• Tidak ada hasil yang ditemukan

https://spada.uns.ac.id/mod/resource/view.php?id=36639

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "https://spada.uns.ac.id/mod/resource/view.php?id=36639"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR DAN SIFAT SERAT KARBON

A. Tipe Serat Karbon

Serat karbon didefinisikan secara umum sebagai serat yang mengandung atom karbon sekurang-kurangnya 92 %wt, sedangkan yang kandungan karbonnya mencapai 99 %wt dikenal dengan sebutan serat grafit. Serat karbon memiliki sifat yang unggul berkenaan dengan kekuatan, kekakuan dan stabilitan dimensi yang tinggi, koefisien ekspansi termal rendah, biological compatibility dan tahan terhadap kelelahan (fatique).

Dalam aplikasinya, serat karbon telah mengalami pertumbuhan untuk memenuhi permintaan permintaan dari berbagai industri, seperti industri pesawat terbang, militer, sirip turbin, konstruksi, bejana tekan dengan silider ringan, medis, olah raga, otomotif dan sebagainya. Pada industri otomotif, komposit polimer yang diperkuat serat karbon menghasilkan pengurangan bobot kendaraan yang sangat signifikan. Serat karbon dapat ditemui pada bagian body part (doors, hoods, deck lid, front end, bumpers), bagian rangka dan sistem suspensi (pegas daun) juga pada poros kemudi [1]. Namun demikian, aplikasi serat karbon pada bidang otomotif masih terbatas karena harga serat karbon yang relatif lebih tinggi dari pada logam dan teknik fabrikasi komposit yang masih kurang cepat menghasilkan produk [2].

Kebutuhan serat karbon untuk komposit, saat ini didominasi oleh serat karbon yang berasal dari bahan baku (precursor) polyacrylonitrile (PAN) dan mesophase pitch serta sangat sedikit yang berasal dari rayon atau selulose. Bahan baku serat karbon akan menghasilkan hasil serat karbon yang berbeda. Secara umum, serat karbon dibuat dengan proses pyrolisis dengan pengendalian yang cermat melalui tahapan stabilisasi, karbonisasi dan grafitisasi. Serat precursor pertama kali distabilisasi pada suhu antara 200oC hingga 400oC selama 30 hingga 120 menit melalui proses oksidasi pada lingkungan udara bebas. Proses oksidasi menyebabkan masuknya oksigen ke dalam serat precursor sehingga terjadi pengaturan pola ikatan atom melalui reaksi kimia yang rumit dan bertahap. Selanjutnya serat yang sudah distabilkan dikenai perlakuan panas pada suhu sekitar 1000oC pada lingkungan gas ideal untuk menghilangkan unsur selain karbon dalam bentuk gas dan uap air yang mengandung ammonia, karbon dioksida, karbom monoksida, gas hidrogen dan gas nitrogen. Tahap ini disebut dengan proses karbonisasi yang menghasilkan ikatan kristal karbon yang sangat erat sejajar atau paralel terhadap sumbu serat. Proses karbonisasi pada suhu tinggi (mencapai 3000oC) disebut

(2)

dengan proses grafitisasi untuk menghasilkan serat dengan modulus elastisitas tinggi [3].

Selama proses manufaktur, serat karbon mengalami perubahan struktur dan morfologi sesuai dengan kondisi perlakuan yang dialami [4].

Secara umum, serat karbon tersusun sebagai polycrystalline dan biasanya dalam kondisi non-grafitic, yakni memiliki susunan karbon pada bidang planar (bidang xy) sebagai jaringan heksagonal dan tidak memiliki susunan kristalografi dalam arah ketiga (arah sumbu z) [5]. Struktur serat menentukan sifat dan kekuatan serat dan tidak semua serat karbon memiliki struktur yang sama. Kondisi ini memunculkan pengklasifikasian serat karbon berdasarkan struktur dan tingkat orientasi kristalit, yakni ultra-high modulus (UHM), high modulus (HM), intermediate modulus (IM), high tensile strength (HT) dan isotropic carbon fibers, seperti ditunjukkan pada Tabel 1 [6].

Tabel 1. Klasifikasi serat karbon berdasarkan kekuatan serat.

Tipe Serat Karbon

Suhu Perlakuan,

oC

Orientasi Kristal Long Distance Order

Tensil Strength/

Young’s Modulus, GPa [7]

UHM >2000 Paralel sumbu serat High 2.5/lebih 600

HM >2000 Paralel sumbu serat High 2.5/350 – 600

IM >2000 Paralel sumbu serat High 3.5/280 – 350

HT ±1500 Paralel sumbu serat Low 2.5/200 – 280

Isotropic <1000 Random Very low 3.5/maks. 200

B. Struktur Serat Karbon

Dalam proses manufaktur serat karbon, tidak semua precursor bisa terkarbonisasi atau tergrafitisasi meskipun hingga suhu 3000oC. Bagian ini disebut dengan karbon tak-tergrafitisasi (non-graphitising) yang memiliki sifat sangat keras, densitas rendah dan struktur microporous atau yang dikenal dengan carbosieve [8] serta sebagian membentuk glassy carbon [9]. Susunan atom serat karbon dapat dibandingkan dengan susunan atom grafit yang diilustrasikan pada Gambar 1a. Grafit merupakan material laminar yang bidang basalnya terdiri dari struktur atom karbon dengan kisi heksagonal terbuka dengan jarak antar atom karbon sejauh 0,1415 nm (1,42 AU) [10].

Struktur kristal grafit yang sempurna memperlihatkan morfologi bidang datar dan warna perak, namun bentuk poli-kristalinnya berwarna abu-abu gelap [11]. Struktur karbon tak tergrafitisasi tidak memiliki tanda batas bidang basal yang jelas sebagaimana grafit.

Serat karbon memiliki struktur kombinasi antara grafit dan karbon tak tergrafitisasi.

(3)

Atom karbon yang terletak pada bidang basal membentuk lingkar aromatik pada kisi heksagonal, namun atom karbon pada bidang yang berdekatan tergeser dengan perpindahan yang tidak beraturan. Sehingga serat karbon hanya memiliki keberaturan susunan atom dalam dua dimensi, yang disebut dengan struktur turbostratic, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1b [12]. Serat karbon dengan precursor PAN memiliki struktur turbostratic asli seperti pita bergelombang atau berserabut, sedangkan precursor pitch memiliki molekul aromatik yang selalu searah dan menghasilkan struktur grafit pada bidang basal yang paralel terhadap sumbu serat. Akibatnya, struktur turbostratic pada serat karbon PAN mempunyai modulus serat lebih rendah dibandingkan serat karbon pitch. Jaringan antar struktur turbostratic berperilaku sebagai mekanisme penghalang retak ketika kegagalan mis-orientated kristalin terjadi sebelum kegagalan serat secara katastropik [13].

Secara umum, struktur turbostratic dengan orientasi grafit tertinggi terdapat pada daerah selubung (kulit) serat karbon. Permukaan kulit serat karbon biasanya memiliki densitas lebih tinggi atau lebih padat dibandingkan pada bagian dalamnya. Pembentukan permukaan kulit terkait dengan kondisi koagulasi selama proses spinning. Pembentukan microdomain saat koagulasi memungkinkan struktur serat mengalami bending dan twist sehingga menyebabkan serat karbon mengalami cacat, rongga, dislokasi dan mengandung impurities, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1c.

Gambar 1. (a) Skema struktur grafit dengan susunan atom ideal, jarak antar atom pada bidang basal 0,1415 nm dan jarak antar bidang basal 0,3354 nm; (b) struktur grafit susunan turbostratic pada serat karbon; (c) struktur serat karbon precursor PAN. (A) daerah kulit (selubung), (B) daerah inti (core); (C)

cacat hairpin, (D) pasak (wedge) [6].

Struktur kristal serat karbon memungkinkan dianalisis dengan menggunakan metode X-ray defraction (XRD) untuk menentukan: (a) ukuran kristalit pada arah

(4)

tertentu (Lc adalah ukuran dalam arah tegak lurus terhadap lapisan grafit); (b) ukuran lapisan sepanjang arah sumbu serah ( La¿; (c) ukuran lapisan dalam arah tegak lurus terhadap sumbu serat ( La¿ ; dan (d) jarak spasi rata-rata antar lapisan kristalit (d002), sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2.a. Dasar pengukuran kristalit menggunakan pola defraksi full width half maximum (FWHM). Sehingga, ukuran Lc dan La berturut-turut ditentukan berdasarkan nilai FWHM002 dan FWHM100* untuk pola defraksi pada permukaan lateral serat karbon (Gambar 2.b) sedangkan ukuran La ditentukan berdasarkan pada nilai pola defraksi FWHM100 dari permukaan ujung serat karbon.

Intensitas pada garis grafik 110 pada pola defraksi serat karbon sangat rendah sehingga parameter ini ditentukan sebagai crystalites mis-orientated dari sumbu serat sebesar 30o dan memberikan pantulan garis grafik 100. Gambar 2c, 2d dan 2e memperlihatkan defraksi XRD dari tiga buah sampel serat karbon high modulus dengan metode fabrikasi yang berbeda (merk VMN, UK dan UK-P) [14].

Gambar 2. (a) Skema struktur kristalit serat karbon; (b) skema analisis XRD, 1. permukaan lateral serat karbon, 2. permukaan ujung serat karbon; (c), (d), (e) pola XRD sampel VMN, UK dan UK-P. Pantulan dari permukaan lateral dan permukaan ujung digambarkan dalam garis solid dan putus putus. 002, 004;

100, 100*; dan 110 berturut-turut adalah pantulan defraksi untuk bidang kristalografi 001; 100; dan 110.

(5)

Hasil dari parameter struktur dari tiga sampel serat karbon ditunjukkan pada Tabel 2. Data XDR menunjukkan parameter serat karbon yang dapat digunakan untuk memprediksi kualitas struktur serat karbon. Sehingga, kualitas struktur serat karbon VMN lebih tinggi dari pada serat karbon UK dan UK-P karena struktur kristalit-nya lebih besar dan jarak antar bidang lapisan (interplanar) lebih kecil, walaupun ketiganya memiliki struktur kristal yang sama (turbostratic). Serat VMN juga berpotensi memiliki modulus elastisitas tertinggi karena kualitas strukturnya paling panjang dalam arah paralel terhadap sumbu serat [15].

Tabel 2. Parameter struktur hasil defraksi XRD

Serat Karbon d002, nm Lc, nm La La

VMN 0.354 2.6 4.6 2.9

UK 0.361 2.2 3.0 2.6

UK-P 0.366 2.1 2.8 2.3

C. Permukaan Serat Karbon

Luas permukaan serat karbon merupakan sifat penting yang menentukan luas kontak atau interface antara serat dan matrik. Serat karbon yang dibuat pada suhu rendah (sekitar 600oC) memiliki struktur permukaan yang kurang beraturan dan porositas mikronya tinggi, sehingga luas permukaannya juga tinggi. Mekanisme anneling yang terjadi selama proses grafitisasi menghasilkan pengurangan porositas mikro [16]. Serat karbon komersial dengan diameter serat antara 5 hingga 10 mikron biasanya memiliki luas permukaan kurang dari 1 m2/g. Penambahan luas permukan pada serat karbon berperan dalam memperbaiki interfacial shear stress (IFSS) antara serat dan matrik polimer dengan berkontribusi menambah kekuatan mechanical interlocking [17]. Luas permukaan serat karbon memungkinkan ditingkatkan dengan memberikan perlakuan permukaan, seperti melalui proses oksidasi asam, oksidasi elektro-kimia, perlakuan plasma serta grafting nano karbon [12]. Semua perlakuan tersebut intinya yakni membuat permukaan serat karbon menjadi lebi kasar.

Pemindaian mikroskup semisal scanning tunneling microscopy (STM) mampu mendeteksi permukaan secara detail hingga tingkat atom dan telah digunakan untuk mengkarakterisasi permukaan serat karbon. Goresan dan kekasaran pada permukaan

(6)

serat akibat proses fabrikasi merupakan karakter yang pasti ada pada serat karbon dan struktur permukaannya sangat tergantung pada bahan precursor [18]. Secara atomik, semua permukaan serat karbon menunjukkan profil yang kasar. Perbedaan bagian permukaan antara serat karbon PAN dan pitch yang terlihat yakni struktur pita sepanjang sumbu serat yang mudah terdeteksi pada permukaan serat karbon pitch sedangkan pada serat karbon PAN tidak terlihat jelas, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3. Selain itu, struktur permukaan serat karbon PAN terlihat seperti tumpukan batu yang terorientasi pada arah tertentu dengan ukuran antara 30 – 60 nm dan 80 – 160 nm. Pada setiap “batu” terdapat microporous berukuran 2 – 3 nm yang mengindikasikan bahwa terdapat struktur dua fase pada serat karbon PAN dan estimasi jarak La 10 hingga 12 nm [19]. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh sifat pitch yang mudah di-grafitisasi sehingga pada permukaannya didominasi oleh struktur grafit dan turbostratic. Sementara PAN yang berasal dari sintesa senyawa hidro karbon tidak mudah diubah menjadi struktur grafit dengan arah orientasi tertentu. Selain itu, pada permukaan serat dari PAN masih mengandung unsur hidrogen dan nitrogen [19].

Gambar 3. Citra STM serat karbon precursor petrolium pitch (a) 3000 nm x 3000 nm (b) 500 nm x 500 nm; dan citra STM serat karbon precursor PAN (c) 5000 nm x 5000 nm, (d) 500 nm x 500 nm.

Kandungan unsur pada permukaan serat karbon bisa dianalisis dengan bantuan pantulan spektrum sinar X. Analisis permukaan serat karbon menggunakan metode X- ray photoelectron spectroscopy (XPS) memperlihatkan puncak yang menonjol hanya karena keberadaan karbon, nitrogen, dan hidrogen, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.a [20]. Pada kasus lain, puncak minor juga terekam dengan XPS resolusi tinggi yang menunjukkan keberadaan atom kalsium, sodium dan/atau silikon. Gambar 4.b memperlihatkan data XPS serat karbon yang telah dioksidasi pada suhu 115oC dalam larutan 70% NHO selama 90 menit. Jika dibandingkan dengan spektrum Gambar 3.a maka terlihat bahwa tejadi peningkatan rasio O1s/C1s pada setiap kondisi sudut take off

(7)

elektron (10o, 50o dan 90o). Gambar 4.b juga mengungkap keberadaan puncak tambahan berupa karbon teroksidasi yang berada di bahu puncak C1s pada tingkat energi binding yang sedikit lebih tinggi. Spektrum ini pada Gambar 4.a dan 4.b mengindikasikan perlakuan asam nitrat (1) mampu mengoksidasi serat karbon hingga kedalaman tertentu dan (2) menghasilkan rasio atom O/C yang jauh lebih seragam sepanjang kedalaman serat karbon.

(a) (b)

Gambar 4. Spektrum resolusi tinggi XPS sebagai fungsi sudut take off elektron pada (a) serat karbon tanpa perlakuan, (b) serat karbon dengan perlakuan asam nitrat.

D. Serat Karbon Pada Suhu Tinggi

Serat karbon menunjukkan keunggulan kekuatan mekanik pada suhu ruang dan suhu tinggi dibandingkan bahan lain. Serat karbon tidak menunjukkan penurunan kekuatan tarik hingga suhu 2000oC, sedangkan modulus elastisitasnya hanya mengalami penurunan secara linier sebesar 40%. Penurunan modulus elastisitas terhadap kenaikan suhu disebabkan terjadi peningkatan ketidak-harmonisan getaran kisi aton karbon yang berpotensi menambah plastisitas serat.

Getaran kisi atom karbon berdampak pada pengurangan efek cacat lokal pada arah sumbu serat karena berdampak pada penambahan lebar pita grafit yang mampu mempertahankan kekuatan tarik serat [21].

(8)

Ekspose pada suhu tinggi berkaitan dengan potensi degradasi material akibat bereaksi dangan uap air yang menyebabkan oksidasi. Pada serat karbon dengan struktur grafit, bagian tepi atau ujung serat lebih mudah mengalami oksidasi dibandingkan pada bidang basal dan keberadaan impurities berpotensi menjadi katalis reaksi oksidasi bagi karbon. Reaksi oksidasi mengarah terjadinya gas CO dan CO2 sehingga beberapa bagian atom karbon pada serat terlepas. Lepasnya atom karbon berdampak pada kehilangan berat pada serat dan akibatnya serta menurunkan kekuatan serat dan kompositnya [22].

Ketahanan terhadap korosi beberapa serat karbon komersial telah diuji dengan menggunakan thermogravimetric analyisis. Pada suhu 400oC, sebagian serat karbon high strength dengan modulus elatisitas sama mulai mengalami kehilangan berat sebesar 3-5%. Kehilangan berat serat akibat oksidasi bisa diabaikan hingga pada suhu kritis (antara 600oC hingga 800oC) dan oksidasi di atas suhu kritis penurunan berat serat terjadi sangat cepat, seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Serat dengan struktur grafit lebih sempurna menunjukkan resistensi oksidasi pada suhu lebih tinggi, sebagaimana diperlihatkan pada kurva nomer 5 dan nomer 10. Beberapa riset telah dilakukan untuk memperbaiki sifat resistensi oksida serat karbon. Salah satu metode yang dikembangkan adalah melapisi serat karbon dengan lapisan tipis bahan keramik. Namun bahan keramik memiliki kendala dengan adanya perbedaan muai panjang termal dan sifat adesifnya sangat rendah [23]. Riset ini kemudian dikembangkan dengan proses sizing pada serat karbon.

(9)

Gambar 5. Analisis kurva weight loss thermogravimetric pada 10 jenis serat karbon dengan laju panambahan suhu 5oC/menit. Precursor, perlakuan/fabrikasi dan merk dagang: (1) PAN diperlakukan pada suhu rendah – Modmor II, (2) PAN karbonisasi suhu rendah, (3) Rayon karbonisasi suhu rendah, (4) PAN – Union Carbide Thornel-300, (5) filamen CCVD, (6) filamen pyrograf. (7) PAN karbonisasi suhu tinggi – Modmor I, (8) ptich HM – Union Carbide P-100, (9) pitch IM – Union Carbide P-55, (10)

CCVD diperlakukan panas 2800oC [24].

Referensi

[1] X. Huang, “Fabrication and properties of carbon fibers,” Materials (Basel)., vol.

2, no. 4, pp. 2369–2403, 2009, doi: 10.3390/ma2042369.

[2] R. A. Sullivan, “Automotive carbon fiber: Opportunities and challenges,” Jom, vol. 58, no. 11, pp. 77–79, 2006, doi: 10.1007/s11837-006-0233-3.

[3] P. Bhatt and A. Goe, “Carbon Fibres: Production, Properties and Potential Use,”

Mater. Sci. Res. India, vol. 14, no. 1, pp. 52–57, 2017, doi:

10.13005/msri/140109.

[4] P. J. Goodhew, A. J. Clarke, and J. E. Bailey, “A review of the fabrication and properties of carbon fibres,” Mater. Sci. Eng., vol. 17, no. 1, pp. 3–30, 1975, doi:

10.1016/0025-5416(75)90026-9.

[5] T. Koyama, “CARBON FIBRES Products and Usage,” The Japan Carbon Fiber

Manufacturers Association, 2014.

https://www.carbonfiber.gr.jp/english/material /usage.html.

(10)

[6] S. J. Park, Carbon Fibers. Springer Series in Materials Science, 2018.

[7] T Koyama, “Type of Carbon Fiber Products and their Special Features.pdf,”

Japan Carbon Fibe Manufacurer Association, 2014.

https://www.carbonfiber.gr.jp/ english/material/type.html (accessed Apr. 04, 2020).

[8] H. C. Foley, “Carbogenic molecular sieves: synthesis, properties and applications,” Microporous Mater., vol. 4, no. 6, pp. 407–433, 1995, doi:

10.1016/0927-6513(95)00014-Z.

[9] P. J. F. Harris, “Structure of non-graphitising carbons,” Int. Mater. Rev., vol. 42, no. 5, pp. 206–218, 1997, doi: 10.1179/imr.1997.42.5.206.

[10] J. D. Bernal, “The structure of graphite,” Proc. R. Soc. London. Ser. A, Contain.

Pap. a Math. Phys. Character, vol. 106, no. 740, pp. 749–773, 1924, doi:

10.1098/rspa.1924.0101.

[11] P. Morgan, Carbon Fibers and Their Composites, vol. 210. 2005.

[12] L. Nicolais, K. K. Chee Ho, H. Qian, and A. Bismarck, “Carbon Fiber: Surface

Properties,” Wiley Encycl. Compos., 2011, doi:

10.1002/9781118097298.weoc024.

[13] D. J. Johnson, “Structure-property relationships in carbon fibres,” Physics (College. Park. Md)., vol. 286, pp. 286–291, 1987.

[14] M. S. Folomeshkin et al., “X-ray Diffraction Analysis and Electron Microscopy of the Carbon Fiber Structure,” Crystallogr. Reports, vol. 64, no. 1, pp. 5–9, 2019, doi: 10.1134/S1063774519010085.

[15] A. Oberlin, S. Bonnamy, and K. Lafdi, “Structure and texture of carbon fibers,” in Carbon Fiber, 3rd ed., J. B. Donnet, T. K. Wang, and J. C. Peng, Eds. Basel:

Marcel Dekker, 1998, pp. 85–160.

[16] R. Bobka, “Surface treatment of graphite fibers,” in Integrated Research on Carbon Composite Materials, Part 1., Air Force Materials Laboratory, Ohio, 1966, pp. 135–139.

(11)

[17] H. Qian, A. Bismarck, E. S. Greenhalgh, G. Kalinka, and M. S. P. Shaffer,

“Hierarchical composites reinforced with carbon nanotube grafted fibers: The potential assessed at the single fiber level,” Chem. Mater., vol. 20, no. 5, pp.

1862–1869, 2008, doi: 10.1021/cm702782j.

[18] J. B. Donnet and R. Y. Qin, “Study of carbon fiber surfaces by scanning tunnelling microscopy, part i. carbon fibers from different precursors and after various heat treatment temperatures,” Carbon N. Y., vol. 30, no. 5, pp. 787–796, 1992, doi: 10.1016/0008-6223(92)90163-Q.

[19] M. S. Dresselhaus, G. Dresselhaus, K. Sugihara, I. L. Spain, and H. A. Goldberg,

“Graphite Fibers and Filaments,” in 17th Biennial Conference on Carbon, 1977, pp. 1–2, doi: 10.1002/adma.19890010410.

[20] S. D. Gardner, C. S. K. Singamsetty, G. L. Booth, G. R. He, and C. U. Pittman,

“Surface characterization of carbon fibers using angle-resolved XPS and ISS,”

Carbon N. Y., vol. 33, no. 5, pp. 587–595, 1995, doi: 10.1016/0008- 6223(94)00144-O.

[21] C. R. Rowe, N. Surface, S. Sprtng, and V. D. L. Lowe, “High temperature properties of carbon fibers,” in 13th Biennial Conference on Carbon, 1977, pp.

170–172, [Online]. Available: https://personal.ems.psu.edu/~radovic/1977/

papers/1977_170.PDF.

[22] J. E. Sheehan, “Oxidation protection for carbon fiber composites,” Carbon N. Y., vol. 27, no. 5, pp. 709–715, 1989, doi: 10.1016/0008-6223(89)90204-2.

[23] B. H. Eckstein, “The oxidation of carbon fibres in air between 230° and 375°C,”

Fibre Sci. Technol., vol. 14, no. 2, pp. 139–156, 1981, doi: 10.1016/0015- 0568(81)90037-3.

[24] G. W. Smith, “Oxidation resistance of pyrolytically grown carbon fibers,”

Carbon N. Y., vol. 22, no. 6, pp. 477–479, 1984, doi: 10.1016/0008- 6223(84)90078-2.

(12)

Referensi

Dokumen terkait