Infeksi pada sistim saraf (kelompok studi neuro infeksi)
Other Authors: Raka Sadewi, A.A., Paulus Sugianto Format: book
Language: Indonesian
Published: Surabaya : Pusat Penerbitan dan PercetakanUniversitas Airlangga 2011
Subjects: Neurologi Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
physical xx, 170 hlm. : ilus., berwarna ; 21m dewey-tens 610 - Medicine & health
collection Katalog Perpustakaan Nasional RI
publisher Surabaya : Pusat Penerbitan dan PercetakanUniversitas Airlangga
id IOS1-INLIS000000000411565 library_type public
title Infeksi pada sistim saraf (kelompok studi neuro infeksi) spellingShingle
Infeksi pada sistim saraf (kelompok studi neuro infeksi) Neurologi
Bibliografi : hlm. 169 dewey-hundreds 600 - Technology
spelling
Infeksi pada sistim saraf (kelompok studi neuro infeksi) / editor, A.A.. Raka Sudewi, Paulus Sugianto, Kiking Ritarwan
Surabaya : Pusat Penerbitan dan PercetakanUniversitas Airlangga, 2011
xx, 170 hlm. : ilus., berwarna ; 21m Bibliografi : hlm. 169
Neurologi
Raka Sadewi, A.A.
Paulus Sugianto isbn 978-602-8967-11-2 callnumber-label CB-D
author2 Raka Sadewi, A.A.
Paulus Sugianto author2Str Raka Sadewi, A.A.
Paulus Sugianto repoId IOS1
affiliation Forum Perpustakaan Umum Indonesia Perpustakaan Nasional
callnumber-sort CB D 213 42011 44376 49128 42011 publishDate 2011
institution Perpustakaan Nasional RI topic Neurologi
topic_facet Neurologi Neurologi
building Perpustakaan Nasional RI collection_subject Karya Umum
title_auth Infeksi pada sistim saraf (kelompok studi neuro infeksi) / contents Bibliografi : hlm. 169
dewey-sort 3616.8
callnumber-subject CB - History of Civilization format book
callnumber-raw CB-D.13 2011-4376/9128-2011 callnumber-search CB-D.13 2011-4376/9128-2011
title_sort Infeksi pada sistim saraf (kelompok studi neuro infeksi) title_short Infeksi pada sistim saraf (kelompok studi neuro infeksi) dewey-full 616.8
dewey-ones 616 - Diseases ctrlnum 0010-59783860 language Indonesian
title_full
Infeksi pada sistim saraf (kelompok studi neuro infeksi) /;
editor, A.A.. Raka Sudewi, Paulus Sugianto, Kiking Ritarwan
title_fullStr
Infeksi pada sistim saraf (kelompok studi neuro infeksi) /;
editor, A.A.. Raka Sudewi, Paulus Sugianto, Kiking Ritarwan
title_full_unstemmed
Infeksi pada sistim saraf (kelompok studi neuro infeksi) /;
editor, A.A.. Raka Sudewi, Paulus Sugianto, Kiking Ritarwan
dewey-raw 616.8 dewey-search 616.8
_version_ 1529692109290864640 score 15.863277
NEUROSISTISERKOSIS A.A Raka Sudewi
Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Pendahuluan
Neurosistiserkosis (NSS) merupakan penyakit infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh bentuk larva dari parasit cacing pita Taenia solium (T. solium). Sistiserkosis solium dapat pula mengenai organ ekstraneural seperti pada : jantung, paru, hati, mata, ginjal, lidah dan otot di bawah kulit. Masalah yang serius timbul jika sistiserkosis solium berada di dalam otak/SSP yang dikenal sebagai NSS, karena dapat menimbulkan kematian dan angka kesakitan yang tinggi dengan berbagai gejala neurologi seperti: epilepsi, migrain, arahnoiditis, stroke, hidrosefalus, dimensia, gangguan penglihatan dan tekanan intrakranial meningkat. NSS diperkirakan sebagai penyebab utama penyakit di bidang neurologi di beberapa negara berkembang dimana infeksi ini endemis. Epilepsi merupakan manifestasi klinis yang paling sering dari NSS. Menurut Commission on Tropical Diseases of the International League Againts Epilepsy, rerata usia penyandang epilepsi aktif di negara tropis berkisar antara 10 sampai 15 per 1000 penduduk hampir dua kali negara Barat. NSS sebagai penyebab utama terjadinya epilepsi diatas usia 25 tahun di negara endemik infeksi T.solium.
Pemeriksaan imejing otak menunjukkan bahwa 50-70% penderita NSS dengan bangkitan epilepsi. Raka S (1998) melaporkan 68% penderita NSS dengan bangkitan epilpsi. NSS merupakan salah satu penyakit yang menimbulkan dampak kesehatan yang sangat luas terutama di negara berkembang yang beriklim tropis karena dapat mengakibatkan pengeluaran biaya yang sangat besar oleh negara berkembang dan hilangnya produktivitas.
Kejadian NSS tidak bisa dipisahkan dari adanya kasus infeksi cacing pita dewasa T. solium yang dikenal sebagai taeniasis dan juga kejadian sistiserkosis pada babi sebagai sumber penularannya. Penyakit ini bersifat endemik di beberapa negara seperti Afrika, Eropa Timur, Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan. T. solium juga dilaporkan di Asia terutama di Cina, India dan di Indonesia. Di Indonesia penyakit ini bersifat endemis terutama di daerah Sumatera Utara, Bali, Papua, Timor, Flores, Sulawesi Utara dan Kalimantan Barat.
Penyebaran di daerah non endemik dihubungkan dengan para imigran.
NSS merupakan human to human diseases, penularannya antar manusia. Seseorang menderita sistiserkosis/NSS karena secara kebetulan menelan telor cacing yang ditularkan oleh penderita carrier taeniasis. Penyakit ini potensial untuk dicegah terutama dengan meningkatkan higiene-sanitasi individu dan memutus mata rantai penularannya/siklus hidup dari parasit tersebut.
Definisi
Neurosistiserkosis (NSS) merupakan penyakit infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh bentuk larva dari parasit cacing pita T. solium.
Patogenesis
Manusia terinfeksi karena secara kebetulan menelan makanan yang terkontaminasi telur cacing T. solium. Telur cacing yang tertelan di dalam usus akan pecah menjadi onkosfer, dengan bantuan kait yang dimiliki onkosfer akan menembus dinding usus lalu masuk ke dalam pembuluh darah portal atau saluran limfe di daerah usus akhirnya mencapai sirkulasi sistemik. Onkosfer melalui sirkulasi sistemik dapat mencapai SSP dengan bantuan kait yang
dimiliki, dapat melewati endotelium kapiler atau epitel pleksus khoroideus. Tidak diketahui bagaimana onkosfer secara aktif berpindah ke jaringan spesifik atau hanya secara pasif berkembang di dalam jaringan dengan curah darah yang tinggi seperti misalnya pada otak dan otot.
Pada babi yang secara eksperimental diinfeksi oleh onkosfer mengakibatkan perdarahan lokal pada liver, infiltrasi eosinofil dan menjadi fibrotik. Onkosfer jarang berkembang pada liver. Empat minggu setelah infeksi dijumpai vesikel kecil berukuran 0,3cm pada otot skeletal, tetapi skoleks dan sistem kanalikuli belum berkembang. Enam sampai dengan delapan minggu setelah infeksi vesikel menjadi 0,6-0,8cm dan semua struktur sudah terbentuk lengkap.
Onkosfer T. solium hidup pada jaringan sebagai kista yang mengandung cairan (metasestoda). Kista mempunyai dinding yang tipis dan semitransparan dengan skoleks menonjol ke dalam dan nampak sebagai nodul opaque pada satu sisi kista. Cairan kista adalah campuran kompleks dari molekul parasit dengan komponen serum inang. Ukuran dan bentuk kista bervariasi. Pada otak kista merupakan bulatan dengan diameter kurang lebih satu sentimeter yang di kelilingi kapsul yang terdiri dari astrosit, fibroblast dan serat kolagen.
Dinding kapsul terdiri dari tiga lapis : 1) lapisan kutikula yang mengandung mikrotrich ( dilapisi karbohidrat glykokalyx ), 2) lapisan pseudoepitel muskularis dan 3) lapisan jaringan ikat longgar yang mengandung jaringan kanalikuli. Nodul mural mengandung skoleks yang menonjol ke dalam dan dihubungkan dengan kanal spiral, juga dengan membran trilaminar.
Lubang ekskretori kecil dekat akhir kanal spiral berhubungan dengan kanal digestiv menuju jaringan sekitarnya. Bentuk vesikuler mengandung cairan yang jernih di kelilingi sedikit inflamasi, biasanya hanya sedikit sel mononuklear dan eosinofil dalam jumlah yang bervariasi di sekitar saluran ekskretori. Dalam waktu tertentu dan karena beberapa faktor yang belum dimengerti secara komplit kemungkinan karena pengaruh nutrisi atau faktor lain seperti usia dan inflamasi atau respons imun hospes sehingga parasit kehilangan kemampuannya untuk mengontrol pertahanan inang, mengakibatkan sebagian besar larva akan mengalami degenerasi dan cairan vesikuler menjadi keruh, akhirnya menjadi bentuk koloidal. Cairan di dalam vesikel berubah menjadi eksudat kaseosa dan struktur parasit menjadi hancur. Pada stadium ini nampak reaksi inflamasi yang hebat dengan sel yang dominan adalah limfosit, makrofag, giant cell dan eosinofil. Akhirnya eksudat kaseosa mengeras dengan kalsifikasi tetapi pada otak babi jarang dijumpai sistiserkus yang mengalami kalsifikasi. Secara histologis stadium akhir menunjukkan jaringan fibrotik dengan infiltrasi kalkareus.
Gejala klinis
NSS mempunyai manifestasi klinis yang bervariasi. Hal ini tergantung dari organ, lokasi kista, lingkung an tempat organisme hidup atau mati dan respons tubuh terhadap infeksi. NSS bisa aktif ataupun tidak aktif tergantung beberapa faktor tersebut.
Gejala nyata biasanya tidak timbul selama 5 sampai 8 tahun bahkan sampai 20 tahun, sampai kematian parasit menimbulkan reaksi peradangan toksik. Gejala lebih dini mungkin disebabkan tekanan kista dan penyumbatan cairan serebrospinal, tetapi penderita mungkin menunjukkan gejala dalam waktu satu tahun bila sistiserkosis letaknya di daerah yang menguasai fungsi motorik. Manifestasi lambat yang paling menonjol adalah serangan epilepsi tipe Jackson yang berulang-ulang secara tidak teratur, yang dihubungkan dengan larva yang mengalami fibrosis dan telah mati atau mengalami pengapuran. Sistiserkosis di berbagai bagian otak menimbulkan berbagai macam gejala motorik fokal, sensorik dan mental.
Mungkin ada gejala tumor otak, meningitis, encephalitis, hidrosepalus. Paresis yang kadang
kala timbul, penglihatan yang menghilang, sakit kepala yang tiba-tiba, muntah dan mental yang terganggu mungkin merupakan gejala utama. Gejala yang paling nyata adalah gejala psikik, misalnya kekacauan, cepat marah, tidak dapat tidur, ketakutan, kewibawaan yang berubah. Tekanan intra-kranial yang meninggi mungkin menyebabkan edema papil dan atropi. Jenis larva yang racemosa, yang bercabang dan tidak mempunyai kapsul terletak di rongga subarahnoid dan pleksus korioideus mungkin menimbulkan gejala penyakit otak yang menyeluruh.
Berdasarkan letak kista di otak ada enam sindrom klinis yang bisa tampak yaitu : a. NSS asimptomatis,
b. NSS parenkimal, c. NSS subarahnoid, d. NSS intraventrikuler, e. NSS spinal,
f. NSS okuler.
a. NSS asimptomatis
Insiden pasti dari NSS asimptomatis tidak diketahui, hal ini didasarkan pada hasil otopsi di Meksiko menemukan sistiserkosis 1,9 – 3,6%. Studi kasus 500 pasien di Brazil hanya menemukan 6 pasien ( 1% ) asimptomatik.
b. NSS parenkimal
Bentuk ini terjadi jika sistiserkus berkembang di otak, terutama pada perbatasan substantia grisea dan substantia alba. Kista dapat dalam keadaan hidup atau mati, kista yang hidup ditemukan pada 13,2% pasien. Kalsifikasi merupakan tanda dari kista inaktif atau kista mati, ditemukan pada 57,6% kasus. Variasi gejala klinis dilaporkan berupa kejang, defisit fokal neurologi dan perubahan status mental. Kejang terjadi pada 36 – 92%, dengan NSS adalah penyebab tunggal yang paling sering. NSS parenkimal dapat menyebabkan defisit fokal neurologis yang luas termasuk hemiplegi, monoplegi, quadriplegia, afasia, hemianopsia homonim, defisit nervus kranialis, vertigo, nistagmus, syndrom parinaud, gejala traktus piramidalis, dismetri, intension tremor dan hiper atau hipoestesia. Kemerosotan intelektual atau status mental dan koma dapat muncul pada pasien dengan sistiserkosis parenkimal.
Dimensia yang progresif pada beberapa pasien di lembaga mental Meksiko menemukan NSS sebagai penyebabnya. Kerusakan yang luas dari parenkim otak oleh sistiserkosis adalah berupa mekanisme kemunduran intelektual. Dimensia yang berkembang sebagai hasil dari perluasan milier dari NSS parenkimal. Ensefalitis mungkin merupakan komplikasi luas atau atau komplikasi milier dari NSS parenkimal. Dimensia progresif, defisit lokal dan kejang dapat muncul semuanya dalam hubungannya dengan ensefalitis yang bersifat fatal.
c. NSS subarahnoid
NSS subarahnoid biasanya disertai tanda meningitis dan peningkatan tekanan intrakranial.
Sakit kepala sering sebagai gejala awal, papil edema, atropi otak, muntah, kesadaran menurun, dimensia, defisit nervus kranialis juga mungkin tampak. Hidrosefalus terjadi akibat komplikasi lanjut dari NSS subarahnoid terjadi pada lebih dari 26% kasus. Sistiserkosis pada sisterna basiler sering fatal. Variasi ini terjadi oleh sumbatan pada ventrikel ke empat.
Siringomyeli dan siringobulbi dapat sebagai akibat fatal dari NSS subarahnoid dan NSS ventrikel. Sistiserkosis subarahnoid dapat menyebabkan sindrom neurologis jika lesinya luas dan lokasinya di serebelopontine angle, di fisura silvia. Sistiserkossis subarahnoid mungkin mempunyai hubungan dengan vaskulitis. Biasanya terjadi pada sumbatan arteri terminal oleh sistiserkosis.
d. NSS intraventrikuler
Bentuk ini sering bersamaan dengan NSS subarahnoid, kejadiannya lebih dari 20%, tetapi studi di Meksiko diperoleh hanya 0,7%. Ventrikel empat adalah lokasi kerusakan yang
paling sering. NSS intraventrikuler sering terjadi sebagai syndrom hidrosefalus yang subakut dan peningkatan tekanan intrakranial. Hidrosefalus dan tekanan intrakranial meningkat akibat obstruksi foramen ventrikel oleh sistiserkosis. Hidrosefalus dapat subakut tanpa defisit fokal atau terjadi akut dengan kematian mendadak. Kista yang melayang bebas dalam ventrikel menyebabkan sindrom Bruns, kondisi ini khas untuk obstruksi foramen yang menyebabkan sakit kepala berulang, vertigo, ataksia dan drop attacks.
e.NSS spinal
Bentuk ini jarang terjadi tetapi merupakan NSS yang berat. Dilaporkan terjadi sekitar 1,5- 2,7%, bahkan pada beberapa daerah kurang dari 1%. Sistiserkosis ekstrameduler intradural pada regio servikal paling sering terjadi. Sistiserkosis ekstrameduler muncul ketika sistiserkosis berpindah sepanjang ruang subarahnoid. NSS spinal intrameduler lebih jarang ditemukan.Bentuk NSS spinal lebih sering pada regio toraks. Aliran darah regional spinal dan membran arahnoid adalah faktor penting dalam patogenesis dari NSS spinal intrameduler. Gejala dari sistiserkosis spinal termasuk sindrom Brown Sequard, dan sindrom cauda equina.
f. NSS okuler
NSS okuler memang jarang dijumpai pada pasien-pasien dengan sistiserkosis, namun sering dijumpai pada literatur-literatur ilmu penyakit mata. Lokasi kista di daerah mata bisa menjadi penyebab proptosis, konjungtivitis kronis, ptosis dan kelumpuhan otot-otot intraokuler.
Sistiserkosis intra okuler dapat di temukan di bilik depan, lensa, badan vitreus. Lokasi yang paling umum adalah di subretina, kadang kala bisa juga ditemukan pada makula. Gejala bisa berupa penglihatan kabur atau kebutaan yang mendadak. Jika kista masih hidup, komplikasi dapat berupa reaksi tubuh terhadap benda asing seperti edema orbita yang kronis dan katarak.
Sistiserkosis yang mati dalam mata bisa menimbulkan komplikasi berupa infiltrasi eosinofil, abses dan opthalmitis, fibrosis, nekrosis, degenerasi dan atropi.
NSS aktif dan NSS inaktif
Berdasarkan viabilitas parasit di dalam otak NSS dibedakan atas NSS aktif dan NSS inaktif. Pada NSS aktif dengan parasit yang masih hidup dan pada NSS inaktif dengan parasit yang tidak aktif atau mati. Viabilitas parasit di dalam otak mempunyai arti yang penting di bidang klinis neurologis karena perbedaan aktivitas parasit pada kedua bentuk ini berperan di dalam menentukan imunopatogenesis dan gejala klinis NSS dan penanganan NSS.
Onkosfer T. solium hidup pada jaringan sebagai kista yang mengandung cairan dikenal sebagai metasestoda. Kista mempunyai dinding yang tipis dan semitransparan dengan skoleks menonjol ke dalam dan nampak sebagai nodul opaque pada satu sisi kista. Cairan kista adalah campuran kompleks dari molekul parasit dengan komponen serum hospes. Ukuran dan bentuk kista bervariasi. Pada otak, kista merupakan bulatan dengan diameter kurang lebih satu sentimeter atau lebih yang dikelilingi kapsul yang terdiri dari astrosit, fibroblast dan serat kolagen. Pembentukan kapsul merupakan usaha badan dalam mengucilkan parasit, dengan membentuk kapsul yang terdiri dari sel-sel inflamasi yang merupakan respons seluler terhadap penglepasan antigen kronik setempat. Ada hubungan yang jelas antara inflamasi di sekitar kista atau beberapa kista dengan berkembangnya gejala, khususnya berkenaan dengan terjadinya serangan. Kista mensekresi protease inhibitor, taeniastatin yang menekan aktifitas komplemen, neutrofil, limfosit dan sitokin. Protease dari kista diperkirakan mengambil immunoglobulin hospes untuk nutrisi dan proteksi. Pada awal inflamasi, cenderung terjadinya ringan. Gejala biasanya tidak nampak serius dalam beberapa tahun bahkan dalam 4 sampai 5 tahun, sampai terjadi hal khusus yang ditandai oleh peningkatan imunitas hospes, maka kista
akan mati dan degenerasi. Degenerasi komplit pada kista mengakibatkan terjadinya kalsifikasi atau jaringan parut.
Diagnosis
Secara definitif NSS ditegakkan berdasarkan penemuan adanya parasit/skoleks pada hasil pemeriksaan Patologi Anatomi atau pada CT (Computed tomography) scan/MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pemeriksaan neuroimaging seperti CT scan atau MRI sangat penting dalam mendiagnosis NSS. Gambaran CT scan pada parenkim otak dapat berupa: (1) nodul soliter/ multipel atau lesi densitas rendah tanpa enhancement yang menunjukkan sistiserkus hidup, (2) lesi hipodens atau isodens dengan ring enhancement merupakan kista yang mati, (3) kalsifikasi dari bekas/ sisa kista yang mati, dan (4) edema otak difus, ventrikel lateral kecil dengan nodule multiple yang enhancement pada pemberian kontras dihubungkan dengan sindrome encepalitis. Gambaran neuroimaging lain yang abnormal dapat berupa infark akibat adanya oklusi atau vaskulitis. Sistiserkosis race-mose dari sisterna basalis menunjukkan gambaran kista yang besar atau multipel. Kista intraventrikuler tidak tampak pada CT scan karena dinding kista tipis, isinya isodens dengan cairan serebrospinalis dan tidak adanya kontras enhancement. Kista intraventrikuler akan lebih sensitif jika dievaluasi dengan MRI. MRI lebih sensitif dari pada CT scan untuk mendeteksi kista parenkim, intraventrikuler, subarahnoid dan adanya edema perifokal. Namun CT scan lebih superior untuk melihat kalsifikasi.
Kriteria diagnosis
Diagnosis NSS dapat pula ditegakkan berdasarkan kriteria yang diajukan oleh Del Brutto dkk (2001), yang didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan neuroimaging, immunologi dan data epidemiologi. Kriteria diagnostik dibagi menjadi empat kriteria yaitu : 1)kriteria absolut terdiri dari : pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya parasit dari biopsi otak, pada pemeriksaan CT atau MRI adanya skoleks pada lesi kistik dan pada pemeriksaan funduskopi tampak adanya parasit pada subretina; 2)kriteria major terdiri dari : neuroimaging sesuai dengan lesi NSS, immunoblot terhadap antibodi sistiserkosis positp, resolusi lesi kistik intrakranial setelah pemberian obat albendazol atau praziquantel dan resolusi spontan pada small single enhancing lesions; 3)kriteria minor terdiri dari : neuroimaging menunjukkan adanya lesi yang sesuai dengan NSS, manifestasi klinis sesuai NSS, ELISA terhadap antisistiserkus antibodi atau sistiserkus antigen positip pada cairan serebrospinal dan adanya sistiserkosis diluar SSP; 4)kriteria epidemilogi terdiri dari : household contact dengan orang yang terinfeksi T. solium, berasal atau tinggal di daerah endemik sistiserkosis, riwayat sering bepergian ke daerah endemik. Interpretasi dari kriteria diatas dibagi menjadi dua diagnosa pasti: 1) definitive diagnosis, pada penderita dengan satu kriteria absolut; 2) probable diagnosis, pada penderita dengan satu kriteria major plus dua minor, atau satu major plus satu minor dan satu kriteria epidemiologi.
Pemeriksaan penunjang diagnostik
Pemeriksaan laboratorium tidak selalu menunjang. Pada penderita positip NSS pemeriksaan telur T. solium pada faeses hanya ada pada sebagian kecil kasus. Adanya eosinofilia pada darah tepi dilaporkan hanya pada 0-37% kasus. Pemeriksaan serologis bertujuan untuk mendeteksi antibodi, antigen dan pengukuran immunoglobulin oligoklonal atau IgE.
Pemeriksaan serologis dan cairan serebrospinal penting untuk mendiagnosis NSS. Untuk mendeteksi antibodi dan antigen sistiserkosis, sensitivitas dan spesifisitas dari tes sangat tergantung pada sampel ( cairan serebrospinal atau serum ), aktivitas kista (aktif atau inaktif) dan juga sangat tergantung pada metode pemeriksaan. Pemeriksaan ELISA anti-sistiserkus IgM menunjukkan spesifisitas 95% dan sensitivitas 87% pada cairan serebrospinal.
Pemeriksaan ELISA dan immunoblot dengan menggunakan antigen highly specific semi purified glycoprotein menunjukkan hasil yang positip kuat pada sistiserkosis aktif dan berkorelasi positip dengan gambaran neuroimaqging. Metode pemeriksaan DNA merupakan teknik diagnosis lain untuk memastikan spesies T. solium.
Teknik imaging sangat diperlukan dalam mendiagnosis NSS. Visualisasi skoleks di dalam kista merupakan tanda yang patognomonis dari NSS dapat dilihat pada pemeriksaan CT scan/MRI.
Penanganan dan Pencegahan
Penanganan terhadap penderita NSS dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu:
obat anti parasit, pengobatan simptomatik dan operasi. Obat anti parasit, terutama ditujukan untuk penderita NSS aktif, yaitu penderita sistiserkosis serebri dengan parasit yang masih hidup/aktif. Obat anti parasit yang efektif terhadap sistiserkus T. solium adalah albendazol atau praziquantel. Dosis albendazol: 15mg/kg/hari, selama satu bulan. Dosis untuk praziquantel adalah 50mg/kg/hari selama dua minggu. Pada hari kedua dan ke empat terapi, biasanya terjadi eksaserbasi gejala neurologi berupa sakit kepala, mual dan muntah yang diakibatkan oleh terjadinya inflamasi lokal akibat kematian parasit. Untuk mengatasi hal ini pada pemberian obat anti parasit biasanya juga diberikan steroid untuk mengontrol edema dan peningkatan tekanan intrakranial. Albendazol mempunyai penetrasi yang lebih baik ke cairan serebrospinal dan konsentrasinya tidak dipengaruhi oleh steroid. Praziquantel berinteraksi dengan steroid, menurunkan serum konsentrasi dan juga menurunkan level serum phenitoin dan karbamazepin. Terapi simptomatik dan anti-inflamasi, kortikosteroid sering digunakan pada NSS. Dosis deksametason 4,5-12mg/hari, prednison 1mg/kg/hari, digunakan untuk mengurangi terjadinya edema serebri dan terjadinya eksaserbasi gejala neurologi akibat kematian parasit. Terapi simptomatik adalah obat anti epilepsi dan analgetik.
Serangan epilepsi sekunder akibat NSS biasanya berespons baik terhadap obat first-line antiepilepsi seperti phenitoin atau karbamazepin. Operasi, terutama ditujukan untuk eksisi kista yang besar atau untuk pemasangan shunting jika terjadi hidrosefalus.
Hal utama yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya sisitiserkosis/NSS dengan menghindari makan makanan yang tercemar oleh telur cacing pita yang dibawa oleh penderita karier taeniasis dan mencegah terjadinya autoinfeksi. Selanjutnya yang lebih penting adalah memberantas sumber penularan infeksi pada penderita taeniasis dengan mengeluarkan cacing beserta skoleksnya. Usaha pemberantasan cacing pita dapat dilakukan : pengobatan penderita taeniasis, perbaikan sanitasi, pemeriksaan kesehatan daging, memasak dan mengolah daging babi sebaik-baiknya.
Indonesia selaku negara yang memiliki beberapa daerah endemis, melalui Direktorat Jenderal pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah memasukkan taeniasis/sistiserkosis sebagai salah satu sasaran penyakit yang telah diupayakan pemberantasannya. Berbagai upaya pencegahan, pengendalian, eliminasi dan eradikasi telah dilakukan oleh Departemen Kesehatan dengan melibatkan berbagai sektor terkait, namun demikian hasilnya belum sesuai yang diharapkan..
Referensi
Barinagerrementeria F, Del Brutto OH. 1989. Lacunar syndrome due to neurocysticercosis.
Arch Neurol. 46:415-417.
Bhaskaran, CS. 1973 Cerebral cysticercosis as a cause of unnatural death. Indian J. Med. Sci.
27: 545-547.
Brown H.W. 1979. Dasar Parasitologi Klinis ( Edisi Indonesia ). Pribadi W., editor, Jakarta:
Gramedia; 315-318.
Brutto OHD., Dolezal M., Castllo PR., Garcia HH. 2000. Neurocysticercosis and oncogenesis. Archives of Medical Research;31;151-155.
Cameron M.L., Durack D.T. 1991. Helminthic Infection of The Central Nervous System. In:
Scheld W.M., Whitley R.J, Durack D.T., editors. Infection of The Central Nervous System. New York: Raven Press; 825-857.
Carpio A, Placencia M, Santillan F, Escobar A. 1994. A proposal for classification of neurocysticercosis. Can. J. Neurol. Sci. 21 : 43-47.
Carpio A, Ugalde J. 2002. Neuroimaging in neurocysticercosis. eMedicine Journal. 3(2):1-19.
Del Brutto OH., Wadia NH., Dumas M., Cruz M., Tsang VCW., Schantz. 1996. Proposal of diagnostic criteria for human cysticercosis and neurocysticercosis. J. of the Neurological Sciences; 142: 1-6.
Del Brutto OH, Rajshekar V, White AC Jr, Tsang VC, Nash TE, Takayanagui OM, Schantz PM, Evans CA, Flisser A, Corea D, Botero D, Allan JC, Sarti E, Gonzalez AE, Gilman RH, Garcia HH. 2001. Proposed diagnostic criteria for neurocysticercosis, Neurology ;57(2):177-183.
Alvarado M. Cysticercosis Work Group Peru. 1993. Cysticercosis as a Major Cause of Epilepsy in Peru. Lancet ( North American Edition ) 341 (8839); 197-200.
Garcia HH, Evans CAW, Nash TE, Takayanagui OM, et al. 2002 Current consensus guidelines for treatment of neurocysticercosis. Clinical Microbiology Reviews 15(4):747-755.
Griffin DE., Johnson RT. Host respons to infection. In: Asbury AK., Mc Kahann GM., Mc Donald WI., ed. Diseases of the Nervous System Clinical Neurobiology, 2nd ed.
Philadelphia. WB Saunders Company. 1992; 1350-56.
Londono DP, Alvares JI, Trujillo J, jaramillo MM, restrepo BI. 2002. The inflammatory cell infiltrates in porcine cysticercosis: immunohistochemical analysis during various stage of infection. Veterinary Parasitology;109:249-259.
Raka Sudewi A.A., Nuartha A.A.B.N. 1998. Neurosistiserkosis di Rumah Sakit Umum Pusat Denpasar. Musyawarah Kerja dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, Malang, Indonesia.
Raka Sudewi AA, T. Wandra, A. Artha, A. Nikouawa, A. Ito. 2008 Taenia solium Cysticercosis in Bali, Indonesia : Serology and mtDNA Analysis. Transsaction of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 102, 96-98.
Roman G, Sotelo J, Brutto OD. 2000. A Proposal to declare neurocysticercosis an international reportable disease. Bull of WHO, 78 (3); 399-406.
Sciutto E, Fragoso G, Fleury A, Laclette JP, Sotelo J, Aluja A, Vagas L, Larralde C. 2000.
Taenia solium disease in human and pig: an ancient parasitosis disease rooted in developinig countries and emerging as a major health problem of global demensions. J. Microbes and Infection 2:1875-1890.
Simanjuntak GM., Sri SM.., Sachlan R., Hargono C., Rasidi R., Sutopo B. 1977. An Investigation of taeniasis and cysticercosis in Bali. Southeast Asean J. Trop. Med.
Public Health: 8; 494-497.
Simanjuntak GM, Margono SS, Okomoto M, Ito A. 1997. Taeniasis/cysticercosis in Indonesia as an emerging disease. Parasitology Today: 13(9);321-333.
Sze G Lee SH. Infections disease. 1992 In: Lee SH, Rao KCVG, Zimmerman RA, editors.
Cranial MRI and CT. 3rd.New York : Mc Graw Hill Inc :572-576.
Tsang VCW, Wilson M. 1995. Taenia solium cysticercosis: An under recognized but serious Public Health problem. Parasitology Today. 11(3); 124-128.
Wadia NH. 1996. Neurocysticercosis. In: Shakir RA, Newman PK, Ponses CM, editors.
Tropical Neurology. Philadelphia: W.B.Saunders Company ; 247-273.
White AC. 1997a. Neurocysticercosis: a major cause of neurological disease worldwide.
Clinical Infectious Diseases;24:101-113.