ISSN: 2088-8295 E-ISSN: 2685-9742 Dapat diakses pada : https://e-journal.umc.ac.id/index.php/JPS
IDE PEMIKIRAN MODERNISME SYEIKH MOHAMMAD ABDUH DALAM PEMBENTUKAN MUHAMMADIYAH
Moh. Suryadi Syarif 1, Abd. Rahman A. Ghani2, Jeanne Francoise3
1Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Jakarta, Indonesia
2Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Jakarta, Indonesia
3 Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Jakarta, Indonesia Email : [email protected] , [email protected] ,
[email protected] Abstract
Ontologically, Muhammadiyah is not only a foundation, but an idea of a modern Islamic movement and a respected Islamic community in Indonesia. Epistemologically, Muhammadiyah's modern Islamic thought is manifested in the field of education, by including the national curriculum. Then axiologically, Muhammadiyah not only educates Muslims, but also internalizes aspects of peace and progress for the entire Indonesian nation, so that a Muhammadiyah cadre is expected to become a form of peace itself. This article will describe in more depth Muhammadiyah as a modern educational institution. To analyze this, this paper uses Syeikh Muhammad Abduh's modern Islamic thinking and Muhammadiyah's unique values. The research was conducted using qualitative research methods through literature study. The research findings are about the relationship between Muhammad Abduh's ideas of Islamic modernism which influenced K.H. Ahmad Dahlan to form Muhammadiyah, and how these ideas will continue to be updated along with the times. This paper is expected to add to the wealth of insights about Muhammadiyah and can be a reference for further research for cadres of teachers and lecturers in the academic environment of Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA).
Keywords: Muhammadiyah; Indonesia; Pancasila; Uhamka; Abduh Abstrak
Secara ontologis, Muhammadiyah bukan hanya sebuah Yayasan, tetapi sebuah ide pergerakan Islam modern dan komunitas Islam yang dihormati di Indonesia. Secara epistemologis, ide pemikiran Islam modern Muhammadiyah terwujud dalam bidang pendidikan, dengan memasukkan kurikulum nasional.
Kemudian secara aksiologis, Muhammadiyah tidak hanya mencerdaskan umat Islam, tetapi juga menginternalisasi aspek-aspek perdamaian dan kemajuan bagi seluruh bangsa Indonesia, sehingga seorang kader Muhammadiyah diharapkan akan menjadi wujud dari perdamaian itu sendiri.
Artikrl ini akan mendeskripsikan secara lebih mendalam Muhammadiyah sebagai lembaga pendidikan yang modern. Untuk menganalisis hal tersebut, paper ini menggunakan pemikiran Islam modern Syeikh Muhammad Abduh dan nilai-nilai khas di dalam Muhammadiyah.Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui studi Pustaka. Temuan penelitian adalah tentang adanya kaitan ide-ide pemikiran modernisme Islam Muhammad Abduh yang mempengaruhi K.H. Ahmad Dahlan untuk membentuk Muhammadiyah, serta bagaimana ide-ide itu akan terus diperbaharui seiring perkembangan zaman. Paper ini diharapkan akan menambah khazanah wawasan tentang Muhammadiyah dan dapat menjadi referensi penelitian lebih lanjut bagi kader-kader guru dan dosen di lingkungan akademis Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA).
Kata Kunci: Muhammadiyah; Indonesia; Pancasila; Uhamka; Abduh
26
A. PENDAHULUAN
Dalam isu pemberitaan yang sedang viral tentang organisasi penggerak Kemdikbud usulan Mendikbud Nadiem Makariem, 2 (dua) Lembaga besar Islam di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah telah mengundurkan diri dari program tersebut, sebab menganggap Mendikbud bersikap ahistoris dan kriteria masyarakat yang lolos program tidak jelas. Terlebih Muhammadiyah sudah sejak lama menjalani fungsi-fungsi penggerakan pendidikan yang bernapaskan Islam, namun bercorak modern.
Salah satu lembaga pendidikan Islam yang bercorak modern itu adalah lembaga pendidikan Islam Muhammadiyah, Cikal bakal lembaga pendidikan Islam Muhammadiyah dimulai pada 1 Desember 1911, ketika Ahmad Dahlan mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Untuk mengukuhkan gerakan Ahmad Dahlan di bidang pendidikan Islam ini, kemudian mendirikan sebuah organisasi gerakan sosial keagamaan di Yogyakarta pada 1912 yang kemudian dikenal dengan nama Muhammadiyah (Nadlifah, 2016, p.141- 142).
Tanwir Muhammadiyah di Bandung tahun 2012, telah diputuskan mengenai “Kristalisasi Ideologi dan Khittah Muhammadiyah”, yang salah satu keputusannya menyebutkan bahwa ideologi Muhammadiyah ialah “ideologi Islam yang berkemajuan yang memandang Islam sebagai Dîn al-H}adârah.
Ideologi berkemajuan ini ditandai dengan beberapa karakter, yaitu tajdîd dalam rangka pembaruan kembali kepada al-Qur’ân dan Sunnah dengan mengembangkan ijtihâd; bercorak reformis-modernis dengan sifat wasat}îyah (tengah, moderat) untuk membedakannya dari ideologi-ideologi lain yang serba ekstrem; mengedepankan sikap prokemajuan dan anti-kejumudan, properdamaian dan anti-kekerasan, prokeadilan dan anti-penindasan, prokesamaan dan anti-dikriminasi; serta menjunjung tinggi nilai-nilai utama yang autentik sesuai jiwa ajaran Islam (Suharto, 2014, p.98).
Dalam bidang pendidikan, hingga tahun 2010 Muhammadiyah memiliki 4.623 Taman Kanak-Kanak; 6.723 Pendidikan Anak Usia Dini; 15 Sekolah Luar Biasa; 1.137 Sekolah Dasar; 1.079 Madrasah Ibtidaiyah; 347 Madrasah Diniyah; 1.178 Sekolah Menengah
28 Pertama; 507 Madrasah Tsanawiyah; 158 Madrasah Aliyah; 589 Sekolah Menengah Atas; 396 Sekolah Menengah Kejuruan; 7 Muallimin/Muallimat; 180 Pondok Pesantren; serta 3 Sekolah Menengah Farmasi. Dalam bidang pendidikan tinggi, sampai tahun 2010, Muhammadiyah memiliki 40 Universitas, 93 Sekolah Tinggi, 32 Akademi, dan 7 Politeknik (Suharto, 2014, p.99).
Pada situasi Pandemi Covid-19 ini, Muhammadiyah menunda Muktamarnya yang ke-48 yang tadinya akan direncanakan 1-5 Juli 2020. Hal ini menandakan bahwa pada pimpinan Muhammadiyah mengikuti anjuran pemerintah pusat untuk tidak berkumpul apabila kegiatan bisa ditunda atau bahkan ditiadakan dan diganti via Zoom meeting atau Google Meet.
Sesuai dengan Teori utama yang melandasi pemikiran utama tulisan ini, yakni Modernisme Islam Syeikh Muhammad Abduh, agaknya apabila Abduh masih hidup di Era Baru ini, maka beliau akan memuji keputusan pimpinan Muhammadiyah tersebut. Pun sosok pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan yang juga terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Moh. Abduh, maka
akan setuju dengan keputusan mufakat pimpinan Muhammadiyah itu.
Hal itu adalah sebagian asumsi bahwa pemikiran-pemikiran Modernisme Islam Moh. Abduh amat mempengaruhi K.H. Ahmad Dahlan dalam membingkai konsep awal Muhammadiyah. Oleh sebab itu penelitian ini menjadi penting, sebab menjadi tulisan pertama yang akan memetakan dengan lebih jelas ide-ide Modernisme Islam seperti apa yang dibawa oleh K. H. Ahmad Dahlan dalam pembentukan Muhammadiyah.
Tulisan ini diharapkan memberikan kontribusi kepada kader-kader pimpinan Muhammadiyah, para pimpinan, dosen, dan mahasiswa Uhamka agar lebih mendekatkan fokus penelitiannya dengan ide-ide pembaharuan Islam dalam bidang pendidikan, sehingga Muhammadiyah dapat kembali kepada tujuan awalnya didirikan sebagai Lembaga pendidikan yang modern dan tidak terpengaruh dengan gonta-gantinya kebijakan dari Kemdikbud tentang pengembangan pendidikan yang modern itu sendiri.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian paper ini menggunakan metode penelitian analitis, bersifat deskriptif melalui pendekatan historiografi
dengan menggunakan teori pemikiran Islam modern Syeikh Muhammad Abduh dan nilai-nilai khas Muhammadiyah.
Subjek penelitian ini adalah buku- buku tentang Moh. Abduh dan objek penelitian adalah pemikiran Islam Modern Moh. Abduh yang mempengaruhi K.H.
Ahmad Dahlan dalam membentuk Muhammadiyah. Instrumen penelitian berupa non-tes dengan pencatatan dokumen dari literatur yang telah dipilih dan mendukung ide penelitian. Kemudian validasi data menggunakan sumber tulisan- tulisan Moh. Abduh yang ditulis langsung oleh Moh. Abduh.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kuswandi (2019, p.186) menjelaskan bahwa terdapat 2 (dua) orang pemikir Islam, yakni Ibn Miskawaih dan Al- Ghazali yang memengaruhi awal-muasal corak pemikiran K.H. Ahmad Dahlan ketika membentuk organisasi Muhammadiyah, penulis lebih sepakat pada penelitian Fanani (2019, p.95) bahwa KH. Ahmad Dahlan terpengaruh oleh pemikiran Modernisme Islam Syeikh Muhammad Abduh (selain Rashid Ridha).
3 dari 10 Kitab yang mempengaruhi KH.
Ahmad Dahlan adalah kitab-kitab karangan
Syeikh Muhammad Abduh
(Komaruzaman, 2017, p.27-28). Fanani (2019, p.115) mengatakan:
“The influence of ‘Abduh's ideas on Ahmad Dahlan and Muhammadiyah is manifestedin the tajdid (renewal) notion that become one of two basic visions of Muhammadiyah:purification and dynamization of Islam.”
Dikatakan pula di dalam penelitian Komaruzaman (2017, p.100) bahwa salah satu pengaruh pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh di Indonesia adalah pada organisasi Muhamadiyah. Munculnya gagasan K.H. Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhamadiyah didorong oleh dua sebab. Pertama, karena situasi politik Belanda. Kedua, karena keadaan umat Islam di sekitar kampungnya ketika itu sangat rusak dan dalam menjalankan praktik keaagamaan sudah sangat jauh menyeleweng dari ajaran yang sebenarnya.
Di samping kondisi tersebut, dorongan lainnya adalah pada saat melaksankan ibadah haji pada tahun 1890, di Makkah ia berguru pada syeikh Ahmad Khatib. Melalui gurunya ia mulai mengenal tulisan muhamad Abduh berupa tafsir al Manar, bahkan diantara ilmu-ilmu tersebut yang digemari dan menarik perhatian Ahmad Dahlan adalah tafisr al Manar.
30 Majalah al Manar ternyata cukup berperan bagi perjuangan Ahmad Dahlan, melalui majalah-majalah tersbut pikiran- pikiran Muhammad Abduh cukup berpengaruh membentuk semangat perjuangnnya. Sekalipun majalah itu tidak banyak beredar di Indonesia. Lebih jelas lagi dikatakan oleh H. Jarnawi Hadikusumo bawa dengan peranara K.H.
Bakir, seorang famili Amad Dahlan, ia dapat bertemu dan berkenalan dengan Rasyid Ridha tokoh pembaharu Mesir yang juga murid Mihammad Abduh yang kebetulan berada di Tanah Suci. Keduanya sempat bertukar pikiran hingga cita-cita pembaru meresap dalam sanubarinya (op.cit.).
Penelitian Qudsi (206, p.23) juga mengatakan bahwa dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, pemikiran pendidikan Muhammad Abduh nampaknya membidani lahirnya Muhammadiyah dengan format pendidikan Islam-nya yang khas. Lahirnya Muhammadiyah merupakan akibat langsung dan logis dari gerakan pembaharuan Muhammad Abduh.
Bahkan penghormatan Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah kepada Muhammad Abduh adalah dengan memasukkan karya-karya Abduh ke dalam kurikulum sekolah-sekolah
Muhammadiyah, khususnya, Risalah Tauhid-nya yang diterjemahkan oleh murid Ahmad Dahlan dan digunakan di sekolah Muhammadiyah sebagai sebuah rujukan penting dalam teologi dan tafsir al- Quran.
Lebih lanjut dikatakan di dalam penelitian Amirudin (2018, p.172, 177, 178) bahwa:
“KH Ahmad Dahlan interpretation on the progressive letter of Ali-Imran verse 104 is the basis of modern theology as the solver of the problem of human life and contains the values of transidental humanist education….The common paradigm used by Muslims is taqlid which is an absolute passive acceptance.KH Ahmad Dahlan himself is powerless structurally, but with his intelligence is able to infiltrate into culture and power. His endeavor in fortifying Muslims from the influence of the influence of foreign ideologies and Christian missions confronts him in rational ways….In delivering or teaching KH Ahmad Dahlan is unique.
KH Ahmad Dahlan often convey religion (tabligh) by visiting his students "well looking for buckets ."Differences with Kyai in his day who lived at home and students come and learn to him. KH Ahmad Dahlan with this has positioned the students with
respect, and eliminate the sacred Kyai in his day. The method used by KH Ahmad Dahlan allows for a more humane education, because students no longer regard teachers as a thing to be afraid of but teachers are their cool learners. It can be said that the education built by KH Ahmad Dahlan is one of the educational goals that we are currently familiar with the term contextual teaching learning, or contextual learning that requires the continuity of a theory of real application in real life. Education is not confined to theory, resulting in stagnation in science. The purpose of education is to provide opportunities for humans to develop cognitive abilities and apply in life to meet the needs of his life.”
Dari penelitian-penelitian tersebut, penulis semakin meyakini bahwa KH.
Ahmad Dahlan lebih banyak terpengaruh oleh pemikiran Islam modern Syeikh Muhammad Abduh. Itulah mengapa KH.
Ahmad Dahlan membentuk pendidikan Islam modern terlebih dahulu, baru kemudian organisasi Islam. Artinya adalah Muhammadiyah sejatinya berawal dari intelektualitas Islam, yang agak berbeda dengan NU yang sejak awal pendiriannya
adalah organisasi Islam dahulu, baru kemudian Pesantren (Ali, 2016, p.43).
Di dalam proses Muhammadiyah menjadi organisasi Islam, K.H. Ahmad Dahlan banyak dibantu oleh organisasi Budi Utomo, sebab K.H. Ahmad Dahlan merupakan anggota organisasi tersebut terlebih dahulu sebelum membuka pesantren Muhammadiyah. Bahkan pada Maret 1917, Kongres Budi Utomo berlangsung di kediaman K.H. Ahmad Dahlan.
Gambar 1 : Kongres Muhammadiyah Maret 1917
Ketika membentuk Pesantren, KH.
Ahmad Dahlan mengerti betul bahwa Pesantren seketika redup apabila kiai pesantren-nya meninggal dunia.
KH.Ahmad Dahlan sendiri mengatakan kepada para santrinya: “Jadilah ulama yang berkemajuan”. Oleh sebab itu KH. Ahmad Dahlan selalu mengajarkan tentang konsep modern dalam Islam, sehingga pendidikan Muhammadiyah berlandaskan konsep modern yang terus berkembang dan berdinamika, bukan lagi dipengaruhi oleh
32 ketokohan yang bersifat terbatas dan fana umurnya.
Namun K.H.Ahmad Dahlan terlihat kurang sistematis ketika membentuk Lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Menurut penelitian Fanani (2019, p.106- 107), K.H Ahmad Dahlan menjalankan 2 (dua) cara pendidikannya, yakni mengajarkan mata pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri dan memasukkan mata pelajaran matematika dan Bahasa Belanda di sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Pasca-Reformasi, Muhammadiyah seolah tidak terdengar betul. Kritik dari tokoh Muhammadiyah dan juga profesor sejarah Kuntowijoyo bahwa Muhammadiyah itu kering, tidak ada buahnya. Terdapat pula kritikan bahwa
“apa perbedaan antara sekolah Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah”
(Kuswandi, 2019, p.192).
Sedemikian hebatnya
Muhammadiyah dibentuk di tengah-tengah pergolakan zaman, kita pun mengenal sederet tokoh-tokoh Muhammadiyah hebat yang membela bangsa Indonesia sesuai dengan kemampuannya, seperti misalnya Pangeran Diponegoro yang memimpin perjuangan orang Jakarta melawan Belanda hingga wafatnya di Makasar, Prof.
Kuntowijoyo di bidang metode penelitian sejarah, dan Prof. Amin Abdullah di bidang penelitian pendidikan Islam modern.
Namun sayangnya pasca- Reformasi, teradapat pula tokoh-tokoh Muhammadiyah yang menjadi pelopor Gerakan yang tidak membela kepentingan seluruh bangsa Indonesia, tetapi hanya kepentingan umat Islam sebagai mayoritas.
Terlepas dari benar atau salah, banyak tokoh Muhammadiyah tergabung ke dalam Gerakan 212, padahal Gerakan 212 masih perlu dikritisi landasan utamanya apakah Pancasila.
Kemudian pendidikan agama Islam
termasuk Al Islam dan
Kemuhammadiyahan di perguruan Muhammadiyah yang selama ini diajarkan melalui pendidikan tinggi oleh sebagian kalangan dianggap belum berhasil dalam membentuk moral bangsa.
Kegagalan ini bisa kita lihat dari retaknya hubungan antara ummat Islam dan negara, harus kita sadari bahwa dari sekian persoalan bangsa sumbernya berada pada egoisme ummat Islam, tidak aneh jika dalam beberapa tahun terakhir ini muncul beragam teror yang mengatasnamakan agama.
Kemelut persoalan ini bisa kita lacak dalam pola pendidikan agama yang
kurang fokus, pendidikan agama ditujukan untuk menaklukan bukan membebaskan, sehingga yang terjadi pola syiar yang diterapkan bercorak uncivilized.
Patut disayangkan, Pendidikan Agama Islam belum menjadi sistem nilai yang terintegrasi ke dalam setiap ummat Islam. Pendidikan agama sering menjadi sebuah indoktrinasi yang tidak mengajarkan peserta didik untuk berpikir kritis (Baadilla, 2010, p.10-11).
SIMPULAN
Dari sekian banyak masalah di dalam tubuh internal Muhammadiyah, maupun permasalahan komunikasi politik, Muhammadiyah secara nasional perlu memiliki motivasi kembali untuk bisa menjadi ujung tombak pendidikan Islam modern di Indonesia.
Apabila kembali menyelami ke dalam pemikiran KH. Ahmad Dahlan bahwa pemikiran Syeikh Muhammad Abduh itu yang paling dianggap baik, maka dalam jangka pendek perlu ada kajian kembali pemikiran-pemikiran Syeikh Muhamamd Abduh, misalnya Muhammadiyah mengadakan Seminar Nasional Pemikiran Muhammad Abduh dengan mengundang tokoh-tokoh pembaharuan pendidikan Islam dari
seluruh dunia sebagai pembicara utama dan mengadakan Call For Papers bagi Dosen dan Mahasiswa. Saat ini baru ada satu penelitian tentang itu dari Saudara Arbiyah Lubis dengan judul penelitian Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Suatu Studi Perbandingan) (Karim, 2016).
Kemudian untuk jangka menengah, perlu ada pendefinisian kembali visi, misi, dan tujuan pendidikan Muhammidiyah, bahkan dalam 5 tahun ke depan para dosen dan kader guru di Pascasarjana Uhamka perlu melihat kembali kurikulum pendidikan yang ada di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Hal ini mungkin dilakukan di dalam bagian Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang masih ditunda akibat Pandemi Covid-19.
Untuk jangka Panjang, seperti KH.
Ahmad Dahlan pernah harapkan dan serukan bahwa guru Muhammadiyah adalah guru masa depan. KH. Ahmad Dahlan sebagai seorang visioner dan pahlawan nasional, tentu tidak melupakan akar budaya dan falsafah bangsa Indonesia yang telah disepakati yakni Pancasila, sehingga walaupun visi, misi, dan tujuan organisasi dan pendidikan Muhammadiyah kental dengan Islam, pergerakan politik kader Muhammadiyah haruslah tetap
34 berlandaskan Pancasila, bukan ideologi politik lainnya.
Baldatun taoyyibatun warabbun ghofur.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Nurlaelah. (2014). Muhammad Abduh: Konsep Rasionalisme Dalam Islam, Jurnal Dakwah Tabligh, Vol.
15, No. 1, Juni 2014 : 51 – 68.
Abror, Robby H. (2012). Rethinking Muhammadiyah, Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 6 No. 19 | Edisi Januari-Juni 2012.
Ali, Mohamad. (2016). Membedah Tujuan Pendidikan Muhammadiyah, Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol.
17, No. 1, Juni 2016: 43-56.
Amirudin, Noor. (2018). Humanism Education of Kiyai Haji Ahmad Dahlan (Tracing the Early Muhammadiyah Period of Education and Its Implications), Journal of Social Science Studies, ISSN 2329- 9150 2018, Vol. 5, No. 2.
Baadilla, Irwan. (2010). Pengembangan Sistemik Program Pendidikan Al- Islam Dan Kemuhammadiyahan Berdasarkan Misi Muhammadiyah, Stilistika, Jurnal Pendidikan dan Bahasa Indonesia, Tahun I, No.1, Juni 2010.
Fanani, Ahwan. (2019). Ahmad Dahlan’s Perspective on the Model of Modern Integration of Islamic Education, Nadwa : Jurnal Pendidikan Islam Vol. 13, No.1 (2019).
Karim, A. (2016). Pembaharuan pendidikan Islam multikulturalis.
Jurnal Pendidikan Agama Islam - Ta’lim, 14(1), 19–35. Retrieved from http://jurnal.upi.edu/taklim/view/388 0/pembaharuan-pendidikan-islam- multikulturalis-.htm.
Khozin, Moh. (2015). Muhammad Abduh dan Pemikiran-Pemikirannya, Sastranesia, Vol.3 No.3, 2015.
Komaruzaman, (2017). Studi Pemikiran
Muhammad Abduh Dan
Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Di Indonesia, Tarbawi, Vol. 3. No.
01, 2017, hal.82-101.
Kuswandi, Iwan. (2019). Akhlaq Education Conception of ibn Miskawaih and al- Ghazali and Its Relevancy to The Philosophy of Muhammadiyah Pesantren, Proceeding of International Conference on Islamic Education: Challenges in Technology and Literacy Faculty of Education and Teacher Training, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang November 6-7, 2019, P-
ISSN: 2477-3638, E-ISSN: 2613- 9804, Volume: 4.
Mulia, Prof. Dr. Siti Musdah. (2019).
Ensiklopedia Muslimah.
Muqoyyidin, Andik Wahyun. (2013).
Pembaruan Pendidikan Islam Menurut Muhammad Abduh.
Nadlifah. (2016). Muhammadiyah Dalam Bingkai Pendidikan Humanis (Tinjauan Psikologi Humanistik), Al- Bidayah: Jurnal Pendidikan Dasar Islam Volume 8, Nomor 2, Desember 2016; ISSN : 2085-0034.
Nuris el-Ali, Anwar. (2016). Ahmad Dahlan dan Pesantren: Gerakan Pembaharuan Pendidikan, Dakwah, dan Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia, Dirosat Journal of Islamic Studies, Vol.1 No.2, Juli-Desember 2016.
Pohan, Indra Satia. (2019). Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh, Wahana Inovasi Vol.8, No.1, Januari-Juni 2019.
Qudsi, Syaifuddin. (2016). Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh dan Proses Modernisasi Pesantren di Indonesia, Dirosat Journal of Islamic Studies, Vol.1 No.1, Januari-Juni 2016.
Setiawan, Bahar Agus. (2019). Manhaj Tarjih Dan Tajdid : Asas Pengembangan Pemikiran dalam Muhammadiyah, Tarlim Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.
2 No. 1, Maret 2019.
Suharto, Toto. (2014). Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU Sebagai Potret Pendidikan Islam Moderat di Indonesia, ISLAMICA, Volume 9, Nomor 1, September 2014.
Sulistyono, Tabah. (2016). Filsafat Manusia Menurut Muhammadiyah, Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol.
17, No. 2, Desember 2016: 50-58.
Terebessy, Leslie. Muhammad Abduh and the Reform of Muslim Education.