siklus keteraturan yang sudah berlaku, sehingga nyaris tidak terjadi konflik. Tuntutan keselarasan yang merupakan nilai-nilai dasar perilaku masyarakat Jawa sebagai sebuah penghayatan komunal bersifat terbuka dan menjadi wahana sikap dasar masyarakat untuk mencapai pencerahan hidup. Konsep Mamayu hayuning bawana (menciptakan kemakmuran di bumi) adalah cerminan perilaku masyarakat Jawa dalam menyelaraskan tatanan yang berdasar pada konsep makrokosmos dan mikrokosmos, harmonisasi jagad gumelar(Makrokosmos) dan jagad gumulung (mikrokosmos) (Benedict Anderson, 2008).

Kesadaran kosmis sebagai tatanan yang sudah selaras, antaraTuhan, manusia dan alam semesta dijadikan konsep dasar dalam menjalankan pemerintahan pada masa pemerintahan raja-raja Jawa. MenurutDaryono (2013:83) pada masa pemerintahan Sultan Agung, raja besar Mataram, konsep keselarasan dirangkum menjadi 3 buah pedoman yang disebut Tri Prasetya: Mamayu Hayuning Bawana, Mangasah Mingising Budi, Mamasuh Malaning Bumi.

Idiom lokal Jawa yang mengatakan Mamayu Hayuning Bawana, menjadi sebuah landasan yang sangat penting dalam tataran yuridisekologis maupun aspek lainnya.

Hayu dalam konteks ke-Jawa-an, berdimensi pengolahan rasa, membutuhkan ketajaman spiritual dalam menimplementasikan kesadaran itu. Hayu dalam leksikologi Jawa memang berarti indah. Dalam bahasa jawa, hayuberdimensi spiritual. Perpaduan rasa, cipta dan karsa dalam tataran kehidupan manusiaJawa sangat dipengaruhi oleh olahing rasa, yang menjadi dasar perilaku dalam menentukansikap.

Mamayu secara leksikal memang mempunyai makna menjaga, tetapi secara lebihmendalam dalam, tataran bahasa Jawa, mempunyai makna yang lebih bersifat batiniah.Mamayu tidak mengubah tatanan yang sudah ada, tidak mengganggu keselarasan yangsudah ada, tidak menimbulkan konflik baru terhadap tatanan yang sudah berlaku baik.Hamemayu bukan sekedar menjaga, tetapi lebih berdimensi kestabilan aura positifsebagai sebuah ciptaan. Menjaga kestabilan sekaligus mempertahankan keindahan yangada.Mamayu hayuning bawana merupakan sebuah kesadaran kontemplatif akan begitupentingnya keselarasan makrokosmos dan mikrokosmos.

Konsep ini berkaitan dengantatanan kehidupan yang bertujuan untuk memperoleh keselarasan batin. Manusia akanbersikap hormat pada dogma leluhur yang ditanamkan lewat ajaran sinandhi. Manusia Jawadiajarkan untuk selalu bersikap prasaja, sikap jujur yang didasari pada keberlangsungantatanan. Pembelokan pada tatanan dianggap tabu, menyalahi paugeran (hukum), yang secara taatdiajarkan secara tutur dari generasi ke generasi berikutnya. Artinyamasyarakatmerasamaluapabilamelanggarsesuatuaturan/

hokum yang sudahdisepakati/berlaku.Keteraturan siklus kehidupan manusia dalam interaksi sosial masyarakat tidak dapat dilepaskan dari beberapa elemen yang ikut menentukan parameternya. Hamemayu hayuning bawana adalah menjaga harmoni / keselarasan jagad cilik dan jagad gedhe. Dalam interaksi keseharian masyarakat

(7)

dijabarkan menjadi lebih simpel yaitu: Tepa Salira (tenggang rasa) baik antar manusia dan manusia dengan alam.

Mangasah mingising budi, butir kedua dari Tri Prasetya secara singkat merupakan perilaku yang didasarkan pada keluhuran budi yang dalam implikasinya dengan selalu mengedepankan kautaman (keutamaan).

Mamasuh malaning bumi, merupakan sikap pro aktif dalam menjaga harmoni/

keselarasan bumi yang sudah terinteraksi elemen satu dengan yang lainnya. Sehingga tercipta keserasian,keserasian dan keseimbangan alam (sumberdaya alam termasuk hutan).

Menurut BudyaPradipta, Taufiq at-Tamzirien (2004),konsep kerifan lokal filosofi dasar masyarakat Jawa, “Hamemayu Hayuning Bawono” atau dalam cengkok lain “Mangayu Ayuning Bawono”. Tekat ini merupakan falsafah universal yang dapat dipakai sebagai “lambaran” dalam melangkah kaitannya dengan masalah sosial, budaya, ekonomi, pendidikan maupun dalam masalah lingkungan hidup. Terjemahan secara bebas dalam bahasa Indonesia adalah “Memperindah Keindahan Alam ini” atau “Mempercantik Kecantikan Alam ini” atau “Menjaga - Mengkonservasi Keindahan dan Keagungan Ciptaan Tuhan yang ada di Dunia ini”. Falsafah ini diukir para pendahulu dan nenek moyang kita, dengan pancaran tekad mulia yaitu tekad mengkonservasi, menjaga dan memelihara alam ini, atau tekad mengembangkan dan mengelola alam tanpa merusak, atau tekad memperbaiki tanpa menghancurkan alam dan segala yang ada di “ngarcopodo(alam semesta)” ini yang merupakan pemberian, hadiah sekaligus amanat “Gusti Allah Yang Moho Widi( Tuhan Yang Maha Esa)”.

Konsep Hamamayu hayuning bawono dari sisi Lingkungan Hidup dan pengelolaansumberdayaalam. “Hamemayu hayuning bawono” dari aspek lingkungan, ekologi, sumberdayaalam dan sosial sebenarnya dapat derivasikan lebih dalam menjadi tujuh gatra yaitu : Hamemayu hayuniung tirto (air), Hamemayu hayuning wono(hutan), Hamemayu hayuning samodro (lautan), Hamemayu hayuning howo, (udara), Hamemayu hayuning bantolo(tanah), Hamemayu hayuning budoyo (budaya), dan Hamemayu hayuning manungso(manusia).

Falsafah hammamayu hayuning tirto (air) diartikan bahwa seluruh masyarakat baik pemerintah, legislatif, pembisnis, LSM dan masyarakat memiliki tugas secara bersama untuk menjaga kelestarian sumberdaya air dengan segala komponen penyangganya seperti sungai, danau, situ, embung, mata air, air tanah dan siklus hidrologinya, serta komponen-komponen ekologi yang terkait dengan air. Sehinggi tirto tersebut tidak menimbulkan bahaya banjir dan kekeringan, kerena kita tidak melakukan hamemayu hayuning tirto tersebut.

Hamemayu hayuning wono (hutan). Wono atau hutan merupakan satu inti pokok dalam “Catchment Area” atau Daerah Aliran Sungai (DAS). Jika Wono rusak maka seluruh sistem alam ini akan ikut rusak, misal tata air permukaan, iklim mikro dan

(8)

makro, fekuensi dan durasi hujan, kelangsungan hidup ekologi dll. Menjaga kecantikan dan kelestarian DAS pada intinya adalah menjaga kelestarian hutan beserta seluruh tata air dan tata lingkungan yang ada didalamnya baik biotik (flora-tumbuhan dan fauna-hewan) maupun abiotik (komposisi tanah, geografi-geomorphologi, aliran air, mata air dll.)

Hamemayu hayuning samodro (samudera) diartikan sebagai upaya memperindah, menjaga dan melestraikan potensi bahari-samodra yang amat-sangat luas ini.

Kekayaan yang terkadung di perairan laut dapat dikelola, dimanfaatkan sekaligus di jaga kelestariannya agar keindahan dan kekayaannya dapat lestari lebih-lebih dapat semakin meningkat kualitas dan kuantitasnya ekosistemnya.

Hamemayu hayuning howo (udara) diartikan sebagai upaya aktif untuk selalu menjaga, memperindah atau mempercantik kondisi udara atau atmosfer. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu program nyata untuk memperbaiki kualitas udara yang nyata-nyata sudah sangat membahayakan. Perbaikan atmosfer bisa dilakukan melalui pembatasan emisi kendaraan bermotor (missal dengan membatasi jumlah kendaraan atau memperbaiki sistem knalpot saringan kendaraan bermotor). Disamping itu bisa dilakukan dengan memperbanyak suplai oksigen melalui program hutan kota dengan penanaman tanaman-tanaman vegetasi di kota maupun pinggiran dalam jumlah mencukupi.

Hammamayu hayuning bantolo (tanah) diartikan sebagai upaya konservasi tanah dan sumber daya alam dan minaral yang ada didalamnya. Maka perlu pelestarian tanah tempat kita berpijak dari segala macam polusi yang merupakan beban berat bagi daya dukung tanah tersebut. Misalnya polusi sampah plastik, polusi zat-zat kimia, bensin, detergen dan polusi-polusi lain yang masuk kedalam tanah. Hamemayu hayuning bantolo (bumi) bisa diartikan juga sebagai usaha untuk mengatur pola eksploitasi mineral, tambang maupun bahan galian sekaligus menghindarkan sejauh mungkin dampak negatif yang muncul dari eksploitasi tersebut bahkan justru memperbaiki kualitas tanah yang ada.

Hammamayu hayuning budoyo dimaksudkan sebagai usaha “nguri-uri”

kebudayaan baik yang kita miliki dan meminimalisir atau menghilangkan perilaku atau kebiasaan buruk yang ada dan berupaya menumbukan budaya baik sesuai dengan tuntutan jaman. Kaitannya dengan kepentingan pelestarian lingkungan adalah, upaya memperbaiki kebiasaan atau budaya untuk tidak memperparah kerusakan lingkungan, namun justru harus memperbaiki lingkungan. Misalnya kebiasaan membuang sampah domestik dan air kotor langsung ke sungai tanpa diperbaiki kualitasnya, kebiasaan tidak menghormati komponen ekologi lingkungan misalnya kebiasaan berburu burung-burung, hewan dan insekta yang ada di sekitar kita, kebiasaan menebang pohon tanpa menanam kembali, merokok, kampanye berpolusi, boros dalam penggunaan air dan energi, tidak respek terhadap sesama hidup termasuk kepada hewan dan tumbuhan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang

(9)

terkait dengan perusakan lingkungan. Selama budaya kita belum terbentuk dan tidak dibentuk sehingga masyarakat menjadi mengerti dan menghormati lingkungan, maka korban-korban kerusakan lingkungan akan semakin parah.

Hamemayu hayuning manungsa (manusia): seperti diketahui bersama bahwa manusia merupakan inti roh dari alam lingkungan sekitarnya. Jika manusia berperilaku-berbudaya buruk, maka lingkungan akan rusak. Jika manusia hanya menggunakan nafsu “angkara murka”-nya maka yang paling pertama menderita adalah lingkungan. Kalau manusia lupa bahwa dirinya adalah bagian dari lingkungan dan merupakan pesuruh “Gusti Allah” yang harus menjadi aktor pemelihara dan mengelola alam sekitar ini, maka alam inipun akan rusak oleh ulah manusia itu sendiri. Jadi, di dalam “hammamayu hayuning manungsa” tersirat suatu himbauan untuk menjadi “sejatining manungso” dengan memanusiakan manusia. Didalam memanusiakan manusia sangat diperlukan usaha mempercantik kecantikan sifat manusia sebagai aktor sentral dalam pengelolaan sumber daya alam. Sehingga tumbuhlah dalam diri manusia tersebut respect atau rasa hormat kepada komponen ekologi-lingkungan dan sepodo-podo, seperti hormat terhadap hewan dari mikroorganisme, binatang melata sampai yang berjalan tegak dan hormat terhadap seluruh tumbuhan-tumbuhan berserta habitat dan ekosistemnya termasuk hormat kepada manuasi lainnya. Rasa hormat manusia tersebut akan menghasilkan teknologi dan rekayasa yang juga hormat terhadap lingkungannya. Tanpa mengembangkan rasa hormat setiap individu manusia terhadap alam-lingkungannya maka sebenarnya manusia tersebut akan menjadi aktor perusak alam nomor satu.

Dari uraian tujuh gatra di atas, maka konsekuensi dari pengambilan falsafah

“Hamemayu Hayuning Bawono” tersebut harus diimplementasikan, harus ditata dan diatur sedemikian rupa sehingga falsafah tersebut benar-benar membumi dan merasuk pada setiap sanubari individu manusia sehingga terjadi harmonisasi alam semesta iniuntuksebesar-bes arnyakemakmuranrakyatsebagaimanaamanatdalamkonstitusi.

Kesimpulan

Harus dipahami, nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang yang ketinggalan zaman sehingga ditinggalkan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang dibawa arusglobalisasi. Dunia internasional sangat menuntut demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alammenjadi agenda pembangunan di setiap negara. Isu-isu tersebut dapat bersinergi dengan aktualisasi dari nilai spiritualitas konsep Hamemayu Hayuning Bawana yang mengajarkan masyarakat untuk bersikap dan berperilaku yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan dalam melaksanakan hidup dan kehidupan agar negara menjadi panjang punjung pasir wukir loh jinawi gemah ripah karta raharja, tulus kang sarwa tinandur, murah ingkang sarwa tinumbas (Artinya: Negara/

masyarakat yang tertata rapi dan damai. Menjadi teladan bagi banyak bangsa karena

(10)

keluhuran budi dan berwibawa. Luas samuderanya berhampar pasir, membelakangi gunung yang tinggi menjulang, mengalir bengawan (sungai yang besar), dengan masyarakat yang tentram. Subur segala tanaman dan murah segala kebutuhan hidup)

Daftar Pustaka

Ade Saptomo,(2013)Budaya Hukum dan Kearifan Lokal, UniversitasPancasila Press, Jakarta.

Aji Samekto dkk,(2015), Membangun Politik Hukum Sumber Daya Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia, Penerbit Tafa Media, Yogyakarta.

Benedict, Anderson, (2008). Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Jejak Yogyakarta.

Daryanto, (2013), Sultan Agung: Tonggak Kokoh Bumi Mataram, Dipta, Yogyakarta.

Elviandri, (2017), HukumTransendentaldalamKonstelasipemikiranHukumPositivistik di Indonesia, JurnalYustisiaMerdeka, Vol.2 No.1 Maret 2016, ISSN 2407-8778, Frans Magnis Suseno, (2004), Etika Jawa: Sebuah Analisa Tentang Filsafati

Kebjiaksanaan Jawa, Gramedia Jakarta.

Jumari dkk, Etnoekologi Masyarakat Samin di Kudus Jawa Tengah, Jurnal Bioma, Juni 2012 Volume 14 No.1 hal 7-16.

Lailatuzz Zuhriyah, Kosmologi Islam Kesultanan Ngayogjakarta Hadiningrat, Teosofi : Jurnal Tasawufdan Pemikiran Islam, Volume 3 Nomor 1 Juni 2013, FakultasTarbiyah IAIN Tulungagung.

Sigit Sapto Nugroho (1), (2017), Hukum Kehutanan: Konstruksi Hukum Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis masyarakat, Kafilah Publising Surakarta.

___________________(2), (2017), Customory Law Harmonization Norma Interaction And Legalmstate In The Management of Natural Resources Conservation in Indonesia, Proceding International Conference on Islamic Education “Epistemology of Islamic Educatioan to Strengthen Nationalism”Muham madiyahUniverity of Ponorogo, 4 November 2017

Nugroho, Sigit Sapto, Hilman Syarial Haq, (2017) Rekonstruksi Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Jawa dengan Model Kolaboratif Holistic, Jurnal Yustisia Merdeka, Vo 2 No.1 Maret 2017, ISSN 2407-8778.

Mariane, I., (2014), Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan Adat, Raja Grafindo, Jakarta.

Pradipta, Budya, Taufiq at-Tamzirien, (2004), Memayu Hayuning Bawono, Titian Kencana Mandiri.

Rambo T.A. (1983). Conceptual Approach to Human Ecology. Research Report No.14.

East West Environment and Institute, Honolulu Hawai.

Sulaiman, Teuku Mutaqin Mansur, Interaksi Hukum Negara dan Hukum Adat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir terkait Mitigasi Bencana di Kabupaten Aceh Besar, Jurnal Prosiding Simposium Nasional Mitigasi Bencana Tsunami 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala Didukung Oleh Usaid (Peer Cycle 3) No.ISSN: 2477- 6440

Referensi

Dokumen terkait