• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDUSTRI JAMU (PT. SIDO MUNCUL) DENGAN METODE

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "INDUSTRI JAMU (PT. SIDO MUNCUL) DENGAN METODE "

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

*) Penulis Penanggung Jawab (Email: email_dosen@undip.ac.id)

INDUSTRI JAMU (PT. SIDO MUNCUL) DENGAN METODE

Alyssa Nahla Amir

Jurusan Teknik

Jln. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang, 50239, Telp/Fax: (024)7460058

Pemanfaatan limbah ampas jahe industri jamu di Indonesia saat ini hanya berupa pembuatan bahan bakar, padahal limbah tersebut masih memiliki kandungan oleoresin yang cukup tinggi.

itu perlu dipelajari metode ekstraksi yang efisien untuk menghasilkan oleoresin berkualitas tinggi limbah ampas jahe industri jamu

ampas jahe industri jamu menjadi produk berupa oleoresin dalam ekstraksi oleoresin dari

ekstraksi menggunakan variasi pelarut secara batch.

adalah berat ampas jahe 50 gr, volume solven 300 ml, waktu ekstraksi 5,5 jam dan kecepatan pengaduk 450 rpm. Sedangkan variabel berubahnya adalah

yang digunakan (etanol, n-Hexane, dan aseton). Dari hasil penelitian didapat bahwa variasi jenis pelarut dan suhu mempengaruhi oleoresin hasil ekstraksi. Kondisi ekstraksi terbaik untuk mengha

oleoresin jahe yang tinggi dan bermutu baik diperoleh pada kombinasi perlakuan jenis pelarut etanol, waktu 5.5 jam dan suhu 40oC dengan konsentrasi oleoresin 12.2%, Berat jenis 0,955 (gr/ml) dan indeks bias 1.370.

Kata kunci: pemanfaatan limbah, ekstraksi, oleoresin jahe, solven

Utilization of ginger pulp waste from herbal medicine industry in Indonesia currently used for making fertilizer and fuel, whereas the ginger pulp still contain high oleoresin.

study may utilize the ginger dregs of herbal medicine industry to be oleoresin products, appropriate extraction techniques

extraction of ginger oleoresins

variable used in this study is the weight of ginger 50 gr, volume of solvents 300 mL, extraction time 5.5 hour and stirring speed of 450 rpm. While the change variable is extraction tempe

and 60 oC and types of solvent (ethanol, n of solvent and temperature

produce a high yield of ginger solvent type, time of 5.5 hours density (g/ ml) and a refractive

Key words : utilization of waste, extraction, ginger oleoresin, solvent 1. Pendahuluan

PT. Sidomuncul adalah

dimana jumlah limbah padat organik yang terdiri dari ampas kunyit, jahe, temulawak, kencu rempah-rempah lainnya mencapai

untuk pembuatan pupuk organik yang digunakan untuk pemupukan tanaman di lokasi pabrik dan sebagian dimanfaatkan oleh para petani terutama peta

(PT. Sidomuncul, 2013). Padahal limbah padat yang dihasilkan oleh PT. Sido Muncul, khususnya limbah ampas jahe masih memiliki kandungan oleoresin yang cukup tinggi yang dapat dimanfaatkan

komoditi yang memiliki nilai jual lebih tinggi seperti

(Email: email_dosen@undip.ac.id)

INDUSTRI JAMU (PT. SIDO MUNCUL) DENGAN METODE EKSTRAKSI

Alyssa Nahla Amir (L2C009131) *), Puspita Firsty Lestari

Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jln. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang, 50239, Telp/Fax: (024)7460058

Pembimbing: Ir. Indro Sumantri, MEng.

Abstrak

Pemanfaatan limbah ampas jahe industri jamu di Indonesia saat ini hanya berupa pembuatan padahal limbah tersebut masih memiliki kandungan oleoresin yang cukup tinggi.

itu perlu dipelajari metode ekstraksi yang efisien untuk menghasilkan oleoresin berkualitas tinggi limbah ampas jahe industri jamu. Dengan dilakukannya studi ini diharapkan dapat memanfaatkan ampas jahe industri jamu menjadi produk berupa oleoresin, variabel yang berpengaruh dan kondisi terbaik dalam ekstraksi oleoresin dari limbah ampas jahe industri jamu. Penelitian dilakukan dengan

ekstraksi menggunakan variasi pelarut secara batch. Variabel tetap yang digunakan dalam penelitian ini berat ampas jahe 50 gr, volume solven 300 ml, waktu ekstraksi 5,5 jam dan kecepatan pengaduk 450

variabel berubahnya adalah suhu ekstraksi (30oC, 40oC, 50 oC, dan 60

Hexane, dan aseton). Dari hasil penelitian didapat bahwa variasi jenis pelarut dan suhu mempengaruhi oleoresin hasil ekstraksi. Kondisi ekstraksi terbaik untuk mengha

oleoresin jahe yang tinggi dan bermutu baik diperoleh pada kombinasi perlakuan jenis pelarut etanol, waktu C dengan konsentrasi oleoresin 12.2%, Berat jenis 0,955 (gr/ml) dan indeks bias 1.370.

limbah, ekstraksi, oleoresin jahe, solven.

Abstract

Utilization of ginger pulp waste from herbal medicine industry in Indonesia currently used for making fertilizer and fuel, whereas the ginger pulp still contain high oleoresin. It is expected that the re

utilize the ginger dregs of herbal medicine industry to be oleoresin products,

appropriate extraction techniques, affecting operation variables and the optimum conditions for batch extraction of ginger oleoresins. This research used extraction method with various solvents in batch. Fixed variable used in this study is the weight of ginger 50 gr, volume of solvents 300 mL, extraction time 5.5 hour and stirring speed of 450 rpm. While the change variable is extraction tempe

C and types of solvent (ethanol, n-Hexane and acetone). As the result from the research temperature variations affect oleoresin extracted. The optimum

ginger oleoresin and good quality obtained in the combined treatment hours and a temperature of 40oC with oleoresin concentration of refractive index of 1.370.

utilization of waste, extraction, ginger oleoresin, solvent

adalah salah satu industri yang memproduksi obat herbal (jamu) di Ja dimana jumlah limbah padat organik yang terdiri dari ampas kunyit, jahe, temulawak, kencu

rempah lainnya mencapai 17.000kg/hari. Sampai saat ini limbah padat organik hanya dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk organik yang digunakan untuk pemupukan tanaman di lokasi pabrik dan sebagian dimanfaatkan oleh para petani terutama petani binaan serta petani disekitar lingkungan pabrik untuk bahan bakar (PT. Sidomuncul, 2013). Padahal limbah padat yang dihasilkan oleh PT. Sido Muncul, khususnya limbah ampas

memiliki kandungan oleoresin yang cukup tinggi yang dapat dimanfaatkan jual lebih tinggi seperti oleoresin jahe.

88

INDUSTRI JAMU (PT. SIDO MUNCUL) DENGAN METODE

(L2C009126)

Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jln. Prof. Sudharto, Tembalang, Semarang, 50239, Telp/Fax: (024)7460058

Pemanfaatan limbah ampas jahe industri jamu di Indonesia saat ini hanya berupa pembuatan pupuk dan padahal limbah tersebut masih memiliki kandungan oleoresin yang cukup tinggi. Oleh karena itu perlu dipelajari metode ekstraksi yang efisien untuk menghasilkan oleoresin berkualitas tinggi dari dilakukannya studi ini diharapkan dapat memanfaatkan limbah , variabel yang berpengaruh dan kondisi terbaik limbah ampas jahe industri jamu. Penelitian dilakukan dengan metode Variabel tetap yang digunakan dalam penelitian ini berat ampas jahe 50 gr, volume solven 300 ml, waktu ekstraksi 5,5 jam dan kecepatan pengaduk 450 C, dan 60oC ) dan jenis solven Hexane, dan aseton). Dari hasil penelitian didapat bahwa variasi jenis pelarut dan suhu mempengaruhi oleoresin hasil ekstraksi. Kondisi ekstraksi terbaik untuk menghasilkan rendemen oleoresin jahe yang tinggi dan bermutu baik diperoleh pada kombinasi perlakuan jenis pelarut etanol, waktu C dengan konsentrasi oleoresin 12.2%, Berat jenis 0,955 (gr/ml) dan indeks bias 1.370.

Utilization of ginger pulp waste from herbal medicine industry in Indonesia currently used for making It is expected that the results of this utilize the ginger dregs of herbal medicine industry to be oleoresin products, suggest the the optimum conditions for batch method with various solvents in batch. Fixed variable used in this study is the weight of ginger 50 gr, volume of solvents 300 mL, extraction time 5.5 hour and stirring speed of 450 rpm. While the change variable is extraction temperature 30oC, 40oC, 50 oC Hexane and acetone). As the result from the research that the type extracted. The optimum extraction conditions to the combined treatment of ethanol concentration of 12.2%, 0.955

alah satu industri yang memproduksi obat herbal (jamu) di Jawa tengah, dimana jumlah limbah padat organik yang terdiri dari ampas kunyit, jahe, temulawak, kencur dan ampas 17.000kg/hari. Sampai saat ini limbah padat organik hanya dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk organik yang digunakan untuk pemupukan tanaman di lokasi pabrik dan sebagian ni binaan serta petani disekitar lingkungan pabrik untuk bahan bakar (PT. Sidomuncul, 2013). Padahal limbah padat yang dihasilkan oleh PT. Sido Muncul, khususnya limbah ampas memiliki kandungan oleoresin yang cukup tinggi yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut menjadi

(2)

Oleoresin berasal dari kata “oleo” yang berarti minyak dan “resin” yang berarti damar. Jadi oleoresin adalah minyak dan damar yang merupakan campuran minyak atsir

pembawa rasa. Oleoresin berbentuk padat atau semi padat dan biasanya lengket. Dimana dalam dunia perdagangan, oleoresin dikenal sebagai ginggerin (Ravindran et al. ,2005).

kimia yang cukup komplek susunan kimianya. Oleoresin berupa minyak berwarna cokelat tua sampai hitam dan mengandung kadar minyak atsiri 15 sampai 35 persen. Oleoresin jahe mengandung komponen gingerol, shogaol, zingerone, resin dan minyak atsiri.

Dengan dilakukannya studi ini diharapkan dapat memanfaatkan menjadi produk berupa oleoresin,

terbaik dalam ekstraksi oleoresin dari 2. Material dan Metode Penelitian

Bahan – bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain : PT. Sidomuncul, Semarang, Jawa Tengah

dari Toko Bahan Kimia Indrasari, Semarang, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Limbah Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro, sedangkan analisa indeks bia

dilakukan di Laboratorium Dasar Teknik Kimia dan Laboratorium Bioproses Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro dengan membandingkan oleoresin hasil penelitian dengan produk oleoresin yang diperoleh dari Lansida, Yogyakarta.

Gambar 1. Rangkaian alat ekstraksi

Ekstraksi oleoresin dari ampas jahe menggunakan metode ekstraksi perkolasi dilakukan secara batch menggunakan labu leher tiga 1000ml sebagai reaktor, pemanasan menggunakan

menggunakan motor pengaduk. Limbah ampas jahe yang digunakan dalam penelitian ini seberat 50 gram dan digunakan pelarut dengan variasi etanol, n

jam dengan variasi suhu 30°C, 40

distilasi sampai pelarut cukup banyak yang terecovery kembali.

Penentuan berat jenis oleoresin hasil penelitian menggunakan picnometer, indeks bias menggunakan refrektometer, dan konsentrasi

berbagai konsentrasi oleoresin untuk mendapatkan nilai absorbansinya. Kemudian nilai absorbansi dituangkan dalam kurva standar log absorbansi dengan konsentrasi oleoresin untuk mengetahui

oleoresin yang didapat.

3. Hasil dan Pembahasan

Pada penelitian ini, oleoresin jahe dari limbah ampas jahe industri jamu (PT. Sido muncul) di ekstrak dengan menggunakan variasi pelarut (etanol, n

diperoleh adalah sebagai berikut : 3.1 Ekstrak Oleoresin Jahe

Proses ekstraksi oleoresin jahe dilakukan dengan menggunakan variasi pelarut (etanol, n acetone) selama 5.5 jam pada berbagai suhu. Semakin tinggi suhu

semakin kuning kecokelatan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.1 di bawah ini :

Oleoresin berasal dari kata “oleo” yang berarti minyak dan “resin” yang berarti damar. Jadi oleoresin adalah minyak dan damar yang merupakan campuran minyak atsiri sebagai pembawa aroma dan sejenis damar sebagai pembawa rasa. Oleoresin berbentuk padat atau semi padat dan biasanya lengket. Dimana dalam dunia perdagangan, oleoresin dikenal sebagai ginggerin (Ravindran et al. ,2005). Oleoresin merupakan suatu gugusan kimia yang cukup komplek susunan kimianya. Oleoresin berupa minyak berwarna cokelat tua sampai hitam dan mengandung kadar minyak atsiri 15 sampai 35 persen. Oleoresin jahe mengandung komponen gingerol, shogaol, zingerone, resin dan minyak atsiri.

dilakukannya studi ini diharapkan dapat memanfaatkan limbah ampas jahe industri jamu menjadi produk berupa oleoresin, mengetahui teknologi yang tepat, variabel yang berpengaruh dan kondisi terbaik dalam ekstraksi oleoresin dari limbah ampas jahe industri jamu.

Material dan Metode Penelitian

bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain : Limbah ampas jahe yang diperoleh dari PT. Sidomuncul, Semarang, Jawa Tengah serta etanol teknis, n-hexane teknis dan acetone teknis yang diperoleh dari Toko Bahan Kimia Indrasari, Semarang, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Limbah Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro, sedangkan analisa indeks bia

dilakukan di Laboratorium Dasar Teknik Kimia dan Laboratorium Bioproses Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro dengan membandingkan oleoresin hasil penelitian dengan produk oleoresin yang diperoleh dari

Gambar 1. Rangkaian alat ekstraksi Gambar 2. Rangkaian alat distilasi

dari ampas jahe menggunakan metode ekstraksi perkolasi dilakukan secara batch menggunakan labu leher tiga 1000ml sebagai reaktor, pemanasan menggunakan hot plate

menggunakan motor pengaduk. Limbah ampas jahe yang digunakan dalam penelitian ini seberat 50 gram dan digunakan pelarut dengan variasi etanol, n-hexane dan acetone sebesar 300ml dengan waktu ekstraksi selama 5,5 , 40°C, 50°C, dan 60°C. Selanjutnya pada variabel hasil ekstraksi dilakukan distilasi sampai pelarut cukup banyak yang terecovery kembali.

berat jenis oleoresin hasil penelitian menggunakan picnometer, indeks bias menggunakan konsentrasi menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 580 nm dengan berbagai konsentrasi oleoresin untuk mendapatkan nilai absorbansinya. Kemudian nilai absorbansi dituangkan dalam kurva standar log absorbansi dengan konsentrasi oleoresin untuk mengetahui

Pada penelitian ini, oleoresin jahe dari limbah ampas jahe industri jamu (PT. Sido muncul) di ekstrak dengan menggunakan variasi pelarut (etanol, n-hexane, dan acetone) pada berbagai suhu. Hasil percobaan yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Proses ekstraksi oleoresin jahe dilakukan dengan menggunakan variasi pelarut (etanol, n

acetone) selama 5.5 jam pada berbagai suhu. Semakin tinggi suhu ekstraksi, ekstrak yang didapat berwarna semakin kuning kecokelatan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.1 di bawah ini :

Oleoresin berasal dari kata “oleo” yang berarti minyak dan “resin” yang berarti damar. Jadi oleoresin adalah i sebagai pembawa aroma dan sejenis damar sebagai pembawa rasa. Oleoresin berbentuk padat atau semi padat dan biasanya lengket. Dimana dalam dunia Oleoresin merupakan suatu gugusan kimia yang cukup komplek susunan kimianya. Oleoresin berupa minyak berwarna cokelat tua sampai hitam dan mengandung kadar minyak atsiri 15 sampai 35 persen. Oleoresin jahe mengandung komponen gingerol, shogaol,

limbah ampas jahe industri jamu mengetahui teknologi yang tepat, variabel yang berpengaruh dan kondisi

Limbah ampas jahe yang diperoleh dari hexane teknis dan acetone teknis yang diperoleh dari Toko Bahan Kimia Indrasari, Semarang, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Limbah Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro, sedangkan analisa indeks bias dan konsentrasi dilakukan di Laboratorium Dasar Teknik Kimia dan Laboratorium Bioproses Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro dengan membandingkan oleoresin hasil penelitian dengan produk oleoresin yang diperoleh dari CV.

Rangkaian alat distilasi

dari ampas jahe menggunakan metode ekstraksi perkolasi dilakukan secara batch hot plate dan pengadukan menggunakan motor pengaduk. Limbah ampas jahe yang digunakan dalam penelitian ini seberat 50 gram dan hexane dan acetone sebesar 300ml dengan waktu ekstraksi selama 5,5 Selanjutnya pada variabel hasil ekstraksi dilakukan

berat jenis oleoresin hasil penelitian menggunakan picnometer, indeks bias menggunakan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 580 nm dengan berbagai konsentrasi oleoresin untuk mendapatkan nilai absorbansinya. Kemudian nilai absorbansi dituangkan seberapa besar konsentrasi

Pada penelitian ini, oleoresin jahe dari limbah ampas jahe industri jamu (PT. Sido muncul) di ekstrak suhu. Hasil percobaan yang

Proses ekstraksi oleoresin jahe dilakukan dengan menggunakan variasi pelarut (etanol, n-hexane, dan ekstraksi, ekstrak yang didapat berwarna semakin kuning kecokelatan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.1 di bawah ini :

(3)

Gambar 3. Oleoresin jahe hasil penelitian dengan variabel pelarut (

Tabel 1. Perbandingan konsentrasi, berat jenis, dan indeks b ampas jahe dengan

Jenis Pelarut Suhu (

Etanol

N-Hexane

Aceton

3.2 Pengaruh Jenis Pelarut Terhadap Kualitas Oleoresin Jahe 3.2.1 Konsentrasi Oleoresin Jahe

Pada penelitian ini jenis pelarut yang digunakan yaitu etanol, n

Perbedaan masing-masing pelarut dalam mengekstrak oleoresin dipengaruhi oleh kemampuan masing masing pelarut dalam melarutkan komponen

Menurut Dunras (1933), pelarut yang mempunyai gugus hidroksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk polar, sedangkan hidrokarbon termasuk dalam pelarut non polar. M

menyatakan bahwa kelarutan suatu zat terlarut di dalam pelarut tergantung pada tingkat kepolaran pelarut dan zat terlarut. Dimana komponen polar akan larut dalam pelarut polar serta komponen non polar akan larut dalam pelarut non polar.

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa pelarut yang menggunakan jenis pelarut polar seperti etanol dan acetone memberikan konsentrasi yang lebih besar dibandingkan pelarut non polar seperti n

Hal ini dikarenakan oleoresin tersusun dari banyak senyawa pelarut polar seperti etanol dan acetone dapat melarutkan senyawa dibandingkan menggunakan pelarut non polar seperti n

Sedangkan pada tabel 4.

pelarut etanol yaitu 12.2

dan Othmer (1978) bahwa kepolaran etanol lebih tinggi dari pada aseton, maka etanol dap mengekstrak senyawa-senyawa polar pada oleoresin lebih banyak dibanding aseton yang memiliki kepolaran lebih rendah, sehingga konsentrasi tertinggi didapat dengan ekstraksi menggunakan pelarut etanol.

3.2.2 Berat Jenis Oleoresin Jahe

Berat jenis sering dihubungkan dengan fraksi berat komponen

didalamnya. Semakin besar fraksi berat yang terkandung dalam oleoresin, maka semakin besar pula nilai densitasnya.

Gambar 3. Oleoresin jahe hasil penelitian dengan variabel pelarut (etanol, n dan acetone) dan suhu (30°C, 40°C, 50°C, dan 60°C).

1. Perbandingan konsentrasi, berat jenis, dan indeks bias oleoresin ampas jahe dengan variabel jenis pelarut dan suhu.

Suhu (°°°°C) Konsentrasi (%) Berat jenis (gr/ml)

30 11 0,905

40 12.2 0,955

50 11.5 0,935

60 11.3 0,910

30 5.9 0,715

40 7 0,735

50 6.7 0,675

60 6.4 0,669

30 10.3 0,910

40 11.7 0,940

50 11.3 0,920

55 10.9 0,960

Pelarut Terhadap Kualitas Oleoresin Jahe 3.2.1 Konsentrasi Oleoresin Jahe

Pada penelitian ini jenis pelarut yang digunakan yaitu etanol, n

masing pelarut dalam mengekstrak oleoresin dipengaruhi oleh kemampuan masing asing pelarut dalam melarutkan komponen-komponen yang ada dalam ampas jahe industri jamu.

Menurut Dunras (1933), pelarut yang mempunyai gugus hidroksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk polar, sedangkan hidrokarbon termasuk dalam pelarut non polar. M

menyatakan bahwa kelarutan suatu zat terlarut di dalam pelarut tergantung pada tingkat kepolaran pelarut dan zat terlarut. Dimana komponen polar akan larut dalam pelarut polar serta komponen non polar akan larut dalam pelarut non polar.

dapat dilihat bahwa pelarut yang menggunakan jenis pelarut polar seperti etanol dan acetone memberikan konsentrasi yang lebih besar dibandingkan pelarut non polar seperti n

Hal ini dikarenakan oleoresin tersusun dari banyak senyawa polar, sehingga ekstraksi menggunakan pelarut polar seperti etanol dan acetone dapat melarutkan senyawa-senyawa oleoresin lebih banyak dibandingkan menggunakan pelarut non polar seperti n-hexane.

Sedangkan pada tabel 4.1, dapat dilihat bahwa konsentrasi oleoresin tertinggi diperoleh dari 12.2 persen, tingkat kepolaran suatu pelarut sangat mempengaruhi. Menurut Kirk dan Othmer (1978) bahwa kepolaran etanol lebih tinggi dari pada aseton, maka etanol dap

senyawa polar pada oleoresin lebih banyak dibanding aseton yang memiliki kepolaran lebih rendah, sehingga konsentrasi tertinggi didapat dengan ekstraksi menggunakan pelarut

Berat Jenis Oleoresin Jahe

Berat jenis sering dihubungkan dengan fraksi berat komponen-komponen yang terkandung didalamnya. Semakin besar fraksi berat yang terkandung dalam oleoresin, maka semakin besar pula

90 etanol, n-hexane

.

ias oleoresin

Indeks bias 1.367 1.370 1.371 1.372 1.378 1.379 1.385 1.3855

1.370 1.373 1.375 1.377

Pada penelitian ini jenis pelarut yang digunakan yaitu etanol, n-hexane, dan acetone.

masing pelarut dalam mengekstrak oleoresin dipengaruhi oleh kemampuan masing- komponen yang ada dalam ampas jahe industri jamu.

Menurut Dunras (1933), pelarut yang mempunyai gugus hidroksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk polar, sedangkan hidrokarbon termasuk dalam pelarut non polar. Martin et al. (1990) menyatakan bahwa kelarutan suatu zat terlarut di dalam pelarut tergantung pada tingkat kepolaran pelarut dan zat terlarut. Dimana komponen polar akan larut dalam pelarut polar serta komponen non

dapat dilihat bahwa pelarut yang menggunakan jenis pelarut polar seperti etanol dan acetone memberikan konsentrasi yang lebih besar dibandingkan pelarut non polar seperti n-hexane.

polar, sehingga ekstraksi menggunakan senyawa oleoresin lebih banyak

, dapat dilihat bahwa konsentrasi oleoresin tertinggi diperoleh dari persen, tingkat kepolaran suatu pelarut sangat mempengaruhi. Menurut Kirk dan Othmer (1978) bahwa kepolaran etanol lebih tinggi dari pada aseton, maka etanol dapat senyawa polar pada oleoresin lebih banyak dibanding aseton yang memiliki kepolaran lebih rendah, sehingga konsentrasi tertinggi didapat dengan ekstraksi menggunakan pelarut

komponen yang terkandung didalamnya. Semakin besar fraksi berat yang terkandung dalam oleoresin, maka semakin besar pula

(4)

Oleoresin merupakan campuran resin dan minyak atsiri yang diperoleh dari ekstraksi menggunakan pelarut organik. Komposisi kuantitatif oleoresin secara umum tersusun oleh komponen komponen: (1) gingerol dan zingeron, senyawa turunan fenol dan k

merupakan senyawa homolog dari zingeron, (3) minyak atsiri yang komponen utamanya tersusun dari seskuiterpen hidrokarbon berupa zingiberen dan seskuiterpen alkohol berupa zingiberol, dan (4) resin (Koswara, 1995). Selain itu ole

gingerdiol, paradol, heksahidrokurkumin, gingerdiasetat, lemak, lilin, karbohidrat, vitamin, dan mineral (Kimura et al., 2005; Shukla dan Singh, 2006).

Gambar 4. merupakan visualisasi fenomena eks

tehadap berat jenis oleoresin jahe. Dapat dilihat bahwa pelarut yang menggunakan jenis pelarut polar seperti etanol dan acetone memberikan berat jenis yang lebih besar dibandingkan pelarut non polar seperti n-hexane. Hal ini dikarenakan oleoresin tersusun dari banyak senyawa polar, sehingga ekstraksi menggunakan pelarut polar seperti etanol dan acetone dapat melarutkan senyawa

lebih banyak dibandingkan menggunakan pelarut non polar seperti n

Sedangkan pada pelarut polar, tingkat kepolaran suatu pelarut sangat mempengaruhi. Menurut Kirk dan Othmer (1978) bahwa kepolaran etanol lebih tinggi dari pada aseton, maka etanol dapat mengekstrak senyawa-senyawa polar pada oleoresin lebih banyak d

kepolaran lebih rendah, sehingga berat jenis tertinggi juga didapat dare pelarut yang memiliki konsentrasi oleoresin tertinggi yaitu dengan ekstraksi menggunakan pelarut etanol.

3.2.3 Indeks Bias Oleoresin Jahe

Indeks bias oleoresin berhubungan erat dengan komponen

oleoresin yang dihasilkan. Sama halnya dengan berat jenis dimana komponen penyusun oleoresin dapat mempengaruhi nilai indeks biasnya. Semakin banyak komponen berantai panjang atau komp bergugus oksigen ikut tersuling, maka kerapatan medium oleoresin akan bertambah sehingga cahaya yang datang akan lebih sukar untuk dibiaskan.

Gambar 5.

0.60 0.65 0.70 0.75 0.80 0.85 0.90 0.95 1.00 1.05 1.10

berat jenis (gr/ml)

1.36 1.38 1.40 1.42 1.44 1.46 1.48 1.50

indeks bias

Gambar 4. Pengaruh jenis solven terhadap berat jeni

Oleoresin merupakan campuran resin dan minyak atsiri yang diperoleh dari ekstraksi menggunakan pelarut organik. Komposisi kuantitatif oleoresin secara umum tersusun oleh komponen komponen: (1) gingerol dan zingeron, senyawa turunan fenol dan keto

merupakan senyawa homolog dari zingeron, (3) minyak atsiri yang komponen utamanya tersusun dari seskuiterpen hidrokarbon berupa zingiberen dan seskuiterpen alkohol berupa zingiberol, dan (4) resin (Koswara, 1995). Selain itu oleoresin jahe juga mengandung komponen

gingerdiol, paradol, heksahidrokurkumin, gingerdiasetat, lemak, lilin, karbohidrat, vitamin, dan mineral (Kimura et al., 2005; Shukla dan Singh, 2006).

merupakan visualisasi fenomena ekstraksi yang menunjukan pengaruh jenis pelarut tehadap berat jenis oleoresin jahe. Dapat dilihat bahwa pelarut yang menggunakan jenis pelarut polar seperti etanol dan acetone memberikan berat jenis yang lebih besar dibandingkan pelarut non polar exane. Hal ini dikarenakan oleoresin tersusun dari banyak senyawa polar, sehingga ekstraksi menggunakan pelarut polar seperti etanol dan acetone dapat melarutkan senyawa

lebih banyak dibandingkan menggunakan pelarut non polar seperti n-hexane.

Sedangkan pada pelarut polar, tingkat kepolaran suatu pelarut sangat mempengaruhi. Menurut Kirk dan Othmer (1978) bahwa kepolaran etanol lebih tinggi dari pada aseton, maka etanol dapat senyawa polar pada oleoresin lebih banyak dibanding aseton yang memiliki kepolaran lebih rendah, sehingga berat jenis tertinggi juga didapat dare pelarut yang memiliki konsentrasi oleoresin tertinggi yaitu dengan ekstraksi menggunakan pelarut etanol.

.2.3 Indeks Bias Oleoresin Jahe

oleoresin berhubungan erat dengan komponen-komponen yang tersusun dalam oleoresin yang dihasilkan. Sama halnya dengan berat jenis dimana komponen penyusun oleoresin dapat mempengaruhi nilai indeks biasnya. Semakin banyak komponen berantai panjang atau komp bergugus oksigen ikut tersuling, maka kerapatan medium oleoresin akan bertambah sehingga cahaya yang datang akan lebih sukar untuk dibiaskan.

Gambar 5. Pengaruh jenis solven terhadap indeks bias oleoresin 0.60

0.65 0.70 0.75 0.80 0.85 0.90 0.95 1.00 1.05 1.10

30 35 40 45 50 55 60

suhu (°°°°C)

etanol n-hexane 1.063

30 35 40 45 50 55 60

suhu (°°°°C)

etanol n-hexane

Pengaruh jenis solven terhadap berat jenis oleoresin

Oleoresin merupakan campuran resin dan minyak atsiri yang diperoleh dari ekstraksi menggunakan pelarut organik. Komposisi kuantitatif oleoresin secara umum tersusun oleh komponen-

eto-fenol, (2) shogaol yang merupakan senyawa homolog dari zingeron, (3) minyak atsiri yang komponen utamanya tersusun dari seskuiterpen hidrokarbon berupa zingiberen dan seskuiterpen alkohol berupa zingiberol, dan (4) resin oresin jahe juga mengandung komponen-komponen minor seperti gingerdiol, paradol, heksahidrokurkumin, gingerdiasetat, lemak, lilin, karbohidrat, vitamin, dan mineral

traksi yang menunjukan pengaruh jenis pelarut tehadap berat jenis oleoresin jahe. Dapat dilihat bahwa pelarut yang menggunakan jenis pelarut polar seperti etanol dan acetone memberikan berat jenis yang lebih besar dibandingkan pelarut non polar exane. Hal ini dikarenakan oleoresin tersusun dari banyak senyawa polar, sehingga ekstraksi menggunakan pelarut polar seperti etanol dan acetone dapat melarutkan senyawa-senyawa oleoresin

Sedangkan pada pelarut polar, tingkat kepolaran suatu pelarut sangat mempengaruhi. Menurut Kirk dan Othmer (1978) bahwa kepolaran etanol lebih tinggi dari pada aseton, maka etanol dapat ibanding aseton yang memiliki kepolaran lebih rendah, sehingga berat jenis tertinggi juga didapat dare pelarut yang memiliki konsentrasi oleoresin tertinggi yaitu dengan ekstraksi menggunakan pelarut etanol.

komponen yang tersusun dalam oleoresin yang dihasilkan. Sama halnya dengan berat jenis dimana komponen penyusun oleoresin dapat mempengaruhi nilai indeks biasnya. Semakin banyak komponen berantai panjang atau komponen bergugus oksigen ikut tersuling, maka kerapatan medium oleoresin akan bertambah sehingga cahaya

Pengaruh jenis solven terhadap indeks bias oleoresin hexane

hexane

(5)

dibandingkan dengan oleoresin yang diekstrak dengan pelarut etanol dan acetone. Rata

bias oleoresin yang diperoleh antara 1,369 untuk oleoresin yang didapat dari ekstraksi menggunakan pelarut etanol, 1,37 untuk oleoresin hasil ekstraksi menggunakan pelarut aceton dan 1,38 untuk oleoresin yang didapat dari ekstraksi menggunakan n

sisa pelarut pada oleoresin hasil ekstraksi tersebut. Karena n

menguap yang lebih tinggi dari etanol dan acetone maka pada proses penguapan pelarut, lebih banyak n hexane yang teruapkan dari pada etanol dan acetone sehingga sisa n

dan menyebabkan indeks bias oleoresin tersebut lebih besar.

Sedangkan indeks bias oleoresin pada pelarut aceton lebih besar dari etanol, hal tersebut dikarena titik didih aceton lebih rendah dibanding etanol, maka pelarut aseton lebih cepat teruapkan dari oleoresin dari pada pelarut etanol. Parry dan Dongreen (1969) menyebutkan bahwa etanol memiliki titik didih 78oC dan aceton titik didihnya 56

3.3 Pengaruh Variasi Suhu Terhadap Kualitas Oleoresin Jahe 3.3.1 Konsentrasi Oleoresin Jahe

Proses ekstraksi oleoresin dengan suhu yang tinggi dapat menghasilkan konsentrasi oleoresin yang tinggi. Kenaikan suhu akan menyebabkan viskositas pelarut semakin rendah, dengan begitu lebih mudah mengalir dan dengan kecepatan pengadukan yang sama pelarut akan lebih turbulen (gerakan molekul pelarut semakin cepat dan acak) sehingga makin mudah untuk mengekstrak oleoresin.

Selain itu, kenaikan suhu menyebabkan pori memudahkan pelarut untuk berdifusi masuk ke dalam pori

Oleh karena itu, oleoresin yang berinteraksi semakin besar dan menyebabkan terjadinya perpindahan massa solut dari padatan umpan menuju

Dari Gambar 4,

meningkat seiring dengan naiknya suhu. Suhu 40 kosentrasi tertinggi pada semua jenis p

mengalami penurunan. Hal itu disebabkan semakin tinggi suhu juga dapat menyebabkan kerusakan oleoresin yang tidak tahan pada suhu di atas 45

oleoresin yaitu gingerol akan mengalami dekomposisi dan sebagian gingerol akan berubah menjadi shogaol pada suhu di atas 45

3.3.2 Berat Jenis Oleoresin Jahe

Proses ekstraksi oleoresin dengan suhu yang tinggi dapat menghasilkan

jenis yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan pada suhu yang tinggi fraksi ringan (zat volatil) dari oleoresin akan teruapkan dan hilang, sehingga yang tertinggal hanya fraksi berat. Menurut Ketaren (1985), minyak atsiri dapat menguap pada suhu kamar dan penguapan akan semakin besar dengan kenaikan suhu ekstraksi. Jika suhu ekstraksi tinggi maka akan mudah terbentuk resin yang lebih banyak dan resin ini merupakan senyawa yang tidak menguap.

dibandingkan dengan oleoresin yang diekstrak dengan pelarut etanol dan acetone. Rata

resin yang diperoleh antara 1,369 untuk oleoresin yang didapat dari ekstraksi menggunakan pelarut etanol, 1,37 untuk oleoresin hasil ekstraksi menggunakan pelarut aceton dan 1,38 untuk oleoresin yang didapat dari ekstraksi menggunakan n-hexane. Perbedaan indeks bias ini dipengaruhi oleh adanya sisa pelarut pada oleoresin hasil ekstraksi tersebut. Karena n-hexane mempunyai kemampuan untuk menguap yang lebih tinggi dari etanol dan acetone maka pada proses penguapan pelarut, lebih banyak n

n dari pada etanol dan acetone sehingga sisa n-hexane pada oleoresin lebih sedikit dan menyebabkan indeks bias oleoresin tersebut lebih besar.

Sedangkan indeks bias oleoresin pada pelarut aceton lebih besar dari etanol, hal tersebut aceton lebih rendah dibanding etanol, maka pelarut aseton lebih cepat teruapkan dari oleoresin dari pada pelarut etanol. Parry dan Dongreen (1969) menyebutkan bahwa etanol memiliki titik

C dan aceton titik didihnya 56oC.

u Terhadap Kualitas Oleoresin Jahe .3.1 Konsentrasi Oleoresin Jahe

Proses ekstraksi oleoresin dengan suhu yang tinggi dapat menghasilkan konsentrasi oleoresin yang tinggi. Kenaikan suhu akan menyebabkan viskositas pelarut semakin rendah, dengan begitu lebih mudah mengalir dan dengan kecepatan pengadukan yang sama pelarut akan lebih turbulen (gerakan molekul pelarut semakin cepat dan acak) sehingga makin mudah untuk mengekstrak oleoresin.

Selain itu, kenaikan suhu menyebabkan pori-pori padatan

memudahkan pelarut untuk berdifusi masuk ke dalam pori-pori padatan jahe dan melarutkan oleoresin.

Oleh karena itu, oleoresin yang berinteraksi semakin besar dan menyebabkan terjadinya perpindahan massa solut dari padatan umpan menuju pelarut semakin besar (Treyball, 1981).

Dari Gambar 4, dapat dilihat bahwa konsentrasi oleoresin dalam pelarut hasil ekstraksi meningkat seiring dengan naiknya suhu. Suhu 40°C merupakan suhu optimum yang memberikan kosentrasi tertinggi pada semua jenis pelarut. Namun pada suhu 500C dan 60

mengalami penurunan. Hal itu disebabkan semakin tinggi suhu juga dapat menyebabkan kerusakan oleoresin yang tidak tahan pada suhu di atas 450C (U.S. Patent No. 10/496885). Senyawa utama penyusu oleoresin yaitu gingerol akan mengalami dekomposisi dan sebagian gingerol akan berubah menjadi shogaol pada suhu di atas 45oC (Gaedcke, 2005).

.3.2 Berat Jenis Oleoresin Jahe

Proses ekstraksi oleoresin dengan suhu yang tinggi dapat menghasilkan

jenis yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan pada suhu yang tinggi fraksi ringan (zat volatil) dari oleoresin akan teruapkan dan hilang, sehingga yang tertinggal hanya fraksi berat. Menurut Ketaren (1985), minyak pada suhu kamar dan penguapan akan semakin besar dengan kenaikan suhu ekstraksi. Jika suhu ekstraksi tinggi maka akan mudah terbentuk resin yang lebih banyak dan resin ini merupakan senyawa yang tidak menguap.

92 dibandingkan dengan oleoresin yang diekstrak dengan pelarut etanol dan acetone. Rata-rata nilai indeks resin yang diperoleh antara 1,369 untuk oleoresin yang didapat dari ekstraksi menggunakan pelarut etanol, 1,37 untuk oleoresin hasil ekstraksi menggunakan pelarut aceton dan 1,38 untuk oleoresin ndeks bias ini dipengaruhi oleh adanya hexane mempunyai kemampuan untuk menguap yang lebih tinggi dari etanol dan acetone maka pada proses penguapan pelarut, lebih banyak n-

hexane pada oleoresin lebih sedikit

Sedangkan indeks bias oleoresin pada pelarut aceton lebih besar dari etanol, hal tersebut aceton lebih rendah dibanding etanol, maka pelarut aseton lebih cepat teruapkan dari oleoresin dari pada pelarut etanol. Parry dan Dongreen (1969) menyebutkan bahwa etanol memiliki titik

Proses ekstraksi oleoresin dengan suhu yang tinggi dapat menghasilkan konsentrasi oleoresin yang tinggi. Kenaikan suhu akan menyebabkan viskositas pelarut semakin rendah, dengan begitu pelarut lebih mudah mengalir dan dengan kecepatan pengadukan yang sama pelarut akan lebih turbulen (gerakan molekul pelarut semakin cepat dan acak) sehingga makin mudah untuk mengekstrak oleoresin.

pori padatan mengembang sehingga pori padatan jahe dan melarutkan oleoresin.

Oleh karena itu, oleoresin yang berinteraksi semakin besar dan menyebabkan terjadinya perpindahan pelarut semakin besar (Treyball, 1981).

dapat dilihat bahwa konsentrasi oleoresin dalam pelarut hasil ekstraksi C merupakan suhu optimum yang memberikan

C dan 600C, konsentrasi oleoresin mengalami penurunan. Hal itu disebabkan semakin tinggi suhu juga dapat menyebabkan kerusakan C (U.S. Patent No. 10/496885). Senyawa utama penyusun oleoresin yaitu gingerol akan mengalami dekomposisi dan sebagian gingerol akan berubah menjadi

Proses ekstraksi oleoresin dengan suhu yang tinggi dapat menghasilkan oleoresin dengan berat jenis yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan pada suhu yang tinggi fraksi ringan (zat volatil) dari oleoresin akan teruapkan dan hilang, sehingga yang tertinggal hanya fraksi berat. Menurut Ketaren (1985), minyak pada suhu kamar dan penguapan akan semakin besar dengan kenaikan suhu ekstraksi. Jika suhu ekstraksi tinggi maka akan mudah terbentuk resin yang lebih banyak dan resin ini

(6)

Gambar 6.

Dari Gambar 6.

dimana berat jenis oleoresin hasil ekstraksi meningkat seiring dengan naiknya suhu. Suhu 40 merupakan suhu optimum yang memberikan hasil bera

tetapi berat jenis mengalami penurunan pada suhu di atas 40 yang tidak tahan pada suhu di atas 45

terdekomposisi dan sebagian gingerol akan berubah menjadi shogaol pada suhu di atas 45 mengakibatkan penurunan berat jenis oleoresin (Gaedcke, 2005).

3.3.3 Indeks Bias Oleoresin Jahe

Gambar 7.

Hubungan antara

Nampak bahwa peningkatan suhu ekstraksi juga diikuti dengan meningkatnya indeks bias oleoresin jahe.

Kenaikan indeks bias ini dipengaruhi oleh adanya sisa pelarut pada oleoresin h

Semakin tinggi suhu ekstraksi maka semakin banyak pelarut yang teruapkan sehingga sisa pelarut pada oleoresin akan semakin sedikit dan menyebabkan indeks bias oleoresin tersebut semakin besar.

Formo et al (1979) menyatakan bahwa ni

komposisi senyawa organik didalam suatu bahan. Indeks bias akan meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon senyawa organik dan jumlah ikatan rangkap. Sedangkan Affandi (1993) menambahkan bahwa nilai

(oleoresin).

3.4 Menentukan Kondisi Operasi Optimum

Pada penelitian ini, oleoresin jahe dari limbah ampas jahe industri jamu (PT. Sido muncul) di ekstrak dengan menggunakan variasi pelar

penelitian ini adalah etanol, n 0.60 0.65 0.70 0.75 0.80 0.85 0.90 0.95 1.00

berat jenis (gr/ml)

1.355 1.360 1.365 1.370 1.375 1.380 1.385 1.390

indeks bias

Gambar 6. Pengaruh variasi suhu terhadap berat jenis oleoresin

Dari Gambar 6. dapat dilihat bahwa suhu memberikan pengaruh terhadap kinetika ekstraksi, dimana berat jenis oleoresin hasil ekstraksi meningkat seiring dengan naiknya suhu. Suhu 40 merupakan suhu optimum yang memberikan hasil berat jenis tertinggi pada semua jenis pelarut. Akan tetapi berat jenis mengalami penurunan pada suhu di atas 40°C. Hal ini dikarenakan kerusakan oleoresin yang tidak tahan pada suhu di atas 45°C dimana komponen utamanya yang berupa gingerol

sebagian gingerol akan berubah menjadi shogaol pada suhu di atas 45 mengakibatkan penurunan berat jenis oleoresin (Gaedcke, 2005).

Indeks Bias Oleoresin Jahe

Gambar 7. Pengaruh variasi suhu terhadap indeks bias oleoresin

Hubungan antara variasi suhu dengan indeks bias oleoresin jahe dapat dilihat pada Gambar Nampak bahwa peningkatan suhu ekstraksi juga diikuti dengan meningkatnya indeks bias oleoresin jahe.

Kenaikan indeks bias ini dipengaruhi oleh adanya sisa pelarut pada oleoresin h

Semakin tinggi suhu ekstraksi maka semakin banyak pelarut yang teruapkan sehingga sisa pelarut pada oleoresin akan semakin sedikit dan menyebabkan indeks bias oleoresin tersebut semakin besar.

Formo et al (1979) menyatakan bahwa nilai indeks bias berhubungan dengan struktur dan komposisi senyawa organik didalam suatu bahan. Indeks bias akan meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon senyawa organik dan jumlah ikatan rangkap. Sedangkan Affandi (1993) menambahkan bahwa nilai indeks bias semakin besar dengan meningkatnya kerapatan minyak atsiri

.4 Menentukan Kondisi Operasi Optimum

Pada penelitian ini, oleoresin jahe dari limbah ampas jahe industri jamu (PT. Sido muncul) di ekstrak dengan menggunakan variasi pelarut pada berbagai suhu. Jenis pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah etanol, n-hexane dan aceton. Pertimbangan-pertimbangan untuk menentukan jenis

etanol n-hexane acetone

etanol n-hexane acetone

erat jenis oleoresin

dapat dilihat bahwa suhu memberikan pengaruh terhadap kinetika ekstraksi, dimana berat jenis oleoresin hasil ekstraksi meningkat seiring dengan naiknya suhu. Suhu 40°C t jenis tertinggi pada semua jenis pelarut. Akan C. Hal ini dikarenakan kerusakan oleoresin C dimana komponen utamanya yang berupa gingerol sebagian gingerol akan berubah menjadi shogaol pada suhu di atas 45°C yang

Pengaruh variasi suhu terhadap indeks bias oleoresin

variasi suhu dengan indeks bias oleoresin jahe dapat dilihat pada Gambar 7, Nampak bahwa peningkatan suhu ekstraksi juga diikuti dengan meningkatnya indeks bias oleoresin jahe.

Kenaikan indeks bias ini dipengaruhi oleh adanya sisa pelarut pada oleoresin hasil ekstraksi tersebut.

Semakin tinggi suhu ekstraksi maka semakin banyak pelarut yang teruapkan sehingga sisa pelarut pada oleoresin akan semakin sedikit dan menyebabkan indeks bias oleoresin tersebut semakin besar.

lai indeks bias berhubungan dengan struktur dan komposisi senyawa organik didalam suatu bahan. Indeks bias akan meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon senyawa organik dan jumlah ikatan rangkap. Sedangkan Affandi (1993) indeks bias semakin besar dengan meningkatnya kerapatan minyak atsiri

Pada penelitian ini, oleoresin jahe dari limbah ampas jahe industri jamu (PT. Sido muncul) di ut pada berbagai suhu. Jenis pelarut yang digunakan pada pertimbangan untuk menentukan jenis

30°C 40°C 50°C 60°C

30°C 40°C 50°C 60°C

(7)

bahwa konsentrasi oleoresin tertinggi diperoleh dari pelarut etanol yaitu etanol memiliki tingkat kepolaran paling

polar. Sehingga etanol mampu mengekstrak oleoresin lebih banyak dibandingkan pelarut aceton dan n hexane.

Penentuan suhu optimal pada proses ekstraksi oleoresin jahe dilakukan dengan menggunakan variasi suhu 30 oC, 40 oC, 50

didapatkan suhu optimal proses ektraksi oleoresin jahe yaitu pada suhu 40 suhu di atas 45°C, terjadi kerusakan komponen penting

karena itu dapat disimpulkan bahwa

dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol selama 5.5 jam pada suhu 40 4. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan didapatkan

sehingga pelarut dengan polaritas yang tinggi (etanol) dapat mengekstrak oleoresin lebih banyak dibandingkan jenis pelarut yang lain (aceton dan n

semakin banyak namun juga dapat menyebabkan kerusakan oleoresin yang tidak tahan pada suhu di atas 45 Suhu 40°C merupakan suhu optimum yang memberikan kosentrasi tertinggi pada semua jenis pela

ekstraksi terbaik untuk menghasilkan rendemen oleoresin jahe yang tinggi dan bermutu baik diperoleh pada kombinasi perlakuan jenis pelarut etanol, waktu 5.5 jam dan suhu 40

Berat jenis 0,955 (gr/ml) dan indeks bias 1.370.

5. Daftar Pustaka

Adisoemarto, S. 1992. Indonesia Country Study On Biological Diversity dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Jakarta

Affandi, H. 1993. Aspek Teknologi Proses Produksi Minyak Atsiri dan IPB Bogor.

Anonim, Federal Food, Drug and Cosmetic Regulation Anonim, Product Spesification Oleoresin 708, indesso.

Anonim, 2012. 7 Alasan Orang Memilih Obat Herbal. Diakses memilih-obat-herbal/ pada

Bernardini, E. 1983. Raw Material And Extraction Techniques, volume 1, Interstampa, hal. 331

Cripps, M. H. 1973. Spice Oleoresin: The Process, The Market and The Future. In Proceedings of The Conference On Spices. Tropical Product Institute., London.

Engineered Indonesian Essential Oil Heritage.2007.Parameter http://ferry-atsiri.blogspot.com/2007/11/parameter

Formo, M.W., E. Jungermann, F.A. Norris and N. Sonntag. 1979. Bailey's Industrial Oil and Fat Products. Vol I.

John Wiley and Sons, Toronto.

Gaedcke, F. and Feistel, B., (2005), ―Ginger Extract Preparationǁ, Gamse, T., 2002, ―Liquid-Liquid Extracti

Environmental Engineering, Graz University of Technology, hal. 2

Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 2006. Diakses melalui http://rembulansabit.wordpress.com

Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. UI

Kirk, R. E. dan D. F. Othmer. 1952. Encyclopedia of Chemical Technology, Vol. IX. The Interscience Encyclopedia Inc., New York.

Koeswara. S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Martin, A.M., Swarbrick, J dan Cammarata, A.1990. Farmasi Fisik. Terjemahan Yoshita. UI Press. Jakarta.

Matondang, I., 2005. Zingiber officinale 3.

Perry, R.H.D., 1984. “Perry’s Chemical Engineers Handbook”

Edition, Japan.

Pruthi, J. S. 1980. Spices and Condiments, Chemistry, Microbiology, Thechnology. Acade

Purseglove, J. W, E. G. Brown, C. L. Green dan S. R. J. Robbins. 1981. Spices, Volume II. Longman Inc., New York.

bahwa konsentrasi oleoresin tertinggi diperoleh dari pelarut etanol yaitu 12.2 persen. Hal ini dikarenakan etanol memiliki tingkat kepolaran paling tinggi, dan komponen pada oleoresin sebagian besar bersifat polar. Sehingga etanol mampu mengekstrak oleoresin lebih banyak dibandingkan pelarut aceton dan n

Penentuan suhu optimal pada proses ekstraksi oleoresin jahe dilakukan dengan menggunakan C, 50 oC,dan 60oC. Berdasarkan konsentrasi oleoresin yang dihasilkan, maka didapatkan suhu optimal proses ektraksi oleoresin jahe yaitu pada suhu 40 oC. Hal ini dikarenakan pada

C, terjadi kerusakan komponen penting yang terdapat dalam oleoresin tersebut.

karena itu dapat disimpulkan bahwa kondisi operasi optimum pada proses ekstraksi oleoresin jahe, dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol selama 5.5 jam pada suhu 40oC.

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan didapatkan oleoresin tersusun dari banyak senyawa polar, sehingga pelarut dengan polaritas yang tinggi (etanol) dapat mengekstrak oleoresin lebih banyak dibandingkan jenis pelarut yang lain (aceton dan n-hexane). Semakin tinggi suhu maka jumlah oleoresin yang terekstrak pun semakin banyak namun juga dapat menyebabkan kerusakan oleoresin yang tidak tahan pada suhu di atas 45

C merupakan suhu optimum yang memberikan kosentrasi tertinggi pada semua jenis pela

ekstraksi terbaik untuk menghasilkan rendemen oleoresin jahe yang tinggi dan bermutu baik diperoleh pada kombinasi perlakuan jenis pelarut etanol, waktu 5.5 jam dan suhu 40oC dengan konsentrasi oleoresin

ndeks bias 1.370.

Indonesia Country Study On Biological Diversity. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Jakarta

Affandi, H. 1993. Aspek Teknologi Proses Produksi Minyak Atsiri dan Oleorisin Jahe di Balittro. Skripsi S Anonim, Federal Food, Drug and Cosmetic Regulation

Anonim, Product Spesification Oleoresin 708, indesso.

Anonim, 2012. 7 Alasan Orang Memilih Obat Herbal. Diakses melalui http://info-kesehatan.net/7 pada 12 Juni 2012 pukul 19:35

Bernardini, E. 1983. Raw Material And Extraction Techniques, volume 1, Interstampa, hal. 331

pice Oleoresin: The Process, The Market and The Future. In Proceedings of The Conference On Spices. Tropical Product Institute., London.

Engineered Indonesian Essential Oil Heritage.2007.Parameter kualitas minyak atsiri.

atsiri.blogspot.com/2007/11/parameter-kualitas-minyak-atsiri.html

germann, F.A. Norris and N. Sonntag. 1979. Bailey's Industrial Oil and Fat Products. Vol I.

John Wiley and Sons, Toronto.

Gaedcke, F. and Feistel, B., (2005), ―Ginger Extract Preparationǁ, U.S. Patent No. 10/496885.

Liquid Extraction and Solid-Liquid Extraction, Institute of Thermal Process and Environmental Engineering, Graz University of Technology, hal. 2-24.

Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 2006. Diakses melalui http://rembulansabit.wordpress.com pada 12 Juni 2012 pukul 19:35

Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. UI-Press, Jakarta.

Kirk, R. E. dan D. F. Othmer. 1952. Encyclopedia of Chemical Technology, Vol. IX. The Interscience a Inc., New York.

Koeswara. S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Martin, A.M., Swarbrick, J dan Cammarata, A.1990. Farmasi Fisik. Terjemahan Yoshita. UI Press. Jakarta.

Zingiber officinale L.ǁ, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tumbuhan Obat UNAS, hal. 2 Perry’s Chemical Engineers Handbook”. Six edition, Mc Graw Hill, International Pruthi, J. S. 1980. Spices and Condiments, Chemistry, Microbiology, Thechnology. Acade

Purseglove, J. W, E. G. Brown, C. L. Green dan S. R. J. Robbins. 1981. Spices, Volume II. Longman Inc., New 94 persen. Hal ini dikarenakan tinggi, dan komponen pada oleoresin sebagian besar bersifat polar. Sehingga etanol mampu mengekstrak oleoresin lebih banyak dibandingkan pelarut aceton dan n-

Penentuan suhu optimal pada proses ekstraksi oleoresin jahe dilakukan dengan menggunakan C. Berdasarkan konsentrasi oleoresin yang dihasilkan, maka C. Hal ini dikarenakan pada yang terdapat dalam oleoresin tersebut. Oleh kondisi operasi optimum pada proses ekstraksi oleoresin jahe,

oleoresin tersusun dari banyak senyawa polar, sehingga pelarut dengan polaritas yang tinggi (etanol) dapat mengekstrak oleoresin lebih banyak dibandingkan akin tinggi suhu maka jumlah oleoresin yang terekstrak pun semakin banyak namun juga dapat menyebabkan kerusakan oleoresin yang tidak tahan pada suhu di atas 450C.

C merupakan suhu optimum yang memberikan kosentrasi tertinggi pada semua jenis pelarut. Kondisi ekstraksi terbaik untuk menghasilkan rendemen oleoresin jahe yang tinggi dan bermutu baik diperoleh pada C dengan konsentrasi oleoresin 12.2 %,

. Kantor Menteri Negara Kependudukan Oleorisin Jahe di Balittro. Skripsi S-I.

kesehatan.net/7-alasan-orang- Bernardini, E. 1983. Raw Material And Extraction Techniques, volume 1, Interstampa, hal. 331-333.

pice Oleoresin: The Process, The Market and The Future. In Proceedings of The kualitas minyak atsiri. Diakses melalui atsiri.html pada 25 Juni 2012 09.00 germann, F.A. Norris and N. Sonntag. 1979. Bailey's Industrial Oil and Fat Products. Vol I.

No. 10/496885.

Liquid Extraction, Institute of Thermal Process and Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 2006. Diakses melalui

Kirk, R. E. dan D. F. Othmer. 1952. Encyclopedia of Chemical Technology, Vol. IX. The Interscience

Martin, A.M., Swarbrick, J dan Cammarata, A.1990. Farmasi Fisik. Terjemahan Yoshita. UI Press. Jakarta.

itian dan Pengembangan Tumbuhan Obat UNAS, hal. 2- . Six edition, Mc Graw Hill, International Pruthi, J. S. 1980. Spices and Condiments, Chemistry, Microbiology, Thechnology. Academic Press, New York.

Purseglove, J. W, E. G. Brown, C. L. Green dan S. R. J. Robbins. 1981. Spices, Volume II. Longman Inc., New

(8)

Ramadhan, E., Ahmad dan Phaza, A., 2010. Pengaruh Konsentrasi Etanol, Suhu dan Jumlah Stage Pada Ekstraksi Oleoresin Jahe

Ravindran, P.N., and Babu, K. N. 2005.

Risdianto, D. 2007. Optimisasi Proses Koagulasi Flokulasi Untuk Pengolahan Air Limbah Industri Jamu ( Studi Kasus Pt. Sido Muncul ).

Sazalina. 2005. “Optimisation Of Operating Parameters For The Removal Of Ethanol From Zingiber Officinale Roscoe (Ginger) Oleoresin Using Short

Natural Resources Engineering, Universiti Teknologi Malaysia, hal. 42

Sediawan, W.B., 2000. Berbagai Teknologi Proses Pemisahan, Prosiding Presentasi Ilmiah Daur Bahan Ba Nuklir , vol.5, hal. 10-11.

Somaatmadja, D. 1981. Prospek Pengembangan Industri Oleoresin di Indonesia. Komunikasi no. 21. Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor.

Stahl, W. H. 1973. Oleoresin Quality Analysis, Fact or Fancy. Proc of The Conferenc Inst., London.

Sukandar E. Y. 2004. Sembilan Tanaman Obat Unggulan Hasil Uji Klinis Badan POM. Diakses melalui http://rembulansabit.wordpress.com

Sutianik. 1999. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Ukuran Bahan Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Jahe (Zingiber officinale, Roscoe

The Essentials Oil Association of America (EOA)

Treyball, R.E., 1981, Mass-Transfer Operations, 3rd ed, Mc Graw

Yuliani. S, Hermani dan Anggraeni. 1991.Aspek Pasca Panen Jahe. Edsus Littro,VIII (1).30 Wikipedia.2010.Acetone. Diakses melalui http://en.wikipedia.org/wiki/

Wikipedia.2010.Etanol. Diakses melalui http://en.wikipedia.org/wiki/

Wikipedia.2010.Hexane. Diakses melalui http://en.wikipedia.org/wiki/

Ramadhan, E., Ahmad dan Phaza, A., 2010. Pengaruh Konsentrasi Etanol, Suhu dan Jumlah Stage Pada Ekstraksi Oleoresin Jahe (Zingiber Officinale Rosc) secara Batch. Teknik Kimia, Undip.

Ravindran, P.N., and Babu, K. N. 2005. Ginger The Genus Zingiber, CRC Press, New York, hal. 87

Optimisasi Proses Koagulasi Flokulasi Untuk Pengolahan Air Limbah Industri Jamu ( Studi Kasus Pt. Sido Muncul ). Teknik Kimia, Undip.

“Optimisation Of Operating Parameters For The Removal Of Ethanol From Zingiber Officinale Oleoresin Using Short-Path Distillation”, Master Thesis, Faculty of Chemical and Natural Resources Engineering, Universiti Teknologi Malaysia, hal. 42-46.

Sediawan, W.B., 2000. Berbagai Teknologi Proses Pemisahan, Prosiding Presentasi Ilmiah Daur Bahan Ba 11.

Somaatmadja, D. 1981. Prospek Pengembangan Industri Oleoresin di Indonesia. Komunikasi no. 21. Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor.

Stahl, W. H. 1973. Oleoresin Quality Analysis, Fact or Fancy. Proc of The Conferenc

Sukandar E. Y. 2004. Sembilan Tanaman Obat Unggulan Hasil Uji Klinis Badan POM. Diakses melalui http://rembulansabit.wordpress.com pada 12 Juni 2012 pukul 19:35

ik. 1999. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Ukuran Bahan Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Jahe Zingiber officinale, Roscoe). Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

The Essentials Oil Association of America (EOA)

Transfer Operations, 3rd ed, Mc Graw-Hill, New York, hal. 717 Yuliani. S, Hermani dan Anggraeni. 1991.Aspek Pasca Panen Jahe. Edsus Littro,VIII (1).30 Wikipedia.2010.Acetone. Diakses melalui http://en.wikipedia.org/wiki/Acetone pada 11

Wikipedia.2010.Etanol. Diakses melalui http://en.wikipedia.org/wiki/Etanol pada 12 Juni 2012 pukul 19:35 Wikipedia.2010.Hexane. Diakses melalui http://en.wikipedia.org/wiki/Hexane pada 12 Juni 2012 pukul 19:35 Ramadhan, E., Ahmad dan Phaza, A., 2010. Pengaruh Konsentrasi Etanol, Suhu dan Jumlah Stage Pada

) secara Batch. Teknik Kimia, Undip.

, CRC Press, New York, hal. 87-90.

Optimisasi Proses Koagulasi Flokulasi Untuk Pengolahan Air Limbah Industri Jamu ( Studi

“Optimisation Of Operating Parameters For The Removal Of Ethanol From Zingiber Officinale , Master Thesis, Faculty of Chemical and Sediawan, W.B., 2000. Berbagai Teknologi Proses Pemisahan, Prosiding Presentasi Ilmiah Daur Bahan Bakar Somaatmadja, D. 1981. Prospek Pengembangan Industri Oleoresin di Indonesia. Komunikasi no. 21. Balai Besar Stahl, W. H. 1973. Oleoresin Quality Analysis, Fact or Fancy. Proc of The Conference of Spices Trop. Prod.

Sukandar E. Y. 2004. Sembilan Tanaman Obat Unggulan Hasil Uji Klinis Badan POM. Diakses melalui ik. 1999. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Ukuran Bahan Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Jahe

). Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hill, New York, hal. 717-723.

Yuliani. S, Hermani dan Anggraeni. 1991.Aspek Pasca Panen Jahe. Edsus Littro,VIII (1).30-37p.

pada 11 Juni 2012 pukul 13:11 pada 12 Juni 2012 pukul 19:35

pada 12 Juni 2012 pukul 19:35

Referensi

Dokumen terkait

The degradation rate of hemicellulose and cellulose of torrefied EFB increased when the torrefaction temperature increased from 225°C to 300°C, leading to lower char yield and overall