Skripsi oleh: Indah Aristya Ningrum NIM berjudul Tinjauan Fikih dan Astronomi Penentuan Awal Waktu Sholat Israq telah memenuhi persyaratan dan disetujui untuk diuji. Skripsi oleh: Indah Aristya Ningrum, NIM berjudul “Tinjauan Fikih dan Astronomi Tentang Penentuan Awal Waktu Sholat Israq” dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Departemen Astronomi Fakultas Syariah UIN Mataram pada tanggal . Para ahli fikih berbeda pendapat tentang shalat sunnah ini, sedangkan alasan perbedaan pendapat terletak pada penentuan awal waktu shalat dan persamaan atau perbedaan antara shalat isyraq dan shalat duha.
Dalam kajian ini, tujuannya adalah untuk mengetahui bilakah permulaan waktu solat Sunat Israq dapat dilaksanakan dari sudut fiqh dan astronomi. Sumber utama yang digunakan oleh pengkaji ialah buku-buku fiqh, ilmu falak tentang “Permulaan Waktu Solat Isyraq”.
Rumusan Masalah
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa dalam menentukan awal waktu shalat syuruq terdapat perbedaan dari segi kajian fikih yang menyebabkan perhitungan astronominya juga berbeda, oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengambil judul “Garis Besar Penetapan FIKIH DAN ASTRONOMI AWAL WAKTU SHOLAT ISIRAK”.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian
- Posisi Matahari Awal Waktu Shalat Isyraq
- Pendekatan Penelitian
- Kehadiran Peneliti
- Lokasi Penelitian
- Sumber dan jenis data a. Data Primer
- Metode Pengumpulan Data
- Analisis Data
- Keabsahan Data
- Sistematika Pembahasan
Penelitian ini difokuskan untuk menentukan awal waktu sholat sunnah isyraq berdasarkan tinjauan fikih dan astronomi. Namun ada judul skripsi dan jurnal yang antara lain membahas tentang awal waktu shalat sunnah isyraq yaitu. Alimudin dengan judul “Perspektif Syar’i dan Ilmu Awal Waktu Shalat” 7 Dalam jurnal ini dapat ditarik kesimpulan dari dua sub-masalah artikel ini sebagai berikut: Menurut Syara' dan menurut Astronomi.
Sedangkan menurut astronomi, permulaan israq dipahami ketika dari fajar shadik ada pendapat lain yang mengatakan bahwa terbitnya shadik dimulai ketika posisi matahari berada 20 derajat di bawah ufuk. Perbedaan tesis ini dengan jurnal ini mengkaji perbandingan awal waktu sholat dari perspektif syar'i dan ilmu pengetahuan, sedangkan tesis ini mengkaji awal sholat isyraq sunnah dari perspektif fikih dan astronomi, dan persamaannya adalah bahwa keduanya memeriksa awal waktu sholat. Tesis ini membahas tentang bagaimana merancang awal waktu shalat Dhuha, dimana tidak ada kesepakatan dalam fiqih tentang kapan tepatnya waktu itu, karena hadits-hadits tentang waktu tersebut hanyalah perkiraan, bukan hasil akhir.
Postingan ini menjelaskan bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa shalat sunnah israq termasuk ke dalam shalat sunnah dhuha karena dilakukan di awal waktu dhuha dan jika dilakukan di tengah waktu dhuha maka tidak bisa disebut isyraq shalat dan shalat itu dihukum sebagai dhuha. Waktu Israq adalah waktu shalat yang dilaksanakan pada saat matahari telah terbit dan melewati waktu tahrim, yaitu ketika matahari telah terbit kira-kira satu tumbak atau dua tumbak yang tingginya sama dengan tinggi tumbak. matahari, ketika matahari akan muncul pada waktu Ashar 9 Seperti dalam hadits. Posisi matahari di awal waktu Israq adalah posisi saat matahari berada di titik awal waktu Israq.
Pendekatan kualitatif ini digunakan oleh peneliti karena peneliti ini memaparkan fakta di lapangan terkait penentuan awal waktu Ishraq dan konsep perkiraan tinggi matahari satu tumbak dan dua tumbak (qadra rumhin au rumhaini) yang digunakan sebagai indikator masuknya waktu Ishraq dan nilai ketinggian matahari yang terjadi di lapangan. Peneliti menggunakan analisis deskriptif untuk mendeskripsikan praktik sholat Isra' yang dilakukan oleh warga atau masyarakat di kota Mataram. Bab ini meliputi: menentukan waktu dimulainya israq menurut pandangan fikih dan astronomi, mengukur tumbak sebagai alat ukur satuannya.
Awal Waktu Shalat Isyraq dalam Fikih Islam 1. Shalat Sunnah Isyraq
Dalil tentang solat sunat Israq dalam sebuah hadis, salah satunya diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah saw. bersabda: 17. Hanya terdapat satu dalil tentang solat sunat Israq di dalam hadis, yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda, yang bermaksud bahawa bagi kami: Daripada Abdullah Ibnul Harith bin Naufal R.A. bersabda: “Kemudian, aku pun membawa Ummu Hani untuk melihat”.Hadis riwayat Imam Tirmidzi bahawa solat sunat Israq ialah solat dua rakaat selepas matahari terbit mengelilingi tombak yang tinggi hingga keluar waktu makruh iaitu permulaan solat Dhuha.
Hadis riwayat At-Tharbani adalah sunat solat Israk, iaitu sesiapa yang solat subuh (subuh) berjemaah, kemudian duduk dan berdoa kepada Allah SWT sehingga terbit matahari, kemudian solat dua rakaat, kemudian kamu. akan mendapat pahala, setanding pahala haji dan umrah. Waktu solat Isyrâq/Syurûq/Thulû' ialah: pada permulaan waktu solat Dhuha atau solat Idul Adha iaitu selepas matahari terbit dan naik setinggi 1 tombak. Maka, waktu mengerjakan solat sunat Isyrâq/Syurûq/Thulû' tidak bercanggah dengan salah satu waktu solat yang dilarang iaitu ketika matahari terbit dengan "betul".
Diriwayatkan daripada Zaid bin Arqam: "Rasulullah s.a.w pernah pergi kepada penduduk Qubba' ketika mereka sedang solat (Dhuha). Kemudian baginda bersabda: "Sesungguhnya solat awwâbîn (orang ramai). orang-orang yang banyak bertaubat kepada Allah) mengerjakannya apabila anak kuda unta itu kepanasan." 15 Dan dari Al-Qasim alSyaibani, bahawa Zaid bin Arqam melihat suatu kaum mengerjakan solat pada waktu Dhuha, maka dia berkata para Sahabat Kami: Ini adalah waktu yang paling utama. untuk solat Dhuha, walaupun boleh dilakukan dari terbit matahari hingga waktu zawal (matahari terbenam di tengah hari). Syaikh Mubarakfuri berkata, "Dan hadis memberi manfaat untuk mengakhiri solat Dhuha hingga tengah hari." Penafian Zaid bin Arqam dalam hadis Islam di atas bukanlah menafikan kewujudan solat dhuha di awal hari.
Akan tetapi penyangkalan Zaid bin Arqam adalah agar orang mengerjakannya ketika matahari telah terbit agar mendapat pahala yang lebih besar karena waktu yang paling utama untuk melaksanakan shalat Dhuha (sholat Awwâbîn) adalah ketika matahari telah terik.
Awal Waktu Shalat Isyraq Menurut Astronomi
Kedudukan Matahari apabila cakeranya bersilang dengan ufuk di timur ialah Matahari yang telah terbit dengan sempurna. Dalam Fiqh, seseorang boleh melakukan apa-apa solat, termasuk solat Israk, apabila matahari telah naik dan naik sedikit. Sehingga menurut para pengkaji, terlepas dari perbedaan kriteria yang dikemukakan oleh para ahli mengenai ketinggian Matahari pada awal waktu Isyraq, selagi mana kita tidak solat ketika terbit matahari atau pada waktu tahrim, maka dibolehkan. untuk menunaikan solat Isyraq.
Tumbak Sebagai Satuan Ukur
Sehingga ketika seseorang melihat matahari terbit dalam keadaan ini, maka hilanglah waktu shalat haram atau waktu israk. Sedangkan kata حامر dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai tumbak atau tombak, yaitu senjata bermata dua yang runcing dan runcing dengan tangkai yang panjang. Meskipun kaki termasuk dalam kategori satuan panjang non-SI atau dalam Sistem Internasional dalam bahasa Prancis.
Satu kaki kira-kira sepertiga meter atau tepatnya 0,3048 cm, atau jika dalam bentuk sentimeter adalah 30,48 tetapi biasanya dibulatkan menjadi 30 cm. Jadi untuk mengetahui satuan panjang tumbak, tumbak berukuran 12 kaki dikalikan dengan satuan panjang 30 kaki.
Analisis Waktu Shalat Isyraq Dalam Persfektif Fikih
Dengan Astrologi, ia boleh ditentukan bila waktu solat bermula dan bila waktu solat berakhir. Hal ini tidak ubah dengan penentuan awal waktu solat isyrak, segala rumusan yang ditawarkan oleh seorang ahli fiqh tidak dapat dipisahkan daripada hasil kefahamannya tentang konsep fiqh waktu isyrak. Setakat ini belum ada rumusan standard waktu Isyrak, bahkan ulama fiqh kita sendiri ketika mendefinisikan tombak dalam hadis-hadis zaman Isyrak pun belum mencapai titik kesepakatan.
Justeru, dalam merumuskan ketinggian lembing untuk menganggar ketinggian Matahari pada permulaan Isirak, ukuran kembali kepada ketinggian umum lembing yang beredar dalam masyarakat. Imam Nawawi memahami bahawa lembing yang digunakan sebagai anggaran ketinggian Matahari awal pada masa Isiraq adalah bersamaan dengan tujuh Dzira', di mana. Manakala Muhyiddin Khazin pula berkata, ketinggian lembing yang disebut dalam hadis-hadis semasa Izirak kembali pada umumnya adalah ketinggian lembing yang beredar dalam masyarakat.
Tidak berhenti disini karena tidak ada ketentuan baku dari hadits, masalah lain yang belum disepakati selama ini, jarak pengamat dengan tumbak merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan ketinggian matahari di awal. dari Israq. Oleh karena itu, menurut para peneliti, rumusan Ishraq yang asli hanya dengan mengacu pada perkiraan ketinggian satu tumbak atau dua tumbak adalah rumusan dalam kajian Fiqh yang tidak definitif. Pada tataran penentuan ketinggian Matahari di awal Israq, semuanya akan berdasarkan dugaan.
Bagaimanapun, sesiapa sahaja dibenarkan mengira permulaan waktu Isiraq, selagi pengiraan itu tidak bertepatan dengan terbitnya Matahari.
Analisis Awal Waktu Isyraq Persfektif Ilmu Falak
Sedangkan waktu Dhuha tanggal 3 Oktober 2021 dapat kita ketahui dengan menggunakan rumus berikut. Berdasarkan semua perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa matahari akan terbit pada tanggal 3 Oktober 2021. Sehingga kita bisa mengetahui waktu israq melalui waktu terbit ditambah 10 menit dengan rentan waktu antara dhuha dan syuruq yaitu.
Analisis Awal Waktu Dhuha Persfektif Fikih
ملسو هيلع الله ىلص-
Saran
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Sura, Sunen et-Tirmizi, (Kairo: Dar el-Hadis, t.th), fq. Ebi Daud Sulejman ibn el-Asy'ab es-Sajastani, (Suneni Ebi Daud, Bejrut: Dar el-Fikr, t.th), xhuz. Xhelaluddin Es-Suyuti, Sunen Nasa'i, (Bejrut, Lebanon: Dar el-Kutub el-Ilmiyyah, t.th, vol. 1), f.
Sien ook Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Sunan at-Tirmizi, (Kairo: Dar al-Hadis, t.th), bl. Sien ook dalam Abi Daud Sulaiman ibnu al-Asy'ab as-Sajastani, (Sunan Abi Daud, Beiroet: Dar al-Fikr, t.th), jld. Syeikh Hasan bin 'Ammar Asy-Syarnablali, Maraqil Falah bi Imdadil Fattah Syahru Nuril Idhoh wa Najatul Arwah, (Beiroet: Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, 2003M), Hlm.149.
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Sunan at-Tirmizi, (Kairo: Dar al-Hadis, t.th). Abdul Halim Abdul Qawi al-Mungdzari, al-Targhib Wa al-Targhib, Kahirah: Dar al-Hadist, 1994, juz. Muhammad Mahfudz bin Abdillah al-Atmasi, Haisyah al-Tarmasy, hlm.427 Zubair 'Umar Jailani, Khulasah al-Wafiyyah, Kudus: Menara Kudus, t.th, hlm.200.
Imam Ebi Abdirohman Ahmad bin Syu'bin en-Nasai, el-Sunan el-Kubra, Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991, cover, p.