• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERPRETASI DIGITAL DIDALAM PENENTUAN RUANG MULTISISTEM SILVIKULTUR (MSS) PADA KAWASAN HUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "INTERPRETASI DIGITAL DIDALAM PENENTUAN RUANG MULTISISTEM SILVIKULTUR (MSS) PADA KAWASAN HUTAN "

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

223

INTERPRETASI DIGITAL DIDALAM PENENTUAN RUANG MULTISISTEM SILVIKULTUR (MSS) PADA KAWASAN HUTAN

PRODUKSI DI KABUPATEN BANJAR

Digital Interpretation in Determining The Multysistem Silviculture Space (MSS) in Forestry Production District Banjar

Debby Nanda Pratama, Karta Sirang dan Ahmad Jauhari Jurusan Kehutanan

Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRACT. One of the most important stages in sustainable forest planning is the need to design a spatial pattern of the ideal type of silvicultural system in every smallest management unit. Spatial design for each type of silvicultural system has been written in both long-term and short-term planning documents. However, there has not been much research that makes spatial-based spatial silvicultural sistem spatial pattern design (SIG). This study aims to determine the direction of application of silvicultural system space on the unit management unit (silvicultural multisystem). The research method is literature study, downloading, field observation and interview. Data analysis used in the form of Normalize digital vegetation index (NDVI), Terrain analysis, Overlay, and pivot table .. The results of this study is divided into silvicultural system on various types of land cover and slope class area. Based on the widest area among them, the application of the system of artificial re-vegetation clearance (THPB) with land cover in the form of open land and flat slope class (0-8%) with 26 ha, THPB with type of shrub cover and old shrub and flat slope class (0- 8%) with an area of 70 ha. Selected cultivation with rare vegetation cover type (0-8%) with 187 ha, select area with rare vegetation cover type and sloping slopes (8-15%) with 90 ha width, TPTJ with vegetation cover type medium density and flat slope class (0-8%) with area of 1000 ha.TPTJ / Bina pilih with the closure type of density vegetation land cover and sloping slopes class (8-15%) with an area of 57 ha.

Keywords: Slope class;Normalize digital vegetation index (NDVI); Land cover; Silvicultural Multisystem (MSS)

ABSTRAK.Salah satu tahapan yang sangat penting dalam perencanaan hutan lestari adalahperlunya desain pola ruang mengenai tipe sistem silvikultur yang ideal pada setiap unit manajemen terkecil. Desain ruang untuk masing-masing tipe sistem silvikultur sudah tertuliskan didalam dokumen perencanaan baik itu jangka panjang maupun jangka pendek. Namun masih belum banyak penelitian yang membuat desain pola ruang sistem silvikultur yang berbasis spasial (SIG).Penelitian ini bertujuan untuk menentukan arahan penerapan ruang sistem silvikultur pada setip unit manajemen (multisistem silvikultur). Metode penelitian berupa studi literature, pengunduhan, observasi lapangan dan wawancara. Analisis data yang digunakan berupa Normalize digital vegetation index (NDVI), Terrain analysis, Overlay, dan pivot table..

Hasil penelitian ini terbagi menjadi sistem silvikultur pada berbagai tipe penutupan dan kelas lereng kawasan. Berdasarkan cangkupan terluas diantaranya, Penerapan sistem Tebang habis permudaan buatan (THPB) dengan penutupan lahan berupa lahan terbuka dan kelas lereng datar (0-8%) dengan luas 26 ha, THPB dengan Tipe penutupan semak dan belukar tua dan kelas lereng datar (0-8%) dengan luas 70 ha. Bina pilih dengan tipe penutupan vegetasi jarang dan kelas lereng datar (0-8%) dengan luas 187 ha, Bina pilih dengan tipe penutupan vegetasi jarang dan kelas lereng landai (8-15%) dengan luas 90 ha, TPTJ dengan tipe penutupan lahan vegetasi kerapatan sedang dan kelas lereng datar (0-8%) dengan luas 1000 ha.TPTJ/Bina pilih dengan tipe penutupan lahan vegetasi kerapatan rapat dan kelas lereng landai (8-15%) dengan luas 57 ha.

Kata kunci : Kelas lereng; Penutupan Lahan; Normalize digital vegetation index (NDVI) ; Multisistem silvikultur (MSS)

Penulis untuk korespondensi: surel: [email protected]

(2)

224

PENDAHULUAN

Pengelolaan hutan lestari merupakan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan segala aspek berupa nilai ekologi, sosial, dan ekonomi baik itu pada kawasan hutan yang memiki fungsi lindung, konservasi maupun fungsi produksi. (IFCC,2013) juga menyebutkan bahwa pengelolaan hutan lestari merupakan pendekatan holistik yang menerapkan prinsip kelestarian fungsi ekologi, sosial, dan produksi (ekonomi).

Aspek yang penting terkait dengan nilai produksi dan nilai ekologi didalam pengelolaan hutan lestari diantarannya adalah mengenai kesinambungan produksi, yaitu terkait pemilihan sistem silvikultur yang tepat pada wilayah pengelolaan. Hal ini akan berkaitan dengan penyusunan rencana kegiatan pengelolaan pada suatu ruang yang meliputi sistem penebangan, sistem permudaan, pembukaan wilayah kerja, dan inventarisasi tegakan tinggal.Terutama pada kawasan hutan yang memiliki fungsi sebagai pemenuhan kebutuhan akan hasil hutan kayu maupun non kayu (UU.41.Th.1999)

Penentuan jenis sistem silvikutur saat ini belum sesuai dengan keadaan ruang yang dikelola, selain itu didalam penyusunan rencana pengelolaan hutan, belum banyak dicantumkan secara jelas pada suatu rencana pengelolaan mengenai sistem silvikurtur seperti apa yang akan diterapkan didalam pengelolaan suatu unit manajemen yang menjadi salah satu faktor didalam keberhasilan pengelolaan hutan lestari. Hal ini mungkin didasari oleh terbatasnya kajian serta penelitian yang memberikan informasi mengenai penerapan sistem silvikultur pada masing-masing tipe ruang dan juga terkait keterbatasan sumberdaya yang dimiliki.

Untuk itu Salah satu metode yang dapat digunakan dalam penentuan sistem silvikultur yang akan diterapkan diantarannya menggunakan interpretasi digitaluntuk membantu didalam penentuan sistem silvikultur yang diterapkan .

Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan yaitu terkait keterbatas infromasi mengenai sistem silvikultur pada masing ruang serta keterbatas sumberdaya yang dimiliki dalam penentuannya. Maka peneliti tertarik untuk melakukan kajian mengenai

arahan penyusunan rencana ruang Multisystem silvikultur yang tepat pada kawasan hutan produksi di Kabupaten Banjar berdasarkan melalui interpretasi digital didalam proses penyusunannya.

Tujuan penelitian yaitu untuk menentukan arahan penentuan ruang Multisistem yang diterapkan pada unit manajemen terkecil

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitan

Penelitian ini dilaksanakandi Kawasan Hutan Produksi Kesatuan Pengelolaan Hutan, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Pelaksanaan dari penyusunan laporan, survey lapangan, analisa data sekunder dan primer hingga penyusunan hasil penelitian memerlukan waktu selama 3 bulan

Alat dan Bahan Penelitian

Perlatan yang digunakan dalam penelitian ini diantarannya, Laptop, software Quantum Gis, global positioning sistem (gps), kamera, clinometers, alat tulis, citra landsat 8, Digital elevation model (DEM).

Bahan yang digunakan berupa data Digital elevation model (DEM) dan citra landsat 8, dan data pendukung berupa shape file peta kerja yang di dalamnya mengandung unsur- unsur peta dasar dan data tematik sebagai berikut: peta batas wilayah, peta pemukiman, sungai, kawasan hutan.

Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui situs yang menyediakan data untuk keperluan penelitian yang kemudian akan dilakukan kembali pengoreksian data di lapangan melalui metode observasi.

Adapaun jenis data tersebut diantaranya yaitu menggunakan Digital Elevation Model (DEM) dan citra satelit LANDSAT 8 dan juga melalui pengumpulan data langsung dilapangan . Sedangkan untuk pengumpulan data sekunder yaitu diperoleh melalui pencarian data informasi melalui website, perpustakaan, instansi terkait , dan juga sumber lainnya.

(3)

225 Observasi lapangan dan wawancara

Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui keadaan kelas lereng dan penutupan lahan lokasi yang menjadi wilayah kajian. Ini untuk menguatkan hasil penilaian ketika proses pengolahan data melalui interpretasi digital.

Kondisi keadaan sosial juga dikaji melalui wawancara acak pada masyarakat yang berada dalam kawasan hutan yang menjadi wilayah kajian untuk diamati bagaimana pola penggunanaan kawaasan pada masyarakat tersebut dan pengelolaan seperti apa yang mereka harapkan untuk kedepannya.

Koreksi citra

Proses koreksi citra dilakukan secara otomatis melalui menu plugin yang telah tersedia di Software Q Gis. Proses koreksi dilakukan agar nilai citra yang di analisa merupan nilai yang memiliki sedikit gangguan didalam perekaman oleh satelit.

Proses koreksi terdiri dari koreksi geomterik dan koreksi Radiometrik.

Pengolahan data a. Terrain analysis

Penentuan kelas lereng menggunakan metode “terrain Analysis”. Terrain Analysis merupakan nilai ketinggian tempat dan jarak datar. Nilai ketinggian tempat didapat melalui nilai piksel dari raster data DEM Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) dengan tingkat resolusi tinggi yaitu 30 M, begitupun dengan nilai jarak datar yang juga diperoleh melalui nilai piksel. Berikut merupakan rumus untuk menentukan kelas lereng suatu kawasan (Jauhari 2015).

Persen Lereng = Beda tinggi 2 piksel/

jarak datar piksel × 100%

Hasil analisa yang diperoleh dapat menjadi acuan didalam pembagian kelas berdasarkan dengan acuan Surat

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/11/1980

(Kementerian Pertanian 1980). Adapun pembagiannya, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pembagian kelas lereng

Kelas Lereng Kelerengan (%) Kerengan

1 0 – 8 (Datar)

2 8 – 15 (Landai)

3 15 – 25 (Agak curam)

4 25 – 45 (Curam)

5 >45 (Sangat Curam)

Sumber : Kementerian Pertanian (1980)

Uji akurasi juga dilakukan untuk membandingkan semua data pengukuran di lapangan dengan data hasil klasifikasi melalui komputer dengan uji Absolut . Berikut merupakan rumus ujia absolute yang di gunakan didalam pengolahan data ABS = 100-(a-b)/a)*100)

Keterangan :

a = Nilai actual indekx b = Nilai prediksi indeks

b. NDVI (Normalize digital vegetation index)

Pengolahan data diawali dengan pengumpulan data yaitu berupa Data Citra Landsat 8 yang diunduh dari situs yang menyediakan .yang sebelum nya dilakukan koreksi geometrik dan koreksi radiometrik

sebelum data tersebut dianalisis. Kemudian data tersebut dianalisis dengan Q Gis melalui analisa NDVI yang kemudian ditampilkan bentuk nilai dengan rentang (-1) hingga 1 (Iradafmandaya, 2016).

Uji akurasi sederhana juga dilakukan untuk membandingkan semua data keadaan tutupan di lapangan dengan data keadaan tutupan lahan dari hasil klasifikasi melalui komputer. Berikut merupakan rumus ujia akurasi sederhana yang di gunakan didalam pengolahan data nantinnya.

Akurasi = 100/ a x b Keterangan :

a: Banyak jumlah sampel pengamatan b:Banyaknya jumlah sampel di lapangan

yang sesuai hasil klasifikasi komputer

(4)

226

c . Penentuan Multisistem slvikultur(MSS) Merupakan pemilihan jenis sistem silvikultur lebih dari satu jenis pada satu unit manajemen (Suhendang, 2008).

Berdasarkan keadaan sejarah pengelolahan hutan di Indonesia yang pernah dan sedang diterapkan meliputi berbagai sistem silvikultur TPTI, TPTJ,THPB, THPA dan lainnya (Wahyudi, 2014). Tetapi kombinasi mengenai penerapan lebih dari satu sistem silvikultur (MSS) tidak banyak diterapkan berdasarkan sejarah penerapan silvikuktur di Indonesia (Andry irawan, 2008)

Analysisis yang digunakan dalam menentukan sistem silvikultur yang diterapkan yaitu dengan melakukan analisa overlay pada masing-masing data yang diperoleh dengan Geoprocessing Tool.

yang merupakan alat yang digunakan untuk menganalisis data vector. Prosesnya meliputi intersect, Menggabung (merge/union), Memotong (clip), memadukan yang berbeda (dissolve), menampilkan yang berbeda (difference).

Analisa overlay, biasa juga disebut dengan analisa tumpang susun yang

berfungsi untuk menggabungkan dua atau lebih data grafis untuk memperoleh data grafis baru yang memiliki satuan pemetaan serupa yang akan menghasilkan peta baru (Raharjo dan iksan,2015). Penentuan sistem silvikuktur yang akan diterapkan, diperoleh melaui hasil analisa overlay pada seluruh data yang tersedia. Yaitu meliputi kelerengan kawasan, Hasil analisa NDVI, keadaan sosial diwilayah pengamatan, dan studi pustaka dari berbagai literatur.

Sehingga data tersebut pula lah yang menjadi batasan peneliti didalam menyimpulkan MSS seperti apa yang sebaiknnya diterapkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelas lereng

Hasil pengukuran kemiringan lahan dari beberapa sampel pengamatan dengan berbagai tipe kemiringan lahan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengukuran kemiringan lahan di lapangan

Kelas Lereng

No Koordinat Persen Lereng Berdasarkan Arah Mata Angin %

Nilai Analisa Terrain (%)

% akurasi

X Y U TL T TG S BD B BL Avr

2 1 299185 9646100 12 10 8 9 11 9 7 11 9.625 7.8 81.04

2 2 300353 9646010 7 8 9 8 8 9 9 11 8.625 7.5 86.96

3 3 299643 9645050 29 25 20 22 26 23 23 26 24.25 17.5 72.16

1 4 300151 9644840 8 12 10 11 9 12 12 10 10.5 1.4 13.33

1 5 298678 9646140 8 7 7 6 5 5 3 2 5.375 3.7 68.84

1 6 301602 9645730 6 6 5 6 5 5 8 6 5.875 5.6 95.32

1 7 300451 9645970 9 6 7 9 9 8 8 7 7.875 3 38.10

3 8 299131 9646830 28 36 22 27 27 25 24 32 27.62 16.8 60.81

1 9 300621 9646100 2 3 5 4 2 5 3 2 3.25 3.4 95.38

1 10 300353 9646640 4 6 5 4 8 12 4 12 6.875 5.8 84.36

2 11 300328 9646640 18 14 19 16 18 14 17 18 16.75 9.3 55.52

rata2 69.63

Tabel 2 menunjukan sampel pengukuran kemiringan lahan dilapangan disertai dengan kordinat lokasi yang menjadi wilayah pengukuran. Tingkat akurasi yang paling tinggi bernilai 95.32%, dan akurasi paling rendah 13.33%. Tingkat akurasi pada data

menunjukan bahwa data tersebut layak untuk dijadikan sebagai parameter didalam menentukan kelas lereng kawasan penelitian. Nilai Rata-rata akurasi dari seluruh pengamatan 69.63%. Gambaran umum kelerengan pada area penelitian dapat dilihat pada gambar 1.

(5)

227 Gambar 1. Peta kemiringa lahan area penelitian

Gambar 1. merupakan peta yang menunjukan nilai keadaan kelerengan di sekitar wilayah penelitian. Lokasi meliputi tiga kecamatan diantarannya kecamatan pengaron, kecamatan sambung makmur, dan kecamatan sungai pinang. Kelerengan tertinggi menunjukan nilai kelerengan 27.5%. Kelerengan yang cukup curam banyak berada di posisi utara dan timur.

Kelerengan datar hingga landai banyak berada di barat dan selatan wilayah kajian.

Peta juga menunjukan akses yang ada pada area kajian tersebut, seperti jalan dan

sungai. Terdapat beberapa akses untuk menuju ke area penelitian, diantarannya melalui kecamatan pengaron dan sungai pinang. Keadaan di lapangan, akses jalan masih berupa jalan tanah hingga berbatu yang merupakan salah satu jalan untuk kegiatan aktivitas pertambangan di sekitar area tersebut.

Hasil pengolahan kemiringan lahan digunakan sebagai bahan didalam pengolahan kelas lereng. Kelas lereng hasil pengolahan pada area penelitian dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Peta kelas lereng area penelitian

(6)

228

Gambar 2 menunjukan sebaran kelas lereng dari datar (0-8%) hingga curam (25- 45%). Secara umum sebaran kelas lereng tersebar merata pada area penelitian. Kelas lereng datar yang mengelompok terdapat di bagian barat area penelitian, sedangkan beberapa kelas lereng curam yang berkelompok terdapat di bagian utara wilayah sebelah kiri area penelitian. Luas dari masing kelas lereng terdiri dari

kelerengan datar (0-8%) dengan luas 1390 ha, kelerengan landai (8-15%) dengan luas 658 ha, kelerengan cukup curam dengan luas 185 ha (15-25%), kelerengan tipe curam (25-45%) dengan luas wilayah 19.5 ha.

Penutupan lahan

Tingkat akurasi (ketelitian) antara hasil observasi lapangan dengan hasil analisa NDVI pada titik sampel dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil observasi lapangan dengan Hasil analisa NDVI No

sampel

x Y Nilai

NDVI

Hasil analisa survey lapangan Ketelitian

1 294173 9642350 0.19 vegetasi Non vegetasi 0

2 300163 9646030 0.48 Vegetasi vegetasi 1

3 300289 9644730 0.62 Vegetasi Vegetasi 1

4 300159 9644830 0.68 Vegetasi Vegetasi 1

5 299865 9645010 0.72 Vegetasi Vegetasi 1

6 299501 9646040 0.68 Vegetasi Vegetasi 1

7 299949 9646070 0.64 Vegetasi Vegetasi 1

8 299814 9646050 0.6 Vegetasi Vegetasi 1

9 298984 9646780 0.69 Vegetasi Vegetasi 1

10 301621 9645740 0.76 Vegetasi Vegetasi 1

11 298835 9646160 0.48 Vegetasi Non vegetasi 0

12 298558 9646170 0.44 Vegetasi Vegetasi 1

13 298246 9646120 0.5 Vegetasi Vegetasi 1

14 299141 9646080 0.62 Vegetasi Vegetasi 1

15 298780 9646150 0.46 Vegetasi Vegetasi 1

16 301962 9645410 0.77 Vegetasi Vegetasi 1

17 301543 9645740 0.7 Vegetasi Vegetasi 1

18 301347 9645800 0.67 Vegetasi Vegetasi 1

19 300334 9646630 0.66 Vegetasi Vegetasi 1

20 310481 9648230 0.77 Vegetasi Vegetasi 1

21 300361 9646610 0.75 Vegetasi Vegetasi 1

22 300662 9646080 0.73 Vegetasi Vegetasi 1

23 301212 9645830 0.64 Vegetasi Non vegetasi 0

Total 23

% Akurat data 86.95 Ketelitian nilai 1 : Hasil observasi lapangan sesuai Nilai NDVI

Ketelitian nilai 0: Hasil observasi lapangan tidak sesuai hasil analisa NDVI Tabel 3 menunjukan nilai hasil

pengamatan di lapangan sesuai dengan tipe pengolahan NDVI secara umum dengan tingkat akurasi 86.95 % dari total jumlah sampel yang dilakukan pengamatan.

Akurasi menunjukan data tersebut dapat digunakan, didalam menentukan tipe tutupan lahan pada area penelitian.

Ketidaksesuaian pada beberapa titik lokasi kemungkinan dapat disebabkan oleh

(7)

229 resolusi citra landsat yang hanya terdiri dari

30 m x 30 m /piksel sehingga tipe fisik pada kisaran luasan kurang dari itu, belum bisa di intepretasi oleh citra yang digunakan.

Pengamatan dilapangan menunjukan bahwa sebagian besar area pengamatan berada pada kawasan yang bervegetasi yaitu berupa hutan sekunder dan perekebunan campuran. Keadaan tipe non vegetasi pada area penelitian, berupa lahan terbuka dan juga badan air.

Klasifikasi mengenai nilai NDVI didasarkan pada pengolahan hasil data lapangan dan hasil analisa melalui komputer , untuk menentukan rentang nilai sesuai dengan keadaan di lapangan. Karena terdapat beberapa perbedaan didalam penentuan masing-masing rentang nilai dengan keadaan tipe kawasan yang berbeda. hasil klasifikasi nilai tutupan lahan berdasarkan hasil observasi lapangan yang didukung dengan hasil analisa komputer (NDVI) dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Peta penutupan lahan pada area penelitian Gambar 3 menunjukan penutupan lahan

berdasarkan hasil analisa NDVI. Secara umum area penelitian terdiri dari beberapa tipe tutupan lahan berupa badan air, lahan terbuka, belukar tua, vegetasi kerapan jarang, vegetasi kerapatan sedang, dan vegetasi kerapatan rapat. Gambar menunjukan, terdapat beberapa tipe tutupan lahan badan air dan lahan terbuka yang mengelompok dengan area yang cukup luas dibagian timur area penelitian yang merupakan sisa kegiatan pertambangan.

Luasannya pada masing tipe penutupan lahan di area penelitian yaitu Lahan terbuka non vegetasi/bekas pertambangan dengan luas 9.3 ha, Lahan terbuka dengan luas 52.75 ha, (semak, belukar tua, sawah) dengan luas 214 ha, Vegetasi kerapatan jarang dengan luas 309 ha, Vegetasi

kerapatan sedang dengan luas 1537 ha, dan vegetasi kerapatan rapat dengan luas 132 ha.

Penentuan Multisistem silvikutur (MSS) Sistem silvikultur pada kawasan hutan produksi telah dicantumkan didalam peraturan Menteri, mengenai sistem silvikultur pada kawan hutan (Peraturan menteri kehutanan no.30 tahun 2005) tanpa banyak menyebutkan mengenai keadaan tutupan lahan dan kelas lereng dalam kawasan yang dikelola. Berdasarkan hasil kajian mengenai kelas lereng dan tutupan lahan dengan menggunakan metode overlay, dapat ditentukan mengenai arahan peruntukan Multisistem silvikultur (MSS) yang dapat dilihat pada tabel 4 berikut.

Tabel 4. Tipe sistem silvikultur berdasarkan kelas lereng dan penutupan lahan

(8)

230

Kelas NDVI 1 (Badan Air) Luas (ha)

Kelas lereng 1 0-8 % Perlidungan/perlakuan konservasi 0.3 2 8-15 % Perlidungan/perlakuan konservasi - 3 15-25 % Perlidungan/perlakuan konservasi - 4 25-45 % Perlidungan/perlakuan konservasi - 5 > 45 % Perlidungan/perlakuan konservasi -

Kelas NDVI 2 (Lahan terbuka)

Kelas lereng 1 0-8 % Penanaman/THPB 26

2 8-15 % Penanaman/THPB 21

3 15-25 % Penanaman/TPTJ 5

4 25-45 % Penanaman/TPTJ 0.1

5 > 45 % Perlidungan/perlakuan konservasi - Kelas NDVI 3 (Semak, Belukar tua, Sawah) 118

Kelas lereng 0-8 % Penanaman/THPB 70

8-15 % Penanaman/THPB 20

15-25 % Penanaman/TPTJ 2

25-45 % Penanaman/TPTJ -

> 45 % Perlidungan/perlakuan konservasi - Kelas NDVI 4 (Vegetasi kerapatan jarang)

Kelas lereng 1 0-8 % Penanaman/Bina pilih 187

2 8-15 % Penanaman/Bina pilih 90

3 15-25 % Penanaman/Bina pilih 23

4 25-45 % Penanaman/Bina pilih 2

5 > 45 % Perlidungan/perlakuan konservasi - Kelas NDVI 5 (Vegetasi kerapatan sedang)

Kelas lereng 1 0-8 % TPTJ 1000

2 8-15 % TPTJ 423

3 15-25 % TPTJ 96

4 25-45 % TPTJ 4

5 > 45 % Perlidungan/perlakuan konservasi - Kelas NDVI 6 (Vegetasi kerapatan rapat)

Kelas lereng 1 0-8 % TPTJ/Bina Pilih 42

2 8-15 % TPTJ/Bina Pilih 57

3 15-25 % TPTJ/Bina Pilih 29

4 25-45 % TPTJ/Bina Pilih 2

5 > 45 % Perlidungan/perlakuan konservasi -

Tabel 4 berikut menunjukan beberapa sistem silvikultur yang dapat diterapkan, berdasarkan keadaan masing kelas lereng dan tutupan lahan. Tutupan lahan terbuka dengan berbagai tingkatan kelas lereng

fokus kegiatan berupa penanaman.

Tutupan lahan dengan keadaan cukup rapat, fokus kegiatan berupa TPTJ dan Bina Pilih. Kelas Lereng sangat curam (>45%) fokus kegiatan berupa perlindungan dan

perlakuan konservasi. Luas masing-masing mengenai area penerapan Multisistem silvikutur pada tabel menunjukan bahwa luasan terbesar berada pada tutupan lahan vegetasi kerapatan jarang dengan kelas lereng datar (0-8%) dengan luas 1000 ha.

Multisistem yang dapat diterapkan berupa Penanaman maupun Bina pilih.

Luasan terkecil berada pada tipe tutupan lahan terbuka dengan kelas lereng curam (25-45%) dengan luas 0.11 ha. Multisistem

(9)

231 silvikultur yang dapat diterapkan berupa

penanaman maupun Tebang pilih tanam jalur (TPTJ). Penentuan sistem yang digunakan juga dengan mempertimbangkan aspek sosial pada sekitar area penelitian

melalui kegiatan observasi lapangan berupa wawancara. Keadaan sebaran pada masing- masing Multisistem sivikultur yang diterapkan dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Peta Arahan penentuan ruang untuk Multisistem Silvikultur Gambar 4 menunjukan Jenis Multisistem

silvikultur yang diterapkan berdasarkan parameter yang diamati. Jenis sistem silvikultur yang diterapkan, relatif tersebar secara proporsional. Penerapan sistem TPTJ berada pada cangkupan wilyah yang paling luas yaitu 1523 ha, untuk sistem dengan cangkup wilayah paling kecil yaitu Penanaman/TPTJ yang berada pada lokasi lahan terbuka dengan keadaan kelerengan curam dengan luas 27 ha.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil penelitian ini terbagi menjadi sistem silvikultur pada berbagai tipe penutupan dan kelas lereng kawasan. Berdasarkan cangkupan terluas diantaranya, Penerapan sistem Tebang habis permudaan buatan (THPB) dengan penutupan lahan berupa lahan terbuka dan kelas lereng datar (0-8%) dengan luas 26 ha, THPB dengan Tipe penutupan semak dan belukar tua dan kelas lereng datar (0-8%) dengan luas 70 ha. Bina pilih dengan tipe penutupan

vegetasi jarang dan kelas lereng datar (0- 8%) dengan luas 187 ha, Bina pilih dengan tipe penutupan vegetasi jarang dan kelas lereng landai (8-15%) dengan luas 90 ha, TPTJ dengan tipe penutupan lahan vegetasi kerapatan sedang dan kelas lereng datar (0- 8%) dengan luas 1000 ha.TPTJ/Bina pilih dengan tipe penutupan lahan vegetasi kerapatan rapat dan kelas lereng landai (8- 15%) dengan luas 57 ha.

Saran

Diperlukan kajian lebih lanjut didalam penentuan Multisistem silvikultur yang berkaitan dengan kesesuaian lahan berupa tipe tanah, kedalaman perakaran, kesuburan tanah untuk, dan jenis tanaman yang dimanfaatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Andri Irawan. 2008. Sejarah perkembangan sistem silvikultur di Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).

(10)

232

Departemen Kehutanan. 1999. Undang- undang Republik Indonesia Nomor 41.Tahun 1999 Tentang fungsi kawasan hutan.

Indonesia Forestry Certification (IFCC),2017. Pengelolaan hutan lestari.

Kerja sama sertifikasi kehutanan Indonesia

Iradafmandaya,2016.indexvegetasi.https://ir adafmandaya.wordpress.com/2016/02/20 /index-vegetasi-ndvi. Diakses pada tanggal 4 oktober 2017.

Jauhari, Ahmad, 2015. Model perencanaan hutan berkelanjutan berbasis Daerah Aliran Sungai Disertasi tidak diterbitkan.

Malang: Program pasca sarjana Universitas Brawijaya,Malang.

Kementerian pertanian. 1980. Surat

keputusan Mentan No.837/

Kpts/um/11/1980 tentang kriteria dan tata cara Penetapan Hutan Lindung.

Raharjo, B. dan ikhsan, M.2015. Belajar ArcGIS Desktop 10 Edisi pertam, Banjarbaru, South Kalimantan, Indonesia : Geosiana Press.

Suhendang, 2008. Multisistem Silvikultur Dalam Perspektif Ilmu Manajemen Hutan. Institut Pertanian Bogor (IPB).

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 30 Tahun 2005.Tentang standar sistem silvikultur pada hutan alam, kering dan atau hutan alam basah tanah atau rawa.

Wahyudi, 2014. Sistem Silvikultur di Indonesia Teori dan Implementasi . Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya.

Referensi

Dokumen terkait

Indeed, scholars of the interdisciplinary research field of science and technology studies have convincingly argued that research policy as well as research practice

ASEAN Regional Qualifications Framework: Current Architecture • Enhancing Skills Recognition Systems in ASEAN ASEAN Australia Programme, 2000- – Regional Qualifications Framework