Humaniora Digital untuk Warisan Budaya
HUMANIORA DIGITAL UNTUK WARISAN BUDAYA
Fadjar I. Thufail Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Humaniora Digital (DH) adalah konsep, pendekatan, dan metode yang sekarang banyak diterapkan dalam kajian dan pengelolaan warisan budaya.
Meskipun perspektif HD baru akhir-akhir ini muncul, model kerja HD sudah ada sejak 1960-1970an yang berkembang di kalangan peneliti linguistik dan sastra. Ketika perspektif awal HD lebih menekankan askpek tekstual, perkembangan teknologi grafis dan internet memungkinkan perspektif HD diterapkan juga untuk kajian dan pengelolaan material warisan budaya secara umum.
HD mengubah paradigma proses dan tujuan studi sosial-humaniora. Apabila sebelumnya studi sosial-humaniora bersifat individual dan terbatas, maka teknologi komputasi membuka kesempatan bagi disiplin sosial-humaniora untuk melakukan kajian yang lebih luas dengan melibatkan material dan media yang lebih beragam. Kajian sosial-humaniora tidak lagi hanya tentang teks, tetapi juga bisa melibatkan platform audio-visual lain. Selain itu, HD bisa dilihat sebagai kritik metode dan kritik kebudayaan, yaitu tentang akses terhadap pengetahuan dan pilihan interpretatif dalam proses alih wahana dari data non- digital menjadi data digital.
Di Indonesia, kerja HD masih dalam tahap sangat awal dan baru terbatas pada dokumentasi material warisan budaya dalam bentuk digital. Inisiatif dokumentasi ini belum dilengkapi dengan dimensi reflektif dalam usaha untuk menempatkan dokumentasi digital tersebut sebagai bagian dari proses penelitian. Dengan kata lain, perspektif HD di Indonesia bukan berangkat dari keperluan sebagai kajian sosial-humaniora, tetapi lebih berorientasi pada kebutuhan praktis mengumpulkan data dasar tentang keragaman jenis warisan budaya tangible dan intangible.
Kata Kunci: arkeologi, humaniora digital, warisan budaya
ABSTRACT
Digital Humanities (DH) is a conceptual framework, an approach, and a method that has shaped contemporary studies and management of cultural heritage.
The DH method started in the 1960s-70s among linguistic and literary studies scholars who applied DH perspective to carry out research on textual materials. The development of visual graphic and internet technologies have enabled the DH to be applied for the studies on cultural heritage materials.
DH has changed social science and humanities paradigm. When most social science and humanistic work remains as individual and limited projects, the DH approach uses computation to expand the social science and humanities work to involve more media platforms and reach a wider subject matters or audiences. The DH opens the social science and humanities research to diverse audio- visual forms, no longer limiting social science and humanities work to textual form.
In Indonesia, DH approach and method has not yet been applied in cultural heritage studies and management. Digitizing heritage is a new initiative that has just started in the last decade. However, the digitizing work has not gone beyond simply recording and documentation practice. In so doing, the digitizing initiative in Indonesia has not resorted to the DH’s most important contribution as a critical paradigm in heritage research.
Keywords: archaeology, Digital Humanities, heritage
PENDAHULUAN
Pemanfaatan teknologi komputer untuk pengelolaan warisan budaya di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1990-an ketika Direktorat Jendral Kebudayaan meluncurkan inisiatif pendaftaran dan pendokumentasian situs cagar budaya yang disimpan pada terminal komputer. Tentu saja pada saat itu pendokumentasian dan pembuatan pangkalan data masih dilakukan melalui terminal komputer terpisah dan media penyimpan berupa
hard disk
dan disket dengan kapasitas terbatas. Dirjen Kebudayaan mendistribuskan perangkat komputer ke daerah, dan setiap daerah diminta melakukan perekaman dan penyimpanan data cagar budaya di daerah masing-masing. Secara periodik, data dari masing-masing daerah tersebut diintegrasikan menjadi satu, dan disimpan di Dirjen Kebudayaan.Selain Dirjen Kebudayaan, lembaga penelitian arkeologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sejak awal 1990-an sudah memanfaatkan perangkat lunak pangkalan data (
database
) -- seperti DBase -- untuk mengolah dan melakukan analisis terhadap materi warisan budaya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Budaya (PMB) LIPI misalnya, bekerjasama dengan CNRS Perancis untuk mengolah naskah Hikayat Hang Tuah dengan menggunakan perangkat lunak untuk mengidentifikasi dan melakukan kodifikasi istilah-istilah kemaritiman yang ada di dalam hikayat tersebut.Pemanfaatan teknologi komputer dalam kajian dan pengelolaan warisan budaya di Indonesia sampai saat ini hampir seluruhnya terpusat pada aspek dokumentasi bangunan cagar budaya, artefak, dan pengetahuan tradisional.
Meskipun dokumentasi adalah salah satu tahapan penting dalam kajian dan pengelolaan warisan budaya, penerapan teknologi digital dalam konteks ini jauh lebih luas dari sekedar kepentingan dokumentasi. Tulisan ini akan membahas
Humaniora Digital untuk Warisan Budaya
perkembangan penggunaan teknologi digital untuk warisan budaya serta menawarkan beberapa kemungkinan penerapan dan mengkaji tantangan yang muncul dalam dinamika kajian dan pengelolaan warisan budaya di Indonesia.
Kerangka Dasar Humaniora Digital (
Digital Humanities
)Penggunaan teknologi komputer untuk membantu kajian humaniora pertama kali dilakukan secara terencana pada 1970-an untuk proyek kearsipan di Universitas Oxford (Burdick et al., 2012). Tetapi, penggunaan teknologi
punch card
untuk kodifikasi teksIndex Thomisticus
sudah dimulai pada 1950-an oleh Robert Busa, seorang pastor Jesuit. Setelah Busa, teknologi komputasi sering dipakai terutama dalam kajian linguistik dan pengelolaan koleksi literatur di perpustakaan.Sampai saat ini, para pakar masih memperbincangkan kapan sebenarnya HD ini bermula sebagai sebuah kajian dan metode kerja. Hanya saja, para pakar telah sepakat bahwa salah satu aspek terpenting HD adalah bukan sekedar penggunaan teknologi komputer atau metode komputasi dalam studi humaniora, tetapi perubahan filosofi dasar, cara berpikir, dan logika kerja dalam kajian humaniora dan ilmu sosial yang dipengaruhi oleh penerapan teknologi komputer tersebut. Cara berpikir yang diperkenalkan oleh perspektif HD tersebut merupakan terobosan besar pada paradigma berpikir yang umum dipakai dalam kajian humaniora klasik, yaitu kajian yang biasanya terfokus hanya pada aspek tekstual dan pada satu atau sedikit teks. HD mengatakan bahwa aspek visual, suara, dan kuantitatif juga merupakan bagian penting dalam studi humaniora dan selama ini sering dilupakan atau dianggap tidak relevan. HD juga mengemukakan bahwa studi humaniora klasik tidak mampu mencakup banyak teks dan sulit melakukan perbandingan antarteks dalam jumlah besar.
Studi korpus linguistik (
corpus linguistic
) yang dilakukan pada 1970-an merupakan salah satu usaha awal integrasi antara pendekatan komputasi dengan studi humaniora, khususnya kajian manuskrip dan sastra. Komputer diperlukan untuk kodifikasi kosa kata (vocabulary
), melihat atau menemukan hubungan antarkata dan antarkalimat dalam teks, serta dokumentasi yang nantinya akan bermanfaat untuk prosesindexing
satu teks atauindexing
komparatif berbagai teks.Burdick et al. (2012) mengemukakan tiga elemen dasar dalam kerja HD:
desain, komputasi, dan pengolahan. Ketiga elemen dasar ini yang membedakan HD dengan proses kerja dan penalaran dalam ilmu humaniora dan sosial klasik.
Berbeda dengan desain penelitian ilmu sosial dan humaniora pada umumnya, desain dalam HD tidak hanya sekedar prosedur untuk mendapatkan pengetahuan tetapi merupakan cara untuk merumuskan pengetahuan. Dengan kata lain, desain
dalam HD adalah konstruksi untuk memunculkan pertanyaan bukan sekedar prosedur untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan. Dalam proses penyusunan desain, HD sering memanfaatkan disiplin ilmu lain, terutama kajian media dan teknologi informatika. Oleh karena itu, desain riset dalam HD biasanya melibatkan unsur-unsur tidak hanya tekstual, tapi juga visual (grafis) dan kadang- kadang auditorial. Peta Geographic Information System (GIS) misalnya bisa dianggap sebagai elemen desain riset HD. Melalui peta GIS peneliti bisa melakukan analisis misalnya tentang persebaran kelompok etnis, situs cagar budaya, pergerakan komoditas seperti kopi atau berlian, perkembangan kota, struktur sosial di berbagai tingkat ruang, dan bahkan keterkaitan antara perdagangan dengan sistem perbudakan. Dengan melihat peta GIS, peneliti bisa melontarkan pertanyaan kritis misalnya tentang kaitan persebaran etnis dengan tingkat kriminalitas urban.
Desain yang ditampakkan secara visual ini membantu memunculkan pertanyaan penelitian.
Salah satu elemen dasar penting lain adalah komputasi, di sini didefinisikan secara umum dalam ranah teknologi komputer, bukan hanya terkait dengan aspek kuantifikasi. Dalam HD, komputasi adalah transformasi data dari non-digital atau analog menjadi data digital yang dasarnya adalah sistem biner (
binary
) karena data semacam ini yang bisa diolah oleh mesin komputer. Dengan kata lain, komputasi adalah praktik konversi data menjadi data digital, dan konversi tersebut dimungkinkan melalui perhitungan yang diwujudkan melalui serangkaian kode algoritma. Proses konversi itu bisa dilakukan dengan berbagai metode, dari yang paling sederhana yaitu pemindaian (scanning
) sampai yang paling rumit melibatkan algoritma kecerdasan buatan (artificial intelligence
).Elemen dasar ketiga adalah pengolahan (
processing
). Data yang sudah ditransformasi melalui proses komputasi dari non-digital ke digital harus diolah untuk bisa dipakai dalam analisa atau ditampilkan ke publik. Salah satu contoh yang banyak dilakukan dalam HD adalah pengolahan data digital melaluiplatform
daring (online
) berupa laman (website
) tematik misalnya tentang rute pelayaran perdagangan budak dari Afrika ke Amerika Latin, laman tentang seorang sastrawan dengan segala macam arsip yang terkait, atau laman pangkalan data (database
) daring dengan tema tertentu, seperti pangkalan data tentang lukisan kayu Jepang (ukiyo-e
) (https://www.dh- jac.net/db/nishikie/search_portal.php?lang=en) atau situs dan arsip yang terkait dengan jalur maritim di Asia (https://maritimeasiaheritage.cseas.kyoto-u.ac.jp/).Humaniora Digital untuk Warisan Budaya
Ketiga elemen di atas -- desain, komputasi, pengolahan -- adalah hal yang membedakan kerja HD dari kajian ilmu humaniora dan sosial biasa. Dua faktor penting yang menjadi pembeda adalah perkembangan kemampuan teknologi grafis komputer dan jaringan internet yang semakin luas. Pada awalnya, kerja HD tidak berbeda dengan analisis yang dilakukan oleh ilmu humaniora, yaitu keduanya berdasarkan pada teks. Hanya saja dengan bantuan komputer, jumlah teks yang dianalisis bisa jauh lebih besar dari analisis tekstual yang dilakukan secara manual.
Tetapi, kemajuan teknologi grafis membawa kerja HD ke tingkatan yang berbeda.
Beberapa fokus kajian, hubungan tematik antara beberapa fokus, cara analisis, dan hasil riset humaniora dan sosial sekarang bisa dibuat dan ditampilkan secara visual, pada awalnya dengan menggunakan teknologi CAD (
computer aided design
) atau sekarang ini dengan teknologi visualisasi 3D yang mulai populer dan lebih mudah diakses. Jaringan internet memungkinkan kerja HD dilakukan dengan cakupan yang jauh lebih luas, tidak terbatas pada satu lembaga atau lokasi penelitian tertentu saja. Selain itu, jaringan internet membuka akses lebih luas terhadap data, dan sebagai akibatnya desain kerja atau penelitian HD harus berhadapan dengan jumlah data yang meningkat dan tidak mungkin lagi dikelola oleh satu terminal komputer atau bahkan satu orang peneliti.Proses Kerja Humaniora Digital
Penggunaan kerangka HD sebagai salah satu perspektif kajian dan pengelolaan warisan budaya memerlukan pemahaman tentang alur dan metode kerja HD. Secara garis besar, ada empat tahapan utama metode kerja HD, yaitu digitasi, klasifikasi, deskripsi, dan pengelolaan metadata. Seperti telah dikemukakan di atas, salah satu elemen dasar HD adalah komputasi, yaitu transformasi dari data non-digital menjadi bentuk digital. Metode yang dipakai dalam proses ini disebut digitasi, yaitu perekaman dalam bentuk digital obyek yang menjadi fokus penelitian, bisa berupa buku, arsip, benda budaya, monumen, bahkan lanskap kota atau bagian kota. Setiap kerja atau analisis HD selalu bermula dari digitasi ini, dan proses ini akan menentukan kualitas hasil analisis. Digitasi yang dilakukan secara baik akan menghasilkan data digital yang baik. Sebaliknya, digitasi yang dilakukan secara serampangan akan menghasilkan data digital yang sulit untuk dikembangkan lebih jauh. Misalnya, data yang tidak lengkap tentang komunitas etnis di sebuah kota akan mempersulit pembuatan peta GIS tentang analisis persebaran kelompok sosial.
Data yang telah didigitasi perlu dikategorisasikan ke dalam beberapa jenis data digital, yaitu kategori visual dan numerik. Kategori data digital berbentuk visual -- seperti CAD, fotogrametri, pemindaian -- adalah komponen untuk analisis visual berupa modeling atau pemetaan. Sementara itu, kategori data bersifat numerik
diperlukan untuk analisis statistik yang kemudian bisa juga diintegrasikan dengan data visual misalnya untuk melihat persebaran variasi jenis tanaman secara regional.
Alur kerja HD berikutnya adalah deskripsi. Proses ini terkait erat dengan pembuatan dan pengelolaan metadata. Deskripsi ada dua macam, yaitu deskripsi substansi dan deskripsi semantik. Deskripsi substansi adalah dasar pengelompokan kategori, misalnya kategori visual fotogrametri (sering berupa data
point could
) akan berbeda dengan kategori visual berupa vektor tentang. Selain itu, datapoint cloud
untuk visualisasi mobil bisa dibedakan dari data untuk visualisasi candi.Kedua jenis data ini sama-sama berbentuk
data point
could fotogrametri tetapi substansinya berbeda. Deskripsi semantik adalah deskripsi yang menguraikan struktur kategori data. Struktur ini bisa berupa struktur fisik, seperti misalnya struktur bagian bangunan atau struktur pengelompokan flora dan fauna ke dalam spesies dan genus, tetapi bisa juga berupa struktur verbal seperti pengelompokan masyarakat ke dalam profesi guru, peneliti, atau pegawai negeri. Deskripsi semantik verbal ini menjadi unsur penting dalam analisis HD yang berkembang dari kajian tekstual semacam kajian sastra atau kajian arsip sejarah. Studicorpus linguistic
pada 1970an sudah menerapkan deskripsi semantik semacam ini dengan membagi kata- kata yang terdapat dalam teks menjadi beberapa kelompok kategori linguistik dan mencari pola kaitan di antara kata-kata itu. Deskripsi semantik juga menjadi dasar untuk pembuataan strukturdatabase
. Setelah struktur deskriptif terbentuk, maka langkah selanjutnya adalah memberi definisi terhadap bagian-bagian struktur tersebut. Dalam konsepdatabase digital
, definisi ini yang biasa disebut metadata.Metadata ini menjadi panduan untuk pengumpulan jenis data yang diperlukan dan akan dimasukkan ke dalam pangkalan data. Metadata tentang koleksi museum misalnya, akan mencakup jenis informasi tentang jenis koleksi, kronologi koleksi, bahan, asal-usul kepemilikan benda, dan lain sebagainya.
Empat tahapan metode kerja HD ini adalah dasar setiap aktivitas HD dari kerja analisis tematik sampai pembuatan pangkalan data umum atau kurasi terbatas.
Di Indonesia, pengelolaan warisan budaya masih belum banyak beranjak dari tahapan kerja yang paling dasar yaitu digitasi. Sebagian besar koleksi di museum belum dikonversi menjadi data digital. Demikian pula dengan artefak atau monumen, masih sangat sedikit yang sudah dipindai dan disimpan dalam bentuk data digital. Di antara berbagai obyek material warisan budaya tersebut, koleksi manuskrip adalah yang paling banyak sudah dilakukan proses digitasi. Meskipun demikian, data digital yang sudah tersedia belum dikelola secara analitis, baru disimpan dan sebagian ditampilkan di laman internet tanpa melalui proses klasifikasi, penataan struktur deskriptif, dan belum dilengkapi informasi metadata yang memadai. Dengan kata lain, proses digitasi yang sudah mulai dilakukan di Indonesia belum didesain sebagai proyek atau kegiatan HD, baru sebatas alih media dari manual atau analog ke digital.
Humaniora Digital untuk Warisan Budaya
Beberapa Persoalan Digitasi Warisan Budaya
Digitasi warisan budaya bukan sekedar mengalihkan material atau data warisan budaya dari non-digital ke bentuk digital. HD menawarkan cara pandang berbeda temtang nilai warisan budaya dan mempersoalkan kembali relasi antara manusia dengan materi warisan budaya. Dengan kata lain, teknologi komputasi bukan sekedar alat baru, tetapi merupakan cara mediasi baru antara materi warisan budaya, manusia pendukungnya, atau pihak yang memanfaatkan materi tersebut untuk kepentingan riset, kebijakan negara, atau bahkan kepentingan ekonomi.
Selain itu, riset HD juga mengubah relasi antardisiplin yang terlibat dalam satu kerja HD. Pembagian kerja harus jelas karena satu kegiatan atau proyek HD membutuhkan kolaborasi berdasarkan keahlian atau ketrampilan teknis yang dapat mencakup ranah tematik yang luas, dari ilmu komputer sampai ilmu sastra.
Kebutuhan kolaboratif ini mengubah paradigma kerja penelitian humaniora atau sosial yang biasanya bersandar pada satu individu peneliti (Edmond, 2016).
Persoalan paling mendasar dalam perubahan ke arah paradigma HD adalah mengubah pandangan bahwa kerja riset sosial humaniora itu hanya terbatas pada kepakaran satu orang dengan cakupan tema yang sempit. Sebaliknya, HD memerlukan kepakaran yang beragam, kepakaran yang belum tentu terkait secara langsung dengan tema yang dikerjakan. Misalnya, untuk mendesain sebuah portal tentang analisis karya- karya Goethe, kolaborasi yang dibentuk bukan hanya antara ahli Goethe atau sastra Jerman, tetapi juga melibatkan ahli
big data
dan ahlidatabase
komputer. Bahkan apabila seandainya tujuan akhir desain proyek HD itu adalah pangkalan data arsip tentang Goethe, maka perlu melibatkan juga ahli hukum. Selama ini, kajian sosial humaniora kebanyakan bersifat individualis, tetapi dengan paradigma HD yang menekankan pentingnya cakupan analisis dan kajian yang lebih luas dan dilakukan melalui berbagaiplatform
, maka kolaborasi adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam kerja HD. Di Indonesia, soal kolaborasi kerja ini masih menjadi ganjalan dalam kegiatan penelitian maupun kebijakan pengelolaan yang berkaitan dengan warisan budaya,tangible
maupunintangible
.Humaniora Digital seringkali dipandang sebagai kerja teknis. Tetapi, seperti sudah dikemukakan oleh para ahli HD (misalnya dalam Berry, 2012 ), HD juga bisa ditempatkan sebagai kritik kebudayaan. Salah satu perdebatan penting dalam HD adalah soal representasi. Apabila HD sekedar dilihat sebagai masalah teknis, maka transformasi dari bentuk non-digital ke digital semata-mata dilihat sebagai
“alih wahana” tanpa melibatkan pertanyaan yang lebih luas atau kritis. Padahal,
“alih wahana” tersebut memiliki implikasi yang luas secara konseptual maupun teknis. Apakah sebuah model digital 3D sebuah bangunan cagar budaya merupakan turunan representasi secara realitis material yang dibuat model? Apa sebenarnya yang disebut sebagai “
real
”, dan di mana pengaruh faktor teknis danmanusia untuk mendefinisikan sesuatu yang disebut “
real
” (nyata) tersebut?Pertanyaan yang sama juga dapat dikemukakan dalam konteks alih wahana data kultural non-digital menjadi bagian representasi aspek atau properti kultural misalnya dalam animasi atau gim (
game
) digital.Dalam konteks digitasi, atau alih wahana, ini persoalan kritis tentang teknologi tidak dapat dilepaskan dari persoalan kritis tentang dimensi kultural (dan bahkan psikologis dan kognitif). Salah satu masalah utama dalam proses digitasi adalah persoalan tentang “
black box
” teknologi, persoalan yang sudah banyak dibicarakan dalam kajian sains, teknologi, dan masyarakat (Science, Technology, and Society Studies
). Proses digitasi dalam kerja HD memerlukan keterlibatan keahlian komputer dan teknologi informasi. Di satu sisi, keahlian mereka sangat menunjang aspek teknis dalam kerja HD, tetapi pada sisi lain perlu diingat juga bahwa keahlian semacam itu tidak dimiliki oleh semua orang yang terlibat dalam kolaborasi HD. Hanya para ahli komputer dan teknologi yang mengetahui secara mendalam tentang soal algoritma, perangkat lunak, dan perangkat keras komputasi. Pengetahuan ini kemudian yang disebut “black box
”, dan menjadi pengetahuan yang sangat spesifik sehingga tidak semua kolaborator dalam riset HD memiliki akses terhadap jenis pengetahuan seperti ini. Sebagai akibatnya, proses konversi non-digital ke digital sangat bergantung pada algoritma atau proses teknologi yang dilakukan oleh ahli komputer yang menjadi kolaborator HD.Visualisasi 3D benda warisan budaya bisa dijadikan contoh bagus tentang
black box
teknologi ini. Ada setidaknya tiga tahapan digitasi untuk visualisasi 3D, yaitu transformasi dari data non-digital menjadi data digital, pengolahan melalui algoritma perangkat lunak visualisasi (sepertiMetashape
), dan proses visualisasi model 3D. Pada umumnya tiga tahapan ini dilakukan oleh seorang ahli, bisa arkeolog, arsitek, atau ahli komputer. Ketiga tahapan ini bisa juga dilakukan oleh beberapa ahli berbeda, misalnya fotografer melakukan perekaman fotogrametri, ahli komputer mengolah data melalui perangkat lunak, dan arkeolog bekerjasama dengan ahli komputer “menjahit” beberapa model visual menjadi satu model 3D bangunan cagar budaya yang terintegrasi. Persoalanblack box
teknologi muncul pada setiap tahapan kerja visualisasi tersebut. Ketrampilan teknis fotografi dengan spesialisasi khusus teknik fotogrametri diperlukan untuk pengambilan data foto, dan apabila diperlukan modifikasi algoritma perangkat lunak, maka pengetahuan teknis komputer diperlukan dalam tahapan pengolahan. Selain itu, ketrampilan teknis komputer juga diperlukan dalam proses akhir visualisasi untuk membuat model 3D. Oleh karena itu, persoalan black box teknologi ini memperlihatkan bahwa kerja HD seringkali bersifat elitis, dan ini ironisnya bertentangan dengan filosofi HD yang bertujuan membuka akses sebesar-besarnya terhadap materi cagar budaya.Humaniora Digital untuk Warisan Budaya
Apabila persoalan
black box
teknologi ini muncul dalam proses kerja HD, hal itu kemudian juga mempengaruhi akses publik terhadap hasil kerja atau riset HD.Ketika melihat dengan hasil kerja HD -- apakah itu berupa model 3D, peta GIS, atau laman topik khusus di internet -- publik dihadapkan pada produk yang sudah jadi tanpa mengetahui langkah-langkah teknis maupun proses interpretatif yang melatarbelakangi produk tersebut. Dengan kata lain, publik tidak mengetahui dimensi diskursif yang membentuk sebuah hasil kerja atau penelitian HD, dan hal ini memperkuat anggapan umum bahwa sebuah hasil HD, misalnya visualisasi, adalah representasi langsung dari realitas material yang didigitasi. Perspektif HD mendorong refleksi kritis terhadap proses kerja digitasi material budaya.
Leighton Evans dan Sian Rees mengatakan bahwa visualisasi digital bukan sekedar memindahkan obyek dari dunia nyata ke dunia cipta. Dengan demikian, visualisasi memiliki fungsi retoris dan tidak sekedar representatif (2012: 27).
Pandangan Evans dan Rees memperlihatkan bahwa visualisasi atau bentuk representasi digital adalah kerja kultural, bukan semata kerja teknis. Sebagai kerja kultural, ada beberapa pertimbangan kritis yang harus diperhatikan ketika melakukan analisis reflektif terhadap material digital tersebut.
Visualisasi dan simulasi digital seringkali merupakan penyempurnaan (
enhancement
) yang dimungkinkan oleh pengolahan data digital melalui algoritma tertentu (Turkle, 2009). Visualisasi dan simulasi seringkali ditujukan untuk memperoleh atau memperlihatkan efek tertentu yang meningkatkan pengalaman subyektif ketika berhadapan dengan materi visual tersebut. Contoh yang paling bagus dari enhancement dan pengalaman subyektif adalah visualisasi dan simulasi ekplorasi planet Mars. Data digital yang diperoleh dan dikirim dari wahana eksplorasi Rover di Mars setelah diproses melalui perangkat lunak di NASA menampilkan obyek representasi permukaan planet Mars yang memperkuat imajinasi seolah-olah para operator ekspedisi Rover di bumi mengalami pengalaman langsung berada di permukaan Mars. Digitasi yang dilakukan oleh wahana tak berawak Rover menciptakan pengalaman bersama antara teknologi (Rover) dengan operator atau penonton (Clancey, 2009). Pengalaman yang diciptakan melalui operasi algoritma digital itulah yang kemudian dianggap pengalaman nyata (real)
tentang permukaan Mars. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks visualisasi dan simulasi material (tangible
danintangible
) warisan budaya.Digitasi Borobudur Sebagai Kerja HD
Di bagian terakhir tulisan ini, secara singkat penulis akan membahas kegiatan digitasi Borobudur yang sedang penulis kerjakan untuk memberikan ilustrasi singkat tentang kerja HD dan beberapa kemungkinan refleksi kritis yang terkait. Kegiatan digitasi ini dilakukan oleh penulis sebagai bagian dari tim
peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN yang bekerjasama dengan Art Research Center, Ritsumeikan University (Kyoto) dan Balai Konservasi Borobudur. Tujuan kegiatan ini adalah merekam data digital seluruh candi Borobudur dan membuat tampilan visualisasi 3D dari data tersebut.
Sejak awal kerja digitasi ini sudah menghadapi persoalan
black box
teknologi. Sebagian besar data digital yang diproduksi melalui fotogrametri belum memenuhi standar kualitas data yang diperlukan untuk pengolahan modeling kualitas tinggi (high-quality modelling
) yang dilakukan di laboratorium komputasi Universitas Ritsumeikan. Sebagai akibatnya, ahli komputer Ritsumeikan harus menciptakan algoritma untuk meningkatkan kualitas data sehingga bisa ditampilkan sebagai visualisasi transparan.Black box
ini muncul ketika terjadi ketidakseimbangan keahlian yang menempatkan proses konstruksi algoritma di Ritsumeikan menjadi ranah yang tidak bisa diakses oleh ahli fotogrametri lapangan maupun anggota tim lain. Di sisi lain, keahlian komputer yang sangat spesifik ini dibutuhkan untuk kelancaran dan keberhasilan kegiatan digitasi candi. Dengan kata lain, keberadaanblack box
teknologi tidak dapat dihilangkan, tetapi perlu dilakukan refleksi kritis terhadap model visual yang dihasilkan oleh pengolahan komputasi tersebut.Persoalan reflekstif kedua yang muncul dalam kerja digitasi Borobudur ini adalah tentang
enhancement
. Salah satu tujuan digitasi ini adalah pembuatan model 3D Borobudur yang memperlihatkan struktur bukit yang menyangga bangunan candi. Namun peneliti dihadapkan pada kenyataan bahwa data detil bentuk bukit penyangga tersebut tidak tersedia secara memadai untuk rekonstruksi digital. Data yang ada hanya berupa laporan survey geomorfologi yang dilakukan pada saat candi dibongkar dan dipugar kembali pada awal tahun 1970an. Sementara itu, tidak mungkin lagi melakukan pengumpulan data secara lebih detil tentang bentuk dan struktur geomorfologi bukit penyangga itu tanpa membongkar bangunan candi.Menghadapi kenyataan ini, para ahli komputer Ritsumeikan terpaksa bekerja dengan data yang ada untuk membuat model digital bukit penyangga. Data yang tersedia diolah dengan menggunakan perangkat lunak CAD (Computer Aided Design) untuk memperkirakan bentuk penampang bukit tersebut yang kemudian diintegrasikan dengan hasil pindaian global keseluruhan candi untuk membuat model 3D transparan Candi Borobudur beserta bukit penyangganya.
Ilustrasi tentang model 3D bukit penyangga Candi Borobudur ini memperlihatkan bahwa proses visualisasi, yang menjadi bagian kerja HD, tidak dapat dilepaskan dari interpretasi, dalam hal ini interpretasi bentuk dan struktur geomorfologi. Dalam kasus pengelolaan warisan budaya lain, interpretasi semacam ini menjadi bagian tak terpisahkan dari proses rekonstruksi material budaya yang sebagian datanya sudah hilang, dan interpretasi bisa difokuskan pada tujuan untuk memperoleh kesan tertentu tentang material warisan budaya. Sebagai contoh,
Humaniora Digital untuk Warisan Budaya
rekonstruksi 3D bangunan tenda Kubilai Khan yang terletak di Xanadu dilakukan oleh tim peneliti National Geographic untuk menonjolkan kemegahan struktur bangunan seperti yang diceritakan dalam laporan perjalanan Marcopolo. Data yang ditonjolkan dalam visualisasi 3D tersebut adalah data yang mendukung kesan kemegahan, dan bukan data yang memperlihatkan detil ornamentasi yang mungkin ada pada bangunan tersebut. Dengan kata lain,
enhancement
adalah soal pilihan, dan pilihan adalah soal interpretasi yang memiliki konteks diskursif tertentu.Penutup
Tulisan ini membahas secara singkat tentang humaniora digital (HD), sebuah pendekatan baru dalam kajian dan konsep pengelolaan warisan budaya
tangible
maupunintangible
. Meskipun perspektif HD baru akhir-akhir ini diterapkan dalam ranah kajian dan pengelolaan warisan budaya, model kerja HD sudah ada sejak 1960- 1970an yang berkembang di kalangan peneliti linguistik dan sastra. Apabila perspektif awal HD tersebut menekankan askpek tekstual, perkembangan teknologi grafis dan internet memungkinkan perspektif HD diterapkan juga untuk kajian dan pengelolaan material warisan budaya secara umum.Kolaborasi antara pengetahuan teknologi komputasi dan pengetahuan sosial- humaniora membutuhkan perubahan paradigmatik tentang proses dan tujuan studi sosial-humaniora. Apabila sebelumnya studi sosial-humaniora bersifat individual dan terbatas, maka teknologi komputasi membuka kesempatan bagi disiplin sosial- humaniora untuk melakukan kajian yang lebih luas dengan melibatkan material dan media yang lebih beragam. Kajian sosial-humaniora tidak lagi hanya tentang teks, tetapi juga bisa melibatkan
platform
audio-visual lain.HD jauh lebih luas dari sekedar pemanfaatan teknologi komputer dalam studi sosial-humaniora. HD bisa dilihat sebagai kritik metode dan kritik kebudayaan. Pemanfaatan teknologi komputasi juga membuka berbagai persoalan reflektif, di antaranya adalah tentang
black-box
teknologi danenhancement
. Masih banyak lagi persoalan reflektif yang terkait dengan kerja HD, tetapi tulisan singkat ini hanya membicarakan dua hal tersebut. Persoalanblack box
memperlihatkan bahwa kerja HD bukan sekedar persoalan kolaborasi kepakaran, tetapi juga soal akses terhadap pengetahuan. Sementara itu, persoalanenhancement
memperlihatkan bahwa alih wahana bukan sekedar mengubah data non-digital menjadi data digital, tetapi juga soal pilihan-pilihan interpretatif.Di Indonesia, kerja HD masih dalam tahap sangat awal dan baru terbatas pada dokumentasi material warisan budaya dalam bentuk digital. Inisiatif
dokumentasi ini belum dilengkapi dengan dimensi reflektif dan usaha untuk menempatkan dokumentasi digital tersebut sebagai bagian dari proses penelitian.
Dengan kata lain, perspektif HD di Indonesia bukan berangkat dari keperluan sebagai kajian sosial-humaniora, tetapi lebih berorientasi pada kebutuhan praktis mengumpulkan data dasar tentang keragaman jenis warisan budaya
tangible
danintangible
.Daftar Pustaka
Berry, David M. (ed.) 2012. Understanding Digital Humanities. New York: Palgrave Macmillan.
Burdick, Anne, Johanna Drucker, Peter Lunenfeld, Todd Presner, dan Jeffrey Schnapp (eds.) 2012. Digital Humanities. Cambridge: MIT Press.
Clancey, William J. 2009. Becoming a Rover. Dalam Simulation and Its Discontents, oleh Sherry Turkle. Cambridge: MIT Press, hlm. 107-128.
Edmond, Jennifer. 2016. Collaboration and Infrastructure. Dalam A New Companion to Digital Humanities, editor Susan Schriebman, Ray Siemens, dan John Unsworth.
West Sussex: Willey Blackwell, hlm. 54-66.
Turkle, Sherry. 2009. Simulation and Its Discontents. Cambridge: MIT Press.