Nama : Rizky Agustina Rahmawati
NIM : 202131009
Kelas : HPI 7A
Mata Kuliah : Hukum Kejahatan Domestik
1. Penegakan Hukum dalam posisi anak sebagai korban tindak pidana dalam rumah tangga
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 20 tentang perlindungan anak, bahwa yang berkewajiban dan bertanggung-jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Anak yang menjadi korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus modal sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
Korban (victims) menurut Muladi adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masingmasing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.1Terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak ini hendaknya perlu dipahami begitu banyak faktor yang memicu terjadinya kekerasan pada anak ini, contohnya tidak adanya kontrol sosial pada pelaku kekerasan pada anak meskipun pelaku merupakan orang tua atau kerabat dekat sekalipun, hubungan antara anak dan orang tua dianggap sebagai suatu bidang hierarki dalam hal ini dimaksudkan ada batasan komunikasi karena anak dianggap mahluk kecil yang suaranya dianggap tidak penting untuk orang dewasa, hal terakhir adalah kemiskinan yang merupakan faktor dominan yang dianggap sebagai pusat masalah sehingga anak menjadi pelampiasan amarah, ketidakpuasaan, luapan kesedihan karena kemiskinan tersebut sehingga keke tertuju pada anak karena tidak dapat melakukan perlawanan.
C. De Rover menyatakan penegakan kejahatan merupakan tujuan mendasar dari penegakan hukum dan merupakan bidang kegiatan dengan nilai spesifik bagi hak- hak anak (termasuk didalamnya perempuan).2 Namun cara berfikir masyarakat yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga bukan sebagai tindak pidana yang
1 Muladi, 2005, HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, h. 108
2 C. De Rover, 2000, To Serve & To Protect, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, h.350.
melanggar kaidah hukum namun lebih merupakan masalah keluarga ataupun masalah perempuan saja membuat hal ini menjadi sepele di mata aparat hukum.
Peran aparat penegak hukum terkait anak yang bermasalah dengan hukum yang diimplementasikan pada UU No.23 Tahun 2002 pasal dapat disimpulkan:
a. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat,
b. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak,
c. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini, d. Penyediaan sarana dan prasarana khusus,
e. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, f. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum,
g. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga,
h. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi,
i. Perlindungan melalui upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga,
j. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, dan
k. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial, dan pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara
Peran aparat kepolisian berdasarkan UU PKDRT sebagai berikut ini:
a. Konsultasi hukum, yang mana korban diberi hak untuk sharring/konsultasi atas peristiwa hukum yang terjadi pada diri korban dengan advokat yang kemudian advokat dapat menarik kesimpulan atas peristiwa hukum tersebut lalu memberikan solusi yang tepat untuk korban,
b. Melakukan mediasi ataupun negoisasi diantara para pihak korban dan pelaku KDRT, dalam proses ini advokat menjadi pihak yang netral diantara pihak korban dan pelaku serta member masukan/nasehat untuk menemukan pemecahan masalah atas peristiwa hokum yang terjadi,
c. Mendampingi korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dalam sidang pengadilan, advokat pada proses ini diharuskan melakukan pendampingan dan pemantauan atas setiap tahapan proses hukum karena setiap perkembangan kasus harus dikawal dengan ketat. Hal ini sangat penting dan mempengaruhi alat bukti serta penjatuhan pidana terhadap pelaku.Yang dikhawatirkan ketika tidak ada pendampingan si korban yang mungkin tidak stabil emosinya karena kejadian hukum yang menimpa dirinya dan rasa ketakutan apabila memberikan kesaksian yang sebenarnya, si korban akan di intimidasi oleh pelaku sehingga si korban dalam kesaksiannya berbeli-belit maka dapat meringankan pelaku dalam penjatuhan pidana,
d. Advokat dalam hal pendampingan terhadap korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dalam sidang pengadilan harus melalui koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping dan pekerja social supaya informasi yang didapat lebih akurat.
Salah satu bentuk perlindungan hukum yang juga dirancang khusus untuk merespon kebutuhan korban kejahatan KDRT dan anggota keluarganya adalah penetapan yang berisi perintah perlindungan yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 28-38 UU No. 23 tahun 2004.
Ketua Pengadilan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan tersebut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat permohonan kecuali ada alasan yang patut (pasal 28). Permohonan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan
Langkah solusi antisipatif agar anak tidak menjadi korban adalah dengan terlebih dahulu menganggap permasalahan ini adalah suatu tindak pidana dan merupakan kejahatan yang serius, tentunya apabila hal itu sudah ada dalam pola pikir masyarakat akan serta merta membentuk prilaku untuk melindungi perempuan dan anak. Ini yang perlu mendapat langkah aktif dan berusaha menyingkap kejahatan ini sampai tuntas agar efek jera bagi pelaku itu ada dan menjadi preseden bagi oknum yang akan menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk memikirkan perbuatan itu.
2. Model sistem peradilan pidananya Dalam posisi anak sebagai pelaku tindak pidana
Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani proses pidana yang berdasarkan perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Hukum Pidana adalah keseluruhan peraturan yang isinya menunjukkan peristiwa pidana yang disertai dengan ancaman hukuman pada penyelenggaranya.Adapun unsurunsur dalam hukum pidana yang penting adalah : 1) Unsur subjektif : orang/pelaku, dimana pelaku tersebut harus memenuhi syarat :
a. Bertanggung jawab Dalam hukum pidana, ada orang yang hanya
“Bertanggung jawab sebagian” karena penyakit yang dideritanya, sehingga orang-orang tersebut hanya dapat bertanggung jawab sebagian saja, misalnya :Kliptomani (adalah seseorang yang mempunyai penyakit suka mencuri, dan ia tidak menyadari bahwa perbuatan tersebut dilarang dalam undang-undang. Tindakan kliptoman dilakukan sematamata karena penyakitnya, ia tidak dapat dipertanggungjawabkan atas pencurian yang dilakukan, tetapi ia hanya dimintai pertanggungjawaban bila membunuh, memperkosa atau tindakan lainnya).
b. Tidak ada alasan pemaaf. Seseorang yang melakukan tindak pidana namun karena alasan tertentu, maka perbuatan tersebut dapat dimaafkan, alasan- alasan tersebut antara lain :Gila, belum dewasa/belum cukup umur, di bawah pengampuan.Perbuatan seseorang yang memenuhi salah satu alas an tersebut, maka dapat dimaafkan.
Apabila anak melakukan tindak pidana karena ketidak cakapannya secara emosional tentu akan diperlakukan sama apabila melihat tindak pidana yang dilakukannya, namun apabila dalam konteks unsur tindak pidana pada alasan pemaaf, maka harus dipertimbangkan model atau bentuk bertanggungjawabnya anak atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Tindak pidana perlu dikenakan adalah “tindakan tata tertib “ yang dapat diberikan negara antara lain :
a. Tetap menjalani pidana dengan ketentuan pidananya adalah maksimal 1/3 pidana pokok yang diancamkan kepadanya.
b. Dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan Anak.
c. Dimasukan dalam panti sosial, panti rehabilitasi anak.
d. Dikembalikan kepada orang tua untuk dididik.
2) Unsur Objektif Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu yakni :
a. Memenuhi unsur-unsur dalam undangundang bahwa perbuatan tersebut merupakan yang dilarang oleh undangundang.
b. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
c. Tidak ada alasan pembenar, artinya walaupun suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku memenuhi unsur-unsur dalam undang-undang dan perbuatan tersebut melawan hukum, namun jika ada “alasan pembenar”, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana. Adapun yang termasuk alasan pembenar adalah perintah undang-undang/jabatan
Suatu perbuatan pidana atau tindak pidana hanya menunjuk pada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Orang yang melakukan tindak pidana dijatuhi pidana, sebagaimana diancamkan tergantung pada adanya kesalahan, sebab azas dalam pertanggungjawaban pidana ialah “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sir rea).
Seseorang dapat dipidana, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu perbuatan yang melawan hukum sebagai sebagai unsur perbuatan pidana dan perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai unsur kesalahan.
Kesalahan harus disertai alat bukti dengan keyakinan hakim terhadap seorang tertuduh di muka pengadilan. Moeljatno, menyatakan: bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu dia dapat dipidana.3 Dalam konteks inilah, anak akan tetap dipidana dengan model pemidanaan yang berbeda atas kesalahan yang dilakukan
3 Barda Nawawi Arif, 2010, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Peyusunan KUHP Baru, Kencana, Jakarta, hal. 80-81.