• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Agama dan Negara: Dialektik dan Dinamika Antara Paradigma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Hubungan Agama dan Negara: Dialektik dan Dinamika Antara Paradigma"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Website : http://jurnal.umj.ac.id/index.php/independen

Email:

[email protected]

DOI: 10.24853/independen.4.2.61-72

Hubungan Agama dan Negara: Dialektik dan Dinamika Antara Paradigma

Muhammad Imadudin STAI Sadra, Jakarta

Jl. Lebak Bulus II No.2, RT.4, RW.4, Kel. Cilandak Barat, Kec. Cilandak, Kot. Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12440

Surel:[email protected]

Abstrak:

Hingga memasuki abad ke-21, setidaknya sudah terdapat tiga paradigma hubungan agama dan negara.

Paradigma ketiga tersebut hadir dari proses dialektika pemikiran dan dinamika sosial-politik yang berlangsung. Artikel ini mencoba untuk menilik dan menganalisis proses dialektika dan dinamika pemikiran, yang mempengaruhi kelahiran dan perkembangan ketiga paradigma tersebut. Artikel ini merupakan artikel konseptual, selain juga merupakan hasil penelitian kualitatif. Artikel ini menjadikan dokumen-dokumen sejarah, serta karya filsafat dan pemikiran, sebagai sumber data primer. Sedangkan data sekunder untuk artikel ini diperoleh dari serangkaian penelitian terdahulu, yang telah dikerjakan dalam dekade belakangan ini. Pembahasan ketiga paradigma hubungan agama dan negara dalam artikel ini, dilakukan dengan pisau Dialektika Hegelian. Artinya, artikel ini melihat paradigma ketiga sebagai serangkaian dialektika, yang berangkat dari tesis dan antitesis, untuk kemudian membentuk suatu sintesis.

Kata Kunci:Agama dan Negara; Dialektika; Filsafat Politik; Teori Politik;

Abstract:

Until the 21st Century, there are at least three paradigms of relations between religion and state. The three paradigms appear from dialectical process of thought and ongoing social-political dynamics. This paper analyzed the dialectical processes and dynamics of thought, which have influenced the origin and development of the three paradigms. This paper came from conceptual and qualitative research. This paper used historical documents, as well as philosophical and thinking works, as primary data sources.

The secondary data for this paper was obtained from previous studies that were written in the last one decade and a half. This paper placed the three paradigms as a series of dialectics, which depart from the thesis and antithesis, to then form a synthesis.

Keywords: Dialectics; Political Philosophy; Political Theory; Religion and State;

(2)

62

PENDAHULUAN

Banyak kitab suci (kitab suci) yang berbicara tentang raja dan rakyat yang bijaksana dan adil, serta orang-orang yang tidak bijaksana. Sebagaimana tercatat dalam sejarah dan/atau kitab suci, para nabi atau filosof mengingatkan raja atau rakyat untuk menerima kebenaran (kebenaran ilahi) dan keyakinan akan keselamatan. Konsep keselamatan, kebenaran (Ilahi), kebijaksanaan, dan keadilan (Ilahi) menjadi argumentasi dalam berlakunya beberapa sistem politik dalam sejarah. Termasuk pemberlakuan kerajaan dan imperium teokratis. Masa depan imperium Islam(Banna, 1985; Maududi, 1960, 2009;

S.Qutb, 1993), dan penaklukan kolonial awal kerajaan Eropa(Disney, 2009a, 2009b;

Maltby, 2009)pada abad ke-15 hingga ke-18, terinspirasi oleh seruan kebenaran dan keselamatan ilahi.

Sejak Era Kuno, otoritas keagamaan mempunyai peran dan posisi penting dalam pemerintahan. Sejarah mencatat bahwa para raja, kaisar, bahkan kepala suku, bisa menaati nasihat mereka dalam urusan publik.

Beberapa keputusan politik dirumuskan dan dilaksanakan setelah pertimbangan para pemimpin agama dan spiritual, bukan para sarjana di bidang keilmuan lainnya.

Dunn(2018, hlm. 53–56)mengatakan bahwa pada Zaman Kuno, kebijakan publik dirumuskan, diputuskan, dan dilaksanakan dengan metode mistik atau spiritual, bukan metode ilmiah atau akademis. Namun, menurutnya, dalam praktiknya, kebijakan tersebut masih diuji secara pragmatis.

Integralisme antara otoritas/entitas agama dan otoritas/entitas politik menjadi hal yang lumrah dan diterima secara global.

Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa hal ini dapat menimbulkan konflik agama dan/atau ideologi dalam satu negara. Baik pemimpin agama maupun pemimpin politik dapat mendominasi pemerintahan, dimana mereka mempunyai wewenang. Ada dominasi agama dan otoritarianisme di Eropa dan

Timur Tengah. Selain itu, terdapat dominasi terhadap institusi keagamaan yang tercatat dalam sejarah. Ketika kekuasaan cenderung korup, dominasi otoritas agama dan/atau otoritas politik menciptakan pemerintahan yang korup. Dominasi dan otoritarianisme atas nama agama, membawa Zaman Kegelapan ke Eropa dan Mediterranea.

Gereja dapat menilai para ilmuwan dan cendekiawan sebagai orang yang sesat, karena itu kafir. Dalam perkembangan selanjutnya, lahirlah paradigma lain tentang hubungan agama dan negara; paradigma sekularistik, atau sekadar sekularisme. Ini adalah gagasan pemisahan antara gereja dan negara. Oleh karena itu, sekularisme adalah pendirian intelektual melawan otoritarianisme dan kediktatoran agama (atau berbasis teologis).(Abduh, 1978, hal. 34–53;

Al-Attas, 1993, hal. 1–49; Munawar- Rachman, 2010, hal. 226–231; Pulungan, 2019, hal. 86–88; Sayogie, 2013, hal .15–16).

Sekularisme menjadi hal yang lumrah pada abad ke-20 dan ke-21. Banyak cendekiawan Barat dan administrator kolonial yang memperkenalkan konsep sekularisme seperti yang diterapkan di negara-negara yang mereka hormati ke negara-negara kolonial di Dunia Selatan saat ini. Namun, agama masih memiliki peran penting di negara-negara bekas jajahan Eropa tersebut(Jory, 2019; Latif, 2020;

Thompson, 2015). Beberapa negara Asia yang pernah dijajah, seperti Jepang dan Thailand, juga masih terpengaruh tradisi dan kearifan agamanya. Sejumlah pejuang kemerdekaan Asia mengemukakan gagasannya tentang paradigma lain dalam hubungan agama dan negara(Hatta, 1966;

Kusuma, 2009; Latif, 2020; Maarif, 1985, 2006, 2018; (Panitia Lima), 1977; Soekarno, 1963, 1965). Saran mereka dapat dianggap sebagai lahirnya paradigma simbiosis;

paradigma ketiga hubungan antara agama dan negara.

Tulisan ini akan membahas persoalan paradigma hubungan antara agama dan negara. Karena terdapat trilogi paradigma hubungan antara agama dan negara, tulisan

(3)

DOI: 10.24853/independen.4.2.61-72

63 ini akan mengkaji dasar pemikiran

paradigma tersebut dalam konteks masa kini.

Dalam konteks umum, tulisan ini menganalisis dialektika dan dinamika pemikiran politik yang mempengaruhi perkembangan paradigma hubungan agama dan negara. Khususnya dalam konteks (Indonesia), tulisan ini berupaya memahami Pancasila sebagai sintesa gagasan politik yang diperebutkan saat ini.

Metode

Makalah ini didasarkan pada penelitian konseptual dan kualitatif. Oleh karena itu, tulisan ini menganalisis karya-karya filsafat dan dokumen-dokumen sejarah sebagai data primer. Tulisan ini juga menganalisis tulisan- tulisan sebelumnya mengenai topik ini, sebagai sumber data sekunder. Oleh karena itu, saya melakukan penelitian kepustakaan untuk mengumpulkan data primer dan sekunder. Sebagai penelitian kualitatif, tulisan ini didasarkan pada pemahaman (Verstehen) terhadap teks-teks yang berupa karya filosofis/ideologis dan/atau dokumen sejarah. Termasuk catatan sidang umum BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan – Badan Pemeriksa Pekerjaan Persiapan Kemerdekaan), Majelis Konstituante (Konstituante), dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat – Majelis Permusyawaratan Rakyat) Republik Indonesia. Juga, dokumen sejarah lainnya yang mungkin perlu disertakan. Untuk makalah ini, saya mengumpulkan data sekunder dari penelitian-penelitian sebelumnya, seperti makalah jurnal, tesis/disertasi (baik master maupun PhD), dan prosiding konferensi. Penelitian konseptual didasarkan pada analisis filosofis dan penelitian kepustakaan, bukan observasi lapangan. Analisis filosofis berupaya memahami teks, seperti kitab suci, karya filsafat, penafsiran kitab suci, dan karya filsafat; juga pidato tokoh sejarah(Daly, 2021, hlm. 49–53; Kaelan, 2012, hlm. 4–6;

178–205; Walliman, 2011, hlm. 129–131).

Saya menggunakan Dialektika Hegel sebagai instrumen analisis dalam tulisan ini.

Dialektika Hegel adalah suatu proses di mana dua proposisi yang berlawanan bersaing sebagai tesis dan antitesis; sintesis kemudian dibentuk oleh kedua proposisi. Dengan kata lain, Dialektika Hegel adalah kontestasi dua proposisi yang berlawanan, dari tesis ke antitesis, yang diatasi menjadi sintesis.(Ali, 2019, hal. 67–69; Copleston, 1994, hal. 169–

179; Hegel, 2001, hal. 69–80, 2010, hal. 70–

73; Kenny, 2006, hal. 112–114). Dengan pemahaman ini, terdapat hubungan dialektis antara integralisme dan sekularisme.

Paradigma lain hubungan agama dan negara, merupakan sintesis dari kedua gagasan tersebut. Oleh karena itu, saya menganalisis trilogi paradigma hubungan agama dan negara sebagai dialektika, atau kontestasi gagasan politik.

Integralisme antara Agama dan Negara Menurut Hammurabi(1904), Konfusius(1910a, 1910b), dan Kautilya(1992), agama, dewa, dan etika, adalah dasar pandangan dunia manusia.

Hammurabi memerintah dan mengatur kerajaannya, berdasarkan mandat ilahi yang ia klaim dalam kodifikasi hukumnya; Kode Hammurabi. Argumen yang sama juga digunakan oleh Konfusius ketika ia mendiagnosis masalah otoritas moral raja Tiongkok(Wong, 2011, hlm. 772–774). Dia menyarankan transformasi moral bangsa, yang dipimpin oleh masyarakat kelas atas Tiongkok. Kautilya(nd, hal. 362–365, 1992, hal. 119–121)juga mengemukakan bahwa seorang kepala negara memerlukan kualifikasi ketuhanan, karena ia harus menjadi orang yang saleh.

Teori mandat ilahi dapat ditemukan dalam agama-agama besar, seperti yang kita temukan saat ini. Agustinus dari

Hippo(1886)dan Thomas

Aquinas(1905)menggunakan teori mandat ilahi dan misi kenabian, sebagai landasan pemikiran politik mereka. Agustinus dari Hippo(1886)berpendapat, bahwa dominasi sekelompok manusia terhadap kelompok lain, berkorelasi dengan teori alkitabiah tentang dosa asal. Baik Agustinus maupun

(4)

64

Aquinas mengemukakan gagasan tentang ketidaksetaraan di antara manusia, yang didasarkan pada hukum alam(Suhelmi, 2001). Filsuf politik lain yang mengemukakan integralisme antara entitas agama dan entitas negara adalah Farabi(1995, 1996), Mawardi(1996), dan Ibnu Khaldun(2000, 2011). Mawardi(1996, hlm. 10–12)berpendapat bahwa salah satu tujuan negara adalah melaksanakan misi phrophetic dan memberlakukan syariah Islam. Ibnu Khaldun(2000, hlm. 187–197, 2011, hlm. 254–270)berpendapat bahwa agama mempunyai peran penting dalam membangun solidaritas nasional. Dalam konteks Islam, integralisme antara agama dan negara dapat diartikan sebagai

“pemahaman Islam sebagai entitas agama dan negara”. Ia dipahami sebagai satu kesatuan negara Islam, yang diatur oleh otoritas publik Islam, dan berdasarkan hukum Islam. Semua filsuf klasik berbicara tentang dasar-dasar agama dari entitas politik (negara; negara; pemerintahan; polis).

Beberapa cendekiawan Muslim kontemporer, khususnya para aktivis revivalis pada abad ke-20 dan ke-21(Banna, 1985; Maududi, 1960, 2009; M.Qutb, 1984;

S.Qutb, 1984, 1993)masih mendukung paradigma hubungan antara agama dan negara. Maududi(1960, hal. 40–44, 1984, hal. 158–164, 2009, hal. 15–43)berpendapat bahwa Islam tidak sesuai dengan gagasan nasionalisme dan demokrasi, dll. sehingga ia menyebutnya tidak Islami. Ia juga berpendapat bahwa Islam menuntut pemerintahan global tanpa batas. Saudara Qutb; Sayyid dan Muhammad Qutb, memiliki peran sentral dalam Ikhwanul Muslimin alias Ikhwān. Sayyid Qutb(1993, hlm. 24–45)berpendapat bahwa penaklukan Islam sebagaimana tercatat dalam sejarah, adalah bagian dari pemberlakuan syariah dan pembentukan pemerintahan Islam.

Muhammad Qutb(1984, hlm. 71–

73)mendukung argumen Sayyid Qutb tentang pemerintahan global Islam, dengan berbicara tentang perang tanpa akhir antara kebaikan (ẖaq) dan kejahatan (bātil). Ia

bahkan menyebut orang bule sebagai bagian dari kejahatan itu sendiri. banna(1985, hlm.

14–68)membela argumen yang diberikan oleh Qutb Brothers dan Maududi. Argumen pembelaannya mencakup kritik terhadap kepemimpinan non-Arab di negara-negara Islam pada abad-abad yang lalu.

Paradigma hubungan agama dan negara ini dikritik oleh sebagian ulama kontemporer(Munawar-Rachman, 2010;

Pulungan, 2019; Sayogie, 2013; Sjadzali, 1993), sejak Abdel Razek(2012, hlm. 25–

41). Saat ini, paradigma tersebut menginspirasi beberapa negara untuk

merumuskan dasar-dasar

bernegaranya(Anis, 2013; Khomeini, nd, 1983; Misbah Yazdi, 2001a, 2001b;

Pulungan, 2019; Sjadzali, 1993; Yamani, 2002). Afganistan, Brunei, Iran dan Arab Saudi, merupakan beberapa contoh negara yang menjadikan Islam sebagai prinsip dasar (fundamental) negara. Bahkan mereka menjadikan syariat Islam sebagai pemahaman mereka sendiri terhadap kitab suci dan ajaran agama(An-Na'im, 2008;

Muqtedar Khan, 2019).

Misbah Yazdi(2001a, Bab 1–4, 2001b, Bab 26–30, 2002, hlm. 9–16)dan Khomeini(nd, hal. 18–28, 1983, hal. 14–

25)memberikan argumen mereka sendiri tentang pemerintahan Islam. Misbah Yazdi mengkritik dikotomi rezim; antara rezim otoriter dan rezim demokratis. Ia berpendapat bahwa Islam memberikan jalan tengah dalam sistem politik dan pemerintahan. Misbah Yazdi menulis bahwa masyarakat tidak bisa berpartisipasi total dalam urusan publik. Masyarakat, yang diwakili oleh masyarakat sipil, tidak dapat menjalankan fungsi-fungsi tertentu dalam suatu entitas politik (negara; pemerintah), misalnya deklarasi perang dan/atau perdamaian, dan penganggaran publik.

Namun, ia juga mengemukakan bahwa tidak ada kekakuan dan ketelitian dalam Islam, baik dalam masalah bentuk negara maupun pemerintahan. Kedua Misbah Yazdi(2001a, 2001b)dan Khomeini(Islami, 2012; akhir, 1983; Yamani, 2002)berpendapat bahwa

(5)

DOI: 10.24853/independen.4.2.61-72

65 pemerintahan Islam bertujuan untuk

memastikan penerapan etika dan moral di ruang publik. Argumen mendasar ini juga disampaikan oleh sekelompok founding fathers Indonesia, dalam perdebatan mengenai prinsip-prinsip dasar bernegara(Kusuma, 2009; Latif, 2020).

Sekularisme: Pemisahan atau Pembedaan Agama dan Negara

Asal muasal sekularisme bisa ditelusuri dari Ibnu Rusyd atau Averroes yang mengemukakan kebebasan berpikir di Eropa, sebelum Era Pencerahan. Ibn Rusyd membela aliran filsafat Aristoteles di Dunia Islam, khususnya di wilayah Eropa(Abduh, 1978, hal. 34–53; Al-Attas, 1993, hal. 1–49;

Fakhry, 2004, hal. 280–302). Kata 'sekularisme' berasal dari kata 'saeculum' yang berarti 'waktu' dan 'tempat'.(Munawar- Rachman, 2010, hlm. 223–225; C. Taylor, 2007, hlm. 54–55); yang bisa diartikan 'saat ini dan di sini'. Sekularisme berarti suatu sistem etika yang memisahkan entitas keagamaan dengan entitas negara. Hal ini mereduksi peran agama dan entitas keagamaan dari ranah publik. Oleh karena itu, agama menjadi bagian dari ranah privat.

Pemahaman umum mengenai sekularisme adalah 'pemisahan gereja (agama) dan negara(Kuru, 2009, hal. 6–34; Munawar- Rachman, 2010, hal. 223–225; Pulungan, 2019, hal. 86–88; Sayogie, 2013, hal. 15–16;

C. Taylor, 2007, hal .54–55).

Di Eropa, sekularisme cenderung mengecualikan organisasi keagamaan dari kehidupan publik, sedangkan di Amerika, sekularisme cenderung menjamin kebebasan beragama dan netralitas negara/pemerintah terhadap lembaga keagamaan.(Kuru, 2009, hlm. 6–34; Lizzote, 2017, hlm. 18–20;

Munawar-Rachman, 2010, hlm. 124–229).

Beberapa ulama kontemporer, misalnya An- Na'im(2008, hlm. 1–83), Kuru(2009, hlm.

10–29), dan Muqtedar Khan(2019, hlm.

161–246)membela gagasan sekularisme yang berbicara tentang implementasi nilai- nilai ajaran agama di ruang publik. An- Na'im(2008, hlm. 1–44)berpendapat bahwa

nilai-nilai ajaran agama lebih penting daripada pemberlakuan syariah sebagai sistem hukum negara. Oleh karena itu, sekularisme harus menjamin kebebasan berkeyakinan dan berekspresi beragama, di ruang publik. Termasuk hak atas persepsi terhadap identitas diri, dan hak organisasi keagamaan untuk mengusulkan peraturan yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti pendapat An-Na'im tentang syariah dalam kenyataan, Kuru(2009, hlm. 6–34, 2019, hlm. 16–

48)dan Muqtedar Khan(2019, hlm. 9–

66)mengkritisi penerapan syariah di ruang publik di Dunia Islam/Muslim. Khususnya di Timur Tengah, dan Asia Selatan. Namun argumen mereka mungkin tidak relevan, karena sekularisme tidak menekankan nilai- nilai agama sebagai dasar etika bernegara.

Dalam negara yang secara formal sekuler, alasan publik memiliki daya tawar yang lebih besar dibandingkan sistem etika dan keyakinan. Kritik terhadap Bung

Karno(1963, 1965)dan

Hatta(1966)khususnya, dan

Pancasila(Kusuma, 2009; Latif, 2014, 2020;

Maarif, 1985, 2006, 2018; (Panitia Lima), 1977)secara umum, dapat memperjelas kelemahan demokrasi liberal (dan kapitalis), serta demokrasi otoriter (yang sebagian besar didasarkan pada demokrasi sosialis dan komunisme). Sebagaimana dikemukakan oleh Soekarno, Hatta dan Natsir, demokrasi Pancasila merupakan sintesa dan pengembangan lebih lanjut dari Proklamasi Kemerdekaan dan Manifesto Partai Komunis.(Kusuma, 2009; Latif, 2020;

(Panitia Lima), 1977; (Tim Penulis), 2010a, 2010b).

Paradigma Simbiosis: Legitimasi Saling Menguntungkan antara Agama dan Negara

Demokrasi liberal, memerlukan sekularisme dan/atau sekularisasi. Prinsip dasar ini memiliki kemiripan dengan pemerintahan komunis, atau demokrasi sosialis. Negara komunis, cenderung menolak semua institusi keagamaan dari

(6)

66

ruang publik. Oleh karena itu, nilai-nilai agama dan sistem etika tidak memiliki tempat dan peran khusus dalam politik(An- Na'im, 2008; Kuru, 2009; Munawar- Rachman, 2010; Pulungan, 2019; Sayogie, 2013; Sjadzali, 1993; C. Taylor, 2007).

Penerapan paradigma sekuler, maupun paradigma integralis dalam hubungan agama dan negara, tidak mampu menyelesaikan permasalahan mendasar etika dalam politik nasional dan global.(Imadudin, 2023, hlm.

88–102).

Abdurrahman Wahid(1999, 2007)menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara Pancasila tidak sekuler dan tidak religius/teokratis. Ia mengemukakan mutual legitimacy atau paradigma fiqh dalam hubungan antara agama dan negara.

Paradigma ini juga dipahami sebagai paradigma simbiosis. Dalam paradigma ini landasan filosofis atau pandangan hidup bernegara dikategorikan menjadi prinsip agama dan prinsip politik. HAMKA(1951, hlm. 10–38)menyatakan bahwa ayat pertama Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa (Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa), merupakan sila inti dari seluruh ayat Pancasila itu sendiri. Oleh karena itu, inti Pancasila bermula dari nilai-nilai agama.

Jika paradigma sekularistik tidak menjamin bahwa nilai-nilai agama dapat dipertimbangkan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik, maka dalam paradigma simbiosis, nilai-nilai agama harus menjadi nilai inti dalam urusan publik. Ada sistem etika, di mana entitas keagamaan dapat berpartisipasi dalam urusan publik.

Religiusitas merupakan inti atau pilar dasar negara. Karena itu; nilai-nilai dasar, pandangan dunia, dan/atau prinsip-prinsip dasar bernegara harus mempunyai dua landasan pandangan hidup nasional/negara.

Yang pertama dan mendasar adalah religiusitas. Latief(2020, hlm. 199–

207)menjelaskan tentang konsepsi religiusitas seperti dalam sosio-religiusitas yang bermula dari pemikiran Soekarno dalam Dibawah Bendera Revolusi(Soekarno, 1963, 1965).

Wahid(1999, hlm. 63–77; 150–177, 2007, hlm. 3–6; 17–21; 27–31; 103–

110)berpendapat bahwa teologi Sunni mengakui hidup berdampingan antara agama dan negara, sebagai dua entitas yang berbeda.

Oleh karena itu, paradigma simbiosis merevisi konsep pemisahan antara gereja (agama) dan negara ke arah pembedaan di antara keduanya. Menurut Wahid, model hubungan agama dan negara ini bisa ditelusuri sejak awal kerajaan-kerajaan Asia Tenggara(Rochmat, 2014, hlm. 310–313).

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Kerajaan Majapahit memiliki beberapa kerajaan Islam sebagai negara bawahannya.

Brunei dan Sulu adalah dua contohnya, ini.

Negara bawahan lainnya adalah kerajaan Hindu dan Buddha, yang tersebar di banyak wilayah Maritim Asia Tenggara(Pigeaud, 1960, hal. 16–42; Saunders, 2006, hal. 12–

15; Suryanegara, 2014, hal. 25–45; KW Taylor, 2008, hal. 176–181).

Paradigma Simbiosis dan Pancasila:

Sintesis Gagasan

Sintesis lahir dari proses dialektika tesis dan antitesis yang panjang(Ali, 2019, hal. 67–69; Hegel, 2001, hal. 69–80, 2010, hal. 70–72; Kenny, 2006, hal. 112–114).

Dalam tulisan ini, dialektika dibentuk oleh lebih dari satu ide dan/ideologi politik, serta aliran dan tradisi filsafat. Dialektika dalam tulisan ini setidaknya dibentuk oleh dua paradigma hubungan agama dan negara.

Paradigma simbiosis atau substansialisme muncul merupakan sintesa, yang dibentuk oleh setidaknya dua paradigma. Paradigma seperti dalam Kuhn(1996, hlm. 23–26), adalah sudut pandang arus utama; suatu pola, dalam konteks ilmiah atau akademis.

Paradigma dapat dibentuk oleh aliran filsafat atau tradisi, maupun oleh aliran ideologi atau gagasan politik.

Para sarjana mensintesiskan integralisme dan sekularisme agama dan negara, ke dalam paradigma simbiosis.

Paradigma ini oleh Wahid disebut sebagai paradigma fiqh atau legitimasi bersama, dan oleh ulama lain disebut sebagai

(7)

DOI: 10.24853/independen.4.2.61-72

67 substansialisme agama dan negara.

Sederhananya, paradigma fiqh atau legitimasi timbal balik antara agama dan negara, serta substansialisme, berada dalam terminologi tunggal dengan paradigma simbiosis. Latief(2012, hlm. 62–

68)memperhatikan bahwa terdapat beberapa komunikasi diskursif di Indonesia pra- kemerdekaan, yang masih terjadi hingga saat ini, pasca-reformasi di Indonesia.

Komunikasi dikursif ini membentuk kontestasi berskala besar dan tak terbatas antara ide-ide politik, aliran ideologi, dan tradisi filosofis. Filsafat modern Barat bertemu dengan filsafat Islam Timur Tengah, filsafat Oriental (India, Cina, dan Jepang), serta filsafat Nusantara (pandangan dunia).

Tradisi filosofis dan teologis Kristen (dan lainnya) terlibat dalam kontestasi ini(Kusuma, 2009; Latif, 2012; Pranarka, 1985; Pringle, 2010).

Sebagaimana dijelaskan oleh Soekarno, Hatta, HAMKA, dan para ulama lainnya, Pancasila mempunyai kedudukan dalam dialektika antara ideologi politik dan tradisi filsafat.(HAMKA, 1951, hal. 36–38;

Hatta, 1966, hal. 30–35; Latif, 2020, hal.

186–187; (Panitia Lima), 1977, hal. 45–65;

Pranarka, 1985, hal. 180–182; Pulungan, 2019, hlm. 105–123; Soekarno, 1965, hlm.

361–363). Pancasila tidak mengikuti dan bukan merupakan gagasan teokrasi, nasionalisme, fasisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme, atau komunisme.

Soekarno mengusulkan pembentukan Pax Humanica, sebagai salah satu alternatif dalam membangun perdamaian abadi dan tatanan dunia baru. Usulan Soekarno itu berdasarkan Pancasila, sebagai sintesa dan pengembangan lebih lanjut dari Proklamasi Kemerdekaan dan Manifesto Partai Komunis. Menurut Hatta, Pancasila menolak demokrasi liberal-kapitalis, sekaligus menolak demokrasi totaliter. Hal ini juga tidak sejalan dengan sekularisme dan integralisme agama dan negara. Oleh karena itu, Pancasila didasarkan pada paradigma simbiosis hubungan antara agama dan negara. Dengan kata lain, Pancasila

berlandaskan substansialisme agama dan negara.

HAMKA(1951, hlm. 36–38), Hatta(1966, hlm. 30–35), dan banyak sarjana Indonesia(Latif, 2020; Maarif, 2018; (Panitia Lima), 1977; Pulungan, 2019; Rochmat, 2014; Sjadzali, 1993; Wahid, 1999, 2007)mengenal ayat pertama Pancasila;

Ketuhanan Yang Maha Esa atau dikenal juga dengan sosio-religiusitas merupakan sila inti Pancasila. Sebagian besar ulama sepakat bahwa Pancasila mempunyai dua prinsip dasar bernegara; pertama adalah sistem dasar-dasar etika, dan yang kedua adalah sistem dasar-dasar politik kenegaraan. Oleh karena itu, pemerintah harus mempertimbangkan ajaran agama dan etika dalam merumuskan, melaksanakan, dan mengevaluasi kebijakan publik. Politisi dan partai politik juga mempunyai tugas mendasar yang sama(Adha & Susanto, 2020;

Latif, 2014, 2020; Pulungan, 2019; Rochmat, 2014; Shaleh & Wisnaeni, 2019; Zuhraini, 2014). Pancasila memang memiliki peran mendasar sebagai konsensus nasional, sekaligus pandangan hidup nasional Indonesia(Bachtiar, 2019, 2020a, 2020b;

Khoirudin, 2019; Nashir, 2015a, 2015b;

Pulungan, 2019; Qodir & Nashir, 2019).

Oleh karena itu, Pancasila dibentuk oleh satu asas inti dan dua asas pendukung.

Soekarno menamakannya Trisila: Sosio- Religiusitas, Sosio-Nasionalisme, Sosio- Demokrasi. Soekarno mengabstraksi Pancasila menjadi tiga prinsip dasar, dan menjadi konsepsi pemerintahan Gotong- Royong atau Negara Gotong-Royong.

Negara Gotong-Royong dinobatkan sebagai Ekasila oleh Soekarno dalam Pidato Pancasilanya. Demokrasi Pancasila menghendaki adanya praktik demokrasi, pemerintahan, dan kehidupan bermasyarakat yang berlandaskan nilai-nilai cinta kasih, toleransi, kemanusiaan dan humanisme, keadilan, dan solidaritas sosial. Demokrasi Pancasila bertujuan untuk menghapuskan dominasi kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Hal ini jelas menunjukkan sistem keadilan, berdasarkan

(8)

68

prinsip sosio-religiusitas, sosio- nasionalisme, dan sosio-demokrasi.

Pemerintahan Gotong-Royong memerlukan demokrasi kooperatif-konsultatif, yang mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi/pribadi dan komunal.(Abdillah, 2018; Adha & Susanto, 2020; Latif, 2020; Maarif, 2018; Pulungan, 2019; Siradj, 2018). Kepentingan pribadi atau pribadi dapat diartikan sebagai kepentingan perseorangan bagi individu itu sendiri dan/atau bagi keluarganya masing- masing. Di sisi lain, kepentingan komunal dikaitkan dengan kepentingan suatu kelompok atau masyarakat; misalnya organisasi masyarakat sipil, kelompok etnis atau etnoreligius, entitas dan otoritas keagamaan, dan gerakan sosial-politik.

Sebagaimana lazim dijelaskan oleh banyak sarjana, kepentingan publik berkaitan dengan seluruh barang dan jasa publik; urusan publik itu sendiri. Merupakan tugas mendasar negara dan pemerintah untuk menyediakan barang dan jasa publik kepada rakyatnya.

Kesimpulan

Hubungan antara agama dan negara telah dibahas dan diperdebatkan sepanjang sejarah manusia. Di Era Kuno, para pemimpin pemerintahan awal memimpin rakyatnya baik dalam urusan spiritual/agama maupun politik/publik. Di semua kerajaan, kekaisaran, dan komunitas suku kuno, para pemimpin politik, misalnya raja, kaisar, pangeran, adipati, dan kepala suku, diyakini memiliki mandat ilahi dari Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan keyakinan ini, integralisme (antara) agama dan negara menjadi hal yang lumrah dan diterima secara global. Kitab suci agama, karya filosofis, dan cerita rakyat tidak tertulis berbicara tentang kenabian, hikmah, dan akhlak dalam ranah publik dan privat. Banyak cerita tentang raja- raja yang bijaksana, orang-orang yang bijaksana, dan orang-orang yang tidak bijaksana yang diceritakan oleh seorang nabi atau utusan Tuhan Yang Maha Esa. Para nabi dan rasul Allah, serta para filosof atau orang- orang bijak mengingatkan raja-raja atau

pemimpin-pemimpin dan umat yang tidak bijaksana untuk kembali kepada kebenaran Ilahi dan amanahnya.

Dalam sejarah selanjutnya, para pemimpin agama bersekutu dengan keluarga kerajaan dan bangsawan yang tidak bijaksana; menciptakan banyak rezim otoriter dan totaliter. Khususnya di Benua Eropa. Situasi politik ini memicu banyak filsuf dan cendekiawan yang mengkritik konsep intergalisme antara agama dan negara. Gagasan sekularisme sebagai antitesis integralisme dapat ditelusuri dari Filsafat Averroezian Andalusia yang kemudian berkembang di Benua Eropa. Kata 'sekularisme' bisa diartikan sebagai ruang dan waktu; tentang saat ini dan saat ini.

Sekularisme secara sederhana dipahami sebagai pemisahan antara entitas gereja atau agama di satu sisi, dan entitas politik atau pemerintahan di sisi lain. Sekularisme di Eropa pada dasarnya berbeda dengan sekularisme di Amerika. Jika sekularisme di Eropa ingin mengecualikan agama dari ruang publik, maka di Amerika, sekularisme ingin menjamin kebebasan beragama sebagai hak fundamental masyarakat.

Sejumlah cendekiawan Muslim membela gagasan sekularisme, atau pemisahan antara agama dan negara. Namun akibat dialektika, dinamika, dan komunikasi diskursif antar ide/ideologi politik, kedua paradigma tersebut saling dipertentangkan dan kemudian melahirkan sintesa ideologi.

Paradigma ketiga dalam hubungan agama dan negara adalah paradigma substansialisme atau simbiosis. Hal ini disebut juga dengan paradigma fiqh atau mutual legislasi. Paradigma ini bersumber dari dialektika, dinamika, dan diskusi sejumlah ulama. Apalagi di Indonesia abad ke-20. Para founding fathers dan aktivis kemerdekaan Indonesia membahas pandangan nasional Indonesia sejak awal abad ke-20. Mereka kemudian merumuskan dan mengembangkan sistem nilai yang bertumpu pada paradigma simbiosis atau substansialisme agama dan negara; yaitu Pancasila. Hal tersebut menjadi asas/dasar

(9)

DOI: 10.24853/independen.4.2.61-72

69 pandangan hidup bernegara dan berbangsa

Republik Indonesia.

Pancasila merupakan sintesa gagasan dan ideologi politik yang lahir dari proses panjang dialektika, dinamika, dan diskusi antar aliran ideologi (politik) dan/atau tradisi filsafat. Ini bukan hanya sintesis dari dua aliran atau gagasan filsafat. Merupakan bangunan landasan filosofis (Philosophische Grondslag) atau pandangan hidup (Weltanschauung) yang komprehensif dan kompleks dari negara Indonesia yang baru merdeka pada tahun 1945. Pancasila merupakan suatu sistem nilai yang mempunyai dua landasan dasar negara. Ayat pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa telah menjadi sila inti Pancasila sebagai pandangan hidup nasional Indonesia.

Memberikan bimbingan etika dan moral sebelum bimbingan politik dan yuridis kepada seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi Pancasila didasarkan pada nilai-nilai Gotong-Royong (pemerintahan; bangsa), yang mendahulukan kepentingan bersama atau kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Karena Pancasila didasarkan pada paradigma simbiosis antara agama dan negara, maka Pancasila mengakui keberadaan ruang komunal sebagai interkoneksi antara publik dan privat.

Referensi

Abdel Razek, A. (2012). Islam dan Fondasi Kekuasaan Politik (A. Filali-Ansary, Ed.; M. Loutfi, Trans.). Pers Universitas Edinburgh.

Abdillah, M. (2018). Kontekstualisasi Hukum Islam dan Fikih Siyasah di Indonesia: Pergumulan Pemikiran seorang Alumni IAIN Jakarta. Dalam AZ Siradj (Ed.), Islam & Transformasi Indonesia: Kontribusi Alumni UIN Memperkuat Umat Melahirkan Kesalehan Kebangsaan (hlm. 484–

512). IKALUIN Jakarta & Penerbit Penjuru Ilmu.

Abduh, M. (1978). Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Keristen.

Diponegoro.

Adha, MM, & Susanto, E. (2020). Kekuatan Nilai-Nilai Pancasila dalam Membangun Kepribadian Masyarakat Indonesia. Al-Adabiya, 15(1), 121–

138.

Al Farabi, AN (1995). Ara' Ahl al Madinah al Fadhilah. Dar wa Maktabah al Hilal.

Al Farabi, AN (1996). Al Siyasah al Madaniyah. Dar wa Maktabah al Hilal.

Al Mawardi, AHA (1996). Hukum Pemerintahan Islam. Penerbit Ta-Ha.

Al-Attas, SMN (1993). Islam dan Sekularisme. ISTAC.

Ali, M. (2019). Filsafat Barat: Sebuah Pengantar. Sanggar Luxor.

Anis, M. (2013). Islam dan Demokrasi:

Perspektif Wilayah Al-Faqih. Mizan.

An-Na'im, AA (2008). Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Pers Universitas Harvard.

Aquinas, T. (1905). Tentang Tuhan dan Makhluk-Nya. Luka Bakar & Oat.

Agustinus dari Hippo, St.(1886). Kota Tuhan: Doktrin Kristen (M. Dods, Trans.). T&T Clark.

Bachtiar, H. (2019). Dar al-'Ahd wa al- Shahadah: Upaya dan Tantangan Muhammadiyah Merawat Kebinekaan.

Maarif, 14(1), 67–101.

Bachtiar, H. (2020a). Dār al-'Aḥd wa al- Shahādah: Kedudukan dan Pemikiran Muhammadiyah terhadap Negara Pancasila. Studia Islamika, 27(3), 485–

513.

Bachtiar, H. (2020b). Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah Dar al-'Ahd wa al- Syahadah: Elaborasi Siyar dan Pancasila. SuaraMuhammadiyah.

Banna, H.al. (1985). Dakwah Kami, Kemarin dan Hari Ini (R. Abdullah, Trans.). Yayasan Al Amanah Indonesia.

Konfusius. (1910a). Analects (KAMI Soothil, Trans.). Universitas Kekaisaran.

(10)

70

Konfusius. (1910b). Ucapan Konfusius (L.

Cranmer-Byng & SA Kapadia, Eds.).

EP Dutton dan Perusahaan.

Copleston, F. (1994). Sejarah Filsafat Volume VII: Filsafat Modern dari Idealis Pasca-Kantian hingga Marx, Kierkegaard dan Nietzsche. Buku Gambar.

Daly, C. (2021). Pengantar Metode-Metode Filsafat (Taufiqurrahman, Trans.).

Antimoni.

Disney, AR (2009a). Sejarah Portugal dan Kerajaan Portugis: Dari Awal hingga 1807: Vol. saya Portugal. Pers Universitas Cambridge.

Disney, AR (2009b). Sejarah Portugal dan Kerajaan Portugis: Dari Awal hingga 1807: Vol. II Kekaisaran Portugis. Pers Universitas Cambridge.

Dunn, WN (2018). Pengantar Analisis Kebijakan Publik (M. Darwin, Trans.;

edisi ke-2). Pers Universitas Gadjah Mada.

Fakhry, M. (2004). Sejarah Filsafat Islam (Edisi ke-3rd). Pers Universitas Columbia.

HAMKA. (1951). Urat Tunggang Pantjasila.

Pustaka Keluarga.

Hammurabi. (1904). Kode Hammurabi (RF Harper, Trans.). Pers Universitas Chicago.

Hatta, M. (1966). Demokrasi Kita. Pustaka Antara.

Hegel, GWF (2001). Filsafat Sejarah. Buku Batoche.

Hegel, GWF (2010). Ilmu Logika. Pers Universitas Cambridge.

Ibnu Khaldun, AMM (2000). Muqaddimah.

Pustaka Firdaus.

Ibnu Khaldun, AMM (2011). Mukaddimah (M. Irham, M. Supar, & A. Zuhri, Trans.). Pustaka Al-Kautsar.

Imadudin, M. (2023). Re-Interpretasi Pancasila: Dialektika Islam dan Negara di Era Reformasi Indonesia [Tesis Master]. STAI Sadra.

Islami, H. (2012). Politik Khomeini: Wajah Etika Islam (R. Mulyono, Ed.). Citra.

Jory, P. (2019). Teori Monarki Thailand:

Vessantara Jātaka dan Ide Manusia Sempurna. Pers SUNY.

Kaelan. (2012). Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, Budaya, Filsafat, Seni, Agama dan Humaniora.

Paradigma.

Kautilya. (nd). Arthashastra.

Kautilya. (1992). Arthashastra (LN Rangarajan, Trans.). Buku Pinguin.

Kenny, A. (2006). Sejarah Baru Filsafat Barat Vol. 3 Kebangkitan Filsafat Modern. Pers Universitas Oxford.

Khoirudin, A. (2019). Ta'awun Darul Ahdi wasy-Syahadah. Dalam A. Mu'ti (Ed.), Ta'awun untuk Negeri: Transformasi Al-Ma'un dalam Konteks Keindonesiaan (hlm. 73–78). MPI PPMuhammadiyah.

Khomeini, IA (nd). Tata Kelola Ahli Hukum.

Lembaga Kompilasi dan Publikasi Karya Imam Khomeini (Divisi Hubungan Internasional).

Khomeini, IA (1983). Konsep Pemerintahan Islam (R.Hj. Nawawi & HH Nawawi, Trans.). ABIM.

Kuhn, TS (1996). Struktur Revolusi Ilmiah (Edisi ke-3rd). Pers Universitas Chicago.

Kuru, AT (2009). Sekularisme dan Kebijakan Negara terhadap Agama:

Amerika Serikat, Prancis, dan Turki.

Pers Universitas Cambridge.

Kuru, AT (2019). Islam, Otoritarianisme, dan Keterbelakangan: Perbandingan Global dan Historis. Pers Universitas Cambridge.

Kusuma, AB (2009). Lahirnya Undang- Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Latif, Y. (2012). Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20. Yayasan Abad Demokrasi.

(11)

DOI: 10.24853/independen.4.2.61-72

71 Latif, Y. (2014). Moral Pancasila sebagai

Kunci Kemajuan Bangsa. Maarif, 9(1), 67–76.

Latif, Y. (2020). Wawasan Pancasila:

Bintang Penuntun untuk Pembudayaan (Komprehens). Mizan.

Lizzote, California (2017). Geopolitik Laïcité di Era Multikultural:

Sekularisme Prancis, Kebijakan Pendidikan, dan Pengelolaan Perbedaan Tata Ruang.

Maarif, AS (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. LP3ES.

Maarif, AS (2006). Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante (Revisi). LP3ES.

Maarif, AS (2018). Islam, Kemanusiaan, dan Identitas Indonesia: Refleksi Sejarah (GA Fowler, Trans.). Pers Universitas Leiden.

Maltby, WS (2009). Kebangkitan dan Kejatuhan Kekaisaran Spanyol.

Palgrave Macmilan.

Maududi, AA (1960). Hukum Islam dan Konstitusi (K. Ahmad, Trans.).

Publikasi Islam.

Maududi, AA (1984). Nasionalisme dan Islam. Dalam JJ Donohue & JL Esposito (Eds.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah- Masalah (hlm. 158–164). Pers Rajawali.

Maududi, AA (2009). Sejarah Singkat Gerakan Revivalis dalam Islam (Al- Ash'ari, Trans.). Publikasi Kepercayaan Kesejahteraan Manusia.

Misbah Yazdi, MT (2001a). Teori Politik Islam (Perundang-undangan): Jilid 1 (ML Limba, Trans.). Majelis Dunia Ahl al-Bayt.

Misbah Yazdi, MT (2001b). Teori Politik Islam (Perundang-undangan): Jilid 2 (ML Limba, Trans.). Majelis Dunia Ahl al-Bayt.

Misbah Yazdi, MT (2002). Al-Ḥājāt al- Asāsiyah lil-Idārah al-Islāmiyah. Dār al-Nubala'.

Munawar-Rachman, B. (2010). Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia. LSAF.

Muqtedar Khan, MA (2019). Islam dan Good Governance: Filsafat Politik Ihsan.

Palgrave Macmilan.

Nashir, H. (2015a). Muhammadiyah: Sebuah Gerakan Reformasi. Pers Universitas Muhammadiyah.

Nashir, H. (2015b). Memahami Ideologi Muhammadiyah. Pers Universitas Muhammadiyah.

(Panitia Lima). (1977). Uraian Pancasila.

Mutiara.

Pigeaud, TG Th. (1960). Jawa Abad ke-14:

Kajian Sejarah Kebudayaan Nāgara- Kĕrtāgama karya Rakawi Prapañca dari Majapahit, 1365 M. Terjemahan III (Ketiga). Martinus Nijhoff.

Pranarka, AMW (1985). Sejarah Pemikiran tentang Pancasila. Yayasan Proklamasi CSIS.

Pringle, R. (2010). Memahami Islam di Indonesia. Edisi Didier Millet.

Pulungan, JS (2019). Dialektika Islam, Negara dan Pancasila. Ombak.

Qodir, Z., & Nashir, H. (2019). Keislaman, Kemanusiaan, Keindonesiaan dan Budaya: Studi perbandingan Pemikiran Ahmad Syafii Maarif, Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid.

Afkaruna, 15(2), 226–253.

Qutb, M. (1984). Islam di Tengah Pertarungan Tradisi (KMS Agustjik, Trans.). Mizan.

Qutb, S. (1984). Keadilan Sosial dalam Islam (A. Mohammad, Trans.). Penerbit Pustaka.

Qutb, S. (1993). Harokah Jihad Islam : Muqoddimah Surat Al Anfal, Fi Dzilalil Qur'an (A. Ahmad, Ed.; A.

Hamid, Trans.).

Rochmat, S. (2014). Paradigma Fiqih Negara Pancasila: Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam dan NKRI. Al- Jamiah, 52(2), 309–329.

Saunders, G. (2006). Sejarah Brunei (Edisi ke-2nd). Routledge.

(12)

72

Sayogie, F. (2013). Perlindungan Negara terhadap Hak Kebebasan dalam Islam dan HAM Universal. Trans Pustaka.

Shaleh, AI, & Wisnaeni, F. (2019).

Hubungan Agama dan Negara Menurut Pancasila dan UUD NRI 1945. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 1(2), 237–249.

Siradj, AZ (2018). Keberagaman Melahirkan Kesalehan Politik. Dalam AZ Siradj (Ed.), Islam & Transformasi Indonesia:

Kontribusi Alumni UIN Memperkuat Umat Melahirkan Kesalehan Bangsa Transformasi Indonesia: Kontribusi Alumni UIN Memperkuat Umat Melahirkan Kesalehan Bangsa (hlm.

514–523). IKALUIN Jakarta &

Penerbit Penjuru Ilmu.

Sjadzali, M. (1993). Islam dan Tata Negara:

Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. UI- Tekan.

Sukarno. (1963). Dibawah Bendera Revolusi Djilid Pertama. Panitya Penerbit.

Sukarno. (1965). Dibawah Bendera Revolusi Djilid Kedua. Panitya Penerbit.

Suhelmi, A. (2001). Pemikiran Politik Barat.

Gramedia.

Suryanegara, AM (2014). Api Sejarah:

Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Revisi, Vol. 1). Suryadinasti.

Taylor, C. (2007). Era Sekuler. Belknap Press dari Harvard University Press.

Taylor, KW (2008). Kerajaan Awal. Dalam N. Tarling (Ed.), The Cambridge History of Southeast Asia Volume One: From Early Times to 1800 (hlm.

137–182). Pers Universitas Cambridge.

Thompson, PAK (2015). Ide Mati (Masih) Berjalan: Warisan Perdebatan

“Demokrasi Asia” dan “Nilai-Nilai Asia”. Dalam W. Case (Ed.), Routledge Handbook of Southeast Asian Democratization (hlm. 24–37).

Routledge.

(Tim Penulis). (2010a). Naskah Komprehensif Perubahan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945 (Revisi). Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

(Tim Penulis). (2010b). Naskah Komprehensif Perubahan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Buku II Sendi- Sendi/Fundamental Negara (Revisi).

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Wahid, A. (1999). Prisma Pemikiran Gus Dur. LKiS.

Wahid, A. (2007). Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat. Kompas.

Walliman, N. (2011). Metode Penelitian:

Dasar-dasar. Routledge.

Wong, D. (2011). Filsafat Politik Konfusianisme. Dalam G. Klosko (Ed.), Buku Pegangan Oxford tentang Sejarah Filsafat Politik (Online Edi, hlm. 772–788). Pers Universitas Oxford.

Yamani. (2002). Filsafat Politik Islam:

Antara Al-Farabi dan Khomeini.

Mizan.

Zuhraini. (2014). Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik. Analisis, 14(1), 29–57.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan dinamika dan perkembangan politik serta pemerintahan RI sekaligus mampu menganalisis sistem

Paradigma Strukturalisme Levi-Strauss untuk menganalisis Perbedaan tulisan tentang cara baru memahami perbedaan agama Kristiani dan islam ini menggunakan kerangka

Dari paparan umum, hubungan antara agama dan politik tersebut di atas, kemudian akan coba dilihat bagaimana hubungan agama – khususnya Islam sebagai agama mayoritas dan

Ketiga, mereka pun memandang bahwa negara adalah sebagai lembaga politik yang sama sekali terpisah dari agama, kepala negara karenanya hanya mempunyai

Tulisan ini menjelaskan peran Negara di sektor ekologi dalam membentuk dinamika sosial ekonomi dataran tinggi Kabupaten Pemalang, khususnya dinamika migrasi,

menyatakan sikap dan pikiran {hak politik). Ketidak sistematisan ini juga makin teriihat pada ayat ketiganya yang berbicara tentang hak-hak politik sehingga pasal Ini

Berdasarkan kegelisahan tersebut dalam konteks relasi agama dan negara Ahmad Syafii Ma’arif mengemukakan secara doktrinal, Islam tidak menetapkan dan menegaskan

44 Epistemologi Paradigma dan Transformasi Ilmu Pengetahuan Thomas Kuhn dikontekstualisasikan dalam pemikiran dan dinamika keilmuan Islam, terutama dalam membuka mindset ilmuwan