• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkembangan Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Pengiriman Barang di Indonesia

Sejarahnya lahirnya perlindungan Konsumen di Indonesia ditandai dengan disahkannya Undang-undangan Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999. Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut mulai berlaku efektif pada 20 April Tahun 2000, tepat setahun setelah tanggal pengesahan. Dengan adanya Undang- Undang Perlindungan Konsumen tersebut, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan menuju caveat venditor.11

Prinsip-Prinsip mengenai kedudukan konsumen dalam hubungan dengan pelaku usaha berdasarkan doktrin atau teori yang dikenal dalam perkembangan sejarah hukum perlindungan konsumen , antara lain :12

a. Let the buyer beware (caveat emptor)

Doktrin Let the buyer atau caveat emptor merupakan dasar dari lahirnya sengketa dibidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan perlindungan.

Prinsip ini mengandung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen tidak mendapat informasi yang memadai untuk

11 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2006, hlm 62

12 Ibid, hlm 61

(2)

18 menentukan pilihan terhadap barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan konsumen atau ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditwarkanya. Dengan demikian, apabila konsumen mengalami kerudian, maka pelaku usaha dapat berdalih bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri.

b. The due theory

Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk, baik barang maupun jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dalam memasarkan produknya, maka ia tidak dapat dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang membuktikan hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum privat di Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat, sesuai dengan pasal 1865 BW yang secara tegas menyatakan secara tegas bahwa barangsiapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan membuktikan adanya hak peristiwa tersebut.

(3)

19 c. The privity of contract

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka terjalin suatu hubungan kontaktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan. Dengan demikian konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1340 BW yang menyatakan tentang ruang lingkup berlakunya perjanjian hanyalah antara pihak- pihak yang membuat perjanjian saja.

Selanjutnya, menutrut Az Nasution definisi hukum konsumen ialah keseluruhan asas-asas dan kaidah kaidah hukum yang mengatur hubungan masalah anatara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan konsumen.13Selain itu, berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Pelindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen.

Penegakan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari Negara Indonesia, sebab Hukum sebagai tolak ukur dalam pembangunan nasional diharapkan mampu memberikan

13Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalan Hukum Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm 68.

(4)

20 kepercayaan terhadap masyarakat dalam melakukan pembaharuan secara menyeluruh di berbagai aspek, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Kaidah ini mengandung makna bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis dalam ketatanegaraan. Hal ini bertujuan agar hukum sebagai suatu sistem dapat berjalan dengan baik dan benar didalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, maka diperlukan institusi-institusi penegak hukum sebagai instrumen penggeraknya. Untuk mewujudkan suatu negara hukum tidak saja diperlukan norma-norma hukum atau peraturan perundang- undangan sebagai subtansi hukum, tetapi juga diperlukan lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan didukung oleh perilaku hukum masyarakat sebagai budaya hukum.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) Undang–Undang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain yang tidak untuk diperdagangkan, definisi lain dikemukakan oleh kotler sebagai berikut.14

consumers ar individuals and households for personal use, producers are individual and organizations buying for the purpose of producing”

14Ibid hlm 63

(5)

21 Konsumen adalah individu dan kaum rumah tangga yang melakukan pembelian untuk tujuan penggunaan personal, produsen adalah individu atau organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi.Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Penjelasan mengenai pasal tersebut menyebutkan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima ) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerinyah dalam arti materiil ataupun spiritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Selanjutnya apabila memperlihatkan subtansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen beserta penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia, kelima

(6)

22 asas yang terdapat dalam pasal tersebut, jika diperhatikan subtansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :15

a. Asas kemanfaatan yang ada didalmnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;

b. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan;

dan

c. Asas kepastian hukum;

Adapun tujuan perlindungan konsumen berdasarkan pasal 3 Undang- Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, perlindungan konsumen bertujuan :

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usahan mengenai pentingnya perlindungan konsuen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Keenam tujuan perlindungan konsumen berdasarkan pasal diatas dapat dikelompokan kedalam tiga tujuan hukum secara umum, yaitu:16

1. Tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan, yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen huruf c dan huruf e

2. Tujuan hukum untuk mendapatkan kemanfaatan, yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen huruf a, huruf b, termasuk huruf c, huruf d dan huruf f.

15 Ahmad miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm 26

16Ibid, hlm 95

(7)

23 3. Kepastian hukum, yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen huruf d.\

Sementara itu terdapat 8 (delapan ) hak yang secara ekplisit dituangkan pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan satu hak lain dirumuskan secara terbuka, hak-hak konsumen adalah :17

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan barang dan/atau jasa ;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak utnuk mendapatkan advokasi, perlindungan , dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau di layani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

17Shidarta, op.cit, hlm 21.

(8)

24 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainya.

Dengan demikian, rumusan hak-hak konsumen dari kerugian, baik di atas, secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 (tiga) hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:18

a. Hak yang dimaksud untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal maupun kerugian harta kekayaan;

b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;dan

c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patutu terhadap permasalahan yang dihadapi.

Pembahasan mengenai perlindungan konsumen tidak terlepas dari pihak lainnya yaitu pelaku usaha. Definisi pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 Angka (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa :

“Pelaku usaha adalah setia orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

18Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, hlm 46.

(9)

25 Pelaku usaha adalah istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang pada umumnya dikenal dengan istilah pengusaha. Secara umum pelaku usaha termasuk kelompok pengusaha, yaitu pelaku usaha, baik privat maupun publik, kelompok pelaku usaha tersebut terdiri dari:

a. Kalangan Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, pengelolahan investasi, usaha leasing, penyedia dana, dan lain sebagainya.

b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barnag dan/atau jasa dari barang-barang atau jasa-jasa lain.

Mereka dapat terdiri dari orang/atau badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/atau badan yang memproduksi sandang, orang/badan yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, jasa angkutan, perasuransian, perbankan, kesehatan, obat-obatan, dam lain sebagainya.

c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat.

Pada umumnya dalam hubungan antara pelaku usaha dan konsumen terdapat kesepakatan berupa perjanjian dengan syarat-syarat baku. Pelaku usaha telah mempersiapkan terlebih dahulu mengenai syarat-syarat yang harus disepakati oleh konsumen. Jenis perjanjian ini yang membuat konsumen tidak

(10)

26 dapat mengemukakan kehendaknya, konsumen seolah-olah terpojok dalam posisi harus sepakat atau tidak terhadap perjanjian tersebut.Pada kondisi ini biasanya timbul sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dismaping mengatur penyelesaian sengketa di peradilan umum juga mengatur penyelesaian sengketa alternatif yang dilakukan diluar pengadilan. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.Penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK merupakan badan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang mana mempunyai tugas dan wewenang tertentu berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Dengan demikian, perlindungan terhadap konsumen dapat diwujudkan melalui pembentukan dan atau penegakan peraturan perundang-undangan ataupun melalui keputusan-keputusan tata usaha negara, yang termasuk dalam ruang lingkup hukum publik. Selain itu pemerintah dapat mengembangkan pendidikan bagi konsumen dan penetapan secara intensif untuk mendorong perilaku yang diharapkan oleh pemerintah, dalam hal ini yang menyangkut perlindungan terhadap konsumen.

Ahmad Miru dalam bukunya yang berjudul Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Menyebutkan Bahwa :

Lambatnya perkembangan perlindungan konsumen di negara berkembang yang perkembangan industrinya baru pada tahap permulaan karena sikap

(11)

27 pemerintah pada umumnya masih melindungi kepentingan industri yang merupakan faktor yang esensial dalam pembangunan suatu negara. Akibat dari perlindungan kepentingan industry pada negara berkembangan termasuk Indonesia tersebut, maka ketentuan-ketentuan hukum yang bermaksud untuk memberikan perlindungan kepada konsumen atau anggota masyarakat kurang berfungsi karena tidak diterapkan secara ketat.

Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan sejak lama, hanya saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan tertentu yang dilakukan oleh pemerintah merupakan usaha untuk melindungi kepentingan konsumen.Hal ini dapat dibuktikan dengan dikeluarkan berbagai ketentuan perundang-undangan yang apabila dikaji, maka peratutan perundang-undangan tersebut sebenarnya memuat ketentuan yang memberikan perlindungan kepada konsumen, walaupun dalam konsideras peraturan perundang-perundangan tersebut tidak disebutkan untuk tujuan perlindungan konsumen.19

B. Tinjauan Tentang Informasi yang tidak Benar

Informasi merupakan kebutuhan. Tidak ada seorang pun yang tidak membuthkan informasi, apapun jenis pekerjaanya. Pelajar, mahasiswa, dosen, semua memerlukan informasi guna mendukung pekerjaanya sehari-hari. Setiap orang membutuhkan informasi yang akurat, relevan, cepat dan mudah didapat.Kebutuhan diartikan sebagai sesuatu yang harus dimiliki oleh seseorang yang harus dipenuhi. Ada banyak pengertian kebutuhan informasi yang dikemukakan para ahli, antara Lain :20

19Ahmad Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, Hlm 1.

20Http://www.pakarkomunikasi.com

(12)

28 a. Kultahu yang dikutip oleh ishak (2006:91) menyatakan bahwa kebutuhan informasi muncul akibat kesenjangan pengetahuan yang ada dalam diri seseorang dengan kebutuhan informasi yang diperlukan.

b. Menurut Krikelas yang dikutip oleh ishak (2006:91) mendefinisikan kebutuhan informasi sebagai berikut, “ when the current state of prossessed knowledge is less than needed.

Krikelas menyatakan bahwa kurang dari yang dibutuhkan, sehingga mendorong seseorang untuk mencari Informasi.

Jenis-jenis Informasi berdasarkan fungsi dan kegunaan, adalah informasi berdasarkan materi dan kegunaan informasi. Informasi jenis ini antara lain adalah:21

a. Informasi yang menambah pengetahuan.

b. Informasi yang mengajari pembaca (informasi edukatif) c. Informasi yang berdasarkan format penyajian Informasinya.

Sedangkan Informasi yang bertolak belakang dari Informasi yang dijelaskan di atas merupakan Informasi yang tidak relevan, tidak ada kepastian tapi dibuat seolah-olah benar.

21Ibid

(13)

29 C. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Kegiatan Pengiriman Barang

Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan pengirim.Dimana ekpeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang baik untuk pengirim, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar sejumlah provisi kepada ekspeditur.22

Berdasarkan perjanjian ekpedisi yang telah dikemukakan diatas, unsur- unsur dari suatu perjanjian ekpedisi yaitu :

1. Ada Pihak-pihak

Pihak-pihak dalam perjanjian ekpedisi adalah ekpeditur sebagai pihak yang mencarikan pengangkut dan pengirim sebagai pemilik barang;

2. Ada persetujuan dari pihak-pihak itu

Persetujuan dalam perjanjian ekpedisi adalah persetujuan untuk mencarikan pengangkut dalam rangka pengiriman barang;

3. Ada tujuan yang akan dicapai

Tujuan perjanjian ekpedisi bagi pengirim adalah barang yang dikirim selamat sampai tujuan. Sedangkan bagi ekpeditur adalah memperoleh keuntungan yang dibayar oleh pengirim agar perusahaannya dikenal oleh masyarakat luas;

22Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia/Hukum Pengangkutan, Djambatan : Jakarta, 1984 hlm 42

(14)

30 4. Ada prestasi yang dilaksanakan

Kewajiban ekpeditur adalah mencarikan pengangkut yang baik bagi pengirim dan melaksanakan segala urusan pengiriman barang. Sedangkan hak ekpeditur adalah menerima provisi dari pengirim. Kewajiban pengirim adalah membayar provisi kepada ekpeditur dan berhak mendapatkan angkutan yang baik untuk barang-barangnya. Sehingga pengirim tersebut berjalan lancar;

5. Ada bentuk tertentu, lisan maupun tulisan

Perjanjian ekpedisi tidak mengharuskan dilaksanakan tertulis, jadi dapat juga dilaksanakan secara lisan maupun tulisan berdasarkan kesepakatan pihak-pihak.

Perjanjian ekpedisi yang dibuat oleh ekpeditur dengan pengirim barang harus tertuang dalam bentuk lisan maupun tulisan dan ada syarat-syarat tertentu sebagai isi pelaksanaan perjanjian. Isi perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Pasal 1320 KUHpdt menentukan bahwa perjanjian dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu:

a. Sepakat mereka mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

(15)

31 Dan syarat yang pertama, dinamakan syarat syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif. Karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Oleh karena itu dalam suatu perjanjian harus memenuhi keempat syarat tersebut. Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Namun apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum.

Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam mengadakan suatu perjanjian, maka pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian bebas untuk menentukan syarat-syarat dan ketentuan sebagai isi perjanjian sejauh tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337 KUHpdt). Demikian halnya dengan perjanjian ekpedisi, pihak- pihak yang terkait dalam perjanjian mempunyai kemampuan yang bebas tersebut untuk mengadakan suatu perjanjian ekpedisi.

Adanya kesepakatan para pihak sebagai syarat pertama untuk sahnya perjanjian dianggap tidak sah jika perjanjian tersebut terjadi karena adanya paksaan atau pemerasan (dwang), kehilafan atau kekeliruan (dwaling), penipuan (bedrug).

Akibat hukum dari perbuatan itu adalah perjanjian tersebut dapat dimintai pembatalan oleh hakim. Jika pembatalan tidak dapat dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, sepanjang tidak dipungkiri oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu berlaku bagi pihak-pihak.

(16)

32 Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHpdt adalah kecakapan pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dalam hal ini berarti masing-masing pihak yang terkait dalam perjanjian harus menguasai pengetahuan dalam hal-hal yang diatur dalam perjanjian.

Dalam hal ini pihak yang terlibat yaitu Lion Parcel sebagai ekpeditur yang merupakan sebuah perusahaan berbadan hukum dan pengirim barang (baik perorangan maupun badan hukum) harus cakap dan telah sesuai dengan syarat kedua yaitu cakap hukum untuk mengadakan suatu perjanjian.

Akibat hukum dari ketidakcakapan tersebut atau ketidak wewenang pihak dalam membuat perjanjian yang telah dibuat, maka dapat dimintakan pembatalan oleh hakim. Artinya bahwa perjanjian tersebut tetap berlaku bagi pihak-pihak yang membuatnya apabila pembatalan tersebut tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan.

Untuk syarat ketiga sahnya suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kuhpdt yaitu suatu hal tertentu, artinya dalam suatu perjanjian terdapat hal-hal yang diperjanjikan atau hal biasa disebut sebagai objek perjanjian. Objek tersebut dapat berupa benda maupun suatu prestasi tertentu atau setidaknya dapat ditentukan, untuk menetapkan kewajiban dan hak kedua bela pihak apabila timbul perselisihan dalam melaksanakan perjanjian. Apabila syarat ini tidak dipenuhi dalam perjanjian maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum.

(17)

33 Syarat keempat untuk sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHpdt adalah suatu sebab yang halal.Suatu perjanjian haruslah mengenai hal-hal yang baik atau halal apabila dilaksanakan tidak bertentangan dengan kepentingan umum, dan kesusilaan. Maka dengan kata lain, hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjikan dalam perjanjian tersebut, baik isi maupun maksud dari tujuan perjanjian itu tidak bertentangan dengan norma-norma hukum yang berlaku.

Perjanjian adalah suatu peristiwa yang dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang tersebut berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang menimbulkan suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya.23 Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dimana suatu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.24

a) Pihak- Pihak yang terkait dalam Pengiriman Barang a. Pengirim

KUHD maupun KUHpdt tidak mengatur definisi pengirim secara umum .pengiirm adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan barang dana atas dasar itu berhak memperoleh pelayanan pengangkutan dari pengangkut.25Pengirim adalah orang yang mengirim; orang yang menyampaikan.26

23Subekti, pokok-pokok Hukum Perdata. Pt Inter Masa, Jakarta 2001 hlm 22

24 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia,Sumur Bandung, Jakarta1960, hlm 9

25AbdulKadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung Cet, II, 1990 hlm 78

26 AbdulKadir Muhammad, op.cit.hlm76

(18)

34 Pengirim dapat berstatus sebagai pemilik barang sendiri atau orang lain yang bertindak atas nama pemilik barang. Selain itu pengirim dapat berstatus sebagai penjual dalam perjanjian jual beli yang berkewajiban menyerahkan barang melalui jasa pengangkutan.

Pengirim dapat juga berstatus sebagai manusia pribadi, perusahaan perorangan atau sebagai perusahaan berbadan hukum atau bukan badan hukum.

Berdasarkan uraian di atas, pengirim adalah pemilik barang yang memberikan kuasa kepada ekspeditur untuk menyelenggarakan urusan pengiriman barang dan bertindak sebagai pemegang dokumen angkutan serta membayar biaya pengiriman kepada ekspeditu.

b. Ekpeditur

Ekspeditur adalah pengusaha yang menjalankan perusahaan persekutuan bada hukum dalam bidang usaha ekpedisi muatan barang.27Sebagai perwakilan dari pengirim atau penerima barang, ekspeditur mengurus berbagai macam dokumen yang diperlakukan guna memasukan atau mengeluarkan barang.

Ekpeditur adalah seorang perantara yang bersedia untuk mencarikan pengangkut yang baik sebagai pengirim.28 Ekpeditur adalah mereka yang berusaha menyelenggarakan angkutan orang lain atas nama sendiri atau tidak atas nama sendiri, bertanggung

27 Abdul Kadir Muhammad, op.cithlm 36-37.

28 Purwosutjipto, op.cit hlm 43

(19)

35 jawab atas pengiriman yang harus dilakukan sebaik mungkin dan segera dan atas mereka yang disuruhnya.29

c. Pengangkut

Pengangkut adalah badan Usaha Angkutan Udara, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Penerbangan, dan/atau badan usaha selain Badan Usaha Angkutan Udara yang memuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.30

Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang atau barang.31 Pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk mengangkut barang dan menerima bayaran dari pengirim. Pengangkut dapat melakukan pengiriman barang sendiri atau menunjuk pihak lain untuk mengangkut barang barang milik pengirim. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pengangkutan adalah perusahaan penerbangan yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugasnya sebagai pengangkutan barang.

d. Penerima Barang

29Tirtodiningrat. IkhtisarHukum Perdata dan Hukum Dagang, PT Pembangunan: Jakarta, 1984 hlm 33.

30Pasal 1 Angka (2) Peraturan Mentri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

31 AbdulKadir Muhammad, op.cit hlm 61.

(20)

36 Penerima barang adalah pihak yang dituju oleh pengirim barang, dapat berbentuk perusahaan maupun perorangan yang telah mengadakan perjanjian jual beli atau kepentingan lainnya.

Dalam KUHD tidak terdapat definisi secara umum mengenai penerima barang. Dilihat dari perjanjian ekpedisi, penerima barang adalah pihak yang tidak mengikatkan diri pada pengangkut, tetapi dapat saja telah mengadakan perjanjian dengan pengiriman barang.

Penerima adalah mereka yang memenuhi criteria sebagai berikut:32 a) Perusahaan atau perorangan yang memperoleh hak dari

pengiriman barang ;

b) Dibuktikan dengan penguasan dokumen angkutan;

c) Membayar tanpa membayar biaya angkutan.

Penerima adalah pihak yang dapat diketahui dari dokumen perjanjian. Selain itu, dari dokumen pengangkut juga dapat diketahui bahwa penerima adalah sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, penerima adalah sebagai pihak yang memperoleh kuasa (hak) untuk menerima barang yang dikirimkan kepadanya.

Dalam perkembangannya pelaku usaha memiliki hak dan kewajiban sendiri dalam kegiatan pengiriman barang :

1 Hak Pelaku Usaha

32AbdulKadir, op.cit.hlm 77

(21)

37 Berdasarkaan Pasal 7 UUPK pelaku usaha adalah :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdangangkan;

b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainya.

2 Kewajiban Pelaku Usaha

Berdasarkan Pasal 7 UUPK, kewajiban pelaku usaha adalah :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya ;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

(22)

38 d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberikompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Menurut Pasal 7 huruf b UUPK, pelaku usaha berkewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur serta member penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Timbulnya kewajiban ini disebabkan Karena informasi di samping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk, cacat informasi yang akan sangat merugikan konsumen. Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu.

(23)

39

Referensi

Dokumen terkait

The result of the study revealed two findings, namely: (1) the process and activities during the teaching and learning process during the pandemic in Aura Sukma Insani