• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI MODAL SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA DESA/KAMPUNG WISATA DI KOTA MALANG (STUDI KASUS DI KAMPUNG WARNA – WARNI

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "IDENTIFIKASI MODAL SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA DESA/KAMPUNG WISATA DI KOTA MALANG (STUDI KASUS DI KAMPUNG WARNA – WARNI "

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI MODAL SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA DESA/KAMPUNG WISATA DI KOTA MALANG (STUDI KASUS DI KAMPUNG WARNA – WARNI

JODIPAN, KOTA MALANG)

JURNAL ILMIAH

Disusun Oleh :

Cakra Bima Aditya Heryanto 145020100111057

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019

(2)

IDENTIFIKASI MODAL SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA DESA/KAMPUNG WISATA DI KOTA MALANG

(STUDI KASUS DI KAMPUNG WARNA – WARNI JODIPAN, KOTA MALANG)

Cakra Bima Aditya Heryanto

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email : cakra.bimaaditya@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi modal sosial dalam lahirnya salah satu desa Kampung Warna – Warni Jodipan di Kota Malang hingga berdampak pada pemberdayaan masyarakat yang ada di kampung tersebut yang dilibatkan dalam pengelolaannya dan pengembangannya yang biasa disebut community based tourism. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif guna dapat memperoleh informasi terutama pada personal/organisasi yang dinilai memiliki pengaruh dalam munculnya Kampung Warna – Warni Jodipan. Modal sosial memiliki peran positif dalam munculnya Kampung Warna – Warni dan pemberdayaan yang ada terutama dalam bagaimana trust atau antar warga dan pihak lain , bagaimana jaringan dan informasi baru yang muncul setelah adanya Kampung Warna – Warni, Nilai dan norma yang muncul terutama dalam hal peduli lingkungan, keramah tamahan, dan kehidupan bertetangga yang semakin baik. Terakhir, munculnya Kampung Warna – Warni Jodipan memberikan manfaat bagi masyarakat setempat baik materil maupun non materil.

Kata Kunci : Modal Sosial, Pemberdayaan.

A. PENDAHULUAN Latar Belakang

Pembangunan nasional dan daerah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pembangunan desa, mengingat kosentrasi jumlah penduduk masih dominan berada di daerah desa, sehingga desa merupakan basis kekuatan sosial ekonomi dan politik yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Perencanaan pembangunan selama ini lebih bersifat “top down”

dibandingkan “bottom-up”, sehingga telah menjadikan masyarakat desa sebagai objek pembangunan semata, bukan sebagai subjek pembangunan (Almasri & Deswimar, 2004).

Semakin berkembangnya dunia kepariwisataan, masyarakat diberi peran yang lebih besar dalam pembangunan daerah. Selain itu masyarakat dituntut berkreativitas dan berinovasi dalam mengelola potensi daerah serta memprakarsai pembangunan daerah. Sejalan dengan perkembangan kemampuan rakyat dalam pembangunan dan berkurangnya campur tangan pemerintah pusat terhadap daerah, maka pembangunan seharusnya diarahkan untuk merubah kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Perencanaan dan implementasi pembangunan seharusnya merupakan usaha untuk memberdayakan rakyat sehingga mereka mempunyai akses terhadap sumber-sumber ekonomi (Almasri & Deswimar, 2004). Salah satunya adalah dengan melalui sektor pariwisata.

Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang tengah menjadi fokus perhatian dalam proses pembangunan ekonomi beberapa daerah di Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Sumatera Utara, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Flores yang merupakan beberapa daerah di Indonesia yang menjadikan sektor pariwisata sebagai fokus utama pembangunan wilayah yang nantinya diharapkan dapat berkontribusi lebih besar terhadap perekonomian baik melalui Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) maupun terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

(3)

Pengembangan sektor pariwisata memang bukan perkara yang mudah untuk dilakukan bagi beberapa daerah. Disamping harus mengelola sektor pariwisata agar dapat memaksimalkan potensinya itu sendiri sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui dampak ekonomi yang dihasilkan, pengembangan pariwisata juga harus memperhatikan kehidupan sosial yang ada di sekitar objek pengembangan pariwisata (Masya, 2016).

Gambar 1.1 Peningkatan PDB Pariwisata tiap Tahun

Sumber : Laporan Kerja Kementerian Pariwisata 2016.

PDB yang dihasilkan dari pariwisata nasional mengalami peningkatan yang cukup berarti tiap tahunnya. Pada tahun 2012 pariwisata menghasilkan PDB sebesar 296,97 triliun rupiah dan meningkat di tahun 2013 menjadi 326,24 triliun rupiah, di tahun 2014 sebesar 419,08 triliun rupiah, serta pada tahun 2015 nilai PDB yang dihasilkan mencapai 476,48 triliun rupiah. Lebih lanjut pada tahun 2016 PDB yang dihasilkan dari sektor pariwisata mencapai 500,19 triliun rupiah. Salah satu daerah yang sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan pariwisata untuk memaksimalkan pendapatan daerah dan meningkat perekonomian daerah adalah Kota Malang dengan beberapa desa wisatanya.

Salah satu desa wisata yang cukup menarik adalah Kampung Warna Warni Jodipan, yang merupakan sebuah desa wisata yang muncul dari sebuah kerjasama antara GuysPro dengan warga Kampung Jodipan sebagai subjek pembangunan. Pembangunan yang melibatkan masyarakat sebagai subjek disebut “bottom up”.

Hal menarik ditemui di Kampung Warna Warni Jodipan, merupakan kampung yang padat penduduk dan letaknya terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang dulunya tidak lepas dari citra yang buruk, kumuh, dan tak sedap dipandang mata. Dan sering terlihat aktivitas warga, mulai dari bersih diri di sungai, cuci baju dan piring di sungai, buang sampah di sungai. GuysPro selaku pencetus Kampung Wisata Jodipan ini ingin merubah kebiasaan buruk warga menjadi kebiasaan yang baik. Setelah kampung ini di “sulap” menjadi Kampung Wisata Jodipan, banyak sekali perubahan yang terjadi terhadap kampung tersebut. Tidak hanya itu sekarang para warga sudah tidak melakukan aktivitas bersih diri di sungai, cuci baju dan piring di sungai, dan sudah tidak membuang sampah rumah tangga di sungai. Masyarakat setempat juga telah menerapkan tujuh unsur sapta pesona mulai dari unsur aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, kenangan.

(4)

Tabel 1.1 Data Jumlah Pengunjung Kampung Warna Warni Jodipan tahun 2017 2017 Wisatawan

Mancanegara

Wisatawan Domestik

Januari 6 34.436

Februari 12 35.116

Maret 13 36.696

April 13 37.981

Mei 13 38.930

Juni 14 48.857

Juli 14 45.273

Agustus 14 46.132

September 17 58.628

Oktober 20 70.354

November 21 76.685

Desember 21 81.287

Total 178 610.375

Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang

Berkembangnya objek wisata Kampung Warna Warni Jodipan merupakan salah satu bentuk dari kemajuan sektor pariwisata Kota Malang. Dimana Kampung Warna Warni Jodipan menjadi tujuan pengunjung wisatawan domestik maupun wisatawan asing sebanyak 30ribu - 80ribu pengunjung tiap bulannya. Sejalan dengan hal tersebut dewasa ini sektor pariwisata berupa desa wisata di tengah kota memang telah menjadi salah satu destinasi wisata favorit di Jawa Timur dan Kota Malang. Hal itu dapat dilihat dari jumlah pengunjung objek wisata di Kota Malang yang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya yaitu secara rata-rata pengunjung wisatawan domestik maupun mancanegara mengalami kenaikan tiap tahunnya. Tidak berhenti disitu munculnya Kampung Wisata Jodipan seakan menjadi pendorong untuk kampung kampung lainnya untuk menggali potensinya.

Sumber daya manusia yang melimpah dan budaya yang beragam dimiliki Kota Malang merupakan potensi yang menjadi program pengembangan wisata dengan didukung oleh pemerintah daerah yang terangkum dalam konsep community based tourism terutama pada desa wisata yang ada di Kota Malang. Dimana masyarakat secara bersama-sama membangun dan mengelola pariwisata dengan menggali potensi yang mereka miliki dan juga potensi yang dimiliki desa atau wilayah nya.

Objek wisata Kampung Warna warni Jodipan merupakan salah satu objek wisata yang ada di Kota Malang yang menerapkan konsep community based tourism disamping juga melibatkan modal sosial dalam proses pengembangannya.

Keberhasilan yang terjadi di Kampung Warna Warni Jodipan dalam memberdayakan masyarakat dengan cara merubah mindset perilaku dan kesadaran masyarakat Kampung Jodipan serta proses pemberdayaan dalam melibatkan masyarakat desa untuk mengembangkan dan mengelola objek wisata baru yaitu wisata Kampung Tematik. Sehingga dari adanya objek wisata tersebut menciptakan aktivitas ekonomi baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kampung Jodipan. Merupakan bukti bahwa modal sosial juga berperan dalam penyelesaian masalah yang terjadi di masyarakat.

Sebagai salah satu objek wisata yang mendukung perekonomian masyarakat di sekitarnya, maka pengembangkan objek wisata bertemakan desa wisata melalui peran modal sosial dengan pendekatan ekonomi kelembagaan perlu dimaksimalkan terutama setelah melihat kurangnya sumber daya alam dalam pariwisata yang dimiliki oleh Kota Malang. Untuk itu perlu diketahui bagaimana proses identifikasi modal sosial yang terjadi di Kampung Jodipan dalam pemberdayakan masyarakat setempat.

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan identifikasi modal sosial dalam pemberdayaan yang ada pada masyarakat lokal di Kampung Jodipan dalam pengembangan desa wisata di objek wisata Kampung Warna Warni Jodipan.

(5)

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka pertanyaan penelitian yang digunakan adalah : 1. Bagaimanakah peran modal sosial dalam proses pemberdayaan dalam munculnya

Kampung Warna – Warni Jodipan ?

2. Bagaimanakah kontribusi modal sosial bagi Kampung Warna – Warni Jodipan ?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi peran modal sosial dalam

pemberdayaan masyarakat di Kampung Warna Warni Jodipan dan manfaat yang ditimbulkan dari baik dari segi sosial dan ekonomi dari Kampung Warna – Warni Jodipan.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain;

A. Bagi Akademisi

Bagi kalangan akademisi penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian lain di masa yang akan datang serta juga dapat menjadi bahan bagi pengembangan penelitian selanjutnya.

B. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai penerapan modal sosial dan pemberdayaan masyarakat pada Kampung Warna Warni Jodipan dan dapat menjadi inovasi sebagai jawaban dalam pengembangan potensi pariwisata Indonesia.

C. Bagi Pemerintah

Bahan pertimbangan maupun evaluasi bagi pihak pemerintah Kota Malang dalam mengeluarkan kebijakan terkait pengembangan sektor pariwisata.

B. LANDASAN TEORI Modal Sosial

Modal sosial didefinisikan sebagai kemampuan suatu masyarakat untuk berkerja sama dalam mencapai tujuan-tujuan bersama di berbagai kelompok masyarakat. Brehm dan Rahn (dalam Winarti,2011) berpendapat bahwa modal sosial merupakan hubungan kerjasama antara warga yang memfasilitasi suatu tindakan kolektif dalam penyelasain masalah. Menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) (2000) dalam (Office for National Statistic, 2001) mendefinisikan modal sosial merupakan jaringan bersama dengan berbagai norma, nilai, dan pemahaman yang memfasilitasi kerjasama dengan di atau antar kelompok. Uphoff (dalam Yustika,2010) menyatakan bahwa modal sosial dapat ditentukan sebagai akumulasi beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang mempengaruhi perilaku kerjasama. Senada dengan Putnam, menurut Inglehart (dalam Yustika,2010) modal sosial ialah suatu budaya kepercayaan serta toleransi yang akan memunculkan jaringan kerjasama perkumpulan-perkumpulan sukarela yang luas.

Sementara Putnam mengartikan modal sosial sebagai gambaran organisasi sosial, seperti jaringan norma dan kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan (Yustika:2010). Emile Durkheim berpendapat istilah modal sosial untuk menyatakan ikatan sosial antar manusia di dalam sebuah masyarakat sangat penting untuk membentuk kohesivitas sosial dalam mencapai tujuan bermasyarakat (Rahardjo:2010). Fukuyama (2002) berpendapat bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu masyarakat dimana memungkinkan terjadinya kerjasama diantara mereka. Tiga unsur utama dalam modal sosial ialah adanya trust (kepercayaan), reciprocal (timbal balik), dan interaksi sosial.

Dari beberapa definisi mengenai modal sosial diatas, terdapat sebuah aporisme terkenal yang berpendapat bahwa modal sosial “bukanlah masalah apa yang anda ketahui, tetapi siapa yang anda kenal” (it’s not what you know, it’s who you know that matters) (Fine dan Lapavitsas, 2004) dalam (Yustika, 2010). Maka secara garis besar modal sosial berunjuk kepada norma atau jaringan sosial yang memungkinkan orang untuk membangun suatu perilaku kerjasama kolektif. Dalam modal sosial tidak terlepas dari tiga elemen pokok penting antar lain, sebagai berikut;

(6)

1. Kepercayaan (kejujuran, toleransi, kewajaran, sikap egaliter, dan kemurahan hati).

2. Norma (aturan-aturan, norma dan sanksi, dan nilai-nilai bersama).

3. Jaringan sosial (resiprositas, kerjasama, solidaritas, dan partisipasi).

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau penguatan (strengthening) kepada masyarakat. Pemberdayaan masyarakat juga diartikan sebagai kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan sehingga bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat (Mardikanto, 2014).

Menurut Fahrudin (2012:96-97), pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat yang dilakukan dengan upaya sebagai berikut:

1. Enabling, yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan cara mendorong (encourage), memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

2. Empowering, yaitu meningkatkan kapasitas dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata seperti penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang dapat membuat masyarakat menjadi makin berdayaan.

3. Protecting, yaitu melindungi kepentingan dengan mengembangkan sistem perlindungan bagi masyarakat yang menjadi subjek pengembangan. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi dalam hal ini dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.

Teori Perubahan Kelembagaan

Perubahan Kelembagaan dan Transformasi Permanen

Perubahan kelembagaan terjadinya perubahan didalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan menuju pada peningkatan perbedaan prinsip- prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan, sementara pada waktu yang bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan intergrasi di dalam system social yang kompleks. Perubahan kelembagaan merupakan proses transformasi permanen yang merupakan bagian dari pembangunan. Oleh karna itu, setiap perubahan kelembagaan adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar dari perbaikan pemanfaatan sumber daya yang kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan baru (misalnya keadilan sosial).

Dengan begitu, apabila perubahan kelembagaan dianggap sebagai transformasi permanen, maka perubahan kelembagaan menjadi factor pengaruh utama terhadap perubahan struktur dalam system sosial tertentu, bagaimana pun tingkat kecepatan atau sumber perubahan itu sendiri. Lima proporsi yang mendefinisikan karakteristik dasar dari perubahan kelembagaan (North, dalam Yustika 2010)

1. Interaksi kelembagaan dan organisasi yang terjadi secara terus menerus di dalam setting ekonomi kelangkaan, dan kemudian diperkuat oleh kompetisi, merupakan kunci terjadinya perubahan kelembagaan.

2. Kompetisi akan membuat organisasi menginvestasikan keterampilan dan pengetahuan untuk bertahan hidup. Jenis keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan oleh individu dan organisasinya akan membentuk perkembangan persepsi tentang kesempatan dan kemudian pilihan yang akan mengubah kelembagaan.

3. Kerangka kelembagaan mendikte jenis keterampilan dan pengetahuan yang dianggap memiliki hasil maksimum (maximum pay-off).

4. Persepsi berasal dasri konstruksi/bangunan mental para pemain/pelaku (mental constructs of the players).

5. Cakupan ekonomi, komplementaris, dan eksternalitas jaringan matriks kelembagaan menciptakan perubahan kelembagaan yang meningkat dan memiliki jalur ketergantungan (path dependent).

(7)

Perubahan Kelembagaan dan Kelompok Kepentingan

Terdapat dua cara untuk menganalisis perubahan kelembagaan: pendekatan pertama melihat perubahan kelembagaan hanya dari aspek biaya dan manfaat (costs and benefits) dan meyakini bahwa kekuatan motif (motive forces) seperti perubahan harga relative dalam jangka panjang dapat membangun kelembagaan yang lebih efisien. Pendekatan ini biasa disebut Naïve Theory atau teori naïf dari perubahan kelembagaan. Sementara itu perubahan kelembagaan sebagai hasil dari perjuangan antara kelompok-kelompok kepentingan (struggle between interest-groups), yang kemudian popular disebut sebagai Interest-group Theory atau teori kelompok kepentingan dari perubahan kelembagaan. Teori naïf berfokus pada hasil perubahan kelembagaan dan menyatakan bahwa kelembagaan bisa muncul secara otomatis walaupun semu (quasi “automatically”), sedangkan teori kelompok kepentingan menekankan pada prosen yang mendorong ke arah perubahan kelembagaan tersebut (Birner, dalam Yustika 2010). Kedua teori tersebut tidak memiliki kaitan, namun teori kelompok kepentingan disarankan lebih tepat digunakan untuk memahami proses perubahan kelembagaan.

Terdapat empat fase/model dimana perubahan kelembagaan telah terjadi dalam konteks historis (Scott dalam Challen, 2000:47):

1. Perubahan spontan dan tidak berlanjut (spontaneous and discontinuous change) oleh revolusi dan penaklukan;

2. Perubahan spontan dan incremental (spontaneous and incremental change) dari pemanfaatan tradisi dan perilaku umum (custom and common usage);

3. Perubahan incremental oleh proses pengadilan (judicial processes) dan evolusi undang-undang umum (evolution of common law);

4. Perubahan incremental yang dilakukan oleh imperialis, birokrasi, atau politik.

Jadi, tampak dari empat model tersebut bahwa perubahan kelembagaan bisa dipicu oleh otoritas formal melalui regulasi maupun otoritas informal melalui kesepakatan maupun nilai-nilai yang berkembang atau berubah.

Model perubahan keembagaan dapat dideskripsikan sebagai proses interaksi antara dua entitas: ‘wirausahawan ekonomi’ (economic entrepreneurs) dan ‘wirausahawan politik’ (political entrepreneurs). Wirausahawan ekonomi dan politik didefinisikan dalam pengertian yang luas sebagai kelas orang-orang atau kelompok bersama (collective groups). Yang memiliki level berbeda dalam hierarki kelembagaan (institutional hierarchy). Pada model ini, agen dengan kekuasaan pengambilan keputusan yang mengatasi perubahan kelembagaan disebut ‘political entrepreneurs’

dan agen yang menjadi subjek dari perubahan kelembagaan disebut ‘economic entrepreneurs’.

Pengertian Pariwisata

Pariwisata adalah suatu aktivitas dari yang dilakukan oleh wisatawan ke suatu tempat tujuan wisata di luar keseharian dan lingkungan tempat tinggal untuk melakukan persinggahan sementara waktu dari tempat tinggal, yang didorong beberapa keperluan tanpa bermaksud untuk mencari nafkah dan namun didasarkan atas kebutuhan untuk mendapatkan kesenangan, dan disertai untuk menikmati berbagai hiburan yang dapat melepaskan lelah dan menghasilkan suatu travel experience dan hospitality service.

Gambar 2.1 Jenis Jenis Pariwisata Sumber : World Tourism Organization (WTO) , 2001

Community Based Tourism dan Desa Wisata

Dalam Krisnani dan Darwis (2010) masyarakat saat ini seharusnya mampu mendapatkan keuntungan lebih banyak dari pariwisata di wilayahnya. Pariwisata berbasis komunitas (community

(8)

based tourism) adalah sebuah konsep yang menekankan masyarakat untuk mampu mengelola dan mengembangkan objek wisata oleh mereka sendiri.

Suansri (2003:14) mendefinisikan community based tourism sebagai wujud perhatian yang kritis pada pembangunan pariwisata yang seringkali mengabaikan hak masyarakat lokal di daerah tujuan wisata. Community Based Tourism merupakan alat pembangun-an komunitas dan konservasi lingkungan, atau dengan kata lain community based tourism merupakan alat untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan.

Ciri-ciri khusus dari community based tourism menurut Hudson (A’inun, 2014:344) adalah berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dan adanya upaya perencanaan pendampingan yang membela masyarakat lokal serta lain kelompok memiliki ketertarikan/minat, yang memberi kontrol lebih besar dalam proses sosial untuk mewujudkan kesejahteraan.

Wujud dari konsep community based tourism adalah dikembangkannya desa-desa wisata, dimana dalam desa wisata, masyarakat desa yang berada di wilayah pariwisata mengembangkan potensinya baik potensi sumber daya alam, budaya, dan juga potensi sumber daya manusianya (masyarakat setempat).

Pengembangan desa wisata dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat desa itu sendiri, diantaranya adalah akan adanya lahan pekerjaan baru bagi masyarakat sehingga dapat menurunkan angka pengangguran di desa tersebut, selain itu desa wisata yang mengusung konsep ekowisata akan membuat suatu desa dapat mempertahankan kelestarian alam dan budaya desanya. Hal lainnya adalah, desa wisata dapat membuat suatu desa menjadi desa yang mandiri karena dapat menyediakan alternatif pekerjaan yang dapat dimasuki oleh masyarakat setempat. Desa wisata saat ini memiliki kecenderungan menggunakan konsep ekowisata, dimana pariwisata yang ditawarkan adalah segala potensi yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan.

Pariwisata Berkelanjutan

The World Commissions for Environmental and Development (WCED) mendefinisikan konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan sekarang, tanpa mempertaruhkan kemampuan generasi berikutnya dalam memenuhi kebutuhannya mereka sendiri.

Adapun Federation of Nature and National Parks (dalam Damanik,2006) memberikan sebuah batasan mengenai pariwisata berkelanjutan yakni semua bentuk kegiatan pengelolaan, pembangunan, dan aktivitas pariwisata harus memelihara integritas lingkungan, sosial, ekonomi, dan kesejahteraan dari sumber daya alam serta budaya yang ada untuk jangka waktu yang lama.

Kerangka Pikir

Modal sosial dapat digunakan dalam berbagai kebutuhan masyarakat, namun yang paling umum modal sosial digunakan dalam upaya pemberdayaan. World Bank juga memberikan perhatian khusus dengan mengkaji implementasi dalam peranan modal sosial untuk mengentaskan kemiskinan di negara-negara berkembang (Syahyuti, 2008). Pemberdayaan sendiri, adalah upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau penguatan (strengthening) kepada masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat juga diartikan sebagai kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan sehingga bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat (Mardikanto, 2014).

Kampung Jodipan merupakan kampung padat penduduk yang terletak di daerah aliran sungai (DAS) yang dahulunya sempat dipandang sebelah mata dan tidak enak di pandang karena lingkungan yang kumuh , tingkah laku masyarakat yang membuang sampah di sungai. Tidak hanya membuang sampah, kegiatan sehari hari seperti mandi dan sebagainya di sungai, hingga masalah sanitasi karena banyak warga yang tidak mempunyai kamar mandi sendiri menjadi masalah dulunya di Kampung Jodipan.

Namun beberapa tahun belakangan masalah-masalah diatas dapat dikurangi bahkan hilang dengan perubahan Kampung Jodipan yang di inisiasi sebuah lembaga bernama Guyspro bekerja sama dengan masyrakat Kampung Jodipan hingga munculah Kampung Warna Warni Jodipan.

Rumah - rumah yang letaknya berdekatan padat dan jika dilihat kusam beralih lebih enak dipandang bahkan menjadi objek yang menarik orang untuk berfoto setelah di cat warna-warni dan menjadikan Kampung Warna Warni Jodipan ini daya tarik orang untuk datang berkunjung. Banyaknya orang yang berkunjung ke Kampung Warna Warni Jodipan secara tidak langsung merubah pola pikir dan

(9)

tingkah laku masyarakat Jodipan yang dulunya sering membuang sampah dan aktivitas seperti mandi sungai.

Kampung Warna Warni Jodipan seolah menjadi pelopor bagi pariwisata Kota Malang yang banyak mengandalkan pariwisata buatan karena kurangnya potensi alam yang dimiliki dan seakan menjadi pilot project bagi desa desa lainnya di Kota Malang. Tidak berhenti disitu, keterlibatan masyarakat Jodipan dalam pengelolaannya membuat masyarakat lokal ikut terlibat dalam perencanaan maupun pengelolaan wisata tersebut. Sehingga keterlibatan masyarakat tersebut dapat menerima manfaat dari adanya aktivitas ekonomi yang muncul dari objek wisata Kampung Warna Warni Jodipan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Berikut kerangka pikir dari penelitian yang akan dilakukan.

Gambar 2.2 Kerangka Pikir

Sumber : Ilustrasi Pribadi

C. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif. Hal ini dikarenakan pendekatan kualitatif merupakan suatu penelitian yang memiliki tujuan untuk memahami suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat secara alamiah dengan mengedepankan suatu proses komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti.

Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan model pendekatan penelitian fenomenologi dimana pendeketan model ini merupakan tradisi dari penelitian kualitatif yang berakar pada filosofi dan psikologi (Moleong, 2005). Model pendekatan fenomenologi berusaha untuk memahami arti suatu peristiwa dengan kaitannya terhadap orang-orang dalam situasi peristiwa tertentu.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini memilih lokasi di Kampung Warna Warni Jodipan, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa timur dimana penelitian ini ditujukan pada masyarakat yang berada di kampung wisata tersebut. Lokasi ini dipilih karena sesuai dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti yaitu bagaimana peran modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat diterapkan pada desa ini sehingga dapat berhasil menjadi objek wisata yang cukup di minati oleh masyarakat Malang dan

Modal Sosial (Kepercayaan, Jaringan Sosial, Norma)

Pemberdayaan Masyarakat

Kampung Warna – Warni Jodipan

Pembangunan (Bottom Up) Modal Sosial

Mengait (Social Capital Linking)

Modal Sosial Menyambung (Social

Capital Bridging) Modal Sosial

Mengikat (Social Capital Bonding)

Dampak Ekonomi dan

Sosial

(10)

mancanegara, mengingat letak desa ini yang cukup unik yaitu di daerah aliran sungai dan kondisi sosial budaya yang beragam dan dulunya dipandang sebelah mata, dan dampak sosial maupun ekonomi dengan adanya Kampung Warna Warni Jodipan tersebut.

Unit Analisis

Penelitian ini menggunakan analisis yang memiliki hubungan atau berkaitan langsung dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu bagaimana konsep modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat diterapkan pada desa wisata. Dari analisis tersebut, maka dapat dijelaskan secara mendalam mengenai dampak keberhasilan konsep desa wisata yang diterapkan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam hal ini unit analisis yang akan diteliti adalah masyarakat pada desa tersebut yang memiliki keterlibatan ataupun informasi yang dibutuhkan oleh peneliti dalam meneliti fenomena yang terjadi.

Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini ialah orang-orang yang mempunyai peran ataupun kewenangan dalam suatu fenomena yang sedang diteliti. Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan metode purposive sampling. Menurut Sugiyono (2010) Purposive sampling merupakan teknik dalam mencari informan atau sampel berdasarkan pertimbangan tertentu.

Metode purposive sampling akan dilakukan pada informan utama yang menjadi objek penelitian yaitu Ketua Pokdarwis Kampung Warna Warni Jodipan, GuysPro, dan informan pendukung lainnya seperti Kepala Lurah, Kepala RT dan Masyarakat desa tersebut. Pada umumnya, dalam penelitian kualitatif tidak diperlukan informan dalam jumlah banyak, melainkan kecukupan serta kesesuain informasi yang di dapat dalam penelitian.

Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah bersifat data primer dan data sekunder baik yang bersifat data kuantitatif maupun kualitatif. Data primer didapatkan dengan mengadakan wawancara, visual ethnography, serta observasi. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi- instansi terkait dan hasil-hasil penelitian sebelumnya melalui studi dokumen.

Teknik Analisis

Teknik analisis yang dilakukan pada penelitian dengan menggunakan metode analisis data kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (1984) dalam (Sugiyono 2008: 246) berpendapat bahwa kegiatan dalam analisis data kualitatif dilakukan dengan cara terus-menerus hingga tuntas dalam bentuk laporan penelitian atau sampai data di titik mengalami kejenuhan.

Teknik Keabsahan Data

Penelitian kualitatif umumnya menggunakan data primer, dimana data di peroleh secara langsung di lapangan. Data tersebut dapat dinyatakan valid jika tidak ada perbedaan antara apa yang dilaporkan dengan fakta yang ada dilapangan atau obyek penelitian. Kebenaran data menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, melainkan jamak dan tergantung pada hasil proses mental tiap penelitian dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Maka dari itu dibutuhkannya uji keabsahan data (Sugiyono, 2014). Beberapa uji keabsahan data dalam penelitian ini antara lain, yaitu sebagai berikut :

Triangulasi

Triangulasi menurut Wiersma dalam (Sugiyono, 2007:372) merupakan pengujian kredibiltas atau diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan waktu.

Uji Transferability

Uji transfer ini terkait dengan pertanyaan, sampai mana penelitian dapat diterapkan atau digunakan dalam situasi lain. jika pembaca laporan penelitian ini mendapatkan gambaran yang jelas mengenai “seperti apa” suatu hasil dari penelitian (terjadi transfer) maka dapat dikatakan laporan penelitian tersebut memenuhi standar.

(11)

D. PEMBAHASAN Modal Sosial dalam Masyarakat

Modal sosial adalah modal yang umumnya di gunakan seseorang untuk berinteraksi antar masyarakat di dalam atau diluar suatu kelompok masyarakat. Pembentukan modal sosial yang terjadi di dalam masyarakat dimanfaatkan dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat, tidak dapat jika hanya di gunakan pada seorang diri. Bourdieu sebagai penemu awal modal sosial menjelaskan bahwa modal sosial ialah sumber daya yang terikat untuk menjalin hubungan yang awet sehingga dapat membentuk suatu hubungan persahabatan yang saling menguntungkan (Yustika, 2010).

Dalam proses munculnya Kampung Warna – Warni Jodipan tidak terlepas dari peran modal sosial yang dimiliki masyarakat yang ada dan Gusypro. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan berikut ini ,

“Menurut saya pribadi, prototype adalah “pendukung”, yang utama bisa membangun trust adalah “efek Pak Parin” dan mungkin juga bagaimana kami berinterkasi kepada mereka (masyarakat), dan mungkin juga faktor karena status kami sebagai mahasiswa. Dan bonusnya lagi yaa... mungkin karena selama ini kampung tersebut jarang disentuh oleh pihak manapun ya. Jadi sekalinya ada pihak yang masuk dengan tujuan yang baik, ya kenapa tidak.” (Nabila Firdausiyah, Koordinator Guyspro)

Dari pernyataan diatas, latar belakang Guyspro yang anggotanya semua mahasiswa menjadi modal sosial bagi Guyspro yang berperan besar dalam memudahkan Guyspro dalam proses sosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat Jodipan dan tidak ketinggalan modal sosial yang di milik Bapak S.Parin “efek Pak Parin” juga turut membantu Guyspro dalam membangun trust kepada masyarakat Jodipan untuk mendukung kegiatan Guyspro dengan bersedia rumahnya untuk dilakukan pengecatan. Pernyataan tersebut sejalan dengan pengertian modal sosial yaitu modal yang umumnya di gunakan seseorang untuk berinteraksi antar masyarakat di dalam atau diluar suatu kelompok masyarakat. Sependapat dengan Bourdieu sebagai penemu awal modal sosial menjelaskan bahwa modal sosial ialah sumber daya yang terikat untuk menjalin hubungan yang awet sehingga dapat membentuk suatu hubungan persahabatan yang saling menguntungkan (Yustika, 2010).

Trust : Masyarakat Kampung Warna – Warni Jodipan

Adanya high-trust yang terjadi di dalam kelompok juga dapat menciptakan solidaritas yang kuat sehingga mampu membuat tiap individu bersedia mengikuti aturan yang ada serta ikut memperkuat rasa kebersamaan dan memiliki. Hal ini lah yang terjadi pada masyarakat Jodipan, dimana rasa saling percaya berhasil di tumbuhkan kepada pihak baru yang membawa perubahan ke Kampung Jodipan. Tumbuhnya rasa saling percaya yang ada juga merupakan upaya dalam hal pemberdayaan masyarakat (Fahrudin, 2012) dalam hal enabling yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang dengan munculnya Kampung Warna – Warni Jodipan. Maka dari itu, dengan terbangunnya rasa saling percaya di masyarakat dalam hal ini baik antar masyarakat, maupun masyarakat ke pengurus Kampung Warna – Warni Jodipan membuat program pemberdayaan dalam proses pengecatan Kampung Jodipan berhasil, dan masyarakat lebih kompak dan sadar mengenai lingkungan yaitu dengan semakin indahnya Kampung Jodipan sebagai tempat tinggalnya. Hal tersebut sejalan dengan Putnam (dalam Yustika 2010) yaitu modal sosial dapat menciptakan kehidupan sosial yang harmonis, dengan adanya modal sosial yang baik dapat di tandai dengan adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh.

Jaringan Sosial yang Ada di Kampung Warna-Warni Jodipan

Tidak hanya social capital linking, jaringan sosial yang ada di Kampung Warna – Warni Jodipan menunjukan perencanaan pembangunan yang menggunakan pendekatan bottom up yaitu perencanaan yang dibuat berdasarkan kebutuhan, keinginan dan permasalahan yang dihadapi oleh bawahan bersama-sama dengan atasan dalam menetapkan kebijakan atau pengambilan keputusan dan atasan juga berfungsi sebagai fasilitator. Dimana dalam jaringan sosial yang ada Guyspro berperan sebagai perencana dengan objek permasalahan yang ada di Kampung Jodipan, kemudian PT. Indana sebagai perusahaan sebgai fasilitator. Hal ini juga sesuai dengan upaya pemberdayaan (Fahrudin, 2012) dalam hal empowering yaitu meningkatkan kapasitas dengan memperkuat potensi datau daya yang dimiliki masyarakat Kampung Warna – Warni Jodipan dengan munculnya akses kepada lembaga – lembaga tersebut yang dapat membuat masyarakat menjadi makin berdayaan.

(12)

Nilai dan Norma Merubah Perilaku atau Habit di Kampung Warna-Warni Jodipan

Nilai dan Norma Merubah Perilaku atau Habit di Kampung Warna-Warni Jodipan

Selain meningkatkan kepercayaan dan mengembangkan jaringan sosial, ternyata modal sosial juga menekankan pada dimensi yang lebih luas yang dimana ketika warga Kampung Warna-Warni Jodipan memiliki tujuan bersama atas dasar kebersamaan dan untuk menjadikan kampungnya lebih baik lagi, didalamnya selalu di ikuti oleh nilai dan norma yang tumbuh dan dipatuhi (Fukuyama dalam Hasbullah, 2006).

Adanya nilai dan norma bertujuan untuk menciptakan suasana yang tertib dan teratur, karena masyarakat Kampung Warna-Warni adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan kerjasama dan berhubungan anatar warga dan wisatawan yang datang berkunjung (Field, 2003). Hal tersebut juga senada dengan pernyataan Taneko (1984), yang menyatakan bahwa dalam berinteraksi tersebut dibutuhkan norma sebagai pedoman atau patokan untuk dapat menjaga suatu hubungan yang nantinya dapat mendukung dalam mencapai tujuan bersama.

Keramah tamahan masyarakat Kampung Warna-Warni kepada wisatawan menciptakan rasa aman dan nyaman terhadap wisatawan yang berkunjung, selain itu wisatawan tidak sulit untuk mendapatkan informasi. Lingkungan yang bersih, nyaman, dan enak dipandang meningkatkan rasa memiliki masyarakat Kampung Warna-Warni hingga wisatawan. Kekompakan masyarakat dan hubungan sesama tetangga juga menjadi lebih baik. . Sehingga dapat terjalin hubungan kerjasama yang berkelanjutan dan saling menguntungkan. Perilaku yang berulang pada akhirnya akan menjadi suatu norma yang tak terlihat (intangible) di dalam masyarakat. Hal ini juga membuat masyarakat Jodipan berkomitmen untuk menjaga Kampung Warna-Warni dalam menjaga yang semakin hari semakin banyak orang yang datang berkunjung agar tetap nyaman. Meskipun sudah berkembang menjadi kampung wisata dan memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat Jodipan. Hal tersebut diungkapkan Bapak S.Parin dan Bapak Marjuki sebagai berikut.Adanya nilai dan norma yang muncul setelah adanya Kampung Warna – Warni Jodipan yang mampu menciptakan dan menambah keharmonisan dalam bertetangga hingga berubahnya perilaku masyarakat yang sesuai dengan tujuan pemberdayaan masyarakat menurut Mardianto (2014) mengenai perbaikan masyarakat (better community). Dimana kehidupan yang lebih baik, yang didukung oleh lingkungan (fisik dan sosial) yang lebih baik, diharapkan terwujud kehidupan masyarakat yang lebih baik pula.

Manfaat Ekonomi dan Modal Sosial

Datangnya Guyspro bersama PT. Indana pada tahun 2016 ke Kampung Jodipan seakan menjadi awal pemberdayaan masyarakat di Kampung Warna-Warni Jodipan. Ife (1995) juga menambahkan bahwa pemberdayaan dapat berhasil jika dengan mengoptimalkan seluruh sumber daya masyarakat yang ada berupa kesempatan, pengetahuan, sumber daya, serta keahlian yang dimiliki tiap-tiap individu. Pemberdayaan yang dilakukan pada masyarakat Jodipan sendiri yaitu mengenai bagaimana menjaga lingkungan Kampung Warna – Warni Jodipan dengan memanfaatkan ide kreativitas warga untuk menambah keindahan dan menarik lebih banyak wisatawan untuk datang ke Kampung Warna – Warni Jodipan. Hal tersebut seperti diungkapkan dalam pernyataan berikut ini.

Tingkat stok modal sosial yang ada di masyarakat dapat diukur melalui pengukuran hasil (outcome) dari modal sosial itu sendiri. Dimana hasil yang tercipta dari ketersediaan modal sosial yang ada dikelompokkan menjadi dua indikator kelompok yaitu kelompok proximal indikator dan distal indikator. Proximal indikator ialah hasil modal sosial yang berhubungan langsung dengan komponen inti seperti kepercayaan, norma, jaringan kerjasama, dan resiprositas dengan penggunaan civic engagement sebagai indikator dari jaringan kerja sosial. Sedangkan dista indikator merupakan hasil tidak langsung dari modal sosial seperti indeks harapan hidup, tingkat pengangguran, serta tingkat pendapatan rumah tangga. (Fadli dalam Vipriyanti , 2011).

Keberhasilan program pemberdayaan masyarakat Jodipan melalui peran modal sosial dapat dilihat dari partisipasi warga yang berkenan untuk di cat rumahnya dan membantu melancarkan program kampung Warna-Warni yang di gagas oleh Guyspro dan ikut andil dalam perkembangan Kampung Warna – Warni. Dengan masuknya Guyspro ke kampung Warna-Warni Jodipan dan di bantu beberapa tokoh masyarakat selaku opinion leader hingga mampu menarik perusahan dan komunitas lainnya, maka dapat dikatakan modal sosial seperti kepercayaan, norma, maupun jaringan sosial yang dibangun di Kampung Warna-Warni berhasil.Keberhasilan dan muculnya kampung

(13)

Warna-Warni Jodipan memberikan manfaat materil maupun non materil kepada masyarakat Jodipan.

Manfaat modal sosial dan manfaat ekonomi di Kampung Warna – Warni. Modal sosial yang kuat di masyarakat dapat berguna untuk meningkatkan efektivitas pembangunan di dalam suatu wilayah. Hal tersebut juga sesuai dengan konsep Pariwisata berkelanjutan yang dianggap memenuhi syarat apabila telah memenuhi syarat yaitu, berkelanjutan secara ekologis dan berkelanjutan secara sosial dan budaya. Sehingga hal itu dapat memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat yang ada di dalamnya yaitu meningkatnya kesejahteraan masyarkat. Sejalan dengan Lin (2001) berpendapat bahwa modal sosial yang tinggi dalam masyarakat dapat mempermudah untuk mencapai sebuah tindakan yang positif.

Lin melanjutkan bahwa dampak dari modal sosial dalam mencapai sebuah tindakan yaitu pertama, tersedianya aliran informasi yang lebih simetris sehingga dapat menghindari munculnya biaya transaksi. Kedua, ikatan sosial dapat mempengaruhi perilaku. Ketiga, adanya jaminan sosial dalam memperoleh akses yang lebih baik terhadap berbagai sumber. Dan keempat, terbentuknya rasa saling percaya dan berbagi antar anggota organisasi sehingga tersedia dukungan yang bersifat emosional dan pengakuan publik. Modal sosial yang tercipta dalam Kampung Warna – Warni Jodipan juga menjadi modal bagi Kampung Warna – Warni Jodipan yang secara tidak langsung telah menerapkan pariwisata berbasis komunitas ( community based tourism). Dalam pengelolaan dan pengembangan Kampung Warna – Warni Jodipan dengan melibatkan masyarakat Kampung Warna – Warni yang merupakan sumber daya utama dalam pariwisata di Kampung Warna – Warni Jodipan.

E. PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dari bab sebelumnya mengenai identifikasi modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat di desa/kampung wisata di Kota Malang . Sehingga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat Kampung Warna-Warni Jodipan maka dapat di simpulkan bahwa :

1. Modal sosial yang terdapat dalam Kampung Warna – Warni Jodipan memiliki pengaruh positif dalam pemberdayaan masyarakat di Jodipan hal ini ditandai tidak adanya hambatan dalam proses penyampaian program yang Guyspro buat. Munculnya Kampung Warna – Warni mampu menjadi pengingat bagi masyarakat Jodipan untuk menjaga kelestarian lingkungan kampungnya.

Modal sosial yang kuat mampu mengatasi permasalahan yang ada di Kampung Jodipan.

Dengan cara :

a) Pertama, dibantu tokoh masyarakat Guyspro membangun trust atau rasa saling percaya dalam sosialisasi ide/program yang dibuat Guyspro kepada masyarakat Jodipan sehingga masyarakat mau berpartisipasi dan sukarela rumahnya di cat dengan warna yang berbeda – beda. Lama tinggalnya seseorang berpengaruh di suatu tempat berpengaruh pada modal sosial yang dimiliki seseorang.

Hal ini dapat dilihat dari Guyspro memanfaatkan tokoh masyarakat yang ada di Kampung Warna – Warni Jodipan dalam membangun trust pada masyarakat Jodipan dalam penyampaian program yang mereka buat. Selain itu latar belakang Guyspro sebagai mahasiswa juga berperan dalam membangun trust dan penyampaian ide yang Guyspro buat.

Hal ini juga menunjukkan peran mahasiswa sebagai agent of change pada masyarakat di sekitarnya berjalan dengan baik pada masyarakat Kampung Jodipan Artinya trus atau rasa saling percaya yang ada dalam masyarakat Jodipan kepada tokoh masyarakat yang ada di Kampung Jodipan masih sangatlah tinggi. Sedangkan trust kepada pihak luar juga sangat baik dengan adanya Kampung Warna – Warni Jodipan tersebut.

b) Kedua, memanfaatkan jaringan sosial dan informasi yang di miliki, Guyspro kemudian mengajukan proposal kepada PT. Indana hingga tecetuslah Kampung Warna – Warni. . Artinya jaringan informasi dan sosial yang tersedia mampu memberikan perubahan bagi masyarakat dan Kampung Jodipan.

c) Ketiga, terciptanya nilai dan norma yang ada terutama keramahan yang menjadi pedoman bagi warga Kampung Warna – Warni dalam menghadapi pengunjungan yang datang ke Kampung Warna – Warni. Artinya nilai dan norma yang muncul karena adanya Kampung Warna – Warni Jodipan berdampak postif bagi kehidupan bertetangga di Kampung Jodipan

(14)

2. Modal Sosial yang ada pada Kampung Warna – Warni Jodipan termasuk kepada tipe modal sosial mengait (social capital linking) yang terbentuk karena adanya hubungan formal antara berbagai pihak seperti lembaga pendidikan, perusahaan, kepariwisataan dan sebagainya. Disini Guyspro dan Universitas Muhamammadiyah sebagai lembaga pendidikan, PT. Indana sebagai swasta, Dinas Pariwisata sebagai pemerintah, dan masyarakat Jodipan.

Saran

Berdasarkan temuan dari penelitian yang dilakukan ini, maka ada beberapa hal yang dapat di jadikan saran untuk pengembangan objek wKampung Warna – Warni Jodipan ke depannya. Hal itu antara lain ialah:

1. Modal Sosial yang menjadi faktor utama munculnya Kampung Warna – Warni Jodipan perlu dipikirkan kelanjutan jangka panjangnya terutama dalam hal trust dimana dalam penelitian ditemukan masih tergantungnya masyarakat kepada tokoh masyarakat yang diniliai dari lama tinggalnya seseorang. Diperlukan adanya regenerasi untuk menjaga eksistensi Kampung Warna – Warni Jodipan.

2. Perlunya pemberian edukasi bagi masyarakat Jodipan tentang kampung/desa wisata. Karena masih rendahnya kesadaran masyarakat Jodipan akan dimana kampung/desanya sudah menjadi destinasi wisata. Hal ini dapat diatasi dengan mengundang dinas terkait untuk memberikan penyuluhan langsung ke Kampung Warna – Warni Jodipan dan kampung wisata lainnya yang ada di Kota Malang. Agar semua lapisan masyarakat, tua muda dan muncul regenerasi agar dapat menjamin eksistensi Kampung Warna – Warni dan kampung wisata lainnya.

3. Menciptakan inovasi mengenai event wisata sebagai daya tarik untuk wisatawan agar berkunjung ke Kampung Warna – Warni Jodipan. Hal ini diperlukan mengingat kondisi pariwisata Kota Malang yang kaya akan pariwisata buatan, salah satunya Kampung Warna – Warni Jodipan.

4. Meningkatkan modal sosial dalam kelompok maupun antar masyarakat yang berada di sekitaran objek wisata maupun yang diluar. Hal ini bertujuan agar dapat menjalin kerjasama yang baik untuk memajukan objek wisata kedepannya dan hal ini juga dapat menghidari diskresi atau permasalahan yang dapat terjadi di masyarakat.

5. Perlunya peraturan yang jelas bagi pengunjung yang datang di samping peraturan bermasyarakat yang sehari – hari yang sudah ada di Kampung Warna – Warni Jodipan.

F. DAFTAR PUSTAKA

Arsip Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. 2017. Data Jumlah Pengunjung Kampung Warna Warni Jodipan Tahun 2017 .

Arsip Kelurahan Jodipan Kota Malang. 2017. Data Monografi Kelurahan Jodipan Tahun 2017.

Arsip Kelurahan Jodipan. 2019. Profil Wilayah Jodipan. http://

keljodipan.malangkota.go.id/profil/profil wilayah. (5 November 2019) Almasri, & Deswimar, D. (2004). Peran Program Pemberdayaan Masyarakat

Desa Dalam Pembangunan Pedesaan.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BPPD) Kota Malang. 2015. Laporan Akhir : Penyusunan Rencana Aksi Malang Tanpa Kumuh (Slum City). Hal 53- 54.

Cox, Eva. (1995). A Truly Civil Society. Sydney: ABC Book.

Cohen, S., Prusak L. (2001), In Good Company: How Sosial Capital Makes Organization

Coleman, J (1999), Sosial Capital in the Creation of Human Capital. Cambridge Mass:

Fukuyama, F. (2002). Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran.

Yogyakarta: Penerbit Qalam.

(15)

Fahrudin, Adi. 2012. Pemberdayaan, Partisipasi dan Penguatan Kapasitas Masyarakat. Bandung: Humaniora

Hikmat, Harry. 2006. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Istoc, Elena Manuela. 2012. Urban Cultural Tourism And Sustainable

Development Vol1 No.1. International Journal For Responsible Tourism 1.1. Hal 41

Istoc, Elena Manuela. 2012. Urban Cultural Tourism And Sustainable Development Vol1 No.1. International Journal For Responsible Tourism 1.1. Hal 42.

Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. Laporan Kinerja Kementerian Pariwisata 2016. Hal 86.

Krisnani, H., & Darwis, R. S. (2010). Pengembangan Desa Wisata Melalui Konsep Community Based Tourism, 341–346

Mardikanto, Totok. 2014. CSR (Corporate Social Responsibility)(Tanggungjawab Sosial Korporasi). Bandung: Alfabeta.

Moleong, L. J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Moleong, L. J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi revisi. Bandung:

Rosdakarya.

Najiati, Sri, dkk. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Bogor:

Wetlands International.

Nugroho, I. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Purnamasari, A. M. (2011). Pengembangan Masyarakat untuk Pariwisata di Kampung Wisata Toddabojo Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, 22(1), 49–64.

Pongponrat, K., & Chantradoan, N. J. (2012). Mechanism of social capital in community tourism participatory planning in Samui Island, Thailand.

TOURISMOS: AN INTERNATIONAL MULTIDISCIPLINARY JOURNAL OF TOURISM, 7(1), 339–349.

Putnam, RD (1993), “The Prosperous Community: Social Capital and Public Life, dalam The American Prospect, Vol.13, halaman 35-42.

Putnam, RD (1995), “Bowling Alone: America’s Declining Social Capital”, dalam Journal of Democracy, Vol.6, No.1, halaman 65-78.

Satria, D. (2009). Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Ekonomi Lokal

Dalam Rangka Program Pengentasan Kemiskinan Di Wilayah Kabupaten

Malang. Journal of Indonesia Applied Economic, 3(1), 37–47.

(16)

Soetomo. (2011). Pemberdayaan Masyarakat: Mungkinkah Muncul Antitesisnya?.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suansri, P. (2003). Community Based Tourism Handbook. Bangkok: The Responsible Ecological Social Tours (REST) Projects.

Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2007). Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Supriono, Flassy dan Rais (2008). Modal sosial: definisi, dimensi, dan tipologi Sudirah. (2015). Modal Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Wisata.

Prosiding Seminar Nasional Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Terbuka UTCC, 26 Agustus 2015, (2001), 148–156.

Spellerberg, A. (1997), “Towards a Framework for the Measurement of Social Capital” dalam David Robinson (ed), Social Capital dan Policy Development, Wellington: The Institute of Policy Studies, halaman 42-52.

Suharto, Edi (2005b), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial,

Bandung: Refika Aditama.

UNDP dan WTO.1981. Tourism Development Plan for Nusa Tenggara, Indonesia. Madrid: World Tourism Organization. Hal 69

Vipriyanti, N. U. (2011). Modal Sosial dan Pembangunan Wilayah: Mengkaji Success Story Pembangunan di Bali. Malang: Universitas Brawijaya Press.

Winarni, I. (2011). Keterkaitan Antara Modal Sosial dengan Produktivitas pada Sentra Bawang Merah di Kecamatan Pangelangan Kabupaten Bandung.

Tesis. Jakarta: Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia Salemba.

Woolcock, M., & Narayan, D. (2000). Social Capital: Implications for Development Theory. World Bank Research Observer, Oxford Journals Economics & Social Sciences, 15(2P), 225–249.

Woolcock, M. (2001). The place of social capital in understanding social and economic outcomes. Canadian Journal of Policy Research, 2(1), 1–35.

Yulianto, T.S. (2015). Modal Sosial Masyarakat dalam Pengembangan

Pariwisata di Desa Wisata Petingsari dan Desa Sambi Kabupaten Sleman.

Tesis. Yogyakarta: Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah Universitas Gajah Mada.

Yustika, A. E. (2010). Ekonomi Kelembagaan, Definisi, Teori, dan Startegi.

Malang: Banyumedia Publishing.

(17)

Zakaria, F., Suprihardjo, D., Perencanaan, J., & Teknik, F. (2014). Konsep Pengembangan Kawasan Desa Wisata di Desa Bandungan Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan. Teknik Pomits, 3(2), C245–C249.

https://doi.org/2337-3520

Referensi

Dokumen terkait

me©bvg I wµqvc`¸wji †Kv‡bv iƒcvšÍi Ki‡Z bv cvi‡j - AMªMwZ cÖ‡qvRb... welqe¯‘i mwVKZv _vK‡jI avivevwnKZvi Afve