• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identification of Landslide-Prone Areas in Sanggau Regency, West Kalimantan using GIS and Resistivity Method

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Identification of Landslide-Prone Areas in Sanggau Regency, West Kalimantan using GIS and Resistivity Method"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1819-796X (p-ISSN); 2541-1713 (e-ISSN)

1

Identifikasi Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dengan Metode SIG dan Geolistrik

Radhitya Perdhana*), Nurhasanah, Riza Adriat Jurusan Fisika, Universitas Tanjungpura

Email korespodensi : *)radhitya.perdhana@physics.untan.ac.id DOI: https://doi.org/10.20527/flux.v20i1.12449

Submitted: 10 Januari 2022; Accepted: 14 Februari 2023

ABSTRAK− Cuaca di Indonesia saat ini sangat terpengaruh oleh perubahan iklim. Hal ini dibuktikan dengan kejadian cuaca ekstrem di awal tahun 2020 yang diprediksi akan semakin sering di Indonesia. Cuaca buruk berupa curah hujan yang tinggi berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. Untuk mengantisipasi terjadinya longsor yang berpotensi mengganggu pembangunan daerah, maka penelitian untuk memetakan daerah rawan longsor di Provinsi Kalimantan Barat penting untuk dilakukan.

Hal ini sejalan dengan rencana riset strategis UNTAN untuk berkontribusi dalam penanggulangan bencana dan perubahan iklim. Penelitian ini menggabungkan metode overlay dan pengukuran dengan metode geolistrik. Metode overlay digunakan sebagai metode untuk memetakan kerawanan longsor berdasarkan perhitungan skoring dari parameter lahan. Pemetaan tersebut diharapkan dapat menghasilkan peta zona rawan longsor yang selanjutnya dapat dipelajari lebih lanjut. Pengkajian potensi longsor melalui analisis bidang gelincir menggunakan metode geolistrik resistivitas. Dari pemetaan dan pengamatan langsung terbukti bahwa nilai kerentanan longsor yang tinggi berkorelasi dengan kejadian longsor di Sabang Merah, Sanggau. Berdasarkan pengukuran resistivitas ditemukan permukaan gelincir yang berpotensi longsor yang dihubungkan dengan kemiringan lapisan batuan di daerah tersebut.

KATA KUNCI: perubahan iklim; bencana hidrometeorologi; longsor; pemetaan; metode overlay; metode geolistrik.

ABSTRACT−Currently, the weather in Indonesia has been greatly affected by climate change. This is evidenced by extreme weather events in early 2020 which are predicted to occur more frequently in Indonesia.

Bad weather in the form of high rainfall will potentially cause hydrometeorological disasters such as floods and landslides. To anticipate the occurrence of landslides that have the potential to disrupt regional development, it is important to conduct research to map landslide-prone areas in the province of West Kalimantan. This research is in line with UNTAN's strategic research plan to contribute to disaster management and climate change. This research combines overlay and measurement methods with geoelectric methods. The overlay method is used as a method to map landslide susceptibility based on scoring calculations from land parameters. The mapping is expected to produce a map of the landslide-prone zone which can then be studied further. Assessment of landslide potential through slip plane analysis using resistivity geoelectric method. From the mapping and direct observation, it is proved that the high landslide susceptibility values correlate with the landslide occurrence in Sabang Merah, Sanggau. Based on the resistivity measurement there found the potential landslide slip surface that is connected with the dip of rock layers in the area.

KEYWORD : climate change; disaster, landslide; mapping; overlay method; resistivity method.

PENDAHULUAN

Pada masa sekarang ini, perubahan iklim sangat mempengaruhi cuaca di wilayah Indonesia. Kejadian cuaca ekstrem di wilayah Indonesia memiliki intensitas yang semakin meningkat. Kejadian cuaca ekstrem yang

terjadi pada awal tahun 2020 adalah contoh yang paling nyata. Berdasarkan data BMKG, kejadian cuaca ekstrem berupa curah hujan harian yang sangat tinggi tersebut merupakan yang tertinggi sejak 1918. Periode perulangan cuaca ekstrem juga semakin pendek, sehingga

(2)

diprediksi bahwa kejadian semacam ini akan semakin sering terjadi dimasa mendatang (Kompas.com, 2020)

Kejadian cuaca ekstrem sangat berpotensi menimbulkan bencana hidrometerologi seperti banjir dan tanah longsor. Tanah longsor merupakan rangkaian proses yang mengakibatkan bergeraknya material pembentuk lereng. Umumnya longsor berkaitan dengan morfologi perbukitan, namun dapat juga terjadi pada daerah yang relatif datar. Penjenuhan lereng oleh air merupakan merupakan penyebab utama longsor. Penjenuhan ini dapat terjadi karena intensitas curah hujan yang tinggi atau perubahan muka air tanah. Dengan adanya perubahan iklim dimana cuaca ekstrem dengan curah hujan tinggi semakin sering terjadi, maka potensi terjadinya longsor akan semakin besar (Kompas.com, 2021).

Melihat permasalahan yang ada, penelitian untuk memetakan dan mengkaji daerah rawan longsor di wilayah provinsi Kalimantan Barat menjadi penting untuk dilakukan. Pemetaan daerah rawan longsor dapat dilakukan dengan metode SIG (Sistem Informasi Geografis) yaitu dengan melakukan overlay parameter-parameter lahan seperti kelerengan, curah hujan, tutupan lahan, jenis tanah dan lainnya. Hasil dari proses tersebut nantinya akan didapatkan peta yang dapat menunjukkan daerah yang rawan longsor.

Selain pemetaan dengan metode SIG, dapat dilakukan pula pengukuran geolistrik sebagai sarana konfirmasi serta pengkajian potensi longsor dengan lebih mendalam. Kedua metode tersebut akan dilakukan dalam penelitian kali ini.

Penelitian untuk mengkaji longsor dengan metode SIG telah dilakukan oleh banyak peneliti terdahulu. Penggunaan SIG dalam penelitian untuk melakukan identifikasi daerah rawan longsor salah satunya pernah diterapkan di wilayah Kabupaten Sinjai.

Dalam penelitian tersebut digunakan metode penjumlahan harkat dengan data-data masukan berupa sifat geologi, kedalaman pelapukan, kerawanan gempa, kemiringan lereng, iklim, kerapatan vegetasi, dan

penggunaan lahan. Parameter-parameter tersebut diberi nilai secara numerik dan dijumlahkan untuk menghitung tingkat kerawanan bencana longsor (Nasiah &

Invanni, 2014). Penelitian serupa juga telah diterapkan untuk studi kerawanan longsor di wilayah Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

Pada penelitian tersebut metode yang digunakan adalah metode weighted overlay, yaitu penjumlahan terbobot. Perkiraan zona rawan kejadian longsor dilakukan dengan memberikan skor pada parameter-parameter seperti curah hujan, kemiringan lereng, tutupan lahan, dan jenis tanah. Skor tersebut kemudian dikalikan dengan pembobot dan dijumlahkan (Yassar et al., 2020).

Penggunaan metode geolistrik dalam mitigasi bencana longsor juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Metode ini telah digunakan untuk studi kasus di daerah Selorejo, Blitar dengan tujuan untuk mengidentifikasi penyebab tingginya nilai kerawanan longsor di daerah penelitian. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa kejadian longsor di daerah Selorejo dipengaruhi oleh kandungan air pada tanah (Aisyah et al., 2017). Penelitian serupa juga telah dilakukan di Desa Daulu, Berastagi, Karo. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa semakin tebal lapisan yang dapat menyimpan air, maka kerawanan longsor menjadi semakin tinggi (Muttaqin, 2020).

Selain itu metode geolistrik juga dapat memperkirakan keberadaan dan bentuk bidang gelincir. Bentuk bidang gelincir kemudian dapat digunakan untuk menentukan tipe longsor yang mungkin terjadi (Muhardi & Wahyudi, 2020)

Dalam penelitian ini akan dilakukan pemetaan daerah rawan longsor di wilayah Kalimantan Barat dengan mengkombinasikan metode overlay dan metode geolistrik.

Parameter yang digunakan dalam penelitian ini berupa kelerengan, jenis tanah, curah hujan dan tutupan lahan serta kondisi geologi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutya dan menjadi acuan bagi pengambil kebijakan pembangunan di Kalimantan Barat

(3)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah longsor mendeskripsikan pergerakan massa batuan, debris atau material tanah yang menuruni lereng. Material longsor dapat bergerak dengan cara jatuh (fall), runtuh (topple), lengser (slide), dan aliran (flow).

Gambar 1 menunjukkan ilustrasi grafis dari tanah longsor dengan terminologi yang diterima secara umum untuk mendeskripsikan fitur-fiturnya (Turner & Schuster, 1996).

Gambar 1 Ilustrasi ideal tanah longsor dengan label yang menunjukkan nomenklatur penamaan bagian-bagian longsor (Turner & Schuster, 1996).

Terjadinya longsor dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti geomorfologi, jenis tanah, kondisi geologi, geohidrologi, dan tata guna lahan (Mubekti & Alhasanah, 2008). Selain itu, hubungan antara longsor dengan siklus geomorfologi dan faktor cuaca, telah diteliti oleh peneliti sebelumnya dan disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya longsor ada dua yaitu faktor pasif dan faktor pendorong.

Faktor pasif antara lain adalah:

a. Litologi, yaitu masalah gembur atau tidaknya tanah

b. Stratigrafi, yaitu ada atau tidaknya lapisan batuan

c. Struktur, yaitu banyaknya patahan, rekahan dan arah bidang perlapisan batuan

d. Topografi, yaitu tingkat kecuraman lereng

e. Iklim, yaitu tingkat curah hujan dan adanya temperature ekstrim

f. Organisme, yaitu kuat atau tidaknya organisme merusak batuan

Faktor pendorong adalah adanya air.

Keberadaan air yang terlalu banyak dapat mengakibatkan penambahan massa batuan dan menjenuhkan lapisan batuan sehingga terbentuk lapisan yang mudah bergeser.

Lapisan ini sering disebut sebagai bidang gelincir atau surface of rupture (Nasiah &

Invanni, 2014).

Aspek geomorfologi (bentang alam) Kalimantan Barat terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi dan dataran perbukitan dengan pola sungai dendritik. Dataran rendah ditempati sebagian wilayah pantai didominasi endapan aluvium, pasir dan batuan granit terbentang dari Sambas, Singkawang, Pontianak hingga Ketapang Barat yaitu Sukadana dan Kendawangan. Dataran tinggi berada di bagian tengah wilayah Kalimantan Barat meliputi batuan sedimen, batuan terobosan dan metasedimen yang membentang dari Mempawah, Bengkayang, Sukadana, Ketapang timur, dan Nangapinoh.

Dataran perbukitan menempati bagian utara wilayah Kalimantan Barat yang terbentang dari Bengkayang timur, Sanggau, Meliau hingga Kapuas Hulu. Dari aspek stratigrafi, secara umum Kalimantan Barat tersusun oleh batuan tua berumur Trias ±204 juta tahun berupa batu pasir berlapis, andesit, granit yang ditutupi di atasnya oleh batuan sedimen dan aluvium berumur Kuarter yang lebih kecil dari 1,6 juta tahun. (Suntoko & Soetopo, 2013) METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diambil dari sumber lain serta data primer yang diambil langsung di lapangan. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini antara lain:

1. Data Digital Elevation Model yang akan diolah untuk mendapatkan kelerengan 2. Peta geologi wilayah Kalimantan Barat 3. Peta jenis tanah

4. Data curah hujan

5. Data land use atau tutupan lahan

Sedangkan data primer dalam penelitian ini berupa data tahanan jenis tanah

(4)

berdasarkan pengukuran geolistrik yang diambil langsung di lapangan menggunakan resistivitymeter.

Pemetaan kerawanan longsor dilakukan dengan metode overlay atau operasi raster terbobot. Analisis kerawanan longsor tersebur dilakukan dengan memanfaatkan data-data peta tematik seperti kelerengan, curah hujan, jenis tanah, jenis batuan/formasi geologi, serta tutupan lahan. Peta-peta tersebut kemudian diberi nilai atau skor yang kemudian akan dihitung kontribusinya terhadap kerawanan longsor. Kontribusi tiap-tiap parameter terhadap kerawanan longsor ditunjukkan oleh besar nilai bobotnya. Dalam penelitian kali ini perhitungan kerawanan longsor dan pembobotannya dilakukan dengan menggunakan persamaan yang mengacu penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslittanak) tahun 2004 (Rahmad et al., 2018;

Yassar et al., 2020) yaitu:

𝐾𝐿 =0.3FCH + 0.2FBD + 0.2FKL

+ 0.2FPL + 0.1FJT (1) Pengukuran lapangan metode resistivitas di lapangan dilakukan dengan empat buah elektroda yang terdiri dari dua elektroda arus (C1 dan C2), serta dua elektroda tegangan (P1 dan P¬2). Dalam penelitian ini digunakan konfigurasi Wenner-Schlumberger seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Secara umum kedalaman penetrasi dari metode geolistrik dikontrol oleh jarak antara electroda arus. Semakin besar jarak antara kedua elektroda arus maka semakin dalam juga penetrasinya atau kedalaman investigasinya (Milsom, 2003).

Gambar 2. Konfigurasi susunan elektroda metode geolistrik Wenner-Schlumberger (Telford et al., 1990).

Resistivitas semu (𝜌𝑎) dari tanah dapat dicari dengan persamaan

𝜌𝑎=𝑉 𝐼2𝜋 (1

𝑟1−1 𝑟2−1

𝑟3+1 𝑟4)

−1

(2) 𝜌𝑎= 𝐾𝑉

𝐼 (3)

Jika Pers. (2) disubstitusikan ke Pers. (3) maka akan didapat persamaan faktor geometri 𝐾 yaitu

𝐾 = 2𝜋 (1 𝑟1−1

𝑟2−1 𝑟3+1

𝑟4)

−1

(4) Satuan 𝐾 adalah meter (m) dan nilainya berbeda-beda tergantung pada konfigurasi yang digunakan dalam pengukuran (Dentith

& Mudge, 2014)

Pada penelitian kali ini, pengukuran geolistrik dilakukan dengan membuat lintasan geolistrik di daerah yang mengalami longsor.

Lintasan geolistrik memotong area yang mengalami longsor dan daerah yang belum terjadi longsor

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemetaan kerawanan longsor dilakukan dengan metode SIG yaitu metode overlay.

Metode ini bekerja dengan cara menggabungkan beberapa parameter data spasial yang berbeda menjadi satu parameter baru. Dalam pemetaan kerawanan longsor kali ini ada beberapa parameter pendukung yang digunakan dalam perhitungan tingkat kerawanan longsor. Parameter-parameter tersebut adalah curah hujan, jenis batuan, kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan jenis tanah. Kelima parameter tersebut kemudian diberikan skor sesuai dengan rentang nilai tertentu. Tabel 1 menunjukkan kriteria pembobotan dan skor dari kelima parameter penyebab longsor.

Gambar 3 merupakan peta sebaran curah hujan di wilayah Kalimantan Barat. Data curah hujan dalam peta tersebut telah diklasifikasikan dan diberi skor sesuai dengan Tabel 1. Data curah hujan ini didapatkan dari basis data European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF). Dari peta dapat dilihat bahwa daerah Kalimantan Barat umumnya memiliki iklim yang basah hingga sangat basah atau memiliki curah hujan diatas

(5)

2300 mm/tahun. Hal ini pun tercermin dalam skor curah hujan yang berkisar antara 4 hingga 5.

Tabel 1 Klasifikasi parameter penyebab longsor Curah Hujan (mm/thn) Bobot Skor Sangat basah (>3000) 30% 5 Basah (2501-2300) 30% 4 Sedang (2001-2500) 30% 3 Kering (1501-2000) 30% 2 Sangat kering (<1500) 30% 1 Jenis Batuan Bobot Skor

Batuan vulkanik 20% 3

Batuan sedimen 20% 2

Aluvial 20% 1

Kemiringan Lereng (%) Bobot Skor

>45 20% 5

30-45 20% 4

15-30 20% 3

8-15 20% 2

<8 20% 1

Tutupan Lahan Bobot Skor

Tegalan, sawah 20% 5

Semak belukar 20% 4

Hutan dan perkebunan 20% 3

Kota/pemukiman 20% 2

Tambak, waduk,

perairan 20% 1

Jenis Tanah Bobot Skor

Regosol 10% 5

Andosol, podsolik 10% 4

Latosol coklat 10% 3

Asosiasi latosol coklat

kekuningan 10% 2

Aluvial 10% 1

Jenis batuan termasuk salah satu faktor penyebab longsor. Batuan kedap yang berada di bawah lapisan tanah lapukan jenuh air akan berperan sebagai bidang gelincir longsor.

Berdasarkan analogi tersebut, penilaian skor jenis batuan sebagai faktor pendorong longsor dibuat seperti pada Tabel 1, dimana batuan beku/vulkanik yang umumnya kedap air memiliki skor yang paling tinggi. Gambar 4 menunjukkan sebaran nilai skor untuk jenis batuan di wilayah Kalimantan Barat. Dari hasil tersebut terlihat bahwa sebagian wilayah di Kalimantan Barat memiliki nilai skor 3 yang merupakan nilai yang tertinggi. Nilai tersebut

diperoleh dari jenis batuan beku dan vulkanik yang berada di wilayah pegunungan Kalimantan Barat

Gambar 3. Skor curah hujan di wilayah Kalimantan Barat.

Gambar 4. Peta sebaran skor batuan dasar di wilayah Kalimantan Barat.

Gambar 5 menunjukkan peta kemiringan lahan di wilayah Kalimantan Barat yang sudah diklasifikasikan dalan bentuk skor. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa secara umum wilayah Kalimantan Barat termasuk memiliki lahan yang relatif landai. Walaupun begitu, di beberapa wilayah terdapat daerah yang memiliki nilai kemiringan lereng yang cukup tinggi yang ditandai dengan skor 3 atau kemiringan antara 15 hingga 30%.

(6)

Gambar 5. Peta sebaran skor batuan dasar di wilayah Kalimantan Barat.

Penggunaan lahan merupakan salah satu parameter yang juga mempengaruhi kerawanan longsor dari suatu daerah. Di wilayah Kalimantan Barat, berdasarkan hasil pemetaan penggunaan lahan yang diturunkan dari data citra satelit Landsat, diketahui bahwa penggunaan lahan yang mendominasi adalah perkebunan, sawah, tegalan, atau pertanian lahan terbuka. Pertanian lahan terbuka memiliki pengaruh yang besar untuk menambah kerawanan longsor, hal ini menyebabkan skor untuk tipe penggunaan lahan ini tinggi. Berdasarkan nilai skor yang ditunjukkan pada Tabel 1 tipe penggunaan lahan tersebut mendapatkan nilai antara 3 hingga 5. Sebaran skor penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 6.

Setelah kelima parameter peyebab longsor tadi diperoleh, tingkat kerawanan longsor dihitung dengan melakukan overlay parameter. Overlay dilakukan dengan menjumlahkan kelima parameter dengan bobot tertentu, seperti ditunjukkan oleh Pers.

(1). Hasil dari penjumlahan tersebut kemudian digunakan sebagai indikator kerawanan longsor.

Gambar 7 menunjukkan nilai kerawanan longsor di wilayah Kabupaten Sanggau dan sekitarnya. Pada gambar tersebut nilai kerawanan longsor dari hasil perhitungan

dikelompokkan menjadi 5 kelas. Kelima kelas tersebut disimbolkan menjadi 5 warna yaitu hijau tua yang mengindikasikan kerawanan sangat rendah, hijau muda yang mewakili kerawanan rendah, kuning yang mewakili kerawanan sedang, jingga yang mewakili kerawanan tinggi, dan merah yang mewakili kerawanan longsor sangat tinggi. Dari peta tersebut dapat dilihat bahwa wilayah Sanggau didominasi oleh daerah dengan kerawanan longsor tinggi di bagian tengah dan sangat tinggi di bagian selatan. Hal ini wajar karena

Gambar 6. Peta sebaran skor penggunaan lahan di wilayah Kalimantan Barat.

Gambar 7. Peta kerawanan longsor di Kabupaten Sanggau dan lokasi kejadian longsor.

(7)

daerah Sanggau merupakan salah satu daerah yang bergunung-gunung di Kalimantan Barat

Dari hasil peninjauan lapangan diketahui bahwa telah terjadi longsor di daerah Sabang Merah, Sanggau. Titik lokasi longsor ini ditunjukkan pada Gambar 7. Dari hasil perhitungan tingkat kerawanan longsor, terlihat bahwa lokasi titik longsor tersebut masuk dalam daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi.

Gambar 8. Peta kerawanan longsor di Kabupaten Sanggau dan lokasi kejadian longsor.

Pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan metode geolistrik kemudian dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi keberadaan bidang gelincir di daerah tersebut. Pengukuran geolistrik pada penelitian kali ini menggunakan konfigurasi Wenner-Schlumberger dengan panjang lintasan 120 meter dan spasi antar elektroda 5 meter. Sebanyak 2 lintasan pengukuran dipakai pada penelitian kali ini, yang mewakili titik yang telah mengalami longsor dan titik yang belum mengalami longsor. Gambar 8 merupakan peta lintasan geolistrik di daerah Sabang Merah, Sanggau. Lintasan 1 merupakan lintasan yang berada pada lokasi longsor, dan Lintasan 2 merupakan lintasan yang berada di daerah yang belum mengalami longsor.

Gambar 9 merupakan penampang resistivitas hasil inversi data geolistrik dari

Lintasan 1. Gambar a) merupakan penampang resistivitas semu hasil pengukuran, gambar b) merupakan resistivitas semu hasil pemodelan dan gambar c) merupakan model resistivitas batuan di bawah permukaan. Pada lintasan 1 ini inversi dilakukan sebanyak 5 iterasi dengan RMS error mencapai 69,8%. Nilai resistivitas batuan yang diperoleh berkisar antara 25,9 hingga 1127 .m. Nilai RMS error yang cukup besar ini diduga disebabkan oleh lokasi pengukuran yang terisi oleh material longsoran yang terdiri material yang sangat bervariasi, mulai dari bongkah batuan, tanah dan sisa bangunan. Lintasan ini juga terletak di dekat sebuah tiang beton yang memberikan efek resistivitas tinggi berbentuk memanjang secara vertikal.

Hasil pemodelan resistivitas batuan di Lintasan 2 ditunjukkan pada Gambar 10. Pada lokasi ini belum terjadi longsoran seperti yang terjadi pada lintasan 1. Penampang resitivitas semu hasil pengukuran, resistivitas semu hasil pemodelan, dan penampang resistivitas batuan hasil inversi masing-masing ditunjukkan oleh

Gambar 10 a), b) dan c). Untuk lintasan 2 ini RMS error yang diperoleh dari proses inversi adalah 46,6% dengan iterasi sebanyak 5 kali. Lintasan ini terletak sekitar 2 meter dari jalan aspal dan berada di atas batuan yang lapuk. Hal ini menyebabkan hasil pengukuran relatif homogen dan menghasilkan 2 lapisan dengan resistivitas yang cukup kontras dengan nilai berkisar antara 19,9 hingga 5985

.m.

Interpretasi penampang resistivitas hasil inversi lintasan 2 ditunjukkan pada Gambar 12. Dari hasil pemodelan diperoleh adanya 3 kelompok nilai resistivitas batuan. Batuan dengan nilai resistivitas diatas 1000 .m sama seperti di Lintasan 1 diduga merupakan batuan keras. Diatas batuan keras ini, terdapat batuan lapuk dengan nilai resistivitas sekitar 1000 .m. Berdasarkan pemodelan dapat dilihat juga adanya zona-zona spot anomali yang lebih rendah di zona batuan lapuk dengan nilai resistivitas sekitar 100-800 .m.

Anomali tersebut diduga berkaitan dengan

(8)

rekahan atau zona lemah yang tersaturasi oleh air. Dugaan keberadaan rekahan atau sesar minor yang menjadi zona lemah ini dapat dilihat di permukaan tanah di lintasan ini pada

Gambar 13. Garis-garis dugaan sesar minor yang ditunjukkan dengan garis putus-putus hitam pada penampang resistivitas.

Gambar 9. Penampang resistivitas hasil inversi Lintasan 1.

a)

b)

c)

b) a)

c)

(9)

Gambar 10. Penampang resistivitas hasil inversi Lintasan 2

Gambar 11. Interpretasi penampang resistivitas Lintasan 1 hasil inversi yang sudah ditambahkan topografi

Gambar 12. Interpretasi penampang resistivitas Lintasan 2 hasil inversi yang sudah ditambahkan topografi.

Gambar 13. Foto dugaan bidang sesar minor yang menjadi zona lemah longsor di sekitar lintasan 2.

Interpretasi penampang resistivitas hasil inversi yang telah ditambahkan dengan efek topografi ditunjukkan pada Gambar 11. Dari model ini dapat terlihat dengan jelas kontras resistivitas dari batuan keras (bedrock), batuan lapuk, dan material longsoran. Batuan keras diidentifikasi dari nilai resistivitas tinggi yaitu diatas 1000 .m yang terlihat sebagai warna

kuning hingga merah pada penampang resistivitas. Di atas lapisan ini terdapat batuan lapuk yang memiliki nilai resistivitas antara 100–1000 .m. Material longsoran terdapat di bagian bawah dengan nilai resistivitas kurang dari 100 .m. Pada ujung lintasan terdapat zona yang memiliki resistivitas sangat rendah yang diinterpretasi sebagai zona yang

(10)

tersaturasi air.

Di bagian bawah dari lintasan 2 ini terdapat zona anomali sangat rendah dengan nilai resistivitas antara 10-100 .m. Zona anomali ini diduga terpengaruh oleh air permukaan karena di dekat lokasi tersebut terdapat aliran parit yang cukup lebar.

Kedalaman batas antara batuan lapuk dan batuan keras yang diduga berpotensi menjadi bidang gelincir diduga berada di kedalaman sekitar 10 m di bawah permukaan. Bentuk bidang gelincir pada lintasan ini relatif sama dengan lintasan 1 yaitu berbentuk lengkung.

Berdasarkan hasil inversi dan pengamatan dapat diduga keberadaan beberapa zona lemah yang berpotensi untuk menjadi bidang gelincir longsor.

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Sanggau yang diterbitkan oleh Pusat Survei Geologi (Supriatna et al., 1993), formasi batuan yang ada di wilayah Sabang Merah adalah batuan dari Formasi Batupasir Sekayam.

Litologi dari formasi ini adalah batupasir arenit litos yang berselingan dengan batulumpur. Sisipan lapisan batulumpur ini berpotensi untuk menjadi bidang gelincir karena sifatnya yang memiliki butiran halus sehingga relatif kedap air. Dari pengamatan di lapangan, diduga kejadian longsor di lokasi ini dipengaruhi juga oleh kemiringan batuan yang searah dengan dengan kemiringan lereng.

Kemiringan lapisan yang teramati di lapangan adalah ke arah barat daya, sementara lereng di kedua lokasi relatif ke arah barat. Hal ini juga tercermin dari hasil penampang resistivitas di lintasan 2, dimana terdapat lapisan batuan keras yang terlihat lurus yang mengindikasikan adanya lapisan batuan yang miring searah dengan lereng. Dugaan pengaruh kemiringan lapisan terhadap kejadian longsor juga diperkuat dari pengamatan di lapangan dimana umumnya lereng yang menghadap ke timur tidak mengalami longsor. Berdasarkan bentuk bidang gelincir hasil pemodelan yang berbentuk lengkung, maka tipe longsor yang mungkin terjadi di daerah ini adalah tipe rotasi (Muhardi & Wahyudi, 2020).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemetaan tingkat kerawanan longsor dengan metode overlay, diketahui bahwa wilayah Kabupaten Sanggau memiliki potensi kejadian longsor yang cukup tinggi. Berdasarkan validasi di lapangan, terdapat kesesuaian antara hasil pemetaan kerawanan longsor dengan kondisi lapangan.

Potensi bidang gelincir di wilayah Kabupaten Sanggau, khususnya di Sabang Merah dipengaruhi oleh lapisan batuan yang miring searah dengan lereng. Tipe longsor yang mungkin terjadi adalah tipe rotasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Universitas Tanjungpura selaku penyandang dana penelitian ini. Penelitian ini didanai dari dana DIPA Universitas Tanjungpura Tahun 2020.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, M., Utama, W., & Lestari, W. (2017).

Analisis Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor Berdasarkan Zona Water Content di Desa Olak Alen Kecamatan Selorejo, Blitar. Jurnal Geosaintek, 3(2), 83.

https://doi.org/10.12962/j25023659.v3i2.29 61

Dentith, M., & Mudge, S. (2014). Geophysics for the mineral exploration geoscientist.

In AusIMM Bulletin (Issue 6).

https://doi.org/10.1017/cbo9781139024358 Kompas.com. (2020). BMKG Sebut Indonesia Sedang Alami Fenomena Cuaca Ekstrem, Kok

Bisa? Kompas.

https://sains.kompas.com/read/2020/02/2 6/070100823/bmkg-sebut-indonesia- sedang-alami-fenomena-cuaca-ekstrem- kok-bisa

Kompas.com. (2021). 7 Faktor Pemicu Cuaca Ekstrem Berisiko Bencana di Wilayah

Indonesia. Kompas.

https://www.kompas.com/sains/read/202 1/01/25/162600823/7-faktor-pemicu- cuaca-ekstrem-berisiko-bencana-di- wilayah-indonesia

Milsom, J. (2003). Field Geophysics, 3rd ed. In

(11)

The geological field guide series.

http://www.deu.edu.tr/userweb/emre.ti mur/dosyalar/Field Geophysics - John Milsom.pdf

Mubekti, & Alhasanah, F. (2008). Mitigasi Daerah Rawan Tanah Longsor Menggunakan Teknik Pemodelan Sistem Informasi Geografis. J. Tek.Ling, 9(2), 121–

129.

Muhardi, M., & Wahyudi, W. (2020). Prediksi Tipe Longsor di Desa Clapar Menggunakan Metode Geolistrik Resistivitas Konfigurasi Dipol-dipol.

Jurnal Lingkungan Dan Bencana Geologi,

11(2), 115–123.

https://doi.org/10.34126/jlbg.v11i2.290 Muttaqin, M. (2020). Identifikasi Pengaruh Air

Tanah Terhadap Tingkat Kerawanan Longsor Dengan Metode Geolistrik Konfigurasi Schlumberger (Studi Kasus: Desa Daulu, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo) [Universitas Sumatera Utara].

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456 789/30173

Nasiah, & Invanni, I. (2014). Upaya Penanggulangan Bencana di Kabupaten Sinjai Identification of Areas Prone to Landslides as Disarter Management Effors in Sinjai Regency. Jurnal Sainsmat, III(2), 109–121.

Rahmad, R., Suib, S., & Nurman, A. (2018).

Aplikasi SIG Untuk Pemetaan Tingkat Ancaman Longsor Di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang,

Sumatera Utara. Majalah Geografi

Indonesia, 32(1), 1.

https://doi.org/10.22146/mgi.31882

Suntoko, H., & Soetopo, B. (2013). Kajian Aspek Geologi Dan Potensi Mineral Uranium Di Kalimantan Barat Untuk Persiapan Pltn. Jurnal Pengembangan Energi Nuklir, 15(2), 103–114.

http://download.portalgaruda.org/article.

php?article=260219&val=4551&title=KAJI AN ASPEK GEOLOGI DAN POTENSI

MINERAL URANIUM DI

KALIMANTAN BARAT UNTUK

PERSIAPAN PLTN

Supriatna, S., Margono, U., Sutrisno, Pieters, P.

E., & Langford, R. P. (1993). Peta Geologi Lembar Sanggau, Kalimantan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Telford, W. M., Geldart, L. P., & Sherrif, R. E.

(1990). Applied Geophysics (2nd ed.).

Cambridge University Press.

Turner, A. K., & Schuster, R. L. (1996). Landslide Investigation and Mitigation. National Academy Press.

Yassar, M. F., Nurul, M., Nadhifah, N., Sekarsari, N. F., Dewi, R., Buana, R., Fernandez, S. N., & Rahmadhita, K. A.

(2020). Penerapan Weighted Overlay Pada Pemetaan Tingkat Probabilitas Zona Rawan Longsor di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Jurnal Geosains Dan Remote

Sensing, 1(1), 1–10.

https://doi.org/10.23960/jgrs.2020.v1i1.13

Referensi

Dokumen terkait

Dari survey awal yang penulis lakukan di Wilayah kerja Puskesmas celala Kabupaten Aceh Tengah dengan mewawancarai 10 ibu yang melahirkan bayi BBLR diperoleh data,

LAMPIRAN KEPTMJSAN DEXAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSIIAS ANDATAS NO|4OR t257lUN76.O1,DlKPrl2022 TANGGAL : 30 JUNI 2022 TENTANG I REy.APITULASI DOSEN PENGUII SEMINAR HASIL PRODI