151 Volume 4 Nomor 2 Maret 2020
Tersedia Online di http://journal2.um.ac.id/index.php/jmsp/
ISSN Online : 2541-4429 JURNAL MANAJEMEN DAN SUPERVISI
JMSP
PENDIDIKAN
HUBUNGAN PERSEPSI SIKAP PENDIDIK TENTANG MEDIA SOSIAL DENGAN INOVASINYA DALAM PEMBELAJARAN
Aditya Chandra Setiawan
Jurusan Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya Jl. Lidah Wetan Surabaya Jawa Timur
Abstract: The study described the perceptions-attitudes-innovations of educators' about social media utilization as an alternative media of learning; and the relationship between educator perceptions-attitudes of social media to the adoption of innovations for utilization in learning. The methods in this study used a quantitative-correlational-descriptive approach.
The research respondent is an educator in SLTA Kota Malang. The study concluded that the educational perception-attitudes-innovation of educators about the utilization of social media in the category of 'moderate' is knowing and accepting social media as an alternative medium of learning; and there is a significant relationship between educators' perceptions-attitudes about social media towards adoption of innovations for utilization in learning.
Keywords: Perceptions; Attitudes; Innovations; Educators; Social Media; Learning
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi-sikap-inovasi pendidik tentang pendayagunaan media sosial sebagai media alternatif pembelajaran; dan hubungan antara persepsi-sikap pendidik tentang media sosial terhadap adopsi inovasi untuk pemanfaatan dalam pembelajaran. Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif-korelasional. Responden penelitian adalah pendidik di SLTA Kota Malang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa persepsi-sikap-inovasi pendidik tentang pendayagunaan media sosial pada kategori ‘sedang’/cukup mengetahui dan menerima media sosial sebagai media alternatif pembelajaran; dan terdapat hubungan signifikan antara persepsi-sikap pendidik tentang media sosial terhadap adopsi inovasi untuk pemanfaatan dalam pembelajaran.
Kata Kunci: Persepsi; Sikap; Inovasi; Pendidik; Media Sosial; Pembelajaran
Berkembangnya teknologi dan munculnya Revolusi Industri 4.0 diimbangi dengan hadirnya Society 5.0 telah memberikan dampak yang cukup signifikan bagi aspek keberlangsungan hidup manusia. Salah satu aspek utama yang terdampak adalah bidang pendidikan, maka dari itu lembaga pendidikan memiliki peran dan tanggung jawab yang cukup besar, khususnya dalam menghadapi tantangan perkembangan teknologi tersebut. Lembaga pendidikan tentu melaksanakan berbagai pembaharuan baik dari segi kurikulum hingga sarana prasarana, guna memperoleh segala informasi tentang perkembangan global saat ini. Selain untuk mendukung pelaksanaan pendidikan, upaya tersebut sebagai bentuk kesiapan pendidikan dalam mengatasi perkembangan global serta tidak terkontaminasi pengaruh negatif dari dampak hadirnya teknologi tersebut.
Selaras dengan hal tesebut, idealnya pendidikan senantiasa mengarah pada pembentukan watak manusia yang mulia dan berbudi pekerti luhur. Selain penguasaan ilmu pengetahuan, tentunya agar manusia yang dihasilkan di kemudian hari adalah manusia yang senantiasa mampu mengendalikan teknologi, bukan menjadi manusia yang dikendalikan oleh berbagai macam teknologi yang berkembang.
Peserta didik dirasa masih kering akan nilai dan moral dalam penggunaan berbagai media sosial.
Penguasaan media sosial tersebut masih sebatas untuk mengikuti trend yang ada saat ini, yang tujuannya hanya untuk mendapat pengakuan dari lingkungan kelompok peserta didik satu dan peserta didik lainnya atau dapat dikatakan agar ‘gaul’ dalam istilah mereka. Peserta didik juga dirasa masih belum dapat memanfaatkan media sosial tersebut ke dalam pembelajaran di sekolah, jika dilihat dari fungsi media
sosial yaitu sebagai interaksi sosial antara manusia dan manusia dengan tidak melihat berapa jauh jarak antara penggunanya, hendaknya media tersebut dapat dimanfaatkan dengan tepat sasaran dan tepat guna.
Berdasarkan pemaparan di atas, dikhawatirkan akan terjadi adanya kesenjangan antara pendidik sebagai contoh positif/pemodelan yang ideal bagi peserta didik secara moral maupun perilaku, dengan peserta didik sendiri sebagai pengguna media sosial yang dirasa belum matang secara moral dan perilaku dalam memanfaatkannya. Beberapa riset terdahulu juga menyebutkan bahwa adanya hubungan signifikan antara persepsi-sikap peserta didik terkait media sosial dan keefektifan E-Learning pada pembelajaran, serta pemanfaatan media sosial sebagai wadah dalam tugas hingga penilaian akhir pembelajaran (Sacks & Graves, 2012; Warner, Eames, & Irving, 2014; Yeo, 2014). Selain itu, media sosial dapat memberikan dampak yang positif dari segi keaktifan partisipasi peserta didik dalam pembelajaran di kelas, peserta didik yang sebelumnya pada pembelajaran tatap muka tidak terlalu aktif, mereka lebih meningkat partisipasinya ketika pembelajaran daring karena fungsi keterbukaan dari media sosial yang mengakomodasi peserta didik lebih leluasa dalam menyampaikan pendapatnya (Gok, 2016; Gorder, 2008; Mourlam, 2014). Hasil sensus (APJII, 2015) pada Gambar 1 menyatakan bahwa, pengguna internet di Indonesia mayoritas adalah remaja pada rentang usia 18-25 tahun dan jika dilihat dari jenjang pendidikan yaitu SMA sederajat, tentunya hal ini menguatkan bahwa media sosial menjadi tantangan dan peluang besar bagi pendidikan untuk memformulasikan strategi yang tepat dalam mengatasi fenomena tersebut.
Gambar 1: Pengguna Internet di Indonesia Berdasarkan Usia dan Jenjang Pendidikan
Disisi lain, sistem pembelajaran saat ini cenderung memberikan kebebasan kepada peserta didik dalam mengakses segala sumber belajar, sesuai dengan pola pikir Kurikulum 2013. Pendidik sebagai ujung tombak keberhasilan pembelajaran, tentu dituntut kreatif dalam menggunakan segala metode pengajaran yang tepat disegala kondisi pembelajaran. Hal tersebut menjadi state of art penelitian ini, karena dirasa perkembangan teknologi harus diimbangi dengan konten kurikulum dan pembelajaran yang relevan. Oleh karena itu, adopsi inovasi teknologi harus dilakukan untuk menunjang keberlangsungan pembelajaran dan tuntutan perkembangan jaman. Media sosial menjadi tantangan baru bagi pendidik, ditengah maraknya berbagai fenomena meningkatnya pengguna media tersebut, tentu sistem kontrol menjadi kunci utama dalam mengantisipasi segala dampak yang akan diperoleh dari munculnya media sosial. Merujuk pada hal di atas, penelitian itu bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi-sikap-inovasi pendidik tentang pendayagunaan media sosial sebagai media alternatif pembelajaran; dan hubungan antara persepsi-sikap pendidik tentang media sosial terhadap adopsi inovasi untuk pemanfaatan dalam pembelajaran.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis deskriptif dan analisis secara korelasional, dengan responden penelitian adalah pendidik di SLTA Kota Malang. Untuk memperjelas kerangka penelitian ini, telah dirancang skema penelitian seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema Penelitian
Keterangan:
X1: Variabel Persepsi;
X2: Variabel Sikap;
Y : Variabel Inovasi.
Berdasarkan data jumlah sekolah dan pendidik di Kota Malang pada tahun 2018 dari Data Pokok Pendidikan (Dapodik), ditentukan jumlah populasi responden sebanyak 4.241 pendidik, sedangkan jumlah sekolah yaitu sebanyak 112 unit dengan menggunakan teknik sampel area/cluster sampling, karena di Kota Malang terdapat beberapa sekolah yang tersebar luas, sehingga perlu diambil sampel sekolah berdasarkan area/kecamatan agar dapat diperoleh sampel yang benar-benar mewakili area tersebut. Berdasarkan data tersebut akan ditentukan jumlah sampel sekolah terlebih dahulu yaitu sebagian dari total keseluruhan jumlah sekolah yang ada. Hal tersebut merujuk asumsi yang menyebutkan bahwa, pada tahap awal penentuan sampel secara umum akan diambil sebesar 10% sampel dari total populasi yang akan diteliti (Sugiarto, Siagian, Sunaryanto, & Oetomo, 2013), sehingga dapat ditentukan jumlah sekolah yang dijadikan sampel penelitian sebanyak 11 unit. Sedangkan proses pengambilan sampel responden dalam penelitian ini, menggunakan teknik sampling proporsi dan acak (proportional random sampling). Proses perhitungan sampel menggunakan Formula Slovin (Setyadin, 2005), sehingga dapat diperoleh hasil sampling responden sejumlah 202 pendidik. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan pengukuran Skala Likert, skala tersebut dapat mengukur tingkat persepsi dan sikap dari responden penelitian. Analisis data menggunakan rumus Pearson untuk mengetahui signifikansi hubungan antar variabel, proses tersebut dibantu dengan aplikasi Statistical Product and Service Solution (SPSS) 22 for Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perhitungan validitas variabel persepsi, sikap dan inovasi pendidik memperoleh nilai secara berurutan 0,86; 0,81; dan 0,84 atau > 0,80 dalam arti dapat dinilai sebagai skala pengukuran yang valid. Sedangkan uji reliabilitas diperoleh nilai alpha variabel persepsi, sikap dan inovasi pendidik berturut-turut sejumlah 0,86; 0,81; dan 0,84 atau > 0,30 artinya sebagai skala pengukuran yang baik (good). Deskripsi variabel penelitian yang disajikan berdasarkan perhitungan analisis deskriptif dan crosstabulation, dengan bantuan software MSI dan SPSS 22 for Windows. Paparan kesimpulan analisis deskriptif setiap variabel disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut.
Tabel 1. Kesimpulan Hasil Analisis Deskriptif
Tabel 1 menjelaskan bahwa, data penelitian telah berdistribusi normal, dapat dilihat dari perolehan nilai skewness disetiap variabel yang memiliki nilai mendekati nol. Hasil tersebut sejalan dengan pendapat (Kline, 2011) yang juga menyebutkan bahwa nilai ideal dalam pengujian normalitas data dinyatakan dengan adanya tanda SI (Skewness Index) menunjukkan arah condong (positif atau negatif) dan nilai nol menunjukkan distribusi yang simetris.
Persepsi Pendidik
Tabel 2. Frekuensi dan Persentase Variabel Persepsi Pendidik
Berdasarkan hasil di atas, diperoleh hasil pada kategori ‘tinggi’, yaitu ≥ 112,3107; kategori ‘sedang’, yaitu ≤ 112,3107; dan kategori ‘rendah’, yaitu ≤ 71,1553. Dengan diketahuinya hasil pada kategori tertinggi sampai dengan kategori terendah, akan dijadikan kriteria penentuan analisis deskriptif dalam variabel persepsi. Merujuk hasil analisis, dapat ditemukan bahwa persepsi pendidik terkait pemanfaatan media sosial pada pembelajaran, termasuk kategori ‘sedang’, dapat dibuktikan dengan nilai rata-rata/
mean 105,0870 ≤ 112,3107. Perhitungan tersebut memeroleh hasil pada kategori tinggi sejumlah 56 pendidik (27,7%), kategori sedang sejumlah 145 pendidik (71,8%), dan kategori rendah sejumlah 1 pendidik (0,5%). Dapat disimpulkan bahwa, frekuensi dan persentase variabel persepsi pendidik terkait pemanfaatan media sosial pada pembelajaran tergolong dalam kategori ‘sedang’.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, elemen pada faktor penilai/diri pendidik yang secara signifikan dapat memengaruhi proses pemahaman pendidik media sosial adalah pembuatan komunitas atau grup oleh pendidik dalam media sosial. Hal tersebut dibuktikan dengan perolehan nilai mean serta merujuk kriteria nilai setiap butir instrumen. Oleh karena itu, pembentukan persepsi dapat dipengaruhi dari berbagai faktor, yaitu faktor penilai terdiri dari motif, sikap, pengalaman, minat, dan ekspektasi (Robbins
& Judge, 2015). Selain itu, pada bagan ‘sarang lebah’ dapat diketahui bahwa, terdapat fungsi dari media sosial salah satunya ‘kelompok’ yang artinya sejauh mana para pengguna dapat membentuk komunitas dalam media sosial (Kietzmann, Hermkens, McCarthy, & Silvestre, 2011). Sehingga dapat diketahui bahwa, proses pemahaman seorang pendidik terkait media sosial pada pembelajaran, ditentukan dari faktor penilai/diri pendidik secara pribadi, salah satunya dengan pendidik dapat mengetahui segala manfaat, fungsi, dan resiko dari media sosial pada pembelajaran. Juga mengetahui motif apa yang digunakan ketika mengakses media sosial, salah satu buktinya yaitu dengan membentuk komunitas diantara pendidik.
Sikap Pendidik
Tabel 3. Frekuensi dan Persentase Variabel Sikap Pendidik
Berdasarkan hasil analisis, diperoleh hasil pada kategori ‘tinggi’, yaitu ≥ 57,9376; kategori
‘sedang’, yaitu ≤ 57,9376; dan kategori ‘rendah’, yaitu ≤ 36,4688. Dengan diketahuinya hasil pada kategori tertinggi sampai dengan kategori terendah, akan dijadikan kriteria penentuan analisis deskriptif dalam variabel sikap. Merujuk hasil analisis, dapat ditemukan bahwa sikap pendidik terkait pemanfaatan media sosial pada pembelajaran, tergolong dalam kategori ‘sedang’, dapat dibuktikan dengan nilai rata- rata/mean 54,3235 ≤ 57,9376. Perhitungan tersebut memeroleh hasil pada kategori tinggi sejumlah 58 pendidik (28,7%), kategori sedang sejumlah 142 pendidik (70,3%), dan kategori rendah sejumlah 2 pendidik (1%). Dapat disimpulkan bahwa, frekuensi dan persentase variabel sikap pendidik terkait pemanfaatan media sosial pada pembelajaran tergolong kategori ‘sedang’.
Merujuk hasil analisis yang telah dilakukan, ditemukan faktor pada aspek afektif dapat memberikan pengaruh kepada seorang pendidik dalam proses menerima atau mengadopsi media sosial, adalah pendidik memiliki hak untuk memanfaatkan media sosial untuk pembelajaran. Hal tersebut tentu dibuktikan dengan mengetahui nilai mean serta kriteria nilai setiap butir instrumen. Hal tersebut
termasuk salah satu aspek sikap, yaitu komponen afektif yang dapat diartikan sebagai segmen perasaan dari suatu bentuk sikap (Robbins & Judge, 2015). Selain itu, diperkuat dari hasil penelitian lain berupa beberapa kegunaan media sosial pada pembelajaran yang meliputi (1) memberikan kemungkinan pendidik dengan lebih cepat mengenali apa saja kebutuhan belajar dari peserta didik; (2) menyediakan sarana bagi pendidik guna mengajarkan peserta didik dalam bertanggung jawab secara sosial; dan (3) menciptakan sebuah komunitas belajar profesional bagi pendidik (Blazer, 2012). Dapat diketahui bahwa, proses menerima atau mengadopsi suatu media sosial oleh pendidik ditentukan dari aspek afektifnya.
Dibuktikan dengan pendidik terlebih dahulu dapat mengetahui resiko dan manfaat berbagai media sosial, yang dapat dikaitkan dengan bagaimana cara penggunaannya. Salah satunya dengan mengacu pada hal yang cenderung positif ketika mengakses media, sehingga hal tersebut dapat mengkontrol segala brntuk resiko bahkan tanggapan yang dapat memengaruhi perasaan pendidik ketika memanfaatkan media sosial.
Inovasi Pendidik
Tabel 4. Frekuensi dan Persentase Variabel Inovasi Pendidik
Berdasarkan perhitungan di atas, diperoleh hasil pada kategori ‘tinggi’, yaitu ≥ 62,3775; kategori
‘sedang’, yaitu ≤ 62, 3775; dan kategori ‘rendah’, yaitu ≤ 39,6887. Dengan diketahuinya hasil pada kategori tertinggi sampai dengan kategori terendah tersebut, akan dijadikan kriteria penentuan analisis deskriptif dalam variabel inovasi. Merujuk hasil analisis, dapat ditemukan bahwa inovasi pendidik terkait pemanfaatan media sosial pada pembelajaran, tergolong dalam kategori ‘sedang’, dapat dibuktikan dengan nilai rata-rata/mean 56,6271 ≤ 62,3774. Perhitungan tersebut memeroleh hasil pada kategori tinggi sejumlah 49 pendidik (24,3%), kategori sedang sejumlah 151 pendidik (74,8%), dan kategori rendah sejumlah 2 pendidik (1%). Dapat disimpulkan bahwa, frekuensi dan persentase variabel inovasi pendidik terkait pemanfaatan media sosial pada pembelajaran tergolong kategori ‘sedang’.
Faktor dalam tahap pengetahuan yang dapat memberikan pengaruh kepada seorang pendidik untuk proses adopsi-inovasi media sosial pada pembelajaran adalah pendidik senantiasa memiliki inisiatif dalam pencarian informasi terkait kebermanfaatan media sosial untuk pembelajaran. Tentunya melihat nilai mean serta kriteria nilai setiap butir instrumen. Pernyataan tersebut termasuk salah satu proses keputusan inovasi, yaitu pengetahuan terjadi ketika individu terkena adanya inovasi dan memperoleh beberapa pemahaman tentang bagaimana fungsinya (Rogers, 1983). Sehingga dapat dikatakan bahwa, proses adopsi-inovasi media sosial oleh pendidik pada pembelajaran yang ditentukan oleh tahap pengetahuannya, dengan pendidik terlebih dahulu memahami fungsi media jejaring sosial lebih detail dengan mencari segala informasi tentang media tersebut dan berbagai faktor yang memengaruhi penggunaan media tersebut dalam pembelajaran. Selain itu juga perlu mengetahui adanya peraturan yang diberlakukan sekolah atas penggunaan media jejaring sosial dalam pembelajaran, yang pada dasarnya akan memperkuat pemahaman pendidik dan penggunaan media jejaring sosial untuk dapat diadopsi dalam pembelajaran.
Hubungan Persepsi-Sikap tentang Media Sosial dan Inovasi Pendidik dalam Pembelajaran
Tabel.5 Hasil Analisis Data Pearson Variabel Persepsi, Sikap, dan Inovasi Pendidik
Tabel 5 menjelaskan bahwa adanya hubungan signifikan antara ketiga variabel dalam penelitian ini.
Oleh karena itu, dengan hasil tersebut dapat menjawab hipotesis pertama yang menyebutkan bahwa,
‘terdapat hubungan antara persepsi dengan sikap pendidik tentang media sosial’. Dapat dilihat dari perolehan nilai signifikansi 0,00 < 0,05; dengan nilai P sebesar 0,63. Hipotesis kedua menyebutkan bahwa,
‘terdapat hubungan antara persepsi pendidik tentang media sosial dengan inovasi pada pembelajaran’.
Dapat dilihat dari perolehan nilai signifikansi 0,00 < 0,05; dengan nilai P sebesar 0,61. Sedangkan hipotesis ketiga menyebutkan bahwa, ‘terdapat hubungan antara afirmasi sikap pendidik mengadopsi media sosial dengan inovasi dalam pembelajaran’. Dapat dilihat dari perolehan nilai signifikansi 0,00 <
0,05; dengan nilai P sebesar 0,69; sehingga dapat dikatakan ketiga hipotesis tersebut menolak (rejected) H0.
Analisis dengan menggunakan rumus Pearson diperoleh hasil yang signifikan diseluruh variabelnya.
Sesuai paparan hasil sebelumnya dapat diketahui bahwa, terdapat hubungan signifikan antara persepsi pendidik terkait media sosial dengan sikap afirmasinya mengadopsi media dalam pembelajaran. Hal ini membuktikan bahwa, seorang pendidik tidak serta merta langsung menggunakan media sosial dalam pembelajaran tanpa adanya afirmasi dalam dirinya untuk menerima atau menolak media tersebut.
Dengan memahami terlebih dahulu segala konten media sosial, akan muncul sebuah keputusan menerima/menolak penggunaan media tersebut dalam pembelajaran. Hal tersebut sejalan dengan pendapat (Robbins, Bergman, Stagg, & Coulter, 2006) dan Mar’at (dalam Riyanti & Prabowo, 1998) yang menjelaskan bahwa aspek kognitif pendidik berupa kemampuan pemahaman pendidik secara pribadi tentang media sosial, lingkungan pendidik dan kualitas media sosial serta didukung dengan adanya unsur nilai dan norma dalam dirinya, maka dapat dijadikan penentu dan penghubung dalam afirmasi bersikap terhadap proses adopsi media sosial, sebagai pemanfaatan media dalam pembelajaran.
Hipotesis lainnya menyebutkan bahwa, terdapat hubungan antara afirmasi sikap pendidik mengadopsi media sosial dengan inovasi dalam pembelajaran. Hal tersebut membuktikan afirmasi sikap secara positif menerima media sosial, dapat mempengaruhi proses keputusan inovasi untuk mengadopsi media tersebut kedalam pembelajaran. Hal tersebut sejalan pula dengan (Rogers & Shoemaker, 1971) yang menyatakan bahwa, pada fungsi/tahap persuasi dalam proses keputusan inovasi, seorang individu akan membentuk sikap yang cenderung mendukung atau melainkan sikap yang cenderung tidak mendukung terhadap inovasi yang ada.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa proses pendidik dalam memanfaatkan teknologi dan informasi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembelajaran. Temuan ini dapat disimpulkan bahwa faktor pemanfaatan teknologi oleh pendidik sangatlah penting, karena secara signifikan menunjang keberhasilan pembelajaran tersebut. Namun hal tersebut tentu harus diimbangi dengan pemahaman yang baik tentang media sosial meliputi cara penggunaan, manfaat, resiko, dan fungsi sesungguhnya dari media tersebut. Selain itu faktor moral dan etika harus lebih diutamakan dalam pemanfaatan media sosial, maka dari itu pendidik sebagai model percontohan peserta didik yang baik.
Pemanfaatan media sosial dalam pembelajaran sangatlah penting bagi peserta didik dalam perolehan informasi dari lingkungan belajar dan senantiasa melihat dampak positif dan negatif pemanfaatan media tersebut (Gok, 2016; Gorder, 2008; Mourlam, 2014; Sacks & Graves, 2012; Warner et al., 2014; Yeo, 2014). Selain itu melalui pendampingan pendidik ketika proses pemanfaatan media tersebut dilakukan, akan lebih tepat sasaran dan maksimal. Disisi lain, sebagai penegasan hasil penelitian ini dapat diartikan bahwa, “pendidikan yang ideal harus diarahkan pada proses pembentukan watak yang mulia, di samping penguasaan ilmu pengetahuan, sehingga manusia yang akan dihasilkan di kemudian hari adalah manusia yang mampu mengendalikan berbagai macam teknologi, bukan manusia yang dikendalikan oleh teknologi yang ada” (Sonhadji, 2013).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Sesuai dengan hasil penelitian serta pembahasan temuan penelitian, dapat diperoleh kesimpulan bahwa persepsi-sikap pendidik tentang pendayagunaan media sosial pada kategori ‘sedang’/cukup mengetahui dan menerima media sosial sebagai media alternatif pembelajaran. Dapat diartikan bahwa, dengan hasil ‘sedang’ tersebut seorang pendidik cukup memahami dan mengetahui jenis, fungsi dan manfaat media sosial sehingga akan membantu pendidik dalam proses mengafirmasi sikapnya terkait media sosial. Selain itu jika dilihat dari hubungan antar variabel, secara keseluruhan berhubungan signifikan. Dapat dikatakan pula bahwa, faktor pemanfaatan teknologi oleh pendidik sangatlah penting, karena secara signifikan menunjang keberhasilan pembelajaran tersebut. Namun hal tersebut tentu harus diimbangi dengan pemahaman yang baik tentang media sosial meliputi cara penggunaan, manfaat, resiko, dan fungsi sesungguhnya dari media tersebut. Selain itu faktor moral dan etika harus lebih diutamakan dalam pemanfaatan media sosial, maka dari itu pendidik sebagai model percontohan peserta didik yang baik.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diperoleh saran, antara lain:
(1) Kepala SLTA Kota Malang, sebagai seorang manajer, administrator, dan supervisor di sekolah perlu memberikan mempertimbangan serta memberikan wawasan terkait pendayagunaan teknologi pada pendidik dan peserta didik, khususnya teknologi berupa media sosial untuk lebih dimanfaatkan sebagai media komunikasi alternatif pada pembelajaran. (2) Pendidik SLTA Kota Malang, pendidik sebagai role model yang ideal bagi peserta didik, selain itu sebagai pihak yang langsung bertatap muka dengan peserta didik, senantiasa menyajikan berbagai inovasi metode pengajaran, salah satunya dengan mencoba bertatap muka melalui media sosial bahkan hingga memberikan tugas, sehingga diharapkan peserta didik tidak merasa bosan dengan metode pembelajaran yang disajikan. Hal yang tak kalah penting lainnya, bahwa seorang pendidik harus menjadi bagian dari kontrol sosial (moral dan etika) dari peserta didik ketika proses penggunaan media sosial.
DAFTAR RUJUKAN
APJII. (2015). Profil Pengguna Internet Indonesia. Jakarta.
Blazer, C. (2012). Social Networking in Schools: Benefits and Risk; Review of the Research; Policy Considerations;
and Current Practices. Research Services, 1109, 1–23.
Gok, T. (2016). The Effects of Social Networking Sites on Students’ Studying and Habits. International Journal of Research in Education and Science, 2(1), 85–93.
Gorder, L. (2008). A Study of Teacher Perceptions of Instructional Technology Integration in the Classroom. The Delta Pi Epsilon Journal Spring/Summer, L(2), 63–76.
Kietzmann, J. H., Hermkens, K., McCarthy, I. P., & Silvestre, B. S. (2011). Social media? Get Serious!
Understanding the Functional Building Blocks of Social Media. Business Horizons, 54(3), 241–251. https://
doi.org/10.1016/j.bushor.2011.01.005
Kline, R. . (2011). Principles and Practice of Structural Equation Modeling (3rd ed.). New York: The Guilford Press.
Mourlam, D. (2014). Social Media and Education: Perception and Need for Support. I-Manager’s Journal on School Educational Technology, 9(3), 23–28.
Robbins, S. ., Bergman, R., Stagg, I., & Coulter, M. (2006). Management (4th ed.). Melbourne: Pearson Education Australia.
Robbins, S. ., & Judge, T. . (2015). Organizational Behavior (16th ed.; R. Saraswati & F. Sirait, eds.). Jakarta:
Penerbit Salemba Empat.
Rogers, E. . (1983). Diffusion of Innovations (3rd ed.). New York: The Free Press.
Rogers, E. ., & Shoemaker, F. . (1971). Communication of Innovations: A Cross-Cultural Approach. New York:
The Free Press.
Sacks, M. A., & Graves, N. (2012). How Many “Friends” Do You Need? Teaching Students How to Network Using Social Media. Business Communication Quarterly, 75(1), 80–88. https://doi.org/10.1177/1080569911433326 Setyadin, B. (2005). Modul IV: Desain dan Metode Penelitian Kuantitatif. Malang: Lembaga Penelitian Universitas
Negeri Malang.
Sonhadji, A. (2013). Manusia, Teknologi, dan Pendidikan Menuju Peradaban Baru. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
Sugiarto, Siagian, D., Sunaryanto, L. ., & Oetomo, D. (2013). Teknik Sampling. Jakarta: PT. Sun.
Warner, A., Eames, C., & Irving, R. (2014). Using Social Media to Reinforce Environmental Learning and Action- Taking for School Students. International Electronic Journal of Environmental Education, 4(2), 83–96.
Yeo, M. M. . (2014). Social Media and Social Networking Applications for Teaching and Learning. European Journal of Science and Mathematics Education, 2(1), 53–62.